BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Enzim Lipase - Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Enzim Lipase Dari Bacillus cereus DA 5.2.3 Dalam Degradasi Pakan Udang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enzim Lipase
Enzim merupakan suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis
(biokatalisator) (Muchtadi et al., 1992). Menurut Suhartono (1989) enzim
memiliki sifat yang khas yaitu sangat aktif walaupun konsentrasinya amat rendah,
sangat selektif, bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan
tinggi dan tanpa logam yang umumnya beracun).
Enzim lipase dapat diperoleh dari hewan, tanaman dan mikroorganisme.
Menurut
Svendsen
(1994)
enzim lipase
yang
bersumber
dari
hewan
dikelompokkan berdasarkan sumbernya yaitu: lipase pada sistem pencernaan,
lipase yang terdapat pada jaringan seperti hati, paru-paru dan ginjal serta lipase
dalam air susu. Menurut Mukherjee dan Hills (1994) enzim lipase dari tanaman
dikelompokkan menjadi lipase triasilgliserol, asilhidrolase, fosfolipase dan
lisofosfolipase. Sedangkan enzim lipase yang bersumber dari mikroorganisme
menurut Svendsen (1994) dibagi menjadi lipase yang berasal dari bakteri, kapang
dan khamir.
Lipase
merupakan
biokatalisator
yang
mempunyai
kemampuan
mengkatalisis reaksi hidrolisis lipid menjadi asam lemak dan gliserol. Oleh karena
kemampuannya dalam menghidrolisis lipid, lipase dapat dimanfaatkan sebagai
aditif dalam industri detergen. Lipase yang digunakan dalam industri detergen
mempunyai sifat seperti rentang pH antara 8-10,5, serta tetap aktif pada suhu
300C-600C (Zusfahair et al., 2008).
Enzim lipase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis trigliserida
menjadi asam lemak bebas (ALB), gliserida (digliserida dan monogliserida) serta
gliserol (Winarno, 1995). Reaksi enzim lipase merupakan reaksi yang terjadi
secara bertahap yang menghasikan digliserida dan monogliserida sebagai senyawa
antara (Brockman, 1984). Reaksi hidrolisis ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Digliserida dan monogliserida yang merupakan senyawa antara mempunyai sifat
Universitas Sumatera Utara
6
aktif permukaan atau penurunan tegangan permukaan yang lebih baik
dibandingkan trigliserida..
lipase
Trigliserida
+
H2O
Digliserida
+
H2O
Monogliserida +
H2O
Digliserida
+
ALB
Monogliserida +
ALB
Gliserol
ALB
lipase
lipase
+
lipase
Trigliserida
+
3H2O
Gliserol
Keterangan: ALB = Asam Lemak Bebas (Macrae, 1983)
+ 3ALB
Pada berbagai produk, enzim lipase sudah banyak digunakan terutama
dalam pengolahan susu, pembuatan keju, pembuatan mentega, serta dalam
pembuatan produk-produk pangan yang lain (Muchtadi et al, 1992).
2.2 Bacillus
2.2.1 Karakteristik Bacillus sp.
Marga Bacillus merupakan salah satu dari enam bakteri penghasil endospora,
yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium, Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermo actinomy cetes. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval, elips
atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut
membedakan Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Spora Bacillus
pertama kali dideskripsikan oleh Cohn pada tahun 1872 pada B. subtilis yang
semula disebut Vibrio subtilis oleh Ehrenberg pada 1835. Cohn menunjukkan
bahwa spora tersebut mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel
vegetatifnya ( Hemphill, 2006).
Bacillus spp asal laut telah diteliti oleh ahli-ahli peneliti kelautan dan
terbukti
mempunyai
beberapa
kemampuan,
diantaranya
adalah
mampu
menghasilkan zat antibiotik yang dapat melawan bakteri patogen Vibrio cholerae,
sebagai penghasil enzim pemecah senyawa glukan yaitu Bacillus circulans No.
MT-G2, mampu menguraikan minyak mentah dan hidrokarbon lain (Effendi
1998), sebagai bakteri pemecah minyak (Thayib, 1982). Bacillus sp. merupakan
bakteri gram positif dengan sel berbentuk batang. Ujung sel persegi, bundar,
Universitas Sumatera Utara
7
meruncing, atau lancip seperti ujung cerutu. Ujung sel terpisah dan adakalanya
tetap saling melekat dengan yang lainnya (Pelczar dan Chan, 1986). Bacillus sp.
sangat resisten terhadap kondisi yang kurang baik seperti suhu, pH, dan salinitas
sehingga distribusinya di alam sangat luas.
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram-positif dan fakultatif aerob.
Ukuran dari sel vegetatifnya sekitar 1.0- 1.2 μm atau 3.0-5.0 μm. Spora terletak di
tengah atau tepi sel. Organisme ini tidak menghasilkan manitol dan memiliki
phospolipase (lecithinase) yang sangat aktif (Wong, 2010). Bacillus sp. berbentuk
batang, 0,3 – 2,2 µ x 127 – 7,0 µm. Sebagian besar motil, flagelum lateral,
membentuk endospora, tidak lebih dari satu dalam satu sel sporangium serta
bersifat kemoorganotrof (Pelczar dan Chan, 2005).
2.2.2 Ciri-Ciri Morfologi dan Fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3.
Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki warna koloni krem keputihan, bentuk koloni bulat,
pinggiran tidak rata. Pada bagian pusat koloni terbentuk titik seperti inti yang
dikelilingi garis halus melingkar menuju inti. Isolat ini merupakan bakteri Gram
positif berbentuk batang tunggal maupun rantai. Endospora dihasilkan pada
pewarnaan menurut Schaefer-Fulton. Isolat DA 5.2.3 menghasilkan enzim
katalase, nitrat reduktase, arginin dehidrolase serta menghidrolisis gelatin, kasein
dan pati. Isolat ini menggunakan natrium malonat sebagai sumber nitrogen, salisin
sebagai sumber karbon, tetapi tidak menggunakan glukosa, sukrosa ataupun
0
laktosa. Ketika ditumbuhkan pada suhu 50 C ataupun pada NaCl 7%, isolat ini
tidak tumbuh (Jamilah, 2011).
2.2.3 Pemanfaatan Bacillus sp.
Bacillus sp. telah banyak digunakan baik dalam industri maupun
lingkungan salah satunya merupakan untuk teknik bioremediasi. Bioremediasi
merupakan proses degradasi bahan organik menjadi senyawa lain misalnya CO2,
CH4, H2O, garam anorganik, biomassa, dan hasil samping yang sedikit lebih
sederhana dari senyawa semula secara biologis. Proses bioremediasi bergantung
pada kemampuan organisme yang digunakan dan sistem yang dioperasikan pada
jangka waktu tertentu. Proses ini didasari oleh dekomposisi bahan organik yang
Universitas Sumatera Utara
8
dilakukan misalnya oleh bakteri atau jamur heterotropik. Proses bioremediasi
akan berjalan optimal pada suhu dan pH tertentu serta harus tersedia nutrisi dan
oksigen yang cukup bagi organisme yang digunakan (Citroreksoko, 1996).
2.3 Kandungan Lemak dalam Pakan Udang
Lemak
merupakan
komponen
nutrisi
penting
yang
dibutuhkan
untuk
perkembangan ovarium, terutama asam lemak tidak jenuh tinggi (n-3 HUFA) dan
fosfolipid. Konsentrasi lemak dalam pakan komersial untuk induk udang berkisar
10% dan ini 3% lebih tinggi dari pakan komersial untuk jenis grower. Total
kandungan lemak dalam pakan dilaporkan tidak begitu penting berpengaruh,
namun diyakini bahwa pakan yang kaya akan kandungan n-3 HUFA (Asam
Aicosapentanoat = EPA dan Asam Docosaheksanoat = DHA) ditemukan
mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan ovarium, fekunditas, dan
kualitas telur (Tacon, 1987).
Lemak diperlukan oleh udang tidak hanya sebagai sumber energi saja.
Oleh karena lemak juga terdapat asam lemak essensial dan vitamin-vitamin yang
larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, K maka lemak juga berfungsi sebagai
pembawa dan mempertinggi penyerapan vitamin yang larut dalam lemak serta
mempengaruhi aroma dan tekstur pakan (Edhy, et al., 2010).
Asam lemak penting bagi udang adalah asam linolenat, asam lemak ini
banyak terdapat pada bagian kepala udang, didalam tubuh udang kelebihan lemak
disimpan dalam bentuk trigliserida. Disamping asam lemak essensial udang juga
membutuhkan kolesterol dalam makanannya, sebab udang tak mampu mensintesa
nutrien itu dalam tubuh udang. Kolesterol berperan dalam proses moulting.
Penambahan kolesterol di dalam tubuh udang melalui makanan akan sangat
berpengaruh pada kadar kolesterol, kebutuhan kolesterol diperkirakan sebanyak
0,5%. Asam lemak n-6 HUFAs sebagai prekursor hormon prostaglandin dan
memainkan peranan penting dalam proses reproduksi dan vitellogenesis. Namun
pada kenyataannya banyak dijumpai bahwa pakan komersial yang diformulasikan
khusus untuk induk udang masih nampak defisiensi asam arachidonat dan EPA.
Rasio (n-3: n-6) HUFA sekitar 3:1 dilaporkan menghasilkan tingkat kematangan
Universitas Sumatera Utara
9
reproduksi udang yang optimum. Sumber lemak dalam bentuk trigliserida selama
proses pematangan gonad juga meningkat dalam telur, dan diyakini nutrisi ini
berperan sebagai sumber energi utama dalam reproduksi dan penentu kualitas
telur. Lemak mengandung kalori hampir dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan protein maupun karbohidrat, karena perannya sebagai sumber energi
sangat besar meskipun kadarnya dalam makanannya relatif kecil (Tacon, 1987).
2.4 Permasalahan Pakan Udang di Perairan Tambak
Pakan udang yang diberikan kepada udang secara berlebihan mampu
menimbulkan masalah terhadap lingkungan perairan tambak. Senyawa organik
yang terkandung di dalam pakan udang akan terkumpul di dalam perairan tambak
dan mempengaruhi pertumbuhan udang. Salah satu faktor yang berpengaruh
langsung terhadap pencemaran pakan udang yaitu kandungan oksigen di dalam air
(Dissolved Oxygen/ DO). Kandungan DO dalam perairan tambak sangat
berpengaruh terhadap fisiologi udang. Kadar oksigen merupakan faktor
lingkungan yang terpenting pada tambak udang. Apabila terjadi penurunan
kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air (merupakan variabel kualitas air
pembatas utama dalam budidaya), akan mengakibatkan mudah terserang penyakit
dan memiliki pertumbuhan yang lambat, laju konsumsi pakan dan kelulusan
kehidupan yang rendah (Boyd, 1982). Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l
udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan
pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0 -1,4 mg/l, memiliki
pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5,9
mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan
Law, 1988).
Pada tambak semi-intensif dan tambak intensif sejalan dengan masa
pemeliharaan jumlah bahan organik yang berasal dari kotoran sisa pakan dan
jasad mati dapat terakumulasi di dasar tambak dari waktu ke waktu.
Menumpuknya bahan organik secara berlebihan di dasar tambak (lumpur) akan
menurunkan daya dukung lingkungan tambak (carrying capacity) dan dapat
mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerobik pada dasar tambak akibat aktivitas
mikroorganisme (Boyd, 1992 dan Cholik, 1993).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enzim Lipase
Enzim merupakan suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis
(biokatalisator) (Muchtadi et al., 1992). Menurut Suhartono (1989) enzim
memiliki sifat yang khas yaitu sangat aktif walaupun konsentrasinya amat rendah,
sangat selektif, bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan
tinggi dan tanpa logam yang umumnya beracun).
Enzim lipase dapat diperoleh dari hewan, tanaman dan mikroorganisme.
Menurut
Svendsen
(1994)
enzim lipase
yang
bersumber
dari
hewan
dikelompokkan berdasarkan sumbernya yaitu: lipase pada sistem pencernaan,
lipase yang terdapat pada jaringan seperti hati, paru-paru dan ginjal serta lipase
dalam air susu. Menurut Mukherjee dan Hills (1994) enzim lipase dari tanaman
dikelompokkan menjadi lipase triasilgliserol, asilhidrolase, fosfolipase dan
lisofosfolipase. Sedangkan enzim lipase yang bersumber dari mikroorganisme
menurut Svendsen (1994) dibagi menjadi lipase yang berasal dari bakteri, kapang
dan khamir.
Lipase
merupakan
biokatalisator
yang
mempunyai
kemampuan
mengkatalisis reaksi hidrolisis lipid menjadi asam lemak dan gliserol. Oleh karena
kemampuannya dalam menghidrolisis lipid, lipase dapat dimanfaatkan sebagai
aditif dalam industri detergen. Lipase yang digunakan dalam industri detergen
mempunyai sifat seperti rentang pH antara 8-10,5, serta tetap aktif pada suhu
300C-600C (Zusfahair et al., 2008).
Enzim lipase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis trigliserida
menjadi asam lemak bebas (ALB), gliserida (digliserida dan monogliserida) serta
gliserol (Winarno, 1995). Reaksi enzim lipase merupakan reaksi yang terjadi
secara bertahap yang menghasikan digliserida dan monogliserida sebagai senyawa
antara (Brockman, 1984). Reaksi hidrolisis ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Digliserida dan monogliserida yang merupakan senyawa antara mempunyai sifat
Universitas Sumatera Utara
6
aktif permukaan atau penurunan tegangan permukaan yang lebih baik
dibandingkan trigliserida..
lipase
Trigliserida
+
H2O
Digliserida
+
H2O
Monogliserida +
H2O
Digliserida
+
ALB
Monogliserida +
ALB
Gliserol
ALB
lipase
lipase
+
lipase
Trigliserida
+
3H2O
Gliserol
Keterangan: ALB = Asam Lemak Bebas (Macrae, 1983)
+ 3ALB
Pada berbagai produk, enzim lipase sudah banyak digunakan terutama
dalam pengolahan susu, pembuatan keju, pembuatan mentega, serta dalam
pembuatan produk-produk pangan yang lain (Muchtadi et al, 1992).
2.2 Bacillus
2.2.1 Karakteristik Bacillus sp.
Marga Bacillus merupakan salah satu dari enam bakteri penghasil endospora,
yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium, Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermo actinomy cetes. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval, elips
atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut
membedakan Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Spora Bacillus
pertama kali dideskripsikan oleh Cohn pada tahun 1872 pada B. subtilis yang
semula disebut Vibrio subtilis oleh Ehrenberg pada 1835. Cohn menunjukkan
bahwa spora tersebut mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel
vegetatifnya ( Hemphill, 2006).
Bacillus spp asal laut telah diteliti oleh ahli-ahli peneliti kelautan dan
terbukti
mempunyai
beberapa
kemampuan,
diantaranya
adalah
mampu
menghasilkan zat antibiotik yang dapat melawan bakteri patogen Vibrio cholerae,
sebagai penghasil enzim pemecah senyawa glukan yaitu Bacillus circulans No.
MT-G2, mampu menguraikan minyak mentah dan hidrokarbon lain (Effendi
1998), sebagai bakteri pemecah minyak (Thayib, 1982). Bacillus sp. merupakan
bakteri gram positif dengan sel berbentuk batang. Ujung sel persegi, bundar,
Universitas Sumatera Utara
7
meruncing, atau lancip seperti ujung cerutu. Ujung sel terpisah dan adakalanya
tetap saling melekat dengan yang lainnya (Pelczar dan Chan, 1986). Bacillus sp.
sangat resisten terhadap kondisi yang kurang baik seperti suhu, pH, dan salinitas
sehingga distribusinya di alam sangat luas.
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram-positif dan fakultatif aerob.
Ukuran dari sel vegetatifnya sekitar 1.0- 1.2 μm atau 3.0-5.0 μm. Spora terletak di
tengah atau tepi sel. Organisme ini tidak menghasilkan manitol dan memiliki
phospolipase (lecithinase) yang sangat aktif (Wong, 2010). Bacillus sp. berbentuk
batang, 0,3 – 2,2 µ x 127 – 7,0 µm. Sebagian besar motil, flagelum lateral,
membentuk endospora, tidak lebih dari satu dalam satu sel sporangium serta
bersifat kemoorganotrof (Pelczar dan Chan, 2005).
2.2.2 Ciri-Ciri Morfologi dan Fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3.
Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki warna koloni krem keputihan, bentuk koloni bulat,
pinggiran tidak rata. Pada bagian pusat koloni terbentuk titik seperti inti yang
dikelilingi garis halus melingkar menuju inti. Isolat ini merupakan bakteri Gram
positif berbentuk batang tunggal maupun rantai. Endospora dihasilkan pada
pewarnaan menurut Schaefer-Fulton. Isolat DA 5.2.3 menghasilkan enzim
katalase, nitrat reduktase, arginin dehidrolase serta menghidrolisis gelatin, kasein
dan pati. Isolat ini menggunakan natrium malonat sebagai sumber nitrogen, salisin
sebagai sumber karbon, tetapi tidak menggunakan glukosa, sukrosa ataupun
0
laktosa. Ketika ditumbuhkan pada suhu 50 C ataupun pada NaCl 7%, isolat ini
tidak tumbuh (Jamilah, 2011).
2.2.3 Pemanfaatan Bacillus sp.
Bacillus sp. telah banyak digunakan baik dalam industri maupun
lingkungan salah satunya merupakan untuk teknik bioremediasi. Bioremediasi
merupakan proses degradasi bahan organik menjadi senyawa lain misalnya CO2,
CH4, H2O, garam anorganik, biomassa, dan hasil samping yang sedikit lebih
sederhana dari senyawa semula secara biologis. Proses bioremediasi bergantung
pada kemampuan organisme yang digunakan dan sistem yang dioperasikan pada
jangka waktu tertentu. Proses ini didasari oleh dekomposisi bahan organik yang
Universitas Sumatera Utara
8
dilakukan misalnya oleh bakteri atau jamur heterotropik. Proses bioremediasi
akan berjalan optimal pada suhu dan pH tertentu serta harus tersedia nutrisi dan
oksigen yang cukup bagi organisme yang digunakan (Citroreksoko, 1996).
2.3 Kandungan Lemak dalam Pakan Udang
Lemak
merupakan
komponen
nutrisi
penting
yang
dibutuhkan
untuk
perkembangan ovarium, terutama asam lemak tidak jenuh tinggi (n-3 HUFA) dan
fosfolipid. Konsentrasi lemak dalam pakan komersial untuk induk udang berkisar
10% dan ini 3% lebih tinggi dari pakan komersial untuk jenis grower. Total
kandungan lemak dalam pakan dilaporkan tidak begitu penting berpengaruh,
namun diyakini bahwa pakan yang kaya akan kandungan n-3 HUFA (Asam
Aicosapentanoat = EPA dan Asam Docosaheksanoat = DHA) ditemukan
mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan ovarium, fekunditas, dan
kualitas telur (Tacon, 1987).
Lemak diperlukan oleh udang tidak hanya sebagai sumber energi saja.
Oleh karena lemak juga terdapat asam lemak essensial dan vitamin-vitamin yang
larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, K maka lemak juga berfungsi sebagai
pembawa dan mempertinggi penyerapan vitamin yang larut dalam lemak serta
mempengaruhi aroma dan tekstur pakan (Edhy, et al., 2010).
Asam lemak penting bagi udang adalah asam linolenat, asam lemak ini
banyak terdapat pada bagian kepala udang, didalam tubuh udang kelebihan lemak
disimpan dalam bentuk trigliserida. Disamping asam lemak essensial udang juga
membutuhkan kolesterol dalam makanannya, sebab udang tak mampu mensintesa
nutrien itu dalam tubuh udang. Kolesterol berperan dalam proses moulting.
Penambahan kolesterol di dalam tubuh udang melalui makanan akan sangat
berpengaruh pada kadar kolesterol, kebutuhan kolesterol diperkirakan sebanyak
0,5%. Asam lemak n-6 HUFAs sebagai prekursor hormon prostaglandin dan
memainkan peranan penting dalam proses reproduksi dan vitellogenesis. Namun
pada kenyataannya banyak dijumpai bahwa pakan komersial yang diformulasikan
khusus untuk induk udang masih nampak defisiensi asam arachidonat dan EPA.
Rasio (n-3: n-6) HUFA sekitar 3:1 dilaporkan menghasilkan tingkat kematangan
Universitas Sumatera Utara
9
reproduksi udang yang optimum. Sumber lemak dalam bentuk trigliserida selama
proses pematangan gonad juga meningkat dalam telur, dan diyakini nutrisi ini
berperan sebagai sumber energi utama dalam reproduksi dan penentu kualitas
telur. Lemak mengandung kalori hampir dua kali lebih banyak dibandingkan
dengan protein maupun karbohidrat, karena perannya sebagai sumber energi
sangat besar meskipun kadarnya dalam makanannya relatif kecil (Tacon, 1987).
2.4 Permasalahan Pakan Udang di Perairan Tambak
Pakan udang yang diberikan kepada udang secara berlebihan mampu
menimbulkan masalah terhadap lingkungan perairan tambak. Senyawa organik
yang terkandung di dalam pakan udang akan terkumpul di dalam perairan tambak
dan mempengaruhi pertumbuhan udang. Salah satu faktor yang berpengaruh
langsung terhadap pencemaran pakan udang yaitu kandungan oksigen di dalam air
(Dissolved Oxygen/ DO). Kandungan DO dalam perairan tambak sangat
berpengaruh terhadap fisiologi udang. Kadar oksigen merupakan faktor
lingkungan yang terpenting pada tambak udang. Apabila terjadi penurunan
kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air (merupakan variabel kualitas air
pembatas utama dalam budidaya), akan mengakibatkan mudah terserang penyakit
dan memiliki pertumbuhan yang lambat, laju konsumsi pakan dan kelulusan
kehidupan yang rendah (Boyd, 1982). Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l
udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan
pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0 -1,4 mg/l, memiliki
pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5,9
mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan
Law, 1988).
Pada tambak semi-intensif dan tambak intensif sejalan dengan masa
pemeliharaan jumlah bahan organik yang berasal dari kotoran sisa pakan dan
jasad mati dapat terakumulasi di dasar tambak dari waktu ke waktu.
Menumpuknya bahan organik secara berlebihan di dasar tambak (lumpur) akan
menurunkan daya dukung lingkungan tambak (carrying capacity) dan dapat
mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerobik pada dasar tambak akibat aktivitas
mikroorganisme (Boyd, 1992 dan Cholik, 1993).
Universitas Sumatera Utara