BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

4

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan
negara. Anak merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru yang merupakan
penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi
pembangunan Nasional. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan
datang berada ditangan anak sekarang. Anak adalah tunas, potensi dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan. 1
Pembicaraan mengenai anak tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah
kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana
pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu
negara, tidak terkecuali Indonesia. 2 Oleh karena itu diharapkan agar setiap anak
kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu
bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan
1

Mukaddimah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak
2

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011, Hal.1.

Universitas Sumatera Utara

5

negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki
peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak harus
mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang

seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan
periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia,
agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar
dalam meniti kehidupan.3
Berkaitan dengan hal diatas, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No. II/1993, tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagian Kesejahteraan Rakyat,
Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), khusus Masalah Anak dan
Remaja ditegaskan: “Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui
peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi
pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar
serta kreativitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan
idealisme dan patriotisme dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan
pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan masyarakat”.4

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, Hal. 1.
4
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung: PT Alumni, 2010,
Hal.1.

Universitas Sumatera Utara

6

Anak dalam perkembangannya menuju kedewasaan, ada kalanya
melakukan perbuatan yang lepas kontrol, yaitu melakukan perbuatan yang tidak
baik sehingga dapat merugikan dirinya sendiri, bahkan dapat merugikan orang
lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan
sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan
tempat ia bergaul. Sudah banyak terjadi karena lepas kendali, kenakalan anak
berubah menjadi tindak pidana atau kejahatan, sehingga perbuatan tersebut tidak
dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan
dengan aparat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.5
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas

maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan
telah meresahkan semua pihak khusunya para orang tua. Fenomena
meningkatnya perilaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak seolah-olah
tidak berbanding lurus dengan usia pelaku.6
Kesejahteraan terhadap anak dalam hal ini juga sangatlah perlu
diperhatikan, tidak sedikit alasan anak yang melakukan tindak pidana adalah
dikarenakan kehidupan sosial nya yang tidak sejahtera. Hal ini membuat anak
terkadang tidak dapat berfikir secara baik dan matang dalam mengambil
keputusan apakah tindakan yang akan dilakukannya dapat berdampak hukum
atau tidak bagi dirinya sendiri.

5

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000,
Hal. ix.
6
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, Hal. 2013

Universitas Sumatera Utara


7

Anak yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari
pertanggungjawaban hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya
sehingga timbul tugas yang mulia bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang
sesuai dan tepat bagi anak mengingat anak tersebut masih memiliki masa depan
yang panjang. Anak sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya tentu belum
memahami apa yang baik dan buruk untuk dilakukan.
Perilaku anak dibawah umur yang berkaitan dengan pencabulan tidak cukup
hanya dipandang sebagai kenakalan biasa. Anak yang melakukan tindak pidana
pencabulan ini bisa karena beberapa faktor, diantaranya adalah adanya rasa ingin tahu
yang besar yang dimiliki oleh anak, banyaknya peredaran video porno, gaya pacaran
anak zaman sekarang yang kurang terkontrol, perkembangan teknologi, faktor keluarga,
faktor meniru perilaku orang-orang disekitarnya, nilai-nilai keagamaan yang semakin
hilang di masyarakat, tayangan televisi dan jaringan internet yang kian menyediakan
situs-situs tidak baik bagi anak-anak.7

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya
tindak pidana yang dilakukan anak adalah dengan diterapkannya sanksi hukum

pidana bagi anak yang melakukan kejahatan. Dalam hal ini peranan hakim yang
menangani perkara pidana anak sangatlah penting. Hakim mempunyai
wewenang untuk melaksanakan peradilan. Hakim wajib menggali dan
memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab seorang anak melakukan
tindak pidana. Hakim sebagai aparat pemerintah, mempunyai tugas memeriksa,
menyelesaikan, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Yenni Widyaastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan
Oleh Anak (Studi Kasus Putusan No.49/Pid.B/2013/PN.Sungguminasa) (Skripsi Ilmu
Hukum- Universitas Hasanuddin, 2014), Hal. 3.
7

Universitas Sumatera Utara

8

Hakim harus dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan
masyarakat.


Dalam

menjatuhkan

putusan

pidana,

hakim

harus

mempertimbangkan tujuan dari pemidanaan itu sendiri, yaitu membuat pelaku
tindak pidana jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Hakim tidak
boleh hanya memperhatikan kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana.
Berbagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam menghadapi masalah anak
adalah sekolah, orang tua, masyarakat sekitar, penegak hukum, dan pemerintah.
Pihak-pihak tersebut harus lebih memberikan perhatian dan penanganan secara
khusus dengan melakukan pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku
anak tersebut. Dalam penegakan hukum, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. 8
Maraknya kasus yang sampai dipengadilan terkait dengan anak sebagai
pelaku tindak pidana yang dalam hal ini tindak pidana pencabulan membuat
perlu dijadikan suatu pembahasan yang serius. Perlu diingat bahwa sejak
diberlakukannya Undang-Undang Pengadilan Anak yang saat ini belum secara
efektif diterapkan, membuat pelaksanaan hukum pidana anak di pengadilan
menjadi tidak menentu baik dilihat dari visi penjatuhan pidana maupun dari misi
mekanismenya. 9
Beberapa kasus mengenai tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh
anak yang sempat menjadi sorotan adalah Kasus Moch Yusuf Bin Haryono

Fajar Deni Kusumawati, “Analisis Terhadap Putusan Hakim Berupa Pemidanaan
Terhadap Perkara Tindak Pidana Anak”, (Skripsi Ilmu Hukum--Universitas Sebelas
Maret Surakarta, 2008), Hal.3.
9
Bunadi Hidayat, Op.Cit, Hal. 87.
8

Universitas Sumatera Utara


9

berumur 16 tahun, yang terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan
seorang perempuan yang berumur 4 tahun. Akibat perbuatannya Moch. Yusuf
dijatuhi pidana oleh hakim 1 tahun potong masa tahanan di Pengadilan Negeri
Bojonegoro. Berbeda dengan Kasus Budi Santoso yang berumur 15 tahun, yang
terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul dengan seorng perempuan
berumur 7 tahun. Akibat perbuatannya Budi Santoso dijatuhi hukuman pidana 2
bulan potong masa tahanan oleh Pengadilan Negeri Malang.
Pada

Putusan

Pengadilan

Negeri

Pontianak

Nomor:


I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK dengan Terdakwa bernama Ghumantar als Patih
Ghumantar als Tatar yang terbukti secara sah melakukan pencabulan dengan
perempuan berumur 4 tahun, dimana putusan hakimnya yaitu tindakan
pengembalian kepada orang tua dan pidana pelatihan kerja selama 3 bulan.
Berbeda lagi dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.SusAnak/2014/PN.Mdn dengan terdakwa yaitu Muhammad Lutfi Efriadi yang
terbukti secara sah melakukan perbuatan dengan sengaja membujuk untuk
melakukan persetubuhan dengan perempuan berumur 15 tahun yang dimana
hukuman yang dijatuhi oleh hakimnya yaitu pidana penjara selama 2 tahun dan
denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan penjelasan beberapa contoh diatas, terlihat adanya perbedaan
putusan pidana yang diberikan oleh hakim bagi anak pelaku tindak pidana
pencabulan. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan mencolok dalam proses

Universitas Sumatera Utara

10

penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau
berkarakter sama sering disebut dengan disparitas pidana.10

Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam
penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/
disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan
putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun
membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya.
Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat
pada

institusi

peradilan,

yang

kemudian

diwujudkan

dalam

bentuk

ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan
masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga
terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai
rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem
peradilan pidana. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan
peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh
Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan
didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk
menegakkan hukum. 11 Perbedaan pertimbangan yang digunakan oleh hakim
yang menyebabkan perbedaan terhadap penjatuhan pidana bagi anak sebagai
pelaku tindak pidana pencabulan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih
dalam.

10

SanthosWachjoe,DisparitasPutusanHakim,http://santhoshakim.blogspot.com/20
13/11/disparitas-putusan-hakim.html, Diakses Tanggal 23 April 2015, Pukul 13.22
Wib.
11
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

11

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang
berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Penjatuhan Hukuman
Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK;
Putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

Nomor:

2/Pid.Sus-

Anak/2014/PN.Mdn)”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah serta pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas maka untuk memudahkan menyusun skripsi ini, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai anak sebagai
pelaku tindak pidana pencabulan?
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim terhadap penjatuhan hukuman kepada
anak pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK; Putusan

Pengadilan

Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia. Sesuai dengan
permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

12

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia yang mengatur
mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan
2. Untuk mengetahui pertimbangan yang digunakan hakim terhadap
penjatuhan hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan
Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:
1. Manfaat secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan
ilmu hukum pidana. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi mahasiswa, penegak hukum dalam melakukan penelitian
yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Serta dapat memberikan
informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai tindak pidana pencabulan
yang dilakukan oleh anak dan apa saja yang dijadikan pertimbangan hukum bagi
hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap
Penjatuhan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK;

Universitas Sumatera Utara

13

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang
berlaku maupun dengan fenomena tindak pidana pencabulan yang dilakukan
oleh anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan
berbagai pihak. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian penulisan judul juga
telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian
penulisan. Apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan
yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi
ini.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencabulan
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,
dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para
ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu tetapi sampai
saat ini belum ada keseragaman pendapat. 12

12

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Pers,
2002, Hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

14

Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah
tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”. 13 Vos juga
merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.14 Wirjono Prodjodikoro,
menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana. 15
Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu
perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan
(schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian
tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena
akan meliputi : 16
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya

13

Ibid, Hal. 72.
Ibid.
15
Ibid, Hal. 75.
16
Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: C.V Mandar
Maju, 2012, Hal. 160.
14

Universitas Sumatera Utara

15

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Simons merumuskan unsur-unsur dalam suatu tindak pidana meliputi
unsur subyektif dan unsur obyektif yaitu: 17
Unsur Subyektif:
1.Orang yang mampu bertanggungjawab
2.Adanya kesalahan (Dollus atau Culpa), setiap perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Unsur Obyektif:
1.Perbuatan orang
2.Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
3.Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam
Pasal 281 KUHP sifat “openbaar’ atau dimuka umum.
Menurut uraian tindak pidana yang dikemukakan oleh Vos, Unsur-Unsur
Tindak Pidana meliputi : 18
1. Kelakuan manusia
2. Diancam dengan Pidana
3. Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar,
jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 19
1. Kelakuan (orang yang)
17

TenagaSosial.Com,Unsur-UnsurTindakPidana,
http://www.tenagasosial.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html,DiaksesTanggal
19 April 2015, Pukul 12.22 WIB.
18
Adami Chazawi, Op.Cit, Hal. 80.
19
Ibid, Hal. 81.

Universitas Sumatera Utara

16

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum
3. Diancam dengan hukuman
4. Dilakukan oelh orang (yang dapat)
5. Dipersalahkan / kesalahan

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau
mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan kehendak yang
mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya
dengan jenis-jenis tindak pidana. KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana
ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu dalam buku kedua dan ketiga masingmasing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.
Secara umum jenis-jenis tindak pidana dapat juga dibagi kedalam
beberapa kelompok, yaitu:20
1) Menurut sistem KUHP
Dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran
yang dimuat dalam buku III Alasan pembedaan antara kejahatan dan
pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal
ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang
diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda,
sedangkan kejahatan dengan ancaman pidana penjara.

20

Nur Ikhsan Fiandy, Tinjuan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penipuan, (Skripsi
Ilmu Hukum- Universitas Hasanudin-2012), Hal. 14-18.

Universitas Sumatera Utara

17

2) Menurut cara merumuskannya
Dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memberikan arti bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau
tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat
penyelesaian tindak pidana, melainkan hanya pada perbuatannya. Tindak pidana
materil adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan
dipidana.
3) Berdasarkan bentuk kesalahan
Dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak
dengan sengaja (culpa). Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsurkesengajaan,
sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung culpa.
4) Berdasarkan macam perbuatannya
Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif dan dapat juga disebut tindak
pidana komisi dan tindak pidana pasif disebut juga tindak pidana omisi. Tindak
pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif.
Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan
adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Bagian terbesar tindak
pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak

Universitas Sumatera Utara

18

pidana pasif ada 2 (dua), yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif
yang tidak murni.Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata
unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana
pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak
pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak
pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak
berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar benar timbul.
5) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya
Dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana
terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus
menerus. Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk
terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya, ada tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung
lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung
terus menerus yang disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini
juga dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang
terlarang.
6) Berdasarkan sumbernya
Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP
sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu,

Universitas Sumatera Utara

19

tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi KUHP.
7) Dilihat dari segi subjeknya
Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang
dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu). Pada
umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua
orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat
dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai negeri
(pada kejahatan jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan pelayaran).
8) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan,
Dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana
diperberat dan tindak pidana yang diperingan. Dilihat dari berat ringannya, ada
tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :
1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga
disebut dengan bentuk standar;
2. Dalam bentuk yang diperberat;
3. Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya
semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan. Sementara itu, pada bentuk yang
diperberat dan/atau diperingan tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk
pokok, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal
bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

20

memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Adanya faktor
pemberat atau faktor peringan menjadikan ancaman pidana terhadap bentuk
tindak pidana yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau
lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 21

d. Tindak Pidana Pencabulan
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual
dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah
kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan
santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak
pidana asusila,mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan
perempuan, dll. 22
Pencabulan atau perbuatan cabul (Ontuchtige Handelingen) dapat juga
diartikan sebagai segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri
sendiri maupun pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat
kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Dari
pengertian di atas, dapatlah diketahui oleh siapapun yang tidak memiliki

21

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Makassar: Rangkang Education, 2012
Hal. 28.
22
Chasyati, Tindakan Asusila Pencabulan, Chasyati.blogspot.com/2014/05/tulisantindakan-asusila-pencabulan.html, Diakses Tanggal 19 April 2015, Pukul 14.15 WIB.

Universitas Sumatera Utara

21

legalitas hukum dalam hubungan suami istri tetap dipidana sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.23
Pengertian pencabulan itu sendiri lebih luas dari pengertian bersetubuh.
Sebagaimana pengertian bersetubuh menurut Hoge Raad yang mengandung
pengertian perpaduan alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan,
dimana disyaratkan masuknya penis kedalam liang vagina, kemudian penis
mengeluarkan

sperma

sebagaimana

biasanya

membuahkan

kehamilan.

Sementara itu, apabila tidak memenuhi salah satu syarat saja, misalnya penis
belum masuk spermanya sudah keluar, kejadian ini bukanlah persetubuhan
namanya, tetapi perbuatan cabul sehingga bila dilakukan dengan memaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan
berbuat cabul.24
e. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan
Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan
cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi unsur- unsur
sebagai berikut: 25
Unsur-unsur Pasal 290
a.Unsur objektif:
1) Barang siapa;
Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan
bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur

23

Chazawi Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanaan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, Hal. 80.
24
Ibid
25
Chasyati, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

22

dari tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam
Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai palaku dari tidak pidana
tersebut.
2) Melakukan pencabulan dengan seseorang;
Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan
perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji
dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba
anggota kemaluan, meraba-raba, buah dada dan sebagainya.
b.Unsur subjektif:
Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2. Pengertian Anak dan Kedudukan Anak dalam Hukum
Terdapat beberapa pengertian anak menurut peraturan perundangundangan begitu juga menurut para pakar. Namun tidak ada keseragaman
mengenai pengertian anak tersebut. Secara umum dapat diketahui yang
dimaksud dengan anak yaitu orang yang masih belum dewasa atau masih belum
kawin.
Pengertian

anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUH Pidana) yaitu, Anak yang
belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun, di dalam hal
penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu
perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:
memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya,

Universitas Sumatera Utara

23

walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya
yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika
perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasalpasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan
540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 330 dimuat
bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai genap umur 21
Tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002
jo Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal
1 dinyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No.1
Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah
mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan
dispensasi kepada Pengadilan Negeri.
Menurut Sugiri sebagai mana yang dikutip dalam buku karya Maidin
Gultom mengatakan bahwa: “Selama di tubuhnya masih berjalan proses
pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru menjadi
dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur

Universitas Sumatera Utara

24

anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan
belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki”.26
Batasan usia bagi anak juga dapat dilihat pada dokumen-dokumen
internasional seperti: 27
a. Task Force on Juvenile Deliquency Prevention, menentukan bahwa
seyogianya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak
dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah
10 Tahun dan batas antara 16-18 Tahun.
b. Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan
anak yaitu seseorang yang berusia 7-18 Tahun.
c. Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 Tahun, artinya anak
adalah seseorang yang berusia dibawah 18 Tahun.
Signifikasi kedudukan khusus anak dalam Hukum, Sama halnya dengan
orang dewasa, anak dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya
mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam, dan hukum. Prinsip
kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur
internal dan eksternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu:
Unsur internal pada diri anak, meliputi : 28

26

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua,
Bandung,: P.T.Refika Aditama, 2010, Hal. 32.
27
Nashriana, Op.Cit, Hal. 9.
28
Rian Suheri Akbar, Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Pembunuhan
Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak, (Skripsi Ilmu Hukum- Universitas Hasanuddin2012), Hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

25

(a) Bahwa anak tersebut merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa,
artinya sebagai seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human
rights yang terikat dengan ketentuan perundang-undangan.
(b) Persamaan hak dan kewajiban anak, maksudnya adalah seorang anak juga
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang
diberikan oleh ketentuan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan
hukumnya. Hukum meletakkan anak dalam reposisi sebagai perantara
hukum untuk dapat memperoleh hak atau melakukan kewajiban-kewajiban.
dan atau untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa; atau
disebut sebagai subjek hukum yang normal.
Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai
manusia adalah sama di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada
posisi yang istimewa (khusus). Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku pada anak dibedakan dengan ketentuan Hukum yang diberlakukan
kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak
dalam proses acara di pengadilan.

3. Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan
Anak sebagai pelaku tindak pidana merujuk kepada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yaitu batas usia anak yang dapat
dipertanggungjawabkan bukan lagi telah mencapai 8 tahun dan belum 18 tahun
tetapi telah mencapai umur 12 tahun dan belum 18 tahun. Di Indonesia ada
beberapa Rujukan Perundang-Undangan yang mengatur tentang anak, misalnya

Universitas Sumatera Utara

26

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 jo Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak.
Anak sebagai pelaku tindak pidana sering disebut sebagai Anak Nakal,
dimana Anak Nakal menurut Sudarto adalah : 29
a.Yang melakukan tindak pidana:
b.Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orangtua/wali/pengasuh;
c.Yang

sering

meninggalkan

rumah,

tanpa

ijin/pengetahuan

orang

tua/wali/pengasuh;
d.Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang tidak bermoral,
sedang anak tersebut mengetahui hal itu;
e. Yang kerapkali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak;
f. Yang sering menggunakan kata-kata kotor;
g.Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi
perkembangan pribadi, sosial, rohani dan jasmani anak itu.
Pelaku tindak pidana adalah mereka yang melakukan suatu perbuatan yang
oleh hukum (peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu
perbuatan yang terlarang dan dapat dipidana. Pelaku tindak pidana dapat pula
mencakup mereka yang turut serta melakukan, menyuruh melakukan, ataupun
membujuk seseorang agar melakukan sesuatu perbuatan pidana.
29

Arnaz Dwijayanto, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan
yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak, (Skripsi Ilmu Hukum-Universitas
Hasanudin-2014), Hal. 21-22.

Universitas Sumatera Utara

27

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Pengadilan Anak memuat
didalam Pasal 1 ayat (3) bahwa:
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa:
“Bagi setiap orang baik orang dewasa maupun anak sebagai pelaku tindak
pidana pencabulan adalah mereka yang dengan sengaja melakukan kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
seorang anak untuk melakukan perbuatan cabul dipidana dengan penjara paling
lama 15 Tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000”.
Meskipun demikian, anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan tetap
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan serta jaminan atas hak-hak
anak dalam menjalani sebuah proses peradilan atas perbuatan yang
dilakukannya. Oleh karena itu, dalan hal menjatuhkan vonis hukuman terhadap
anak pelaku tindak pidana, Hakim patut memperhatikan secara cermat akan
jaminan masa depan si anak kelak dikemudian hari atas vonis yang dijalaninya
nanti.

4. Pertimbangan Hakim
Didalam banyak literatur dikenal ada dua dasar pertimbangan yang dapat
digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Menurut Muhammad
Rusli, pertimbangan hakim dibagi atas :

Universitas Sumatera Utara

28

A.

Pertimbangan yang bersifat yuridis30
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh
Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain:
1) Dakwaan jaksa penuntut umum
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah
pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas
terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang
dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan
sidang pengadilan.
2) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa menurut Pasal 184 butir e KUHAP, digolongkan
sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
dialami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas
pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum
3) Keterangan saksi
Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang
keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan
30

Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2007, Hal. 212-220.

Universitas Sumatera Utara

29

dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama
dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.
4) Barang-barang bukti
Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan
penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang
meliputi:
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana;
2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkan;
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
4. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung tindak pidana yang
dilakukan.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk alat bukti.
Sebab Undang-Undang menetapkan lima macam alat bukti yaitu keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Adanya barang
bukti yang terungkap pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam
menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, dan sudah
barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui
oleh terdakwa ataupun saksi-saksi.

Universitas Sumatera Utara

30

5) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana
Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu
dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan
hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti
tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang
dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana.
B. Pertimbangan yang bersifat non yuridis:31
1.

Latar belakang terdakwa
Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang

menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa
dalam melakukan tindak pidana kriminal.
2.

Akibat perbuatan terdakwa
Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban

ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari
kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada
masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa
terancam.
3.

Kondisi diri terdakwa
Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa

sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada
terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan,
sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang

31

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

31

dapat berupa: tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan
lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang
dimiliki dalam masyarakat.
4.

Agama terdakwa
Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar

meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi
ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri
maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.
Lazimnya dalam praktik peradilan dalam putusan Hakim sebelum
pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka
Hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan beriorentasi
pada dimensi tentang locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah
tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa
terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat
langsung dan tidak langsung dari perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak
pidana, dan sebagainya.
Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan
pada putusan Hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dan
tindak pidana yang telah didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Sebelum
mempertimbangkan

unsur-unsur

tersebut

menurut

praktek

lazimnya

dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antar fakta-fakta, tindak
pidana yang didakwakan, dan unsur-unsur kesalahan terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

32

Dalam proses persidangan, anak sebagai peaku tindak pidana, Hakim juga
harus mempertimbangkan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. Laporan
Pembimbing Kemasyarakatan hanya digunakan dalam proses persidangan yang
menempatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Laporan ini berguna bagi
Hakim guna mengenal lebih dalam pribadi anak sehingga hasil putusannya akan
lebih terarah serta sesuai dengan kebutuhan anak.
Pengaturan mengenai Laporan Pembimbing Kemasyarakatan terdapat
pada pasal 57 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem
Pengadilan Pidana Anak :
Pasal 57 :
(1) Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan
mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim
berpendapat lain.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi:
a. data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial;
b. latar belakang dilakukannya tindak pidana;
c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap
tubuh atau nyawa;
d. hal lain yang dianggap perlu;
e. berita acara Diversi; dan
f. kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Sebuah laporan Pembimbing Kemasyarakatan dibuat oleh seorang petugas
sosial (social worker) Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
(BIPAS) dalam bentuk suatu case study (studi kasus). Gambaran mengenai
keadaan si anak terdapat dalam studi kasus berupa:
1. Masalah sosialnya;
2. Kepribadiannya;

Universitas Sumatera Utara

33

3. Latar belakang kehidupannya, contoh : riwayat sejak kecilnya,
pergaulan di luar dan di dalam rumah, hubungan interaksi antara
anggota keluarga, latar belakang dilakukannya pidana tersebut.
Data-data yang diperlukan dalam rangka pembuatan laporan Bimbingan
Kemasyarakatan diperoleh dari keterangan si anak sendiri, orang tua anak, dan
lingkungan sekitar anak. Hasil dari laporan Bimbingan Kemasyarakatan
tidaklah bersifat mengingat Hakim tetapi merupakan suatu alat pertimbangan
yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh Hakim. Sehingga menjadi
pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara pidana anak di muka
Pengadilan.
Dengan keberadaan laporan Bimbingan Kemasyarakatan diharapkan
Hakim dapat lebih mengenal pribadi anak dan mengerti kondisi sebenarnya
yang dialami oleh anak sebagai latar belakang terjadinya suatu tindak pidana
oleh anak. Sehingga hasil putusan dari hakim dapat sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan anak. Dimana putusan Hakim haruslah lebih mengedepankan
pemberian bimbingan edukatif, disamping yang bersifat menghukum.

F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan
skripsi ini meliputi:

Universitas Sumatera Utara

34

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif32 yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga
sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif
disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan
atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum
yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau
studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan
terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak Nomor 11 Tahun
2012 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, Hal.

51.

Universitas Sumatera Utara

35

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya. 33
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya. 34
3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan
menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori
hukum pidana khususnya tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
hukuman kepada anak pelaku tindak pidana pencabulan. Analisis secara
deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data
sebenarnya. Analisis secara induktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan
peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia tentang Anak sebagai pelaku
tindak pidana yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang
bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab dan sub-sub
bab yang diuraikan sebagai berikut :
33
34

Ibid, Hal. 52.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

36

BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian
penulisan,

tujuan

penulisan,

manfaat

penulisan,

tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika
penulisan.
BAB II

PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
Didalam bab ini akan dibahas pengaturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan.
Dimana pengaturan hukumnya terdapat didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUH PIDANA), Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BAB III

ANALISIS
PENJATUHAN

PERTIMBANGAN
HUKUMAN

HAKIM

KEPADA

TERHADAP

ANAK

PELAKU

TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.PTK; Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)
Secara umum bab ini berisi tentang pertimbangan hakim didalam
menjatuhkan hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana
pencabulan. Pertimbangan hakim ini dapat dilihat dari dua putusan
yang dijadikan bahan penelitian dengan membahas posisi kasus

Universitas Sumatera Utara

37

yang terdiri dari kronologi kasus, dakwaan jaksa penuntut umum,
fakta hukum dan menganalisis putusan hakim.
BAB IV

PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan
saran yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas
dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Bab II BAB II Bab III TINJAUAN PUSTAKA Bab IV - Analisis Optimalisasi Pola Tanam Pada Daerah Irigasi Waduk Keuliling Kabupaten Aceh Besar NAD

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bank - Analisis Perbandingan Tingkat Kepuasan Nasabah Terhadap Pelayanan Bank Mandiri Dan BCA

0 0 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunitas - Solidaritas Sosial Dalam Komunitas Punk Dengan Studi Deskriptif Pada Komunitas Punk Simpang Aksara Medan

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Solidaritas Sosial Dalam Komunitas Punk Dengan Studi Deskriptif Pada Komunitas Punk Simpang Aksara Medan

0 0 8

Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Enzim Lipase Dari Bacillus cereus DA 5.2.3 Dalam Degradasi Pakan Udang

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Enzim Lipase - Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Enzim Lipase Dari Bacillus cereus DA 5.2.3 Dalam Degradasi Pakan Udang

0 0 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 13

Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 11

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13