Visi Misi dan Strategi Pencegahan dan Pe

VISI, MISI, DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
KORUPSI DI INDONESIA1
Eko Yulianto2

1.

Pendahuluan

Korupsi adalah sebuah persoalan sosial yang memiliki multidimensi. Korupsi tidak saja melulu soal
buruknya sikap dan perilaku sebagian anggota masyarakat dan para pejabat publik, melainkan juga
terkait dengan rusaknya sistem sosial, kerugian keuangan negara dan lemahnya penegakan hukum.
Pemerintah dan segenap elemen masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah
meluasnya praktik korupsi di Indonesia. Pembentukan lembaga khusus, seperti KPK misalnya,
memang telah memberi harapan bagi terwujudnya kehidupan sosial yang bersih dari korupsi.
Namun, harus diakui bahwa keberadaan KPK tidak sertamerta dapat memberikan jaminan mutlak
untuk mewujudkan Indonesia yang terbebas dari praktik korupsi.
Menurut laporan Transparency International tahun 2014, misalnya, Indonesia masih memperoleh
skor 32 dari skala 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). Dengan skor yang tidak berubah
sejak 2012 itu Indonesia menempati peringkat 107 dari 175 negara di dunia bersama Djibouti dan
Argentina. Di ASEAN, posisi Indonesia juga masih kalah dari Filipina (85), Thailand (85), Malaysia
(50), dan Singapore (7). Posisi ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di Indonesia masih luar

biasa parah sehingga upaya-upaya lain untuk membantu KPK dalam memberantas praktik ini
harus terus dilakukan. Untuk itu, visi, misi, dan strategi yang dapat melengkapi kekuatan KPK serta
memberikan arah yang lebih jelas dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu
dirumuskan.
Makalah ini disusun untuk merespon kebutuhan tersebut. Namun sebelum rumusan visi, misi, dan
usulan strategi dipaparkan, saya terlebih dahulu akan memaparkan beberapa permasalahan
strategis yang memiliki pengaruh besar pada pencapaian target pencegahan dan pemberantasan
korupsi di Indonesia. Rumusan permasalahan tersebut akan menjadi bahan perumusan visi, misi,
dan strategi yang menjadi argumen utama makalah ini.
1
2

Makalah ini ditulis dalam rangka pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2015
Auditor BPK RI, bertugas di Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, sedang menyelesaikan studi S3 di UGM Yogyakarta
1

2.

Permasalahan Strategis Mengenai Korupsi di Indonesia


Permasalahan korupsi di Indonesia sangat banyak dan kompleks. Dalam makalah ini, saya
mengidentifikasi sedikitnya empat hal yang memiliki pengaruh strategis pada keberhasilan kita
dalam mewujudkan Indonesia agar terbebas dari korupsi. Empat hal tersebut menyangkut praktik
korupsi di masyarakat, kelemahan sistem demokrasi, kelemahan perundang-undangan mengenai
keuangan negara, dan pemberantasan korupsi yang tidak integratif.
Praktik Korupsi oleh Masyarakat
Korupsi di Indonesia sudah terjadi pada semua lapisan dan dimensi. Korupsi kini bukan lagi
menjadi monopoli pejabat publik, baik di level daerah sampai pusat, melainkan juga masyarakat.
Mentalitas jalan pintas dan suka melanggar peraturan, dua sifat yang dianggap sebagai
penghambat kemajuan Indonesia, seperti telah dinyatakan lebih dari tiga dekade lalu oleh
Profesor Koentjoroningrat, sosiolog Universitas Indonesia, kini semakin mewujud. Sebagian
masyarakat kini nampaknya telah menganggap biasa praktik-praktik koruptif dalam kehidupan
sehari-hari. Mencontek saat ujian demi memperoleh nilai kelulusan yang baik, membeli ijazah
untuk kenaikan jabatan, membayar uang tambahan untuk mempercepat layanan publik, dan
menyalahgunakan bantuan sosial dari pemerintah daerah tampaknya bukan lagi perkara
memalukan. Menurut teori psikologi sosial, fenomena ini semakin menggejala karena masyarakat
mencontoh dari apa yang selama ini terjadi di sekitar mereka. Saya menggarisbawahi masalah ini
dengan tujuan untuk memberikan gambaran mental bahwa hal ini bukan perkara sepele. Difusi
praktik korupsi di masyarakat adalah persoalan serius dan perlu segera dihentikan bila ingin
melihat bangsa ini survive!

Kelemahan Sistem Demokrasi dan Sistem Pemilihan Pejabat Publik
Persoalan

besar

kedua

menyangkut

proses

demokrasi

yang

cenderung

melahirkan

pemimpin-pemimpin korup, baik pada level daerah maupun pusat. Pilihan demokrasi dengan

pemilihan umum itu sendiri bukanlah jalan yang salah, melainkan sistem yang kita laksanakan ini
sepertinya memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut sangat erat kaitannya proses
pencalonan presiden, kepala daerah, dan wakil rakyat yang cenderung koruptif. Pengalaman
menunjukkan (meski tidak selalu) bahwa seseorang harus mengeluarkan dana besar agar dapat
dicalonkan dalam pemilihan umum. Mekanisme seperti ini telah menjebak para peserta pemilu
2

untuk mencari dana dengan cara-cara tidak fair sehingga pada akhirnya, bila terpilih, akan tergoda
untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan dengan cara korupsi.
Kelemahan lain juga terdapat dalam mekanisme pemilihan pejabat publik, terutama di
lembaga-lembaga negara. Berapa perbaikan memang telah terjadi, terutama di KPK, yang telah
memiliki sistem pemilihan komisioner secara terbuka dan melibatkan para ahli yang bekerja
independen. Namun demikian praktik semacam ini belum diterapkan oleh lembaga lain. Saya
secara khusus menyoroti proses pemilihan pejabat tinggi atau anggota di BPK. Dalam konteks
pemberantasan korupsi, posisi lembaga ini juga sangat pentingnya dengan KPK. Namun demikian,
selama ini proses pemilihan anggota BPK lebih banyak bermuatan politik dan kurang
mengedepankan terpilihnya anggota BPK yang benar-benar berintegritas, profesional, dan
independen, lepas dari afiliasi partai politik. Perbaikan mekanisme di BPK dan standardisasi proses
pemilihan pejabat tinggi lain perlu segera diupayakan demi melahirkan pemimpin-pemimpin
bersih dan unggul. Kegagalan memilih pemimpin yang berintegritas pada lembaga negara seperti

BPK memiliki dampak yang sangat strategis pada keberhasilan kita dalam memberantas korupsi
karena BPK adalah satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam memeriksa
keuangan negara.
Kelemahan Undang-undang Pengelolaan Keuangan Negara
Undang-undang mengenai pengelolaan Keuangan Negara (UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan
UU No. 15/2004) telah menjadi prestasi terbesar setelah reformasi. Undang-undang ini telah
memperjelas

hal-ikhwal

pengelolaan

keuangan

negara

dari

perencanaan


sampai

pertanggungjawaban dan pemeriksaannya. Namun demikian, setelah beberapa tahun berlaku,
undang-undang tersebut kini mulai menampakkan kelemahannya, yaitu ketidakmampuannya
mencegah politik anggaran yang sering terjadi dalam pembahasan anggaran, seperti yang terjadi
dalam usulan dana aspirasi oleh anggota DPR. Tiadanya pengaturan secara jelas mengenai
mekanisme dan batasan dalam pembahasan anggaran telah menjadi peluang bagi anggota DPR
untuk selalu memainkan kepentingan politik dalam APBN.

Persoalan ini tidak akan berlarut-larut

dan menjadi isu politik seandainya undang-undang pengelolaan keuangan negara mengatur
secara jelas kewenangan pemerintah dan DPR dalam hal penganggaran. Perilaku yang cenderung
koruptif seperti telah ditunjukkan oleh para wakil rakyat harus dapat diantisipasi dan dibatasi oleh
undang-undang. Saya berpendapat bahwa permasalahan ini juga bersifat strategis karena

3

berkaitan erat dengan risiko penyalahgunaan anggota dewan. Berbagai celah dalam
undang-undang Keuangan Negara yang rawan dimasuki oleh kepentingan politik harus segera

ditutup. Oleh karena itu, penyempurnaan undang-undang keuangan negara harus diutamakan.
Upaya Pemberantasan Korupsi yang Tidak Terintegrasi
Persoalan strategis keempat adalah pola pemberantasan korupsi yang tidak terintegrasi dan
cenderung sporadik. Kasus cicak vs buaya yang melibatkan KPK dan Polri menjadi contoh terdekat
yang menggambarkan hal ini. Namun demikian, di samping itu saya juga melihat bahwa
sporadisme juga terlihat di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi karena tidak adanya rencana besar
pemberantasan korupsi yang hendak ditangani secara menyeluruh yang melibatkan semua
lembaga terkait seperti BPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan PPATK. Beberapa naskah kerja
sama, seperti misalnya antara BPK dengan kepolisian, BPK dan PPATK, atau BPK dan KPK memang
sudah ditandatangani. Namun, saya menilai, pola kerja sama ini tidak efektif karena tidak
dibarengi dengan sinergi dan integrasi proses pemberantasan korupsi yang melibatkan
lembaga-lembaga tersebut secara serentak. Kita tidak memiliki rencana besar yang mengatur
bagaimana kembaga-lembaga tersebut saling bekerja sama secara terus-menerus dengan agenda
tunggal pemberantasan korupsi, dengan segenap target kinerja dan kerangka waktu yang akan
dicapai. Selama ini, lembaga-lembaga tersebut terkesan bekerja sendiri-sendiri tanpa ada satu
komando yang jelas apa sasarannya dan target yang ingin dicapai.

3.

Visi dan Misi


Berbekal pemahaman empat permasalahan strategis tersebut, saya berpendapat bahwa visi
utama pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah Indonesia menjadi 10 negara terbersih di
dunia pada tahun 2050. Visi ini mengacu pada peringat Indonesia yang selalu masuk dalam
golongan negara terkorup di dunia. Jangka waktu 35 tahun adalah waktu yang realistis bila melihat
pengalaman negara lain melakukan lompatan kemajuan seperti yang dilakukan oleh Singapore
dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut dapat menjadi maju dan bersih seperti ini dalam kurun
waktu tersebut.
Untuk mewujudkan impian itu, pemerintah harus menjalankan empat misi berikut.
a.

Merumuskan dan menerapkan strategi utama (grand strategy) pemberantasan korupsi yang
dapat menjadi acuan stakeholders di berbagai level;
4

b.

Menetapkan dan menerapkan standar rekruitmen pegawai negeri, pejabat publik, dan
pejabat negara yang menjamin terpilihnya orang-orang yang berintegritas, kompeten, dan
profesional;


c.

Melaksanakan program-program inovatif dan rekayasa sosial dengan melibatkan berbagai ahli
dari berbagai disiplin ilmu untuk menanamkan sikap dan perilaku etis sebagai antitesis
korupsi di berbagai level stakeholders;

d.

Menjamin ketersediaan sumber daya keuangan, peralatan, dan teknologi untuk menunjang
program pencegahan dan pemberantasan korupsi.

4.

Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Berbekal latar belakang empat masalah strategis serta visi dan misi di atas, saya mengusulkan
sebuah strategi terintegrasi yang mempertimbangkan berbagai elemen sistem dan melibatkan
berbagai level stakeholders. Menggunakan pola pikir sebuah sistem, strategi dimaksud harus
mempertimbangkan tiga aspek yang menjadi prasyarat berfungsinya sebuah sistem, yaitu orang

(people), sumberdaya (resources) dan struktur (structures). Orang berperan dalam membentuk
dan mempengaruhi berjalannya sebuah sistem. Dalam konteks ini, titik berat aspek orang terletak
pada sikap dan perilaku, pengetahuan dan ketrampilan, serta nilai-nilai etis. Sumber daya
merupakan elemen pendukung yang menjadi bahan dan acuan bagi proses dalam sebuah sistem.
Sumber daya dimaksud meliputi keuangan, teknologi, dan perangkat lain berupa manual dan
peraturan. Struktur berkaitan dengan aspek kelembagaan baik formal berupa organisasi (hard
structures) maupun informal berupa pranata sosial dan praktik terbaik (soft structures). Struktur
menjadi landasan sekaligus media bagi terjadinya interaksi antarorang/pihak yang terlibat dalam
setiap level maupun antarlevel stakeholders.
Rancangan strategi tersebut juga melibatkan atau menyasar berbagai lapisan stakehoders yang
memiliki posisi dan peran ganda, baik sebagai pelaku maupun pencegah korupsi. Lima
stakeholders utama yang harus dipertimbangkan dalam strategi pencegahan dan pemberantasan
korupsi adalah masyarakat, komunitas bisnis, pemerintah/pelayan publik, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga pemberantas korupsi.
Dengan mempertimbangkan elemen sistem dan analisis stakeholders seperti telah dijelaskan di
atas, model strategi terintegrasi tersebut akan terlihat seperti pada Peraga 1. Seperti terlihat pada
peraga tersebut, strategi tersebut menyatukan tiga elemen sistem dan lima lapis stakeholders
5

Peraga 1.

Elemen Strategis Pemberantasan Korupsi

menjadi satu bangunan yang utuh dan saling terkait.
Argumen utama mengenai hal ini tidak terlepas dari fakta
bahwa korupsi telah terjadi secara masif di berbagai
elemen,

Lembaga pemberantas korupsi

mulai

dari

masyarakat

sampai

lembaga

pemberantas korupsi itu sendiri. Dengan memusatkan

Pemerintah/pelayan publik

perhatian

pada

kelima

stakeholders

tersebut,

Lembaga perwakilan rakyat

pemberantasan korupsi harus dilakukan secara sistemik

Komunitas bisnis

dengan mempertimbangkan tiga elemen utama yang

Masyarakat

mempengaruhi keberlangsungan sebuah sistem, yaitu
orang, sumber daya, dan struktur. Pendeknya, strategi

pemberantasan korupsi harus mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas ketiga elemen
tersebut, sehingga mampu menekan praktik korupsi pada kelima elemen stakeholders tersebut.

5.

Tujuan Strategis Utama untuk Tiga Elemen Sistem

Implikasi praktis dari model tersebut adalah pembuatan strategi yang berbeda untuk setiap level
stakeholders. Oleh karena itu, untuk menerapkannya, pemerintah harus memiliki minimal lima
strategi pemberantasan korupsi di level masyarakat, komunitas bisnis, lembaga perwakilan rakyat,
lembaga pemerintahan/pelayanan publik, dan lembaga pemberantasan korupsi. Karena
keterbatasan ruang, alih-alih menjelaskan satu-persatu bagaimana strategi yang perlu dijalankan
di setiap level stakeholders, saya akan mengurai tujuan umum strategis (generic strategic
objectives) yang perlu dicapai untuk setiap elemen sistem dan menjadi acuan bagi pengembangan
strategi di setiap level stakeholder. Sasaran strategis umum untuk elemen orang, sumber daya,
dan struktur terlihat pada Peraga 2.
Peraga 2 .Generic Strategic Objectives untuk Tiga Elemen Sistem
Orang

Sumber daya

Struktur

Orang Indonesia di semua level

Tersedia sumber dana, peralatan,

Terbentuk dan berjalannya

stakeholders memiliki sikap dan

manual, peraturan perundang-

lembaga-lembaga formal (hard

perilaku etis (ethical attitude and

undangan, dan teknologi dalam

structures) dan pranata sosial (soft

behavior)

rangka promosi praktik etis dan

structures) yang mampu

pencegahan korupsi

mempromosikan praktik etis dan
mencegah praktik korupsi

6

Sasaran strategis untuk elemen orang terutama diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia
(di semua level stakeholders) memiliki sikap (attitude) dan perilaku (behavior) yang etis. Secara
spesifik, strategi pemberantasan korupsi harus mampu menciptakan perubahan sikap dan perilaku
orang Indonesia dalam hubungan sosial dan organisasional. Orang menjadi paham dan memiliki
mental image yang jelas bahwa korupsi dapat menempatkan organisasi, masyarakat, dan bangsa
pada risiko kehancuran. Orang Indonesia diharapkan mampu menunjukkan sikap yang menentang
praktik korupsi dan lebih memilih bertindak etis dalam setiap pengambilan keputusan di rumah
tangga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Orang Indonesia memiliki keberanian untuk mencegah
dan melaporkan praktik korupsi, terutama yang mereka temui di lingkungan kerja. Orang
Indonesia menguasai ketrampilan untuk mencegah praktik korupsi dan aktif mempromosikan
perilaku etis di mana pun mereka berada.
Selanjutnya, tujuan umum strategis sumber daya berorientasi pada penyediaan sumber dana,
peralatan, manual, peraturan perundang-undangan, teknologi, dan perangkat pendukung lain
yang diperlukan dalam menjalankan aktivitas, kegiatan, dan program pencegahan praktik korupsi
serta promosi kultur etis. Sumber daya merupakan prasyarat yang sama pentingnya dengan
keberadaan orang selaku subjek pemberantasan korupsi. Tanpa sumber daya yang memadai,
dalam arti jumlah dan kualitas yang cukup, seluruh proses penerapan strategi pemberantasan
korupsi akan tidak berarti apa-apa. Dalam praktik di Indonesia, politik anggaran kerap kali
memainkan peranan penting mengenai alokasi sumber daya yang tersedia bagi sebuah program.
Dalam pembahasan anggaran, tarik menarik kepentingan politik antara pemerintah dan wakil
rakyat, antar elemen pemerintah, maupun antarfraksi dalam lembaga perwakilan seringkali justru
menjadi masalah tersendiri. Kasus usulan dana aspirasi oleh DPR akhir-akhir ini adalah contoh
nyata betapa politik anggaran telah menjadi persoalan yang akan mempengaruhi keberhasilan
pemerintah dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, tujuan strategis sumber daya harus
dipenuhi dengan menempatkan kepentingan umum dan mempertimbangkan berbagai risiko
penyalahgunaan pada masa yang akan datang.
Terakhir, tujuan strategis struktur menitikberatkan terbentuk dan berfungsinya hard dan soft
structures. Termasuk hard structures antara lain lembaga-lembaga dan institusi yang turut
berperan dalam mempromosikan praktik etis. Di level pemerintahan, lembaga-lembaga tersebut
diwakili misalnya oleh KPK, BPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan PPTK. Di level internal
organisasi, baik publik maupun privat, organisasi tersebut mencakup satuan pengawas internal,

7

komite audit, dan lain sebagainya yang memiliki peranan untuk meningkatkan good corporate
governance. Sementara itu, soft structures diarahkan pada penerapan pranata sosial dan praktik
manajemen terbaik (best management practices) di lingkungan organisasi privat dan publik. Lalu,
di level masyarakat, keberadaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dari level kelurahan sampai
keluarga harus didukung dengan kultur yang mempromosikan nilai-nilai kejujuran dan etis dalam
setiap interaksi sosial baik dengan sesama anggota masyarakat dan antaranggota keluarga. Dalam
hal ini, tugas pemerintah adalah memfasilitasi terbentuknya pranata-pranata tersebut.

6.

Contoh Elaborasi Strategi di Level Lembaga Pemberantasan Korupsi

Sebagai gambaran, perkenankan saya kini memberikan sebuah contoh mengenai implementasi
strategi pemberantasan korupsi di salah satu level stakeholder, lembaga pemberantasan korupsi.
Lembaga-lembaga formal yang saat ini kita miliki dan memiliki peranan tersebut antara lain terdiri
dari KPK, BPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, PPATK, dan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (Irjen/Inspektorat). Dalam konteks ini, sasaran strategi yang perlu dikembangkan
pemerintah pada stakeholder ini adalah terciptanya kerjasama yang erat antar-lembaga-lembaga
tersebut sehingga proses pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara terpadu dan efektif.
Pertanyaannya, mengapa harus kerjasama? Jawabnya tidak lain karena soal efisiensi dan
efektivitas. Saya berpendapat bahwa pemberantasan korupsi memerlukan sebuah sinergi agar
menciptakan kekuatan besar dan menghindarkan perebutan kekuasaan atau lahan garapan
seperti pernah terjadi sebelumnya antara KPK dan Polri.
Meski demikian, pencapaian tujuan strategis untuk menyelaraskan gerak dan langkah
lembaga-lembaga tersebut memang tidak mudah. Dalam konteks ini, setidaknya saya telah
mengidentifikasi minimal tiga persoalan. Pertama mengenai ketiadaan grand strategy pemerintah
terkait kerjasama antarlembaga untuk pemberantasan korupsi berakibat tidak adanya sinergi
antalembaga KPK, BPK, Polri, Kejaksaan, Pengadilan Tipikor, PPATK, dan APIP. Saat ini
lembaga-lembaga ini memang menjalin kerja sama, akan tetapi pola kerja sama tersebut masih
terbatas pelaksanannya karena tidak ada strategi bersama dengan target capaian kinerja tertentu
yang dipenuhi melalui kerjasama tersebut. BPK, tempat saya bekerja, sejauh saya tahun juga
melakukan pemeriksaan sebagaimana business as usual tanpa ada target tertentu yang harus
dipenuhi untuk mengungkap dan memproses kasus korupsi yang ditemukan dalam pemeriksaan.
Kalau

memang

dalam

pemeriksaan

ditemukan

indikasi

korupsi,

BPK

tidak

selalu

8

menindaklanjutinya dengan pemeriksaan investigasi sebagai prasyarat pengungkapan kasus
korupsi secara tuntas. Dengan praktik seperti ini, para jajaran pimpinan BPK merasa tidak memiliki
beban pencapaian kinerja pemberantasan korupsi di daerah. Menurut saya, situasi akan jauh
berbeda apabila jalinan kerjasama secara formal direncanakan dan dilaksanakan, dengan porsi
masing-masing, antara BPK dengan Polda dan Kejaksaan setempat untuk menurunkan angka
korupsi di daerah melalui pengungkapan kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi di pemda. Saya
yakin bahwa kerjasama itu akan dengan cepat mendorong perbaikan pengelolaan keuangan
daerah secara tidak langsung.
Kedua, jangkauan KPK saat ini sangat terbatas karena hanya memiliki kantor di Jakarta. Meskipun
KPK telah mampu menjangkau berbagai kasus di daerah, namun frekuensinya masih sangat
terbatas. Keberadaan KPK di tingkat provinsi bersama BPK dan Polda, akan memiliki efek luar biasa
dalam hal intensitas pengungkapan kasus-kasus serta pembinaan dan pencegahan korupsi di
daerah.
Ketiga, pola rekrutmen pimpinan lembaga seperti BPK dan Polri selama ini masih diwarnai oleh
kepentingan politik. Pola seperti ini tentu tidak akan menghasilkan pimpinan yang secara moral
dapat dipertanggungjawabkan. Peranan DPR yang begitu kental dalam menentukan pejabat
negara di BPK dan pimpinan penegak hukum di Polri secara tidak langsung akan mengontaminasi
integritas dan profesionalisme pimpinan kedua lembaga tersebut dengan kepantingan politik.
Sebagai akibatnya, peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin terpilih tentu akan sangat
besar dan hal ini akan berpengaruh pada seluruh keputusan lembaga. Kepercayaan masyarakat
akan runtuh sehingga legitimasi lembaga tersebut dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan.
Terkait permasalahan pada level ini, saya mengusulkan tiga langkah strategis. Pertama,
Penyusunan dan penerapan grand design yang secara rinci berisi mengenai target pencapaian
pemberantasan korupsi dalam kurun waktu tertentu dan mengenai keharusan lembaga-lembaga
tersebut untuk menyusun langkah bersama dalam memberantas korupsi. Kedua, pemerintah
perlu segera membuka kantor perwakilan KPK di seluruh Indonesia untuk memperluas jangkauan
dan memudahkan kerja sama antarlembaga pemberantasan korupsi di daerah. Ketiga, pemerintah
perlu mengusulkan mekanisme baru pemilihan anggota BPK dan pimpinan Polri yang dapat
menjamin terpilihnya pejabat terbaik yang profesional, independen, dan memiliki integritas tinggi.
Salah satu acuan terbaik yang kita miliki sekarang adalah mekanisme pemilihan komisioner KPK
yang melibatkan panitia seleksi yang dipilih secara keahlian.
9

7.

Penutup dan Simpulan

Makalah ini memiliki tujuan utama untuk mendorong pemerintah agar memiliki satu strategi
besar (grand strategy) yang memang secara matang dirancang dan akan diterapkan secara
konsekuen demi mewujudkan Indonesia yang bersih. Makalah ini setidaknya telah merespon hal
tersebut dengan memberikan sebuah usulan strategi integratif berbasis sistem dan analisis
stakeholders. Strategi yang bersifat menyeluruh ini harus dirancang karena permasalahan korupsi
di Indonesia sudah bersifat multilevel dan multidimensi. Strategi tersebut tidak melulu
berorientasi pada penindakan kasus-kasus korupsi, melainkan juga menjangkau dimensi
pencegahan yang tujuan utamanya adalah mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Oleh karena
itu, wajah pemberantasan korupsi tidak melulu terlihat sebagai tindakan hukum, melainkan juga
gerakan budaya yang melibatkan seluruh elemen stakeholders. Strategi itu pun diharapkan dapat
menjangkau berbagai level stakeholders dengan mempertimbangkan spesifikasi masing-masing
level. Implikasi utama model ini adalah bahwa pemerintah harus mengembangkan strategi
multilevel dan multidimensi. Makalah ini juga telah memberikan contoh elaborasi strategi untuk
level stakeholder lembaga pemberantasan korupsi. Contoh tersebut diharapkan mempermudah
gambaran bagaimana model strategi terintergrasi ini diterjemahkan dan diterapkan untuk level
stakeholder yang lain.
Dengan melihat kompleksitas dan dampak yang telah ditimbulkan oleh praktik korupsi di
Indonesia, penerapan strategi tersebut haruslah bersifat luar biasa, konsisten, simultan, dan
berkelanjutan. Sifat luar biasa tersebut ditunjukkan terutama melalui keputusan-keputusan atau
kebijakan yang drastis dan berani dari pemerintah dalam meletakkan landasan sosial dan politik
yang kuat yang dapat mencegah terjadinya korupsi. Strategi tersebut harus juga konsisten
penerapannya untuk menjamin keberlangsungan sistem sosial dan tatanan kelembagaan yang
sudah direncanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi juga harus dilaksanakan simultan,
serentak melibatkan berbagai dimensi strategi untuk memastikan proses perbaikan secara gradual
dan mencegah kembalinya praktik-praktik korupsi dalam kehidupan masyarakat. Strategi
pemberantasan korupsi juga harus berwawasan jangka panjang karena praktik korupsi tersebut
sudah mengakar kuat dan cenderung telah menjadi praktik lazim dalam kehidupan sosial politik di
Indonesia.
Yogyakarta, 22 Juni 2015

10