Penentuan Lc50 Ekstrak Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Pepaya (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae yang merupakan tanaman berasal Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan.

  Tanaman ini menyebar ke benua Afrika dan Asia. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis termasuk Indonesia di abad ke-17 (Setiaji, 2009). Pepaya tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1-1000 meter dari permukaan air laut (BPOM, 2010).

  2.1.1 Sistematika tumbuhan

  Tumbuhan pepaya memiliki sistematika sebagai berikut (Suprapti, 2005): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Caricales Famili : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica papaya L.

  2.1.2 Nama daerah

  Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah, seperti kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela, papaya, pepaya, kalikih, pisang patuka (Sumatera) gedang, ketela gantung, kates (Jawa), pisang malaka, majan, pisang mentela, gadang, bandas (Kalimantan), kates, kampaja, kalu jawa, padu, muku jawa (Nusa Tenggara), kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, tangan tangan nikare, kaliki (Sulawesi), tele, palaki, papae, papaino, papau, kapaya (Maluku), sampain, asawa, siberiani dan tapaya (Papua) (BPOM, 2010).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

  Pepaya merupakan tanaman berbatang tunggal dan tumbuh tegak. Batang tidak berkayu. bulat, silindris, berongga dan berwarna putih kehijauan. Tinggi tanaman berkisar antara 5-10 meter dengan akar yang kuat. Tanaman pepaya tidak mempunyai percabangan (Muktiani, 2011).

  Ruas-ruas batang merupakan tempat melekatnya tangkai daun yang panjang, berbentuk bulat dan berlubang. Daun papaya berkumpul di ujung batang, bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan warna permukaan bawah hijau muda. Buah berbentuk bulat hingga memanjang tergantung jenisnya, buah muda berwarna hijau sedangkan buah tua berwarna jingga/kekuningan, buah berongga besar di tengahnya, tangkai buah pendek. Biji pepaya berwarna hitam dan diselimuti lapisan tipis (Muhlisah, 2007).

  Ditinjau dari macam bunganya, pepaya digolongkan menjadi tiga, yaitu pepaya jantan, pepaya betina, dan pepaya sempurna. Pepaya jantan mudah dikenal karena ia memiliki bunga majemuk yang bertangkai panjang dan bercabang- cabang. Bunga pertama yang terdapat pada pangkal tangkai adalah bunga jantan.

  Bunga jantan ini memiliki ciri-ciri putik atau bakal buah yang tidak berkepala karenanya tidak dapat menjadi buah, sedangkan benang sari susunannya sempurna (Rochmatul, 2003).

  Pepaya betina hanya menghasilkan bunga betina, bakal buahnya sempurna dan tidak berbenang sari, untuk dapat menjadi buah harus diserbuki bunga jantan dari luar. Pepaya betina berbunga sepanjang tahun, buah bulat, bertangkai pendek. Pepaya sempurna memiliki bunga yang sempurna susunannya, ia memiliki bakal buah dan benang sari. Oleh karena itu pepaya sempurna dapat melakukan penyerbukan sendiri (Rochmatul, 2003).

  2.1.4 Kandungan kimia tanaman pepaya

  Kandungan kimia pada daun pepaya terdapat enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-karpaina, glikosid karposid dan saponin. Buah pepaya terdapat β-karotena, pektin, d-galaktosa, l-arabinosa dan papain. Getah pepaya mengandung papain, kemopapain, lisosim, lipase dan glutamin sedangkan pada biji pepaya terdapat glukosida kakirin dan alkaloid karpain (Dalimartha, 2003).

  2.1.5 Manfaat tumbuhan

  Pemanfaatan tanaman pepaya cukup beragam. Daun pepaya muda, bunga, buah yang masih mentah dapat dibuat sebagai bahan berbagai ragam sayuran.

  Selain itu, buah pepaya, terutama yang masak mengkal, digunakan juga sebagai salah satu buah untuk rujak dan asinan. Sebagai buah segar, buah pepaya dapat dibuat manisan, buah dalam sirup, saus, selai dan sebagainya (Kalie, 1996).

  Sari akar tanaman pepaya dapat digunakan sebagai obat penyakit kencing batu, penyakit saluran kencing, dan cacing kremi. Batang, daun dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Lalap daun pepaya muda yang dapat menambah nafsu makan diduga disebabkan oleh enzim ini. Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam industri, diantaranya industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, tekstil (Kalie, 1996).

  Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing gelang, gangguan pencernaan, diare, penyakit kulit, kontrasepsi pria, dan sebagai sumber untuk mendapatkan minyak dengan kandungan asam-asam lemak tertentu (Warisno, 2003). Biji pepaya juga memiliki khasiat sebagai antifertilitas, memiliki aktivitas nefroprotektor serta sebagai antibakteri dan antifungi (Milind dan Gurditta, 2011).

2.2 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.

  Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

  Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 1979). Metode ekstraksi yang umum digunakan dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen POM, 2000) yaitu : Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu :

  1. Cara dingin Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari : a.

  Maserasi Maserasi dapat dilakukan dengan cara mencampurkan simplisia yang telah dipotong-potong atau diserbuksarikan dengan cairan penyari dalam suatu bejana dan ditutup rapat. Simpan ditempat terlindung dari cahaya langsung selama 5 hari sambil sering dikocok. Kemudian disaring, diperas dan ampasnya dicuci dengan cairan penyari. Hasil ekstraksi disimpan ditempat sejuk selama beberapa hari, lalu cairannya dituang dan disaring (Voight, 1995).

  b.

  Perkolasi Perkolasi yang berarti penetesan yang dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator). Perkolasi dapat dilakukan dengan cara mengalirkan cairan penyari secara lambat ke dalam serbuk simplisia yang telah dibasahi. Kemudian tunggu sampai larutan ekstrak mulai menetes, lalu jalan keluar ditutup dan baru dibuka kembali jika cairan penyari berada 1-2 cm diatas simplisia (Voight, 1995).

  2. Cara panas Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

  Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor) (Ditjen POM, 2000).

  b.

  Sokletasi Bahan yang diekstraksi berada dalam kantung ekstraksi didalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinu, yang diletakkan diantara labu suling dan suatu pendinginan aliran balik (kondensor) dan dihubungkan melalui pipet

  (sippon). Labu yang berisi bahan pelarut akan terkondensasi dan menetes ke atas bahan yang terekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Kemudian hasil ekstraksi akan ditampung didalam labu (Voight, 1995).

  c.

  Digesti Digesti merupakan proses ekstraksi simplisia dengan cara merendam serbuk simplisia dengan pelarut pada suhu 40-50°C sambil dilakukan dalam selang waktu tertentu. Selanjutnya cairan disaring bila perlu diuapkan untuk memperoleh ekstrak kental (Voight, 1995).

  d.

  Infundasi Infundasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur

  o

  terukur (96-98 C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Voight, 1995).

  e. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses ekstraksi pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3 Pestisida

  Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, baik insekta, jamur maupun gulma, sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : Insektisida (pembunuh insekta), Fungisida (pembunuh jamur), dan Herbisida (pembunuh tanaman penganggu/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan di rumah tangga untuk memberantas nyamuk, lalat, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya, akan tetapi pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup (Djunaedy, 2009).

  Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).

  Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Djunaedy, 2009).

  Penggunaan pestisida alami adalah bahan aktif tunggal maupun majemuk yang dapat mengendalikan organisme penganggu tanaman dengan bahan dasar dari tumbuhan. Pestisida alami ini relatif aman bagi lingkungan, mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas (Adriyani, 2006).

2.4 Keracunan Pestisida

  Bahan-bahan racun pestisida masuk ke dalam tubuh organisme (jasad hidup) berbeda-beda menurut situasi paparan. Mekanisme masuknya racun pestisida tersebut dapat melalui kulit luar, mulut dan saluran makanan, serta melalui saluran pernapasan. Melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh terutama bahan yang larut minyak (polar) (Ngatidjan, 2006).

  Pestisida yang banyak digunakan biasanya merupakan bahan kimia yang bersifat toksik karena dalam penggunaannya, pestisida dimasukkan atau ditambahkan secara sengaja ke dalam lingkungan dengan tujuan untuk membunuh beberapa jenis hama. Pestisida hanya bekerja secara spesifik pada organisme sasaran yang dikehendaki saja dan tidak pada organisme lain yang bukan sasaran.

  Kenyataannya bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida tidak selektif dan malah merupakan toksikan umum pada beberapa organisme, termasuk manusia dan organisme lain yang diperlukan oleh lingkungan (Keman, 2001).

  Pestisida kimia yang diaplikasikan untuk memberantas suatu hama tanaman atau serangga penyebar penyakit tidak semuanya mengenai tanaman.

  Sebagian akan jatuh ke tanaman atau perairan di sekitarnya dan sebagian lagi akan menguap ke udara, yang mengenai tanaman akan diserap tanaman tersebut ke dalam jaringan kemudian mengalami metabolisme karena pengaruh enzim tanaman. Pestisida kimia yang diserap oleh tanah atau perairan akan terurai karena pengaruh suhu, kelembaban, jasad renik dan sebagainya. Penguraian bahan kimia pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu juga, melainkan sedikit demi sedikit.

  Sisa yang tertinggal inilah yang kemudian diserap sebagai residu. Jumlah residu pestisida dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, jasad renik, sinar matahari dan jenis dari pestisida tersebut (Pohan, 2004).

  Jenis pestisida yang dapat larut dalam air terbuang ke perairan secara sengaja maupun tidak, dapat mencemari perairan dan dapat mempengaruhi proses metabolisme, organ tubuh, tingkah laku, siklus hidup, perkembangan embrio, pertumbuhan sel atau jaringan dari organisme yang hidup di perairan misalnya ikan-ikan. Pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung akibat adanya pencemaran pestisida akan mengganggu kualitas air sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan juga akan terganggu. Pengaruh secara langsung disebabkan oleh akumulasi pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan bersama-sama makanan yang terkontaminasi atau akibat rusaknya organ-organ pernafasan sehingga dapat mematikan ikan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan secara tidak langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan terhambatnya pertumbuhan ikan (Mega dan Abdulgani, 2013).

2.5 Kualitas Air

  Air merupakan media vital bagi kehidupan ikan. Suplai air yang memadai akan memecahkan masalah dalam budidaya ikan secara intensif, yaitu dengan menghanyutkan berbagai kumpulan dari bahan buangan dan bahan beracun sehingga kondisi air optimal untuk pemeliharaan. Selain jumlah air yang tersedia, kualitas air memenuhi syarat adalah salah satu kunci keberhasilan budidaya ikan. Kemampuan ikan untuk mengonsumsi oksigen dipengaruhi oleh toleransi ikan terhadap stres, temperatur/suhu air, pH dan konsentrasi CO serta sisa

  2 metabolisme lain seperti amoniak (Taurusman, 1996).

  Kandungan oksigen yang terlarut berbeda dalam air mempunyai pengaruh yang berbeda bagi organisme akuatik. Suhu merupakan faktor abiotik diduga memiliki pengaruh besar terhadap toksisitas suatu bahan kepada ikan. Suhu perairan yang semakin tinggi akan menyebabkan metabolisme ikan yang semakin meningkat dan berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam air (Puspowardoyo dan Abbas, 1992).

  Cara terbaik untuk menjamin kadar oksigen terlarut dalam air tetap tinggi adalah dengan mempertahankan air tetap bersuhu rendah, mengganti air dalam wadah dengan air yang baru serta mempertahankan oksigen melalui proses difusi yang cukup, yaitu dengan aerasi yang menimbulkan gerakan air yang sedang atau tidak terlalu keras (Huet, 1994).

2.6 Toksisitas

  Toksisitas adalah daya racun yang berarti kemampuan suatu bahan atau zat yang menyebabkan keracunan. Toksikan adalah bahan atau agent yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa toksikan yang disebutkan seperti pestisida, klorin, limbah industri yang bersifat racun dan karsinogenik (Koeman, 1983).

  Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya populasi organisme yang mati dalam pengujian pada waktu tertentu. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis dan respon yang khas dari sediaan uji (OECD, 2008). Umumnya segala metode uji toksikologi dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronik dan uji toksisitas kronik (Ruiz, 2002).

  Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD

  50 (potensi

  ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin kecil harga LD

  50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

  Pengaruh zat pencemar antara lain berhubungan dengan lamanya pajanan/pemaparan/exposure serta konsentrasi atau dosis zat pencemar. Untuk melihat berbagai efek yang berhubungan dengan waktu pemaparan. Uji toksisitas akut (LC

  50 dan LD 50 ), dilakukan dengan memberikan zat kimia/toksikan yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu singkat (24, 48, 96 jam) (Rossiana, dkk., 2007).

  LC

  50 (Medium lethal concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan

  kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu tertentu, misalnya LC

  50 48 jam, LC 50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji (Rossiana, dkk, 2007).

  50 Untuk mengetahui nilai LC ada dua tahapan yaitu pertama, uji

  pendahuluan adalah uji untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%. Kedua, uji lanjutan adalah uji dimana setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi (Rossiana, 2006). Kelompok toksisitas suatu perairan adalah sebagai berikut (Metelev, dkk., 1983).

  50 Tabel 2.1 Kelompok Tingkat Toksisitas Akut LC pada Lingkungan Perairan

  50 Tingkat Racun Nilai (LC ) (mg/L)

  Sangat Toksik < 1 - 1 Toksik 1 – 10

  Cukup Toksik 10 – 100 Agak/Sedikit Toksik 10 – 1000

  Kurang Toksik > 1000

2.7 Ikan Nila

  Ikan nila selama ini dikenal dengan nama ilmiah Tilapia nilotica, namun menurut klasifikasi terbaru pada tahun 1982 nama ilmiah ikan nila berubah menjadi Oreochromis niloticus (Kordi, 2004).

  2.7.1 Klasifikasi ikan nila

  Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterygii Ordo : Percomorphi SubOrdo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus (Saanin, 1984).

   2.7.2 Morfologi ikan nila

  Ikan nila (Oreochromis nilotica) memiliki ciri morfologi, yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. tanda lainnya yang dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal, putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateris yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Setiawan, 2012). Morfologi dan anatomi ikan nila (Oreocrhomis nilotica) dapat dilihat sebagai berikut (Amri dan Khairuman, 2003).

Gambar 2.1 Morfologi dan Anatomi Ikan Nila

  Ikan nila berwarna putih kehitaman, makin ke perut makin terang. Ikan nila mempunyai garis vertical sebanyak 9 sampai 11 buah berwarna hijau kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6 sampai 12 garis melintang yamg ujungnya berwarna kemerah-merahan, sedangkan punggungnya terdapat garis-garis miring.

  Letak mulut ikan terminal, garis rusuk (Linea lateralis) terputus menjadi dua bagian, letaknya memanjang di atas sirip dada dengan jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah (Andrianto, 2005).

  Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila kini banyak dibudi dayakan di berbagai daerah karena kemampuan adaptasinya bagus di dalam berbagai jenis air. Nila dapat hidup di air tawar, air payau dan air laut. Ikan nila juga tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora dan mampu mencerna makanan secara efisien. Pertumbuhan cepat dan tahan terhadap serangan penyakit. Para pakar budidaya ikan dari Departemen Perikanan dan Akuakultur FAO (Food and Agriculture Organization) menganjurkan agar ikan nila ini dibudidayakan karena dapat dipelihara di kolam yang sempit, seperti kolam pekarangan atau comberan (Ghufran, 2010).