Penerapan Rezim Extraterritorial Jurisdiction dalam Hukum Siber di Indonesia
INDONESIA
Purna Cita Nugraha
Abstract
The application of positive law in Indonesia particularly Article 2 of the
Information and Electronic Transaction Law, in which extraterritorial
jurisdiction of national law is applied against other countries, will
definitely create problems when it comes face to face with other
jurisdictions. In order to overcome the obstacles in implementing the
aforesaid article, Indonesia has to carry out international cooperations
through agreements or other forms of international cooperations.
International cooperations can also be done in the form of the
formulation of norms or international principles that can later be
recognized as customary international law.Keywords: cyberspace, extraterritorial jurisdiction, and international
cooperation.Kehidupan modern meningkatkan ketergantungan pada infrastruktur-infrastruktur yang saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Sementara sektor-sektor seperti pangan, air, kesehatan dan transportasi dan infrastruktur yang mendukung sektor-sektor tersebut merupakan suatu yang sifatnya sangat penting dan kritis, kemampuannya untuk menghubungkan terdapat pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang merupakan komponen penting
Ruang siber yang merupakan keseluruhan dari komponen- komponen tersebut di atas kadang dikategorikan sebagai sektor tersendiri, yang pada praktiknya sangat berkaitan dengan sektor-sektor lain, sama seperti sektor energi dan transportasi yang tidak dapat begitu saja dipisahkan. Ruang siber dapat diilustrasikan sebagai lapisan tipis atau sistem syaraf yang menghubungkan sektor-sektor yang lain sehingga membuat sektor-sektor lain dapat saling berkomunikasi dan
251 berfungsi.
Seiring terjadinya globalisasi, kemajuan di bidang teknologi informasi seperti lahirnya internet yang menciptakan ruang siber diharapkan memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia. Namun demikian, manfaat tersebut diikuti juga dengan munculnya berbagai jenis tindak kejahatan baru dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Di satu sisi, internet merupakan suatu ruang yang dapat memungkinkan para penggunannya beraktivitas di dalamnya, namun di sisi lain internet juga berfungsi sebagai media bagi para penggunanya untuk membantu aktivitas dan kegiatannya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Marty Natalegawa menyampaikan bahwa:
“the impact of the cyber world on every aspect of human life is enormous. At every moment of the day, informastion floods from all
directions at immense speed. While the cyber space provides convenience to our life, it also comes with its own challanges. Indeed, we are confronted by paradoxes. It provides vast opportunities for all nations. Yet, in the wrong hands, it can be an instrument of crimes
252 and discord.”
Globalisasi merupakan akibat dari pengembangan teknologi yang membuat hubungan komunikasi antar individu dan bahkan komunikasi antar negara menjadi lebih mudah, dan sebaliknya, hal itu mengakibatkan meningkatnya juga aktivitas rutin. Dampaknya bertolak belakang dari berbagai kepentingan yang statis di masa lalu dan berubah pada saat ini sehingga bergerak menuju suatu pengaturan yang bersifat
253 universal untuk memenuhi kebutuhan manusia secara global.
Pada praktiknya, meningkatnya penggunaan teknologi akan membawa banyak kejutan yang harus direspon oleh hukum. Dengan kata lain, peningkatan tersebut akan mengakibatkan permasalahan hukum. Hal tersebut terlihat dari paparan sebagai berikut :
“This increase of technology utility will bring more surprise which should be responded in the field of law. In another word, it will result 254 in law problems.”
252 Statement by H.E. DR. R. Marty. M. Natalegawa, Minister for Foreign Affairs of the Republic of
Indonesia, at the Seoul Conference on Cyberspace, Seoul, 17 October 2013253 Lihat Jeane Neltje Saly, Globalization, Law Enforcement and Cyber Crime in National Law
Aturan hukum yang ada seringkali tidak cukup untuk mengakomodasi kegiatan atau aktivitas pemanfaatan informasi dan teknologi. Misalnya saja, hukum pidana belum mampu menampung kebutuhan akan perlunya alat bukti tindak pidana siber atas tindak pidana yang terkait dengan komputer (computer-related crimes).
Permasalahan hukum selalu terkait dengan masalah-masalah lain di luar hukum. Di bidang yang sangat pesat perkembangannya seperti teknologi dan informasi, meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi merupakan salah satu aspek yang mempercepat globalisasi yang kemudian ditandai dengan memudarnya batas-batas antar Negara. Oleh karena itu, untuk mempertahankan agar suatu Negara tetap tertib sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, maka hukum harus berfungsi sebagai pedoman dalam menyeimbangkan kepentingan nasional dan internasional.
Internet sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi, memungkinkan para pemakainya melewati batas yurisdiksi negara masing-masing. Masalah yurisdiksi di internet erat kaitannya dengan masalah penegakan hukum di tiap-tiap negara. Sebagai dunia tanpa batas, penerapan yurisdiksi di internet bukan hal yang mudah. Perlu ada kepastian mengenai hukum yang akan diterapkan di dunia tanpa batas tersebut. Yurisdiksi suatu negara sebagaimana kita ketahui selama ini,
255 dapat dikembangkan dan dipergunakan di dunia tanpa batas.
Salah satu yurisdiksi yang terdapat dalam peraturan perundangan atau hukum nasional Indonesia adalah yurisdiksi ekstrateritorial (extraterritorial jurisdiction). Yurisdiksi ekstrateritorial berbicara mengenai kemampuan hukum dari suatu negara untuk melaksanakan kedaulatan/kewenangannya di luar wilayahnya.
Pada tataran implementasi, penerapan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial tentu akan menemui sejumlah hambatan, terutama apabila berhadap-hadapan dengan yurisdiksi Negara lain. Prinsip yurisdiksi ekstrateritorial mungkin tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena suatu negara pada kenyataannya tidak dapat melaksanakan kekuasaannya di wilayah negara lain walaupun mempunyai yurisdiksi atas suatu perbuatan hukum, subjek/objek hukum, dan kepentingan hukum tertentu.
B.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, masalah yang hendak dikaji adalah sebagai berikut :
Apakah terdapat kendala dalam penerapan hukum positif khususnya rezim extraterritorial jurisdiction di Indonesia saat ini?
C. PENERAPAN PRINSIP EXTRATERRITORIAL JURISDICTION OLEH INDONESIA
Yurisdiksi negara untuk mengatur ruang siber meliputi yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, dan yurisdiksi yudikatif pada tataran konseptual dapat diterapkan dalam konteks ekstrateritorial. Pada intinya prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut didesain untuk mengatur penentuan yurisdiksi, misalnya dalam hal di mana dan kapan suatu Negara mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum terkait dengan subyek-subyek/masalah-masalah yang bersifat ekstrateritorial.
Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe), suatu negara dimungkinkan dan mempunyai kewenangan untuk membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial. Namun, dalam konteks pemberlakuannya, perlu diuji lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak.
Yurisdiksi negara untuk membentuk hukum yang bersifat ekstrateritorial terdiri dari 3 (tiga) jenis yurisdiksi, yaitu: 1) yurisdiksi atas subjek ektrateritorial saja, misalnya Section 46 Competition Act Kanada yang melarang perjanjian monopoli yang dibuat di luar wilayah Kanada oleh perusahaan-perusahaan Kanada; 2) yurisdiksi atas perorangan secara ekstrateritorial saja, misalnya Section 477.1 the Criminal Code di laut oleh Warga Negara Kanada maupun orang asing; 3) Yurisdiksi atas perbuatan-perbuatan secara ekstrateritorial oleh aktor/pelaku ekstrateritorial, misalnya the Crimes Against Humanity and War Crimes Act khususnya Sections 6 dan 8 pada pelanggaran di luar wilayah Kanada dan
256 di luar yurisdiksi dari pelaku.
Membentuk hukum atau pengaturan yang bersifat ekstrateritorial bukanlah merupakan suatu pelanggaran atau hal yang ilegal dalam hukum internasional. Pada hakikatnya, dasar yang tegas bagi penerapan
jurisdiction to prescribe diperlukan untuk menjustifikasi “infringement of
sovereignty” atau pelanggaran kedaulatan yang diatur dalam peraturan
atas ruang siber misalnya konten internet. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus Case), bahwa suatu negara tidak boleh melaksanakan kedaulatannya dalam bentuk apapun di dalam wilayah negara lain dan yurisdiksi tidak dapat dilakukan oleh negara tersebut di luar wilayahnya kecuali dengan suatu aturan yang memperbolehkannya
257 yang diperoleh dari kebiasaan internasional atau dari suatu konvensi.
Pada hakikatnya, permasalahan baru ada ketika negara menegakkan atau melaksanakan hukumnya secara ekstrateritorial.
256 Lihat Steve Coughlan, et.al, Global Reach, Local Grasp: Constructing Extraterritorial Jurisdiction
in the Age of Globalization, Dalhousie Law School, Prepared for the Law Commission of Canada,
2006, hlm.15Apabila suatu negara tidak menegakkan atau melaksanakan hukum yang telah ditetapkannya tersebut maka sebenarnya secara praktis hal itu tidak akan menimbulkan persoalan. Namun akan sangat tidak bijak apabila suatu negara tidak mampu memetakan yurisdiksi preskriptifnya (prescriptive jurisdiction) secara ekstrateritorial, misalnya dengan melihat di mana Indonesia berniat dan mempunyai potensi serta kapasitas untuk melakukan penegakan hukum terhadap hukum yang telah Indonesia tetapkan.
Dalam hal ini kriteria yang diberikan oleh Mahkamah Internasional dalam menerapkan yuridiksi negara secara ekstrateritorial terhadap negara lain adalah adanya: 1) permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional (international costumary law); dan 2) permissive rule yang berasal dari suatu konvensi.
Pada konteks pelaksanaannya oleh Indonesia, pembentukan rezim ekstrateritorial khususnya dalam hukum siber terdapat pada Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai berikut:
“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau
258 di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” Pada penjelasan Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik
259 dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.
Dalam tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe), Indonesia tentu mempunyai kewenangan untuk membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial dalam hukum sibernya. Namun, tentu saja masih belum jelas dalam konteks penegakannya karena perlu diuji lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak.
Selain itu, permasalahan baru muncul ketika Indonesia berniat untuk menegakkan atau melaksanakan Pasal 2 UU ITE tersebut secara ekstrateritorial terhadap Negara lain. Penegakan secara unilateral oleh Indonesia dapat dipastikan akan mengalami hambatan ketika berhadap- hadapan dengan yurisdiksi negara yang lain. Oleh karena itu, penegakan
Pasal 2 UU ITE terhadap wilayah negara lain ataupun di luar wilayah Indonesia tersebut dirasa akan sangat lemah. Untuk itu, dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia. Hal ini karena Pasal 2 UU ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim hukum baru agar dapat berlaku secara efektif. Sesuai dengan Pendapat Hukum Mahkamah Internasional dalam Kasus Lotus (Lotus Case), rezim hukum baru yang dimaksud di sini adalah hukum kebiasaan internasional (international customary law) dan konvensi ataupun perjanjian internasional.
Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi dalam penegakan
Pasal 2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadakan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional atau bentuk lain dengan negara (perjanjian bilateral) atau negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral) lingkup ruang siber. Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang nantinya dapat berfungsi sebagai international customary law.
Gagasan mengenai kerja sama internasional ini sekali lagi secara tegas dinyatakan oleh Marty Natalegawa di Seoul Conference on
Cyberspace, Seoul, pada tanggal 17 Oktober 2013, sebagai berikut: “We need to establish a global arrangement through which the cyberspace contributes to addressing the challanges of our time, such as poverty, climate change, armed conflicts, corruption and natural disasters.
instead of marginalization of world citizens. That will promote democracy and tolerance instead of extremism and hatred. And that will strenghten cooperation and collaboration instead of confrontation and rivalry. In this regard, Indonesia believes such norms and principles must be
260 developed through the United Nations.”
261
Menurut Jonathan Zittrain , dalam menjawab pertanyaan dalam wawancara secara online dengan penulis mengenai kemungkinan pengembangan/pembentukan rezim yurisdiksi ektrateritorial untuk menegakkan hukum siber dari satu negara terhadap negara lain dengan menggunakan perjanjian internasional, Zittrain menyatakan bahwa hal
tersebut mungkin dilakukan , namun hal tersebut akan sangat lambat
prosesnya karena berbagai kepentingan politis. Zittrain memberikan contoh Rusia yang mempunyai maksud untuk memiliki suatu kerangka hukum untuk menyerahkan informasi hasil identifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana siber dari wilayahnya, atau bahkan mungkin mempertimbangkan opsi ekstradisi, namun tentu Pihak Rusia menginginkan hal yang sama dari negara lain, misalnya Amerika Serikat, dan pengertian mengenai tindak pidana antara satu negara dengan negara lain akan sangat berbeda. Idealnya, kita dapat memikirkan opsi
260 Marty Natalegawa, op.cit.
261 Jonathan L. Zittrain adalah seorang Profesor Hukum di Harvard Law School dan Kennedy School
of Government, Profesor Ilmu Komputer di Harvard School of Engineering dan Ilmu Pengetahuan
Terapan Harvard, dan co-founder dari Berkman Center for Internet & Society. Minat penelitiannya di lain seperti membuat sistem finansial perbankan kita menjadi lebih kuat, sehingga tingkat kriminalitas dapat diturunkan, atau dampak dari tindak pidana tersebut tidak terlalu besar. Akan lebih mudah misalnya mengatur
262 dan memverifikasi rating dari kredit seseorang.
Lebih lanjut Zittrain menyampaikan bahwa dalam membentuk suatu perjanjian internasional dalam hukum siber, masalah akan muncul dari hal-hal yang detail yang perlu diatur. Zittrain dapat melihat adanya kemungkinan pembentukan rezim internasional dalam bentuk perjanjian internasional seperti ektradisi dan lain sebagainya, namun sulit untuk membayangkan penerapan perjanjian internasional dan memberlakukan ekstradisi untuk semua hal. Zittrain menyatakan bahwa hal tersebut hanya dapat dimungkinkan untuk kasus-kasus prioritas saja. Selanjutnya disampaikan bahwa kebijakan akan tergantung dari bentuk persoalannya, apakah sesuatu yang akan berdampak besar, di mana sejumlah penuntutan akan membuat perubahan besar (where a few well-
placed prosecutions can make a dent ), ataukah hanya upaya yang tidak
262 Hasil wawancara secara online dengan Prof. Jonathan L. Zittrain pada tanggal 23 Juli 2013
melalui sebuah thread di Facebook.com yang disponsori ol
Harvard University. Pada kesempatan tersebut Jonathan Zittrain akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan seputar cyber security dan Internet governance secara real time dari para penanya termasuk pertanyaan penulis. Dapat diakses melalui
Question : What about in matters related to cyber crime such as hacking, carding, etc? Do you think
it’s possible to use extraterritorial jurisdiction to adjudicate the person from other state? And can we combine it with extradition treaty bilaterally to make it enforcable?
Answer : Possible, just that the gears turn slowly. The Russians, for example, may be game to have a
framework for turning over identifiying information of those engaging in internet-based crime from their turf, or even extradition, but the y’ll want the same from, say, the US—and qour definitions of menimbulkan efek perubahan besar (more like fish in the ocean). Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan pelanggaran/tindak
263 pidana yang akan diatur.
Dapat disimpulkan dari pendapat Zittrain di atas bahwa pada prinsipnya terdapat kemungkinan pembentukan rezim yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum siber melalui perjanjian internasional, namun masalah yang akan dihadapi adalah pengaturan-pengaturan yang bersifat detail di dalamnya termasuk penentuan pelanggaran/tindak pidana yang akan diatur.
Dalam rangka penentuan pengaturan detail terkait apa-apa saja yang hendak diatur dalam suatu perjanjian internasional baik bilateral maupun internasional dan internasional sebenarnya dapat mengacu pada perjanjian internasional atau konvensi yang telah ada untuk dijadikan sebagai patokan. Terkait dengan penentuan pelanggaran yang akan diatur, Convention on Cybercrime 2001 telah menentukan sebagai berikut:
263 Ibid.
Question : so, you would suggest pre-emptive and preventive action by technical arrangements on
this particular matters? Say Indonesia, Malaysia, and Singapore both has the same rules and
principles on extraterritorial jurisdiction to prosecute internet-based crime, the only obstacle is the
sovereignty of each sountry to willingly hand over the offender. I think it’ll be the best way if
somehow these countries have their own extradition treaty that include internet based crime to
possibly enforce the extraterritorial jurisdiction considering there’s no international regime regarding
this matter. Answer: The devil will be in details —I could see something working here, but it’s hard to imagineinvoking the treaty and performing an extradition for all but the most high priority defendants. So the
“whereas, the Council of Europe in Convention on Cybercrime has
devided the types of cybercrime into some classifications as follow: 1) illegal
access; 2) illegal interception; 3) data interference; 4) system interference; 5)
misuse of devices; 6) computer-related forgery; 7) computer-related fraud;
offences related to child pornography; 8) offences related to infringements of
264 copyright and related rights.”
Selain itu, dalam tataran legislasi, Convention on Cybercrime 2001 menawarkan langkah-langkah kebijakan kriminalisasi hukum pidana (substantive criminal law measure), hukum acara (procedural law), dan tentunya kerja sama internasional (international cooperation) yang dapat juga diikuti dalam pembentukan hukum siber.
Langkah-langkah kebijakan kriminalisasi pidana (substantive
criminal law measure ) yang diatur meliputi pelanggaran terhadap
kerahasiaan atau privasi (offences against the confidentiality), integritas dan ketersediaan sistem serta data komputer (misalnya akses ilegal, intersepsi ilegal, data interference, dan penyalahgunaan komputer), computer-related
offences (seperti computer-related forgery dan computer-related fraud), content-
related offences (seperti pornografi anak), dan pelanggaran Hak Kekayaan
265 Intelektual.
264 Ahmad M. Ramli, The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime, Indonesia Law
Journal Vol. 2 No. 2, National Law Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta, 2007, hlm. 2
265 Global Project on Cybercrime, The Cybercrime Legislation of Commonwealth States: Use of the Hukum acara atau prosedur untuk menegakkan hukum pidana seperti langkah-langkah yang lebih efektif untuk melakukan investigasi atau penyelidikan tindak pidana siber yang meliputi expedited preservation
of stored computer data , pengungkapan arus data secara parsial, production
orders , penggeledahan dan penyitaan data komputer yang disimpan,
penyadapan secara real-time terhadap arus data dan konten. Langkah- langkah prosedural tersebut dapat diaplikasikan terhadap perbuatan yang dilakukan dengan sistem komputer, dan pengumpulan alat bukti (proses penyidikan) secara umum, serta kondisi dan pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of
266 powers ).
Bentuk kerja sama internasional yang ditentukan dalam
Convention on Cybercrime 2001 meliputi prinsip-prinsip umum (general
principles ) seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, informasi
sukarela (spontaneous information) dan langkah-langkah tertentu seperti akses terhadap trans-border data komputer yang tersimpan, bantuan timbal balik terhadap pengumpulan arus data secara real time, bantuan timbal balik terhadap penyadapan data konten, point of contact selama 24
267 jam dalam 7 hari, dan lain sebagainya.
Dari paparan-paparan tersebut di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa terdapat banyak manfaat dari keikutsertaan suatu negara dalam konvensi tersebut. Bagi Indonesia, tentu saja urgensi untuk ikut serta dan melakukan aksesi terhadap Convention on Cybercrime 2001 dilakukan agar nantinya Pasal 2 UU ITE yang mengatur mengenai prinsip ekstrateritorial dapat dijalankan secara efektif. Namun, untuk mengaksesi Convention on Cybercrime 2001, suatu negara harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut.
Untuk itu, Pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang Undang tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana siber, mengingat masih ada tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya bahwa pembentukan prinsip ekstrateritorial digunakan untuk mengontrol atau mempengaruhi tingkah laku negara-negara lain. Dalam kaitan ini, langkah-langkah didesain sedemikian rupa untuk memberikan jangkauan secara ekstrateritorial dengan mempengaruhi tindakan-tindakan dari negara-negara lain. Tindakan untuk mengontrol atau mempengaruhi tingkah laku negara-negara lain ini juga dilakukan oleh Dewan Eropa sebagai penggagas dari Convention on Cybercrime 2001. Hal ini terlihat dari
“persuasive power” dari konvensi tersebut yang menyaratkan bahwa untuk
mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu negara terlebih dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut. Tentu saja, untuk menyesuaikan norma-norma/aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam konvensi tersebut.
Dalam hal ini, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka, konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari negara- negara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Di tingkat multilateral atau PBB sendiri, Indonesia bersama Brazil dan Jerman sedang memperkenalkan suatu resolusi yang diberi nama UN
Resolution on the Right to Privacy in the Digital Age . Upaya ini dilakukan
untuk menegaskan peran PBB dalam merespon merebaknya tindak penyadapan dan mata-mata melalui internet dan telekomunikasi oleh Amerika Serikat yang dibeberkan oleh Edward Snowden.
Rancangan resolusi PBB tersebut pada intinya mengajak negara- negara Anggota PBB untuk : 1) menghormati dan melindungi hak privasi, termasuk dalam konteks komunikasi digital; 2) untuk mengambil langkah-langkah terukur dalam mengakhiri pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dan menciptakan kondisi-kondisi untuk mencegah pelanggaran tersebut, termasuk menjamin aturan-aturan nasional sesuai dengan kewajibannya sesuai dengan Hukum pengumpulan data secara personal, termasuk pengawasan komunikasi secara masal, penyadapan dan pengumpulan data dengan memperhatikan penghormatan terhadap hak-hak privasi dengan menjamin implementasi dari seluruh kewajibannya pada hukum internasional tentang HAM; 4) membentuk atau mempertahankan mekanisme internal yang mandiri dan efektif dalam menjamin transparansi dan akuntabilitas bagi pengawasan komunikasi oleh negara, serta penyadapan dan pengumpulan data personal/individu yang
268 dilakukan oleh negara.
Untuk itu, selain melakukan harmoniasi hukum nasional terhadap
Convention on Cybercrime 2001 , perlu kiranya dipikirkan alternatif lain
bagi pembentukan rezim internasional dalam rangka penerapan prinsip ekstrateritorial. Alternatif lain yang perlu dipertimbangkan pada konteks pembentukan hukum siber adalah pembentukan norma-norma dan prinsip-prinsip tingkah laku dalam bentuk international customary law.
Dalam hal ini, ASEAN melalui mekanisme ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai suatu forum dialog dan konsultasi di bidang politik dan keamanan di kawasan sudah mulai membahas isu-isu yang terkait dengan keamanan siber dan membentuk work plan on cyber security. Diharapkan pembentukan work plan on cyber security tersebut pada akhirnya akan melahirkan suatu rezim internasional dalam waktu dekat sehingga Anggota ARF dan wilayahnya akan memiliki soft law sendiri yang berkaitan dengan masa depan internet dan keamanan siber. Hasil dari ARF dapat berupa resolutions, declarations, statements, principles,
objectives, declarations of principles, guidelines, standards, or action plans dan
memiliki morally binding power bagi Negara-Negara Anggota ARF.Selanjutnya, alternatif lain dalam membentuk rezim internasional untuk dapat menerapkan dan memberlakukan Pasal 2 UU ITE secara efektif adalah dengan mekanisme pembentukan perjanjian bilateral.
Dalam hal ini perjanjian bilateral tersebut dapat mengatur 3 (tiga) kewenangan secara ekstrateritorial, yaitu: 1) bantuan timbal balik dan kerja sama terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial, sebagai contoh dari perjanjian ini adalah bantuan hukum timbal balik; 2) kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, misalnya operasi gabungan antar dua negara; 3) kewenangan ekstrateritorial secara bersama, misalnya dalam bentuk pendirian komisi bersama serta pendirian liason office dan liasion officer.
Contoh perjanjian bilateral yang mengatur ketiga kewenangan secara ekstrateritorial seperti tersebut di atas adalah Memorandum of
Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The
Government of Australia on Combating Transnational Crime and Developing
Police Cooperation Tahun 2008 (MoU 2008) dan Arrangement between The
Indonesian National Police and The Australian Federal Police on Cooperation in
Preventing and Combating Transnational Crime Tahun 2011 (Arrangement
Kedua perjanjian tersebut merupakan perjanjian pelaksana dari
Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework
for Security Cooperation, yang disebut dengan Perjanjian Lombok atau
Lombok Treaty . Lombok Treaty telah disahkan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia Tentang Kerangka Kerja Sama Keamanan (Agreement between The Republic of Indonesia and Australia on The Frameworkfor Security Cooperation).
Salah satu lingkup kerja sama prioritas yang diatur baik oleh MoU 2008 maupun Arrangement 2011 adalah tindak pidana siber. Hal ini terlihat dari Paragraph 6 MoU 2008 sebagai berikut:
“Paragraph 6 MoU: Priority Crime Types, Priority criminal issues
under this MoU will include but are not limited to: 1) terrorism; 2) illicit
trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and their precursors;
3) people smuggling and trafficking in persons; 4) transnational child
exploitation; 5) money laundring and proceeds of crime action; 6) cyber crimes;
7) arms smuggling; 8) transnational economic crimes; 9) corruption; 10)
environmental crime; 11) illegal fishing; 12) intellectual property crime; 13)
identity crime; 14) sea piracy; and 15) other types of crime if deemed necessary by
269 both Parties.”
Dan diatur juga pada Paragraph 3 Arrangement 2011, sebagai berikut:
“Paragraph 3: Scope of Cooperation, The Participants will cooperate in: Preventing and combating transnational crimes, in particular acts relating to:
terrorism, people smuggling, trafficking in persons, money laundering, corruption, illegal fishing, illegal mining, illegal logging, cyber crimes, child exploitation, economic crime, intellectual property crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic substances and their precursors, illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal production thereof other types of crimes if deemed necessary by both
270 Participants.”
Kedua perjanjian tersebut baik MoU 2008 maupun Arrangement
2011 mengatur baik mengenai bantuan timbal balik dan kerja sama
terhadap bidang-bidang tertentu secara ekstrateritorial, kewenangan ekstrateritorial secara resiprokal, dan kewenangan ekstrateritorial secara bersama. Sebagai contoh baik MoU 2008 maupun Arrangement 2011 mengatur mengenai bentuk-bentuk kerja sama yang bersifat ekstrateritorial, yaitu: 1) kerja sama dan koordinasi operasi dan intelijen serta pertukaran informasi untuk keperluan penegakan hukum; 2) operasi bersama (joint operational activities); 3) pembentukan atau penempatan
Liason Offices dan/atau Liason Officers di kedua Negara; 4) pengembangan
kapasitas seperti peningkatan kapasitas institusional, organisasi, sumber
271 daya manusia, dan peralatan.
Terkait dengan pembentukan atau penempatan Liason Offices dan/atau Liason Officers di kedua negara, hal ini telah direalisasikan
270 Lihat Paragraph 3: Scope of Cooperation, Arrangement Between The Indonesian National Police dengan pembentukan The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) di Semarang tahun 2004 . Dalam pelaksanaannya, JCLEC akan berkerja sama dengan dengan badan-badan lain seperti the South East
Asian Regional Centre for Counter Terrorism (SEARCCT) di Kuala Lumpur,
Malaysia dan International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok,
272 Thailand.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada penjelasan bab-bab sebelumnya dapat ditarik suatu simpulan, yaitu: Dalam penerapan hukum positif di Indonesia saat ini khususnya Pasal 2 UU ITE tersebut secara ekstrateritorial terhadap negara lain dapat dipastikan akan mengalami hambatan ketika berhadap-hadapan dengan yurisdiksi negara yang lain tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tataran proses pembentukan, Pasal 2 UU ITE ini sebenarnya belum selesai dikonstruksikan legislasinya oleh Indonesia. Hal ini karena Pasal 2 UU
ITE membutuhkan pembentukan suatu rezim hukum baru secara internasional agar dapat berlaku secara efektif.
Dalam rangka mengatasi hambatan yurisdksi untuk melaksanakan Pasal
2 UU ITE tersebut, Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadakan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional atau bentuk lain dengan negara lain (perjanjian bilateral) atau negara-negara lain (perjanjian regional dan multilateral). Kerja sama internasional tersebut juga dapat dilakukan dalam bentuk perumusan norma-norma atau prinsip-prinsip internasional yang nantinya dapat dianggap sebagai international customary law .