BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang - Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Medan sebagai sebuah ibukota provinsi yang besar, yakni provinsi Sumatera Utara, tampak sebagai tempat yang menjanjikan untuk penghidupan yang layak. Sebagai

  sebuah kota yang besar dan berlokasi strategis, kota Medan menjadi perlintasan dan persinggahan dari berbagai suku bangsa untuk melakukan perdagangan. Kondisi yang demikian menjadi salah satu faktor pendukung kegiatan ekonomi di kota tersebut.

  Banyaknya individu maupun kelompok yang bersaing dalam usaha perdagangan demi mencapai penghidupan yang layak, pada akhirnya membuat individu maupun kelompok tersebut membuka usaha-usaha kecil tanpa memperhatikan undang-undang ataupun peraturan-peraturan yang berlaku sehingga sering kali tidak memperhatikan ekonomi kerakyatan. Hal ini terlihat dari tata ruang kota Medan yang menjadi tidak teratur akibat lokasi pasar-pasar modern yang telah menjamur di mana-mana. Akibatnya, terjadi persaingan yang tidak sehat di antara para pengusaha maupun pedagang.

  Dalam masyarakat yang serba modern seperti sekarang ini, segala kegiatan juga dilakukan secara modern. Salah satu yang menjadi ciri kemodernan tersebut yakni adanya pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan modern tidak hanya dari segi mode ataupun fashion, melainkan telah berkembang ke arah yang lebih luas lagi dengan adanya pusat perbelanjaan untuk keperluan sandang-pangan serta segala kebutuhan pokok.

  Berdasarkan prinsipnya, kehadiran pasar modern tentu diizinkan tumbuh dan berkembang di suatu daerah. Di satu sisi, kehadiran pasar modern sangat membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan mudah dan tidak menyita waktu karena sebagian besar kebutuhan masyarakat tersedia di pasar-pasar modern tersebut. Akan tetapi, seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan persaingan ekonomi, kehadiran pasar modern yang tidak mematuhi kebijakan seperti jumlah yang berlebihan atau melewati batas maksimum dan menyalahi segala aturan dalam kegiatan ekonomi yang ditetapkan dianggap telah menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga mampu mematikan pasar tradisional dan membuat pedagang kecil lainnya harus lebih dini gulung tikar.

  Beberapa pasar modern yang dikenal oleh masyarakat, seperti Carrefour, Hypermart, termasuk juga pasar modern dengan sistem waralaba atau franchise, seperti Indomaret, Alfamart dan Alfa Midi telah berkembang pesat. Dalam pelaksanaan kegiatan ekonominya, pasar modern dengan sistem franchise, seperti Indomaret dan Alfamart telah melebihi kapasitasnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya 3 hingga 5 kios pasar modern dalam satu jalan di beberapa tempat di kota Medan. Akibatnya, pasar modern tersebut terkesan menekan pedagang ataupun pasar tradisional di sekitarnya.

  Menurut Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011, Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang tercantum pada Pasal 7 ayat 3, bahwa khusus Minimarket diatur jarak minimal 500 meter dari mini market yang sudah ada, dan 250 meter dari pasar tradisional. Akan tetapi, dalam Peraturan Walikota Medan Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011, jarak ini sudah tidak diatur lagi sehingga keadaannya berbanding terbalik dari Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 tersebut.karena pada kenyataannya pasar modern berdiri secara berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Bahkan ada pasar modern yang bersebelahan dengan pasar tradisional dan pedagang kecil lainnya.

  Dalam peraturan perundang-undangan, Pasar Modern termasuk dalam pengertian “Toko Modern”. Peraturan mengenai pasar modern diatur dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pengertian Toko Modern menurut Pasal 1 angka 5 Perpres 112/2007 adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Setiap toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada (Pasal 4 ayat (1) Perpres 112/2007). Mengenai jarak antarminimarket dengan pasar tradisional yang saling berdekatan, hal tersebut berkaitan dengan masalah perizinan pendirian pasar modern (Minimarket).

  Suatu pasar modern harus memiliki izin pendirian yang disebut dengan Izin Usaha Toko Modern (IUTM) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota, dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta diterbitkan oleh Gubernur (Pasal 12 Perpres 112/2007). Kewenangan untuk menerbitkan IUTM ini dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas/Unit yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat (Pasal 11 Permendag No. 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern - “Permendag

  53/2008”). Mengenai persyaratan untuk mendapatkan IUTM, Pasal 3 Perpres 112/2007,

  2

  disebutkan bahwa luas bangunan untuk minimarket adalah kurang dari 400m . Lokasi pendirian dari Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota. Oleh sebab itu, pemerintah perlu bertindak teliti dan tegas dalam pemberian izin usaha toko modern karena banyak orang yang telah melanggar ketentuan yang telah disebutkan mengenai usaha toko modern tersebut. Berikut ini adalah kutipannya:

BERITA PEMKO MEDAN

  Kamis, 2012-03-15 10:20:00 Wib

54 INDOMARET DIPERINGATKAN

  

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan mulai bersikap tegas terhadap pengusaha

Indomaret yang tidak memiliki izin usaha.

Kami sudah memberikan surat teguran dan pemanggilan secara tertulis, itu sementara. Untuk tindak

lanjutnya kami masih menunggu mekanisme selanjutnya, kata Kepala Dinas Perindag Kota Medan Syarizal

Arief, kemarin. Diketahui,terdapat 54 Indomaret di kota ini yang beroperasi tanpa izin usaha.

Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan selisih antara izin yang dikeluarkan Disperindag dan Badan

Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Saat ini, terdapat 184 Indomaret yang berdiri di Kota Medan. Namun,

Disperindag baru mengeluarkan surat izin untuk 85 unit.Sedangkan BPPT hanya menerbitkan izin untuk

sembilan Indomaret.Izin yang diberikan yaitu izin usaha toko modern (IUTM), izin gangguan (Ho), surat izin

usaha perdagangan (SIUP) dan surat tanda daftar perusahaan (TDP).

Menurut Syarizal, pihaknya tidak bisa serta merta langsung menindak dengan membongkar paksa

bangunan Indomaret yang tidak berizin tersebut. Karena harus melalui beberapa proses,mulai dari teguran,

sanksi administrasi, peringatan hingga akhirnya penindakan.

Kami ada standar operasional prosedur (SOP) kalau mau melakukan penindakan. Jadi, harus diikuti

tahapannya dengan melakukan teguran terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan Peraturan Wali Kota

(Perwal) No 20/2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko

Modern, ucapnya.

Mengenai rencana Pemerintah Kota (Pemko) Medan membentuk tim untuk melakukan pengawasan dan

penataan Indomaret di bawah pimpinan Asisten Ekonomi Pembangunan, menurut dia, masih tahap proses.

Itu merupakan tim gabungan untuk melakukan pembinaan dan penataan terhadap pasar tradisional, pusat

perbelanjaan dan toko modern. Saat ini tim sedang dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait,

tutur Syarizal.

Sementara itu, Branch Manager Indomaret Medan Najuri menilai persoalan ini hanya bentuk persaingan

bisnis. Begitupun, pihaknya siap mengurus seluruh perizinan yang dibutuhkan. Biar bagaimanapun kami

  

akan mengurus izin sesuai ketentuan. Kemarin kami sudah memberi penjelasan kepada Komisi B DPRD,

Disperindag dan BPPT bahwa kami akan mengurus izin secepatnya, katanya.

Di sisi lain, Ketua Komisi C DPRD Kota Medan Jumadi meminta Disperindag tidak memberi kompensasi

terhadap usaha yang beroperasi tanpa izin. Disperindag harus menjalankan aturan sesuai dengan tugas

dan fungsinya, yakni melakukan pengawasan. Setelah pengawasan dan terbukti ada yang menyalahi

aturan tentu harus segera dilakukan penindakan.Tidak bisa usaha dibiarkan beroperasional tanpa izin, ucap

Jumadi.

Berdasar Perwal No 20/ 2011, pusat perbelanjaan harus berjarak minimal 500 meter dengan pusat

perbelanjaan lainnya. Ketentuan ini berlaku untuk toko modern, termasuk minimarket yang bersifat

franchise. Perwal juga mengatur keharusan pusat perbelanjaan minimal berjarak 100 meter dengan

sekolah, rumah ibadah serta pasar tradisional.

  Sumber: Seputar Indonesia

  29-9-13; 10.59 WIB Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa terdapat permasalahan di dalam penataan dan pembinaan usaha pasar modern sebagaimana yang telah diatur di dalam peraturan walikota Medan tersebut. Banyak pihak yang mengabaikan peraturan yang telah dibuat sehingga terjadi permasalahan-permasalahan baik dari aspek sosial maupun ekonomi dalam masyarakat kota Medan. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana “Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun

  2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket”.

I.2. Fokus Masalah

  Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti hanya memfokuskan penelitian mengenai implementasi “Peraturan Walikota Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern” pada Toko Modern khusus Minimarket saja.

  Dalam hal ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses pelaksanaan atau implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket dengan melihat studi pada Kota Medan.

  I.3. Rumusan Masalah

  Pada dasarnya, penelitian itu dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana peneliti mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabnya melalui kegiatan penelitian.

  Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang dapat penulis rumuskan yaitu sebagai berikut: “Bagaimana proses implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket?”

  I.4. Tujuan Penelitian

  Di dalam usulan atau rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan, juga perlu secara jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan.

  Tujuan penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni untuk mengetahui bagaimana proses implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket.

  I.5. Manfaat Penelitian

  Kebijakan merupakan sarana dari pemerintah untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu lahirnya sebuah kebijakan tertentu diharapkan adanya perbaikan di dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ini kebijakan Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket.

  Berdasarkan penjelasan di atas, adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

  1. Manfaat Ilmiah: Menambah pengetahuan bagi penulis sendiri, baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis dalam menyusun berbagai kajian literatur sehingga menghasilkan suatu wacana baru dalam memperkaya wawasan kepustakaan pendidikan.

  2. Manfaat Praktis: Sebagai bahan masukan bagi dinas yang bersangkutan, dan dapat dijadikan bahan informasi, acuan, dan pertimbangan bagi dinas dalam melaksanakan peraturan walikota mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

  3. Manfaat Akademik: Sebagai bahan referensi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.

  I.6. Kerangka Teori

  Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.

  Menyusun teori diartikan sebagai serangkaian konsep, definisi, proposisi, yang saling berkaitan dan tujuan memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena. Mengacu pada pendapat di atas, maka dalam hal ini penulis mengemukakan beberapa teori yang dapat dijadikan titik tolak atau landasan dalam penelitian ini.

  I.6.1. Kebijakan Publik

  I.6.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

  Menurut Anderson, kebijakan dipandang sebagai suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya, Anderson (Nurcholis, 2007:263) mengklasifikasikan

  :

  kebijakan itu menjadi dua, yaitu 1. Substantif, yaitu apa yang harus dilakukan pemerintah.

  2. Prosedural, yaitu siapa dan bagaimana kebijakan itu diselenggarakan.

  Menurut Woll (Tangkilisan, 2003:2), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam definisi tersebut, Woll menyatakan bahwa pengaruh dari tindakan atau aktivitas pemerintah tersebut ialah: (1.) Adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya dengan menggunakan kekuatan publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat;

  (2.) Ada output kebijakan yakni dengan dibuatnya kebijakan, pemerintah dituntut membuat peraturan, anggaran, personil, dan regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3.) Adanya dampak kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

  David Easton menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah adalah kekuasaan mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan, ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Sementara menurut Hutington dan J. Nelson (Abidin, 2002:86), dalam masyarakat modern, masyarakat melihat pemerintah sebagai bagian dari kehidupannya. Kebijakan pemerintah selalu dirasakan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh dengan cara pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

I.6.1.2. Proses Kebijakan Publik

  Holwet dan M. Ramesh (Suharto, 2006:13) berpendapat bahwa proses kebijakan publik terdiri atas lima tahapan, yaitu:

  1. Penyusunan Agenda, yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah;

  2. Formulasi Kebijakan, yakni proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah;

  3. Pembuatan Kebijakan, yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan;

  4. Implementasi Kebijakan, yakni proses untuk melaksanakan kebijakan agar mencapai hasil;

  5. Evaluasi Kebijakan, yakni proses untuk memonitor dan menilai kinerja atau hasil kebijakan.

  I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik

  I.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

  Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan memiliki arti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dan tidak dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

  Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langka yang ada, yaitu yang pertama langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program, atau yang kedua melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

  Menurut Pressman dan Wildavsky (Tangkilisan, 2003:9), implementasi kebijakan adalah interaksi antara penyusunan tujuan denga sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

  Menurut Patton dan Sawicki (1993) implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

  Mazmanian dan Sabatier mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan- kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha- usaha mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian-kejadian tertentu.

  Dari beberapa pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan proses pelaksanaan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk pencapaian tujuan yang diharapkan sesuai dengan sasaran kebijakan tersebut.

I.6.2.2. Model Implementasi Kebijakan Publik

A. Model Van Meter dan Van Horn

  Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005:99), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni:

  (1.) Standar dan sasaran kebijakan

  Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terstruktur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

  (2.) Sumber daya

  Kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia.

  (3.) Hubungan antarorganisasi

  Dalam implementasinya, kebijakan perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Keberhasilan suatu kebijakan memerlukan koordinasi dan kerjasama antarinstansi.

  (4.) Karakteristik agen pelaksana

  Yang dimaksud dengan karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan.

  (5.) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

  Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

  (6.) Disposisi implementor

  Hal ini mencakup tiga hal, yakni: a. Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; b. Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan

  c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

  Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan kebijakan

  Prestasi Ciri badan Sikap para kerja pelaksana pelaksana

  Sumber-sumber kebijakan Lingkungan: Ekonomi, sosial, dan politik

Gambar 1.1. Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn

  Sumber: Riant Nugroho, 2006:128

B. Model George C. Edward III

  Dalam mengkaji suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Edward III, pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi dimulai dari sebuah intisari dan menanyakan: “Apakah prakondisi untuk implementasi kebijakan yang berhasil? Apakah rintangan primer untuk implementasi kebijakan yang sukses?”. Diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor- faktor tersebut terhadap implementasi.

  Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu: 1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan? 2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition , dan bureucratic structure (Widodo, 2011:96).

  Communication Resources Implementation Dispositions

  Bureucratic Structure

Gambar 1.2. Model implementasi kebijakan George C. Edward III

  Sumber: Widodo, 2011:107

  (1.) Komunikasi (Communication)

  Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan (Widodo, 2011:97) berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors).

  Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

  Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu tranformasi informasi (transmission), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

  (2.) Sumber Daya (Resources)

  Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward

  III (Widodo, 2011:98) mengemukakan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.

  Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan yang dijelaskan sebagai berikut: a. Sumber Daya Manusia (Staff)

  Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.

  b. Anggaran (Budgetary) Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

  c. Fasilitas (Facility) Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

  d. Informasi dan Kewenangan (Information and Authority) Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan cukup terkait bagaimana mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan penting terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki.

  (3.) Disposisi (Disposition)

  Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan

  Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

  (4.) Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)

  Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

C. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

  Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni;

  (1.) Karakteristik Masalah, terdiri atas;

  a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang ada Dalam hal ini dilihat bagaimana permasalahan yang terjadi, apakah termasuk permasalahan sosial yang secara teknis mudah diselesaikan atau masuk kategori masalah sosial yang secara teknis sulit untuk dipecahkan. Sebagai contoh masalah sosial yang termasuk kategori mudah diselesaikan adalah seperti kekurangan persediaan beras di suatu daerah, kekurangan guru dalam suatu sekolah, dan lain-lain. Untuk contoh masalah sosial yang termasuk kategori sosial yang cukup sulit dipecahkan adalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan masalah-masalah lain yang sejenis.

  b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran Hal ini menyangkut kelompok sasaran dari pembuatan suatu kebijakan atau dapat dikatakan masyarakat setempat yang dapat bersifat homogen ataupun heterogen. Kondisi masyarakat yang homogen tentunya akan lebih memudahkan suatu program ataupun kebijakan diimplementasikan, sementara itu dengan kondisi masyarkat yang lebih heterogen akan lebih menyulitkan ataupun mendapat lebih banyak tantangan dalam pengimplementasiaannya.

  c. Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi Dalam artian bahwa suatu program atau kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang kelompok sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri.

  d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan Hal ini menyangkut akan hal bagaimana perubahan perilaku dari kelompok sasaran yang diharapkan dengan program yang ada. Sebuah kebijakan atau program akan lebih mudah diimplementasikan ketika program tersebut lebih bersifat kognitif dan memberikan pengetahuan. Sementara itu, program yang bersifat merubah sikap atau perilaku masyarakat cenderung cukup sulit untuk diimplementasikan seperti perda larangan merokok ditempat umum, pemakaian alat kontrasepsi dan Keluarga Berencana, dan lain-lain.

  (2.) Karakteristik Kebijakan, yang terdiri atas; a. Kejelasan isi kebijakan Sebuah kebijakan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah mengandung konten yang jelas dan konsisten. Kebijakan dengan isi yang jelas akan memudahkan sebuah kebijakan dan akan menghindarkan distorsi atau penyimpangan dalam pengimplementasiannya. Hal ini dikarenakan jika suatu kebijakan sudah memiliki isi yang jelas maka kemungkinan penafsiran yang salah oleh implementor akan dapat dihindari dan sebaliknya jika isi suatu kebijakan masih belum jelas atau mengambang, potensi untuk distorsi ataupun kesalahpahaman akan besar.

  b. Seberapa jauh kebijakan memiliki dukungan teoritis Dukungan teoritis akan lebih memantapkan suatu aturan atau kebijakan yang dibuat karena tentunya sudah teruji. Namun, karena konteks dalam pembuatan kebijakan adalah menyangkut masalah sosial yang meski secara umum terlihat sama disetiap daerah, akan tetapi sebanarnya terdapat hal-hal yang sedikit banyak berbeda sehingga untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan modifikasi saja.

  c. Besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijakan tersebut Hal yang tak dapat dipungkiri dalam mendukung pengimplementasian suatu kebijakan adalah masalah keuangan/modal. Setiap program tentu memerlukan staff untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, memonitor program, dan mengelola sumber daya lainnya yang semua itu memerlukan modal.

  d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana Suatu program akan dengan sukses diimplementasikan jika terjadi koordinasi yang baik yang dilakukan antar berbagai instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal.

  e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus diberikan kejelasan aturan serta konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkan kegagalan pengimplementasian.

  f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan Salah satu faktor utama kesuksesan implementasi sebuah kebijakan adalah adanya komitmen yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugasnya. Komitmen mencakup keseriusan dan kesungguhan agar penerapan suatu peraturan ataupun kebijakan bisa berjalan dengan baik dan diterima serta dipatuhi oleh sasaran dari kebijaan tersebut.

  g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan Sebuah program akan mendapat dukungan yang banyak ketika kelompok- kelompok luar, dalam artian diluar pihak pembuat kebijakan seperti masyarakat ikut terlibat dalam kebijakan tersebut dan tidak hanya menjadikan mereka sebagai penonton tentang adanya suatu kebijakan ataupun program di wilayah mereka.

  (3.) Lingkungan Kebijakan, terdiri atas;

  a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi Kondisi sosial ekonomi masyarakat menyangkut akan hal keadaan suatu masyarakat secara umum, mulai dari pendidikan, keadaan ekonomi, dan kondisi sosialnya yang secara sederhana dapat dikatakan kepada masyarakat yang sudah terbuka dan modern dengan masyarakat yang tertutup dan tradisional. Masyarakat yang sudah terbuka akan lebih mudah menerima program-program pembaruan dari masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Sementara itu, teknologi sendiri adalah sebagai pembantu untuk mempermudah pengimplementasian sebuah program. Teknologi yang semakin modern tentu akan semakin mempermudah.

  b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan Dukungan publik akan cenderung besar ketika kebijakan yang dikeluarkan memberikan insntif ataupun kemudahan, seperti pembuatan KTP gratis, dan lain-lain.

  Sebaliknya, dukungan akan semakin sedikit ketika kebijakan tersebut malah bersifat disinsentif seperti kenaikan BBM.

  c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups) Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara, seperti: 1) Kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah kebijakan; 2) Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.

  d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

Gambar 1.3. Model implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier

  2. Perhatian pers terhadap masalah kebijakan

  3. Sifat populasi

  2. Keragaman perilaku kelompok sasaran

  1. Ketersediaan teknologi dan teori teoritis

  Karakteristik Masalah

  Keluaran Kesesuaian keluaran dampak dampak yang kebijakan keluaran aktual diperkirakan dari organisasi kebijakan dengan keluaran pelaksana kelompok sasaran kebijakan perbaikan peraturan

  6. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana Proses implementasi

  5. Dukungan kewenangan

  4. Sikap dan sumber daya kelompok sasaran utama

  3. Dukungan publik

  1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi

   Sumber: Samodra Wibawa, 1994:26

  7. Akses-formal pelaksana ke organisasi lain Variabel Non-Peraturan

  6. Rekrutmen dari pejabat pelaksana

  5. Diskresi pelaksana

  4. Integrasi organisasi pelaksana

  3. Sumber keuangan yang mencukupi

  2. Teori kausal yang memadai

  1. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran

  Daya Dukung Peraturan

D. Marilee S. Grindle (1980)

  Menurut Grindle (1980), bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

  (1.) Isi Kebijakan, mencakup:

  a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan publik; b. Jenis manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran (target groups);

  c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan;

  d. Apakah letak sebuah program sudah tepat;

  e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci;

  f. Sumber daya yang disebutkan apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

  (2.) Lingkungan Kebijakan, mencakup:

  a. Seberapa besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; b. Karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa; c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Tujuan Kebijakan Melaksanakan kegiatan dipengaruhi oleh: Hasil kebijakan (a) Isi Kebijakan

  1. Kepentingan yang dipengaruhi

  2. Tipe manfaat

  a. Dampak pada masyarakat,

  3. Derajat perubahan yang diharapkan individu, dan

  4. Letak pengambilan keputusan kelompok

  5. Pelaksana program

  6. Sumber daya yang dilibatkan

  b. Perubahan dan penerimaan oleh (b)Konteks Kebijakan masyarakat

  1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

  2. Karakteristik lembaga dan penguasa

  3. Kepatuhan dan daya tanggap Tujuan yang ingin dicapai program aksi dan proyek individu yang di desaian dan dibiayai program yang

dijalankan seperti

direncanakan? mengukur keberhasilan

Gambar 1.4. Model implementasi kebijakan Grindle

   Sumber: Riant nugroho, 2006

  

I.6.3. Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin

Usaha Minimarket

  Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang dimaksud dengan Toko adalah bangunan gedung dengan fungsi usaha yang digunakan untuk menjual barang dan terdiri dari hanya satu penjual. Sedangkan Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan.

  Berdasarkan luasnya, Toko Modern dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :

  2

  a. Minimarket, kurang dari 400 m (empat ratus meter persegi);

  2

  2

  b. Supermarket, 400 m (empat ratus meter persegi) sampai dengan 5.000 m (lima ribu meter persegi);

  2

  c. Hypermarket, lebih dari 5.000 m (lima ribu meter persegi);

  2

  d. Department Store, lebih dari 400 m (empat ratus meter persegi); dan

  2 e. Perkulakan, lebih dari 5.000 m (lima ribu meter persegi).

  Ketentuan-ketentuan mengenai perizinan usaha pusat perbelanjaan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres No. 112/2007”) dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Permendag No. 53/M-DAG/PER/12/2008”). Menurut peraturan-peraturan tersebut terdapat izin yang diperlukan untuk melaksanakan usaha Pusat Perbelanjaan. Dalam melaksanakan usaha pusat perbelanjaan tersebut, pemilik atau pengelola pusat perbelanjaan wajib untuk memiliki izin usaha, yaitu Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (“IUPP”) untuk pertokoan, mall, plaza dan pusat perdagangan.

  IUPP diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bupati/Walikota selain Gubernur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melimpahkan kewenangan penerbitan IUPP kepada Kepala Dinas/Unit yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat.

  Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan IUTM:

  Persyaratan untuk memohon IUTM Mini Market, dengan melampirkan:

  a. Fotocopy KTP;

  b. Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan yang berbadan hukum;

  c. Fotocopy Surat Izin Mendirikan Bangunan sesuai dengan peruntukan; d.Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan Pasar

  Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern serta Usaha Kecil, termasuk koperasi yang ada di wilayah yang bersangkutan; dan e. Fotocopy Surat Izin Tempat Usaha dan/atau Surat Izin Gangguan.

  Pengurusan permohonan IUPP tersebut tidak dikenakan biaya. Permohonan untuk

  IUPP diajukan kepada Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu Setempat dengan mengisi Formulir Surat Permohonan dengan melampirkan dokumen sesuai persyaratan yang telah disebutkan.

  Permohonan ditandatangani oleh pemilik atau penanggungjawab atau pengelola perusahaan. Untuk mengajukan permohonan IUPP, perlu dilengkapi dengan studi kelayakan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan terutama aspek sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat dan rencana kemitraan dengan usaha kecil.

  Bila permohonan yang diajukan benar dan lengkap, maka Pejabat Penerbit Izin Usaha dapat menerbitkan IUPP paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Surat Permohonan. Sedangkan bila permohonan dinilai belum benar dan lengkap, maka Pejabat Penerbit Izin Usaha memberitahukan penolakan secara tertulis disertai dengan alasannya kepada pemohon paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya Surat Permohonan. Perusahaan yang ditolak permohonannya dapat mengajukan kembali surat permohonan izin usahanya disertai kelengkapan dokumen persyaratan secara benar dan lengkap.

  Perusahaan pengelola Pusat Perbelanjaan yang telah memperoleh IUPP tidak diwajibkan memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Apabila terjadi pemindahan lokasi usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, pengelola/penanggung jawab perusahaan wajib mengajukan permohonan izin baru. IUPP berlaku selama masih melakukan kegiatan usaha pada lokasi yang sama dan wajib dilakukan daftar ulang setiap 5 (lima) tahun.

  Sedangkan, dalam rangka memperoleh izin usaha bagi Pasar Tradisional atau Toko Modern yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a.) Hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdiri dari:

  1. Struktur penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan;

  2. Tingkat pendapatan ekonomi rumah tangga;

  3. Kepadatan penduduk;

  4. Pertumbuhan penduduk;

  5. Kemitraan dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal;

  6. Penyerapan tenaga kerja lokal;

  7. Ketahanan dan pertumbuhan Pasar Tradisional sebagai sarana bagi UMKM lokal;

  8. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah ada;

  9. Dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya; dan

  10. Tanggung jawab soaial perusahaan. (b.)Salinan IUPP Pusat Perbelanjaan atau bangunan lainnya tempat berdirinya Pasar

  Tradisional atau Toko Modern; (c.) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan pengesahannya; (d.) Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang berlaku; (e.) Rencana kemitraan dengan UMKM untuk Pusat Perbelanjaan atau Toko Modern.

I.7. Definisi Konsep

  Menurut Masri Singarimbun, konsep adalah istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan kejadian secara abstrak, kelompok individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Untuk itu, peneliti menguraikan definisi konsep sebagai berikut:

1. Kebijakan Publik

  Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh dengan cara pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik yang dimaksud akan dipakai dalam penelitian ini ialah Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket.

2. Implementasi Kebijakan

  Implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Adapun indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • - Kejelasan Isi Kebijakan

  Sebuah kebijakan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah mengandung konten yang jelas dan konsisten.

  • - Sumber Daya

  Kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia.

  • - Disposisi Implementor

  Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi.

  • - Komunikasi (Communication) dan Koordinasi

  Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan. Sedangkan, koordinasi adalah praktik pelaksanaan kekuasaan dan kerjasama antarpihak yang mempunyai kewenangan.

  • - Struktur Birokrasi

  Struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

3. Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011

  Merupakan kebijakan pemerintah daerah (dalam hal ini walikota Medan) untuk mengatur ekonomi daerah yang berbasiskan ekonomi kerakyatan sehingga tidak mematikan pasar tradisional dan pedagang kecil.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 1 54

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 0 8

Analisis Operasional Angkutan Umum Kota Medan Jenis Mobil Penumpang Umum (Studi Kasus: KPUM 04 Amplas – UMA)

0 0 147

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi - Analisis Operasional Angkutan Umum Kota Medan Jenis Mobil Penumpang Umum (Studi Kasus: KPUM 04 Amplas – UMA)

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum - Analisis Operasional Angkutan Umum Kota Medan Jenis Mobil Penumpang Umum (Studi Kasus: KPUM 04 Amplas – UMA)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Ruang Jalan Dengan Konsep Livable Street (Studi Kasus Jalan Jamin Ginting)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Customer Retention, Switching Cost, dan Trust in Brand terhadap Customer Retention Produk Kartu Seluler Prabayar simPATI pada Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 0 9

BAB II PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI - Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas

0 0 47

Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas

0 0 10