Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian

  Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penetapan kawasan konservasi merupakan implementasi strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan sebagai fungsi pokok perlindungan dan pelestarian alam. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Adapun kawasan pelestarian alam didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (Departemen Kehutanan, 2007).

  Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia seluas 1.094.692 Ha. Secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. TNGL mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 mdpl di Aceh yang meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang ditutupi oleh hutan lebat khas hujan tropis. TNGL memiliki 3 fungsi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, 2011).

  Bukit Lawang merupakan salah satu bagian dari kawasan TNGL yang merupakan zona pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian Orangutan Sumatera (Pongo abelli). Ekosistemnya digunakan untuk kepentingan konservasi, penelitian, pendidikan, kebudayaan, ekowisata dan rekreasi. Bukit Lawang adalah resort dari wilayah III Bohorok yang terdiri dari empat resort, yaitu Resort Bukit Lawang, Bohorok, Marike dan Bekancan (YOSL-OIC, 2009).

  Dari segi pengelolalaan hutannya, kawasan Bukit Lawang termasuk dalam kawasan kerja wilayah Langkat Selatan TNGL. Secara geografis kawasan ini terletak pada 3

  30 LU - 3

  45 LU dan 98 BT - 98

  15 BT. Batas sebelah utara dan timur berbatasan dengan sungai Bohorok sedangkan sisi lainya berbatasan dengan kawasan TNGL. Secara umum topografi kawasan hutan Bukit Lawang adalah datar, bergelombang dan berbukit. Kawasan ini ada pada ketinggian 100 – 700 mdpl dengan kemiringan mencapai 40 (Departemen Kehutanan, 1990).

  Kawasan hutan di PPOS Bukit Lawang selain sebagai habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii), juga merupakan habitat dari beberapa satwa yang lainnya, diantaranya siamang (Hylobates sindactylus), kedih (Presbytis thomasii), owa (Hylobater lar), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), babi hutan (Sus scrofa), burung kuau raja (Argusianus argus) dan jenis-jenis ular (YOSL-OIC, 2009).

  Taksonomi Orangutan Sumatera (Pongo abelii).

  Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri - ciri khas dasar yang sama dengan saudara - saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan adalah kera besar satu - satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan Kalimantan dan Sumatera. Nama lokal untuk sebutan orangutan berbeda - beda, orangutan jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera, biasanya digunakan julukan “Mawas”, sedangkan di Kalimantan, berbagai nama digunakan termasuk “Maias” atau “Kahiyu” (Van Schaik, 2006).

  Menurut Jones et al., (2004) klassifikasi Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Bangsa : Primata Anak bangsa : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii.

  Morfologi dan Anatomi Orangutan

  Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), warna rambut coklat kekuningan dan tebal (Supriatna dan Edy, 2000). Pada bagian wajah Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut putih, lebih lembut dan lemas apabila dibandingkan dengan rambut Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang -jarang (Galdikas, 1978). Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh orangutan jantan dua kali lebih besar daripada betina. Berat badan betina Orangutan Sumatera (Pongo abelii) maupun Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) rata - rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan jantan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) rata - rata 66 kg dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) rata - rata 73 kg (Galdikas, 1978).

  Menurut Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak jauh yang berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina dan memiliki peranan penting dalam reproduksi. Untuk seruan panjang Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km, terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

  Habitat

  Habitat merupakan keseluruhan resources (sumberdaya), baik biotik maupun fisik pada suatu area yang digunakan oleh suatu spesies satwaliar untuk

  survival dan reproduksi. Habitat dapat menghubungkan kehadiran spesies, populasi atau individu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi (Morrison, 2002).

  Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang sangat penting karena satwa liar dapat bergerak secara mudah untuk mendapatkan makanan, air, tempat reproduksi atau menempati tempat baru yang lebih menguntungkan (Kuswanda, 2012). Berbagai hasil penelitian sebelumnya Galdikas (1978), Sinaga (1992), Van Schaik (1995) dalam Kuswanda (2012) menyebutkan bahwa ketersediaan pakan pada habitat tertentu sangat mempengaruhi sebaran dan populasi orangutan.

  Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa - rawa dan terkadang dapat ditemukan pada hutan perbukitan yang dapat mencapai ketinggian 1500 mdpl. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki persebaran yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan hidup di dataran rendah dengan kepadatan populasi antara ketinggian 200 - 400 mdpl dan di daerah Sumatera orangutan terkadang dapat ditemukan di ketinggian lebih dari 1500 mdpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang saling berdekatan (Meijaard et al., 2001).

  Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara, Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar ini hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan dimana 90 % berada di Indonesia.

  Penyebab utama terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi kehidupan orangutan. Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik dalam makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak maupun tempat untuk mengasuh anak - anaknya. Kawasan tersebut terdiri dari komponen abiotik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup yang disebut habitat (Alikodra, 2002).

  Primata ini sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang menjadi habitatnya. Hutan tropik yang menjadi habitat orangutan harus mampu menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Selain buah, orangutan juga memakan bagian lain dari tumbuhan seperti bunga, daun muda, kulit kayu, beberapa tumbuhan yang dihisap getahnya dan berbagai jenis serangga. Pembukaan kawasan hutan tropik sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi orangutan, di Kalimantan orangutan kehilangan lebih dari separuh habitatnya dari

  2

  2

  areal hutan seluas 415.000 Km saat ini tersisa seluas 165.000 Km

  2

  (39,76 %), sedangkan di Sumatera dari areal hutan seluas 89.000 Km saat ini

  2 yang tersisa seluas 23.000 Km (25,84 %) (Supriatna dan Edy, 2000).

  Ela (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan habitat hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan rawa oleh orangutan menyatakan bahwa orangutan lebih suka tinggal baik dalam mencari makan atau membuat sarang pada hutan dataran bawah, dimana diperoleh 26 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan orangutan dalam hal aktifitas mencari makan. Jenis tumbuhan yang mendominansi pada sebuah habitat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik dan lingkungan, persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Iklim dan mineral yang dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan di dalam suatu kawasan (May dan Mclean, 2007).

  Degradasi hutan yang terjadi juga berdampak penting terhadap habitat dan populasi orangutan. Kerusakan hutan menyebabkan orangutan memilih tipe - tipe habitat tertentu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan antara orangutan dan manusia (Susilo, 1995).

  Terjadinya gangguan satwa liar dengan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

  1. Manusia merusak dan mengganggu habitat - habitat alam satwa liar.

  2. Perburuan satwa secara liar.

  3. Terpecahnya wilayah jelajah atau teritori satwa liar akibat gangguan ekosistem hutan.

  4. Pengembangan wilayah budidaya yang letaknya berdekatan dengan habitat satwa liar.

  5. Keterbatasan kawasan menyediakan kebutuhan yang sukup bagi satwa liar yang berhabitat didalam kawasan.

  (Alikodra, 2010).

  Menurut Kuswanda (2011), kriteria habitat yang sesuai dengan reintroduksi orangutan, yaitu:

  1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.

  2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan.

  3. Penutupan lahan masih berupa hutan primer.

  Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan (Population and Habitat Viability Assessment, 2004), selain itu juga akan mempercepat adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi.

  4. Luasan habitat yang cukup ideal.

  2 Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1 Km .

  Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5 – 6

  2

  individu dalam luasan 1 Km , seperti di Ketambe, TNGL yang mencapai

  2 kepadatan 5,5 ekor/Km (Meijaard et al., 2001).

  5. Kerapatan Vegetasi Tinggi Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai 400 - 550 pohon/Ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 < H maks < sehingga masih tergolong stabil.

  6. Persentase pohon sumber pakan orangutan Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60 – 80 % jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.

  7. Sebaran pohon sarang yang cukup Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit 30 – 40 % dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.

  Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30 – 40 % dari jumlah tumbuhan sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.

  Tingkah Laku

  Orangutan adalah hewan diurnal yang aktif pada siang hari dan juga merupakan hewan arboreal yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon (Platt dan Ghazanfar, 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya yaitu berpindah dari atas pohon dan hanya sesekali berada di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar, duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas, 1984). Hasil penelitian dari Rangkuti (2012) juga menyebutkan bahwa untuk aktivitas makan dilakukan lebih banyak dilakukan pada strata C, aktivitas bergerak, istirahat dilakukan pada strata B dan C serta untuk aktivitas membuat sarang dilakukan pada strata B.

  Menurut Alikodra (1990), fungsi utama tingkah laku adalah untuk memungkinkan seekor satwa menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar. Satwa liar mempunyai tingkah laku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya satwa liar melakukan kegiatan - kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerja sama untuk mendapatkan makanan, perlindungan, pasangan untuk kawin dan reproduksi.

  Pakan

  Makanan merupakan salah satu komponen habitat yang sangat penting bagi satwa liar karena ketersediaan makanan berpengaruh terhadap perkembangbiakan dan kesejahteraan hidup satwa. Faktor makanan banyak dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor), hal ini dikarenakan makanan merupakan sumber daya yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap makhluk hidup untuk berkembang biak, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, sumber energi, memperbaiki bila terdapat salah satu organ tubuh yang rusak dan akan berpengaruh terhadap reproduksi.

  Ketersediaan makanan di suatu habitat baik dari segi jumlah maupun mutu yang cukup akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan populasi satwa yang berada dalam habitat tersebut (Masy’ud et al., 2008)

  Pada dasarnya orangutan adalah frugifora yaitu proporsi waktu untuk makan makanan jenis buah - buahan jauh melebihi untuk jenis makanan lainnya.

  Dari semua jenis makanan teramati yang dimakan orangutan, buah menempati proporsi tertinggi dengan rata - rata persentase 63,2 %, daun 26,2 %, kulit kayu 8,48 % dan lainnya 4,5 % (Krisdijantoro, 2007). Untuk tetap dapat bertahan hidup, orangutan menggantungkan hidupnya pada habitat dengan komposisi pepohonan dan liana yang menyediakan pakan pada musim produktif (buah) dan dapat berlangsung secara terus menerus sepanjang tahun serta tetap berada dalam jarak penjelajahannya (Meijaard et al., 2001).

  Distribusi Orangutan

  Pola penyebaran individu maupun kelompok satwa disebabkan oleh faktor - faktor seperti aktifitas mencari makan, persaingan, konflik antar individu atau kelompok lainnya untuk kelangsungan hidup satwa liar. Penggunaan kawasan sebagai sumber pakan bagi orangutan sangat ditentukan oleh pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon di hutan serta variasi kualitas sumber pakan (Saimin, 2001). Menurut Meijaard et al., (2001) pada hutan yang masih utuh tidak semua areal dimanfaatkan oleh orangutan, diperkirakan orangutan hanya menggunakan ruang antara 35 - 60 % dari luasan habitatnya.

  Di daerah hutan hujan tropis pola berbunga atau berbuahnya suatu jenis pohon serta variasi kualitas sumber pakan mempunyai waktu yang sangat terbatas dan bersifat terpencar. Menurut Meijaard et al., (2001) menyebutkan bahwa sifat nomadis musiman pada sebagian besar anggota komunitas orangutan pada umumnya berdasarkan penyebaran makanan menurut ruang dan waktu serta variasi kualitas sumber pakan. Selain dari pola penyebaran buah (pakan), ketinggian suatu tempat juga mempengaruhi daerah jelajah orangutan. Hasil penelitian Marliansyah (2010) menyebutkan bahwa persentase orangutan mendatangi lokasi dengan ketinggian 200 – 299 mdpl sekitar 61,05%. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah jelajah orangutan untuk mencari makan, memiliki jenis pohon yang tinggi dan merupakan lokasi untuk pemberian makan orangutan (feeding area).

  Daya Dukung Habitat

  Habitat yang terbaik adalah habitat yang mampu mendukung beberapa orangutan sepanjang tahun, sedangkan habitat yang tidak baik adalah habitat yang hanya mampu mendukung satu ekor orangutan dalam beberapa minggu. Fakta tersebut mempunyai peranan penting dalam merancang suatu kawasan konservasi.

  Reintroduksi orangutan merupakan metode pelepasliaran orangutan ke wilayah hutan yang dulunya pernah didiami oleh orangutan. Metode reintroduksi ini dilakukan untuk melestarikan orangutan yaitu dengan melepasliarkan orangutan ke wilayah hutan yang tidak ada orangutan liarnya serta secara ekologi mampu mendukung kehidupan orangutan tersebut (tersedia cukup pohon pakan) (Susilo, 1995).

  Daya dukung habitat adalah kemampuan suatu wilayah untuk dapat menampung sejumlah satwa liar. Pada kondisi wilayah yang memiliki jumlah satwa yang masih sedikit persaingan di antara individu sangat kecil. Faktor lain yang menentukan daya dukung habitat adalah faktor kesejahteraan yang ditinjau dari aspek kebutuhan dasar, aspek kualitas dan kuantitas habitatnya. Penurunan daya dukung habitat dapat menyebabkan pergerakan dari satwa liar, salah satu pergerakan tersebut adalah migrasi. Migrasi merupakan pola adaptasi perilaku yang dilakukan oleh beberapa jenis satwa liar yang tergantung pada keadaan dan kondisi penyebabnya. Migrasi pada umumnya dilakukan untuk memperoleh makanan dan perkembangbiakan sehingga terkadang satwa liar memasuki lahan masyarakat atau diluar kawasan yang menjadi habitatnya (Alikodra, 2002).

  Orangutan telah dijadikan simbol pelestarian hutan Indonesia dan merupakan key species dalam melindungi keanekaragaman hayati. Populasi orangutan secara umum banyak tersebar pada kawasan yang masih utuh terutama yang statusnya sebagai kawasan konservasi. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat diduga menyebabkan perubahan perilaku pada Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan Sumatera harus mampu beradaptasi pada habitat yang sempit dan kurang mencukupi kebutuhannya. Dalam proses adaptasi tersebut diperkirakan orangutan akan memilih tipe - tipe habitat ideal yang lebih menguntungkannya termasuk kawasan pertanian dan perkebunan milik warga (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).

  Habitat orangutan dengan variasi kerapatan pohon dari keragaman jenis dan potensi pohon yang tinggi sangat menentukan bagi pelestarian populasi orangutan. Orangutan dikenal sebagai satwa penyebar biji di alam dan pemelihara hutan. Dalam kaitannya sebagai satwa penyebar biji, orangutan membuang biji - biji dari buah yang dimakan yang kemudian tumbuh menjadi tumbuhan baru. Sebagai pemelihara hutan, orangutan dalam kaitan asosiasi dengan spesies lainnya menciptakan kestabilan ekosistem sehingga hutan tetap dapat memberikan manfaatnya sebagai sumber plasma nutfah. Regenerasi anakan pohon terutama jenis pohon-pohon intoleran yang telah ada sebelumnya pada ekosistem hutan pun dapat tumbuh baik dengan adanya kehadiran orangutan pada suatu habitat. Berdasarkan pentingnya peranan orangutan dalam ekosistem termasuk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan (Santosa dan Rahman, 2012).

  Tegakan dan Struktur Tegakan

  Salah satu pengertian yang dapat digunakan untuk menggambarkan tegakan dan struktur tegakan dalam bidang kehutanan yaitu menurut Suhendang (1985) yang menyebutkan jika dilihat berdasarkan kepentingan manajemen hutan, tegakan merupakan suatu hamparan lahan hutan secara geografis terpusat dan memiliki cirri - ciri kombinasi dari sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan, kemiringan lapangan) yang relatif homogen dan memiliki luasan minimal tertentu.

  Oliver dan Larson (1990) yang mengacu dalam Boreel (2009) mengemukakan bahwa struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan yang penyebarannya tersebut berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horizontal, ukuran pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang dan umur pohon. Dijelaskan lebih lanjut bahwa struktur tegakan adalah distribusi jenis dan ukuran pohon dalam tegakan atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis, distribusi diameter, distribusi tinggi dan kelas tajuk.

  Kegunaan Struktur Tegakan

  Menurut Suhendang (1985), pengetahuan tentang struktur tegakan hutan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan penentuan biomassa tegakan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur te egakan akan n diperoleh h gambaran mengenai k kemampuan n regeneras i dari tegakan y yang bersan ngkutan. S Struktur teg gakan hutan n juga dap pat membe erikan informasi mengenai d dinamika po opulasi suat tu jenis atau u kelompok k jenis mula ai dari tingkat per rtumbuhan semai, panc cang, tiang dan pohon (Istomo, 19 994).

  Po ola struktur hutan trop pis paling jelas deng gan penamp pakan arsit tektur pohon, str ratifikasi ta ajuk pohon dan tumbu uhan bawah h. Struktur r yang terb entuk berasal da ari pemanf faatan ruang ng oleh tan naman dalam m hutan. M Menurut M Meyer,

  Recknagel l, Stevenso on, dan Bar rtoo (1961) ) dalam W Wahyu (2002 2) menyeb utkan tegakan n normal dari hutan tidak k seumur m mempunyai rasio yang g konstan a antara jumlah po ohon dengan n kelas diam ameter. Gam mbar 1 mem mperlihatkan n grafik str ruktur tegakan d dari hutan t idak seumu ur (Uneven -aged fores st ) dengan luas 21,4 H Ha di

  Me eyer et al. , (1961) d Wahy hyu (2002) yang

  Allegheny y National Forest. dalam

  menyataka an bahawa umumnya untuk tega akan norma al dari huta an tidak seu umur, grafik stru uktur tegaka annya berbe entuk huruf ‘J’ terbalik. .

  Gambar 1. G Grafik Struktu ur Tegakan Hu utan Tidak Seu umur ( Meyer r et al., 1961 d dalam wahyu 2002)

  Komposisi Vegetasi

  Istilah komposisi digunakan untuk menjelaskan keberadaan jenis - jenis pohon dalam hutan. Penutup tumbuhan (plant cover) dalam sebuah kawasan yang terdiri dari beberapa komunitas tumbuhan yang membentuk suatu vegetasi. Vegetasi didefinisikan sebagai kumpulan tumbuh - tumbuhan terdiri dari beberapa jenis seperti herba, pohon dan perdu yang hidup bersama - sama pada suatu tempat, saling berinteraksi satu dengan yang lain termasuk dengan lingkungannya dan memberikan ciri fisiognomi (kenampakan luar) vegetasi (Krisnawati, 2003).

  Penutupan vegetasi memperlihatkan bentuk - bentuk dan keanekaragaman yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Suatu vegetasi merupakan asosiasi nyata dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Selain itu vegetasi juga terkait dengan jumlah individu dari setiap spesies organisme yang akan menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies sehingga mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat berpengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas komunitas hutan (Indriyanto, 2006).

  Menurut Irwanto (2006), besaran indeks nilai penting menunjukkan kedudukan dominansi suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu komunitas.

  Adanya dominansi antar jenis di setiap fase dan setiap jenis akan saling mempertahankan diri untuk bisa tetap tumbuh dan berkembang, makin besar indeks nilai penting suatu jenis, maka peranannya dalam komunitas tersebut semakin penting.

  Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh - tumbuhan. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data - data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :

  1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas - batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda.

  2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.

  3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan.

  Stratifikasi Stratifikasi adalah distribusi tumbuh - tumbuhan dalam ruangan vertikal.

  Semua spesies tumbuh - tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya serta secara vertikal tidak menempati ruang yang sama (Indriyanto, 2006).

  Studi mengenai komposisi dan struktur hutan yang mempelajari profil (stratifikasi) sangat penting artinya untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi dari hutan yang dipelajari dengan melihat bentuk profilnya akan dapat diketahui proses dari masing - masing pohon dan kemungkinan peranannya dalam komunitas tersebut serta dapat diperoleh informasi mengenai dinamika pohon dan kondisi ekologinya.

  Pohon - pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur dan dimensi pohonnya digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:

  1. Pohon masa depan (trees of the future) yaitu pohon yang masih muda, mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan.

  2. Pohon masa kini (trees of the present) yaitu pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh serta pohon paling dominan.

  3. Pohon masa lampau (trees of the past) yaitu pohon - pohon yang sudah tua, mulai mengalami kerusakan dan akan mati.

  (Onrizal dan Kusmana, 2008). Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan (Soerianegara dan Indrawan, 1988): a.

  Stratum A: Lapisan teratas, terdiri dari pohon - pohon yang tinggi totalnya 30 m ke atas. Biasanya tajuknya saling tidak bersambung, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis - jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya (tingkat semai hingga pancang) perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.

  b.

Stratum B: Terdiri dari pohon - pohon yang tingginya 20 - 30 m, tajuknya saling bersambung, batang pohon biasanya banyak bercabang

  batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis - jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan. c.

  Stratum C: Terdiri dari pohon - pohon yang tingginya 4 - 20 m, tajuknya saling bersambung. Pohon - pohon dalam stratum ini rendah, kecil dan banyak bercabang.

  d.

  Stratum D: Lapisan perdu dan semak, tingginya 1 - 4 m e. Stratum E: Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground over) dan tingginya 0 - 1 m.

  Diagram profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan. Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinue atau diskontinue. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral.

  Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExI-FS)

  Simulator hutan SExI-FS berfokus pada interaksi pohon - pohon di agroforestri dengan sistem tanaman campuran. Tingginya tingkat kompleksitas struktural seperti sistem agroforestry tradisional menentang pendekatan kehutanan klasik untuk mengoptimalkan praktik manajemen. Untuk mengatasi kondisi ini, peneliti telah mengadopsi pendekatan manajemen pohon dengan pohon, yang lebih dekat dengan sistem berkebun daripada sistem model kehutanan tropis biasa.

  Pemeliharaan individu pohon dan tindakan perawatan dilakukan secara teratur saat setelah persemaian bibit, membersihkan dan penebangan selektif yang kemudian disesuaikan dengan intensitas panen (Hardja dan Gregoire, 2008).

  Model ini menggunakan pendekatan orientasi objek di mana setiap pohon diwakili dengan sebuah contoh dari kelas generik pohon. Gambaran dari objek pohon - pohon yang terdapat dalam model ini meniru pohon nyata dan berinteraksi satu dengan yang lain. Modifikasi model ini dimediasi melalui dua sumber utama yaitu ruang dan cahaya yang menghasilkan sebuah representasi 3D dari plot - plot pada tegakan yang terdapat dikawasan hutan.

  Software SExI-FS ini bermanfaat untuk penelitian - penelitian yang menggunakan data tegakan hutan atau vegetasi lainnya. Output yang bisa digambarkan melalui hasil pengolahan dengan menggunakan program ini berupa bentuk 3 dimensi tegakan pada semua bagian tegakan atas, bawah, kiri dan kanan.

  Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan sebuah representasi dinamis dari suatu sistem kompleks yang mengacu pada kumpulan dari interaksi lokal individu pohon yang memiliki karakteristik yang berbeda (Hardja dan Gregoire, 2008).

Dokumen yang terkait

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

1 40 84

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 53 84

Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL.

1 57 123

Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 57 74

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 34

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 9

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 14

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 34

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 9

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 14