BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap

  7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp. Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes

  (Ae.) spp. dan subgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting, sementara spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynensiensis, anggota dari kelompok Ae. scutellaris dan Ae. (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder. Semua spesies merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, namun epidemi paling parah diakibatkan Ae. aegypti (WHO, 2002).

  Vektor Ae. aegypti dan Ae. albopictus tersebar luas di dunia, mencakup lebih dari dua pertiga luas dunia. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan sedangkan di pedesaan kedua spesies nyamuk Aedes tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan nyamuk betina menghisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia daripada binatang (antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan dapat menetas.

  Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue berbeda. Ae.

  

aegypti senang bertelur di bak jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak

  mandi, bak atau gentong tandon air minum. Ae. albopictus lebih senang bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Ae. aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan Ae. albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).

  2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes spp.

  Gandahusada dkk. (2000) menyebutkan nyamuk Aedes spp. memiliki klasifikasi sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Culicidae Genus : Aedes Spesies : Aedes spp.

  2.1.2 Morfologi Nyamuk Aedes spp.

  Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes spp. dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva, pupa dan dewasa.

  1. Telur

  Telur nyamuk Ae. aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam,

ukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan

diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian

dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan

air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, 85% melekat di dinding TPA, 15%

lainnya jatuh ke permukaan air (Soegijanto, 2006).

  2. Larva Telur menetas menjadi larva (jentik). Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Kepalanya berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk serta sikap mulut yang menonjol. Perutnya terdiri 9 ruas yang jelas dan ruas terakhir dilengkapi tabung udara

  (siphon) yang bentuknya silinder. Perbedaan larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus hanya bisa dilihat di bawah mikroskop (Anies, 2006).

  Larva nyamuk mengalami 4 kali pergantian kulit dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang disebut larva instar I, II, III dan IV.

  Instar I : tubuh sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri-duri

  (spinae) pada dada belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam.

  Instar II : tubuh bertambah besar, panjang 2,5 – 3,9 mm, spinae belum jelas, dan siphon pernafasan sudah berwarna hitam.

  Instar III : duri dada mulai jelas. Instar IV : struktur anatominya sudah lengkap dan jelas (Soegijanto, 2006).

  Service pada Sayono (2008) menjelaskan ciri-ciri tambahan yang membedakan larva Aedes dengan genus lain adalah sekurang-kurangnya ada tiga pasang setae pada sirip ventral, antena tidak melekat penuh dan tidak ada setae yang besar pada toraks. Larva biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air guna mendapatkan oksigen di udara (Sembel, 2009).

  Gambar 1. Larva Nyamuk Aedes spp.

  Sumber: www.medent.usyd.edu.au (2000)

  3. Pupa Pupa nyamuk berbentuk seperti koma. Kepala dan dadanya bersatu dilengkapi sepasang terompet pernapasan. Jika terganggu, pupa akan bergerak naik turun di dalam wadah air (Anies, 2006). Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Saat istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air (Soegijanto, 2006).

  4. Nyamuk Dewasa Tubuh nyamuk terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut.

  Nyamuk Ae. albopictus secara morfologis sangat mirip dengan nyamuk Ae.

  

aegypti yang membedakan hanyalah strip putih yang terdapat pada skutumnya.

  Pada Ae. albopictus skutumnya juga berwarna hitam namun hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Nyamuk Ae. aegypti mempunyai warna dasar hitam dan bercorak belang putih pada dada, perut, tungkai (Anies, 2006).

  Gambar 2. Nyamuk Aedes aegypti

  Sumber: www.entnemdept.ufl.edu (2011)

  Gambar 3. Nyamuk Aedes albopictus

  Sumber: www.entnemdept.ufl.edu (2011) 2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp.

  Nyamuk Aedes spp. mengalami metamorfosis sempurna. Siklus hidup nyamuk berawal dengan peletakan telur oleh nyamuk betina. Telur Aedes diletakkan satu persatu pada permukaan yang basah tepat di atas batas permukaan air (WHO, 2002). Dari telur muncul fase kehidupan air yang disebut larva. Larva bertambah ukuran hingga mencapai tahap yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa. Di dalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan (Achmadi, 2013).

  Hidayat dkk. dalam Gunawan, 2011; dan Soegijanto, 2006 berpendapat, telur nyamuk Aedes di dalam air dengan suhu 20 – 40ºC akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 – 2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada (bakteri, tepung sari, makanan ikan, dan objek renik lainnya) di dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum (pada air dengan pH 5,8 – 8,0 dan suhu 25 – 32ºC, di luar kondisi tersebut akan mengahambat pertumbuhan dan perkembangan sehingga larva akan mati), larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4 – 9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 – 3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7 – 14 hari.

  Gambar 4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes

  Sumber: www.extension.entm.purdue.edu (2008) 2.1.4 Bionomik dan Ekologi Nyamuk Aedes spp.

  Nyamuk memerlukan 3 macam tempat dalam kehidupannya yaitu tempat untuk mendapatkan darah, tempat untuk beristirahat dan tempat perindukan.

  1. Tempat untuk Mendapatkan Darah (Feeding Place) Nyamuk Aedes bersifat antropofilik yaitu menyukai darah manusia.

  Aktivitas menggigit umumnya pada pukul 08.00 – 12.00 dan sebelum matahari terbenam pukul 15.00 – 17.00. Nyamuk Aedes akan menghisap darah sebanyak 2

  • – 3 kali sehari (multibiters). Hanya nyamuk Aedes betina yang menggigit manusia untuk meminum darah, sedangkan yang jantan akan memakan sari bunga. Darah digunakan betina untuk mengembangkan telurnya (Gandahusada dkk., 2000).

  Nyamuk betina menggigit di dalam rumah dan kadang di luar rumah. Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, tiga hari kemudian sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk ini akan menghisap darah manusia lagi dan bertelur kembali. Umur nyamuk betina dewasa ±10 hari, tetapi selama waktu itu sudah cukup bagi nyamuk untuk makan dan bertelur, virus juga sudah cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menularkan dari satu orang ke orang yang lain (Soegijanto, 2006).

  2. Tempat Istirahat (Resting Places) Setelah menghisap darah hingga lambung penuh, nyamuk betina perlu beristirahat sekitar 2 – 3 hari untuk mematangkan telur. Nyamuk Aedes suka beristirahat di tempat gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, lemari, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur. Di dalam ruangan, tempat yang disukai adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding (WHO, 2002).

  3. Tempat Perindukan (Breeding Places) Tempat perindukkan Aedes dapat dibedakan atas tempat perindukkan sementara, permanen dan alamiah. Tempat perindukkan sementara terdiri dari berbagai tempat penampungan air (TPA): kaleng bekas, ban mobil bekas pecahan botol pecahan gelas, talang air, vas bunga dan tempat yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah TPA untuk keperluan rumah tangga: bak penampungan air, reservoir air, bak mandi dan gentong air.

  Tempat perindukan alamiah berupa genangan air pada pohon: pohon pisang, pohon kelapa, pohon aren, potongan bambu dan lubang pohon (Chahaya, 2003).

  

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD)

  Demam dengue dan dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dikenal sebagai demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit endemis di daerah tropis dan subtropik yang kadang-kadang menjadi epidemik. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dan terjadi sepanjang tahun terutama pada saat musim penghujan (Sumantri, 2010).

  DBD disebabkan oleh virus, yakni salah satu dari empat antigen yang berbeda, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dari genus Flavivirus. Dalam Sumantri (2010) disebutkan virus ini membutuhkan masa multiplikasi selama 8 – 10 hari sebelum nyamuk menjadi infektif. DBD terjadi bilamana pasien mengidap virus dengue sesudah terjadi infeksi sebelumnya oleh tipe virus dengue yang lain. Infeksi oleh salah satu serotype ini tidak menimbulkan imunitas dengan protektif silang. Penyakit ini terutama terdapat di daerah tropis (Sembel, 2009).

  Virus dengue dapat tetap hidup di alam melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Nyamuk mendapatkan virus ini pada saat melakukan gigitan pada manusia yang pada saat itu sedang mengandung virus dengue di dalam darahnya. Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi, kemudian akan migrasi sampai di kelenjar ludah. Virus di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.

  Mekanisme kedua dalam tubuh manusia. Virus memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi secara cepat. Virus dengue dalam tubuh manusia membuat terjadinya reaksi pada tubuh. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini berbeda pada setiap manusia, perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis (Anies, 2006).

  Gambaran klinis penderita dengue terdiri dari 3 fase, yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan (Depkes, 2010):

  1. Fase febris Demam biasanya mendadak tinggi pada 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.

  Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.

  2. Fase kritis Terjadi pada 3 – 7 hari sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai dengan kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

  3. Fase pemulihan Pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler terjadi secara perlahan-lahan pada 48 – 72 jam setelahnya bila fase kritis terlewati. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih, hemodinamik kembali dan dieresis membaik.

  Vektor demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia adalah nyamuk Ae.

  

aegypti sebagai vektor utama dan nyamuk Ae. albopictus sebagai vektor sekunder

  (Depkes RI, 2010). Penyebaran DBD di daerah perkotaan lebih intensif daripada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya (Siregar, 2004).

2.3 Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes spp.

  Pengendalian vektor dalam Permenkes RI No. 374/MENKES/PER/III/ 2010 menyebutkan vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Sedangkan pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit.

  Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Slamet, 2009):

  1. Penyakit tadi belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus.

  2. Bila ada obat atau vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama pada penyakit parasit.

  3. Berbagai penyakit didapat pada banyak hewan selain manusia sehingga sulit dikendalikan.

  4. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis, malaria.

  5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti insekta yang merayap.

  Metode yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian nyamuk: tindakan antilarva, tindakan terhadap nyamuk dewasa, dan tindakan terhadap gigitan nyamuk (Sumantri, 2010). Upaya pengendalian vektor juga dapat dibedakan dengan: pengelolaan lingkungan secara fisik/mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perindukannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternatif (Depkes RI, 2010).

2.3.1 Pengendalian dengan Penggunaan Agen Biotik

  Pengendalian dengan penggunaan agen biotik atau disebut juga pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida (pengendalian secara kimiawi) yang berasal dari bahan- bahan beracun (Chandra, 2006). Pengendalian biologi dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian ini dapat berperan sebagai patogen, parasit, atau pemangsa. Beberapa jenis ikan, seperti ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk.

  Nematoda seperti Romanomarmus dan R. culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk (Soegijanto, 2006).

  Contoh lain yang disebutkan dalam Permenkes RI No. 374/MENKES/ PER/III/2010 adalah dengan penggunaan jantan mandul. Cara pemandulan vektor nyamuk adalah dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Hoper dalam Nurhayati (2005) menjelaskan radiasi untuk pemandulan umumnya menggunakan sinar gamma. Untuk mendapatkan vektor mandul, radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa. Hasil optimum dapat diperoleh bila radiasi dilakukan pada stadium pupa.

  O’brient dalam Nurhayati (2005) menjelaskan umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun. Radiasi secara umum dapat menimbulkan berbagai akibat terhadap nyamuk, baik kelainan morfologis maupun kerusakan genetis.

2.3.2 Pengendalian Secara Kimiawi

  Cara kimiawi dilakukan dengan menggunakan senyawa atau bahan kimia baik yang digunakan untuk membunuh nyamuk (insektisida) maupun jentiknya (larvasida), mengusir atau menghalau nyamuk (repellent) supaya nyamuk tidak menggigit. Beberapa golongan insektisida yang digunakan seperti golongan organoklorin, golongan organofosfat dan golongan karbamat (Chandra, 2006).

  Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada dkk., 2000).

  Pengendalian secara kimiawi vektor nyamuk Aedes pada stadium larva dikenal sebagai Larvasidasi atau Larvasiding yakni cara memberantas jentik nyamuk Aedes dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temefos yang berupa butiran- butiran (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temefos ini mempunyai efek residu selama 3 bulan (Depkes RI, 2010).

  Sumantri (2010) mengatakan pada nyamuk dewasa, biasanya dilakukan penggunaan repellent. Repellent yang digunakan dapat mengandung zat kimia berikut: diethyltoluamide, indalon, atau dimethyl karbote. Repellent lebih dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang digunakan untuk melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk. Saat ini lebih dikenal dalam bentuk lotion, ada juga yang berbentuk spray (semprot).

2.3.3 Pengendalian Secara Fisik atau Mekanis

  Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara manusia dan vektor (Gandahusada dkk., 2000).

  Program pengendalian larva/jentik nyamuk Aedes yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN dilakukan dengan cara “3M (Menguras Menutup Mengubur)”, yaitu:

  1. Menguras, berarti membersihkan tempat-tempat penampungan air (bak mandi) untuk mengeluarkan jentik-jentik nyamuk.

  2. Menimbun, berarti mengumpulkan kontainer-kontainer yang dapat menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk.

  3. yaitu mengumpulkan kontainer-kontainer dan Mengubur menguburkannya dalam tanah (Sembel, 2009).

  Saat ini telah dikenal pula istilah “3M Plus” atau PSN terpadu, yaitu kegiatan 3M yang diperluas dengan menelungkupkan wadah/peralatan yang memungkinkan akan berisi genangan air (Depkes RI, 2010).

  Pengendalian secara fisik dan mekanik juga dapat berupa modifikasi dan manipulasi lingkungan. Pada stadium larva, pengendalian terhadap lingkungan merupakan cara terbaik karena hasilnya dapat bersifat permanen (Sumantri, 2010). Salah satu contoh metode pengendalian ini adalah dengan penggunaan ovitrap yang termasuk alat untuk memanipulasi tempat perindukan nyamuk.

2.3.3.1 Pengertian Ovitrap

  Ovitrap secara bahasa dapat diartikan sebagai perangkap telur (ovi = telur,

trap = perangkap). Jadi dapat didefinisikan sebagai perangkap telur nyamuk

  sederhana. Ovitrap (singkatan dari oviposition trap) merupakan perangkat untuk mendeteksi kehadiran nyamuk pada keadaan densitas (kepadatan) populasi yang rendah dan survei larva dalam skala luas (Singh dan Bansal, 2005).

  Ovitrap memberikan gambaran perbandingan ada atau tidak adanya telur

  serta perbandingan jumlah telur nyamuk Aedes antar daerah. Ovitrap biasanya terbuat dari wadah plastik atau kaca yang berwarna hitam atau merah (nyamuk melihat warna hitam pada warna merah), serta berisikan dayung (paddle) yang terbuat dari kayu, atau kasa yang terbuat dari kertas atau kain sebagai tempat nyamuk meletakkan telur. Sebagian dari wadah berisikan air dan keberadaan telur nyamuk dalam ovitrap diamati dalam 4 – 7 hari (Long, 2013).

  Sithiprasasna dan Williams dalam Long (2013) menjelaskan ovitrap lebih baik ditempatkan di luar ruangan yang lembab dan gelap namun memungkinkan untuk dilihat nyamuk. Secara umum ovitrap tidak ditempatkan di dalam ruangan karena menjadi kendala untuk nyamuk masuk dan zat penarik pada ovitrap dapat mengeluarkan bau. Persentase ovitrap yang positif memberikan data yang sederhana untuk tingkat gangguan (WHO, 2002).

2.3.3.2 Modifikasi Ovitrap

  Modifikasi dilakukan terhadap fungsi, bentuk, ukuran dan penambahan atraktan. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO , asam laktat, octenol dan asam lemak.

  2 Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan dasar serangga.

  Modifikasi ovitrap menjadi perangkap nyamuk yang mematikan (lethal/autocidal ovitrap) dilakukan Zeichner dan Perich (1999) dengan menambahkan beberapa jenis insektisida pada media bertelur (ovistrip).

  Insektisida yang digunakan antara lain deltamethrin, bendiocarb, permethrin, cypermethrin dan cyfluthrin. Sithiprasasna dkk. (2003) memodifikasi ovitrap menjadi perangkap larva-auto (auto-larval trap) dengan memasang kassa nylon tepat pada permukaan air . Auto-larval trap, autocidal ovitrap atau lethal ovitrap (LO) adalah varian nama untuk ovitrap hasil modifikasi yang dapat membunuh nyamuk Aedes (Sayono, 2008).

2.4 Insektisida dan Larvasida Nabati

  Insektisida nabati atau juga dikenal insektisida botani secara umum diartikan sebagai pestisida yang berasal dari bahan alami. Bahan alami penyususn insektisida nabati bisa berupa ekstrak tumbuhan, jasad renik, maupun bahan lainnya. Pada tumbuhan, ekstrak tumbuhan yang mengandung senyawa beracun bagi hama dan patogen (penyebab penyakit tumbuhan)-lah yang digunakan sebagai insektisida nabati (Djojosumarto, 2008).

  Kardinan dalam Naria (2005) menyebutkan senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik.

  Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam. Bagian tumbuhan seperti daun, buah, bunga, biji, kulit, batang dan sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstraksi (dengan air, ataupun senyawa pelarut organik).

  Insektisida nabati dapat dibuat secara sederhana dan dengan kemampuan yang terbatas. Bila senyawa atau ekstrak ini digunakan di alam, maka tidak mengganggu organisme lain yang bukan sasaran. Senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri dan steroid.

  Djojosumarto (2008) menjelaskan insektisida nabati sebenarnya telah lama dikenal orang. Insektisida yang penting antara lain azadiraktin, nikotin, piretrum, rotenone, riania dan sabadila. Penggunaan insektisida nabati seperti nikotin yang terkandung dalam bubuk tembakau (tobacco dust) sendiri telah digunakan sebagai insektisida sejak tahun 1763. Nikotin merupakan racun saraf yang bekerja sebagai antagonis dari reseptor nikotin asetil kolin. Nikotin juga merupakan insektisida non sistemik dan bekerja sebagai racun inhalasi dengan sedikit efek sebagai racun perut dan racun kontak.

  Senyawa yang terkandung pada tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan larvasida nabati. Larvasida nabati merupakan larvasida yang dibuat dari tanaman yang mempunyai kandungan beracun terhadap serangga pada stadium larva. Tumbuhan yang kandungannya telah diteliti dan dibuktikan dapat dijadikan larvasida nabati, khususnya kepada nyamuk Aedes, antara lain buah blimbing wuluh, cabai rawit dan daun jambu biji merah.

  Daesusi dkk. (2011) telah melakukan uji toksisitas perasan buah blimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Ae. aegypti.

  Terdapat pengaruh perasan buah blimbing wuluh terhadap pertumbuhan larva Ae.

  

aegypty (p < 0,05). Konsentrasi perasan buah blimbing wuluh yang paling efektif

  menyebabkan kematian larva adalah 4,5%. Hasil uji efektivitas daya bunuh ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap kematian larva nyamuk

  

Aedes spp. pada ovitrap yang dilakukan oleh Simanjuntak (2011) menunjukkan

  konsentrasi ekstrak cabai rawit yang efektif terhadap kematian larva nyamuk adalah pada konsentrasi 0,3% (membunuh 100% larva nyamuk).

  Yuswantina dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai daya bunuh ekstrak etanol daun jambu biji merah (Psidium guajava L.) terhadap larva Ae.

  

aegypti pada konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%. Dari hasil pengamatan selama 24

  jam menunjukkan bahwa nilai signifikansi kontrol positif (pemberian abate) dengan konsentrasi 5% = 0,127 (p ≥ 0,05) yang menunjukkan efek yang sama dalam membunuh larva Ae. aegypti, sedangkan konsentrasi lainnya menunjukkan efek yang berbeda dalam membunuh larva Ae. aegypti.

  2.5 Gambaran Umum Jambu Biji (Psidium guajava L.)

  Jambu biji atau jambu klutuk atau jambu batu merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan yang kini telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Prosea (Plant resources of South East Asia) 2 dalam Redaksi Trubus (2014) menyebutkan bahwa jambu biji berasal dari wilayah tropis Amerika yakni wilayah antara Meksiko dan Peru, tercatat dengan nama latin Psidium guajava.

  Tanaman jambu biji dapat tumbuh di semua jenis tanah, tanah yang tandus sekali sampai tanah yang subur. Tanah yang berbatu-batu dapat ditembus oleh jambu biji hingga dikenal sebagai tanaman pioneer. Jambu biji tumbuh baik di dataran rendah sampai dataran tinggi 1.200 m dpl dan tumbuh baik pada kondisi iklim basah dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm/tahun (Sunarjono, 2013).

2.5.1 Klasifikasi Jambu Biji (Psidium guajava L.)

  Arief (2010) menyebutkan klasifiksasi jambu biji sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae

  Kelas : Dicotyledonae Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Psidium Spesies : Psidium guajava L.

2.5.2 Morfologi dan Kandungan Jambu Biji (Psidium guajava L.)

  Tumbuhan jambu biji termasuk jenis perdu atau pohon kecil, tinggi 2 – 10 meter dan memiliki banyak percabangan. Umumnya umur tanaman jambu biji sekitar 30 – 40 tahun. Tanaman yang berasal dari biji relatif berumur lebih panjang dibanding hasil cangkokan atau okulasi. Namun, tanaman yang berasal dari okulasi memiliki postur yang lebih pendek dan bercabang lebih banyak sehingga memudahkan perawatan tanaman. Tanaman ini sudah mampu berbuah saat berumur sekitar 2 – 3 bulan meskipun ditanam dari biji.

  1. Daun Bentuk daun jambu biji bervariasi: kecil panjang dengan ujung meruncing dan lonjong dengan ujung tumpul. Daun jambu biji merupakan daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan pada tangkai daun, daun muda berambut halus dan permukaan atas daun tua licin. Helaian daun memiliki tepi rata agak melengkung ke atas, pertulangan menyirip, panjang 6 – 14 cm, lebar 3 – 6 cm. Warna daun beragam: hijau tua, hijau muda, merah tua dan hijau berbelang kuning (Sunarjono, 2013).

  Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri (eugenol), minyak lemak, dammar, zat samak, triterpenoid dan asam malat (Redaksi Trubus, 2014). Penelitian Yulia dkk. (2001) dari Balai Penelitian Rempah dan Obat menyebutkan kadar tanin paling banyak ditemukan dari daun jambu biji yang berwarna hijau, sedangkan flavonoid paling banyak ditemukan dari daun jambu biji yang berwarna kemerahan.

  Senyawa flavonoid, tanin, saponin, minyak atsiri dan alkaloid (yang terkandung dalam daun jambu biji) dapat berfungsi sebagai larvasida. Sebagai larvasida nyamuk Aedes, daun jambu biji mengandung saponin dan alkaloid yang memiliki cara kerja sebagai racun perut dan menghambat kerja enzim kolinesterase pada larva, sedangkan flavonoid dan minyak atsiri berperan sebagai racun pernapasan sehingga menyebabkan kematian larva (Cania, 2013).

  Penelitian Sprag dkk. dalam Cania (2013) mengungkapkan bahwa saponin memiliki aksi sebagai insektisida dan larvasida. Menurut Aminah dkk. dalam Cania (2013) saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa

  

traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif,

  dan menurut Dinata pada Cania (2013) bahwa senyawa flavonoid bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksis.

  2. Batang Batang tumbuhan jambu biji berkayu, keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna cokelat kehijauan. Pohon jambu biji berserak tidak terarah dengan cabang banyak, mendatar sampai condong ke bawah. Cabang-cabangnya kuat, tidak mudah patah dan mudah dilengkungkan. Akarnya kuat dengan akar tunggang dalam sehingga baik sekali untuk penahan erosi. Seperti daun dan buahnya, kulit batang jambu biji juga mengandung tanin (Sunarjono, 2013).

  3. Bunga Bunga jambu biji tumbuh dari ketiak daun. Merupakan bunga tunggal, berwarna putih, bertangkai dan tumbuh berkumpul 1 – 3 bunga. Bunga jambu biji berjenis kelamin sempurna (hermaphrodit) mampu menyerbuk silang dengan jenis jambu biji lainnya (hibrida interspesifik) (Sunarjono, 2013).

  4. Buah Buah jambu biji berbentuk bulat sampai bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji banyak mengumpul di tengah, kecil-kecil, keras dan berwarna kuning kecokelatan.

  Buah jambu biji berkhasiat sebagai antioksidan dengan kandungan beta karoten disamping asam amino (triptofan, lisin), kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C yang tinggi. Efek farmakologis jambu biji antara lain, mencegah penyakit diare, mencegah penyakit kanker dan melindungi tubuh dari radikal bebas (Hariana, 2013).

  Gambar 5. Tumbuhan Jambu Biji (Psidium guajava L.)

  

Sumber: www.vnrnursery.in (2012)

2.6 Kerangka Konsep

  Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian

  Ekstrak Daun Jambu Biji: 1.

  Kontrol (konsentrasi 0 ppm) 2. Konsentrasi 500 ppm 3. Konsentrasi 2.500 ppm 4. Konsentrasi 4.500 ppm 5. Konsentrasi 6.500 ppm 6. Konsentrasi 8.500 ppm dalam 2, 12 dan 24 jam pengamatan.

  Jumlah Larva Nyamuk Aedes spp. yang Mati Nilai LC 50 Larva Nyamuk Aedes spp. Suhu air dan pH air