Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dan segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta perubahannya.

Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi “.

Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Dalam lingkup rumah tangga “rasa aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi” akan lahir dan rumah tangga yang utuh dan rukun. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.


(2)

2

Hal ini menjadi penting, oleh karena perkembangan dewasa ini menunjukan bahwa tindak kekerasan fisik, psikis, seksualitas, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi dan yang menjadi

korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan.1

Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention of the

Eliminition of All Form of Discrimination against Women) adalah suatu perjanjian internasional tentang hak-hak manusia yang diterima oleh Majlis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 1979. Konvensi ini mengatur tentang kewajiban Negara melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan (politik, ekonomi, sosial, budaya). Negara meratifikasi Konvensi tersebut melalui legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 24 Juli 1984 UU. No. 7/1984 dengan mereservasi pasal 29 ayat (1) CEDAW.

Kekerasan yang paling besar adalah dalam bentuk perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural atau karena tidak ada pilihan dan

sebagainya.2

1

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

Yogyakarta: Merkid Press, 2008, hlm. 15. 2

Ahmad Suaedy, Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, Jakarta; Grasindo, 2000, hlm.


(3)

3

“Cinta kasih, mawaddah wa rahmah yang dianugerahkan Allah kepada

sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tapi mulia. Namun sering kali pihak suami mengabaikan hak istri untuk memutuskan kapankah dan akankah mempunyai anak dengan memaksakan agar istrinya memiliki anak. Bahkan bila si istri tidak siap untuk memiliki anak atau diberi karunia Tuhan untuk tidak bisa memberikan anak, kaum suami justru mengultimatumnya dengan ancaman perceraian. Disini secara sepintas nampaknya posisi suami yang demikian benar. Menurut pemahaman kebanyakan masyarakat awam seorang suami dikatakan memiliki hak penuh

menuntut istrinya untuk memiliki anak apapun alasannya.”3

Menurut hemat penulis, jelas pendapat demikian tidak sesuai dengan hak reproduksi perempuan. Apabila dipaksakan juga hal ini juga melanggar ketentuan pasal 8 huruf a Undang-undang penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004 tentang larangan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Pemaksaan hubungan seksual sebenarnya tidak perlu terjadi, jika suami benar-benar memahai ajaran Islam secara komprehensif. Pemaksaan dalam perkawinan merupakan pengingkaran yang nyata terhadap hak-hak istri dan larangan untuk mengabaikan kepuasan istri. Al-Quran dan Hadis bukan

sekedar tuntunan yuridis-formalis, akan tetapi merupakan tuntunan moralitas

yang mengarahkan manusia untuk mengoptimalkan sisi-sisi kemanusiaan.

Relasi hubungan suami istri harus diletakkan pada landasan mawaddah wa

3

Syafiq Hasyim, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta; The Asia Foundation, 2000,


(4)

4

rahmah. Saling mengasihi dan menempatkan masing-masing individu sebagai subjek dari setiap relasi yang mereka lakukan, tidak terkecuali masalah hubungan seksual.

Pemaksaan hubungan seksual terhadap istri tidak dibolehkan oleh agama dengan beberapa alasan; pertama, membolehkan hubungan suami-istri secara paksa sama saja dengan mengizinkan seorang suami mengejar kenikmatan atas penderitaan orang lain (istri), ini tidak bermoral. Kedua, dalam hubungan suami istri yang dipaksakan, terdapat pengingkaran nyata

terhadap prinsip mu’ayarah bil ma’ruf (memperlakukan istri dengan cara yang

ma’ruf), sekali lagi dengan cara yang ma’ruf yang sangat ditekankan dalam

al-Qur’an.4

Dalam soal hubungan seksual, perempuan bukanlah sebagai obyek lelaki, maskipun al-Qur’an melukiskan perempuan sebagai ladang bagi laki-laki yang boleh ditanami bagaimana saja lelaki-laki mau, sebagaimana firman

Allah dalam surat al-Baqarah ayat 223 yang artinya, “Istri-istrimu adalah

seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”.

Pemahaman terhadap ayat tersebut yang selama ini dianut, cenderung tidak adil terhadap perempuan. Sepintas dalam ayat tersebut posisi perempuan dianggap sebagai obyek kemauan lelaki, khususnya soal seks. Kesan inilah yang kiranya terus digarisbawahi oleh lelaki. Padahal bila dilihat asbabun nuzulnya, ayat itu turun berkaitan dengan kegemaran sementara lelaki yang

4

Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta; PT. LKiS Pelangi


(5)

5

suka menggauli istrinya dan belakang, dan kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang di maksud menggauli istri dari belakang bukan dari dubur, melainkan bersetubuh dari arah belakang, akan tetapi tetap masuk kelubang farj/kemaluan istrinya. Jelas di sini bahwa pesan ayat itu tidak untuk memperlakukan perempuan semaunya, seolah ayat itu bicara tentang tehnik main seks. Rasanya terlalu sepele hal seperti itu diangkat oleh al-Qur’an.

Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga No. 23 tahun 2004 pasal 8 huruf a berbunyi “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf C meliputi: Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut”. Undang-undang ini mengatur tentang larangan pemaksaan hubungan seksual. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. ”Orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga” menurut pasal 2 Undang-undang No. 23 tahun 2004 meliputi:

1. Suami, istri, dan anak

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan atau


(6)

6

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut.

Dan yang dimaksud oleh penulis dengan “Orang yang menetap dalam lingkup rurnah tangga” dalam skripsi ini adalah seorang istri, karena dalam pembahasan bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri.

Dengan latar belakang masalah di atas maka penulis merasa perlu pengkajian yang lebih mendalam tentang segala bentuk dari pemaksaan hubungan seksual tersebut yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia.”

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana terlihat dan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka pokok yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif mengenai

bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri?

2. Bagaimana perbandingan pandangan hukum Islam dan hukum Positif

mengenai bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri?


(7)

7 C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum Positif mengenai

bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri

2. Mengetahui perbandingan pandangan hukum Islam dan hukum Positif

mengenai bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah

keilmuan, khususnya dalarn persoalan kajian hukum islam dan hukum positif mengenai batas-batas kewenangan suami terhadap istri.

2. Memberikan pemahaman yang komperhensif tentang bentuk-bentuk

pemaksaan hubungan seksual terhadap istri dalam rumah tangga yang ditinjau dan aspek hukum islam dan dan hukum positif di Indonesia sehingga dapat menghindari sikap yang tidak benar.

3. Sebagai stimulus bagi studi berikutnya mengenai persoalan-persoalan

kekerasan dalam rumah tangga secara lebih mendalam dan komperhensif, khususnya yang dialami oleh perempuan.

4. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai acuan perilaku bagi seorang suami


(8)

8 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pembahasan dalam penelitian ini merupakan penelitian (library

research) dengan menggunakan data-data yang diperlukan berdasarkan pada literatur-literatur primer dan sekunder yang membahas berkaitan dengan bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif yaitu telaah kritis mengenai bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri menurut hukum Islam berdasarkan kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis serta pendapat para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, dan hukum positif yang tertuang dalam Undang-Undang, serta aturan lainnya yang membahas tentang bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual.

3. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini adalah segala macam bahan baik buku, jurnal, artikel, tesis dan sebagainya yang terkait erat dengan substansi permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Dalam hal ini dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah : Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan


(9)

9

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 1 Tahun l974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KRT, KTJH Perdata (BW), nash-nash al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan persoalan perempuan, hubungan antara suami istri, serta pendapat para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab fikih kiasik dan kitab-kitab fikih kontemporer yang membahas dan menyinggung persoalan perempuan, ataupun bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri.

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yang dipakai dalam pembahasan di skripsi ini adalah berupa buku-buku yang membahas tentang persoalan perempuan, hubungan antara suami dan istri, kewajiban suami terhadap istri, kewajiban istri terhadap suami, serta berbagai macam tulisan yang membahas tentang persoalan pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri.

4. Analisis Data

Dalam menganalisis data, penyusun menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Metode deduktif, yaitu menganalisa dengan bertolak pada data-data

yang bersifat umum, kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus. Metode ini akan digunakan dalam menganalisa hukum Islam dan hukum Positif tentang bentuk-bentuk pemaksaan hubungan


(10)

10

seksual suami terhadap istri yang kemudian dikontekstualisasikan dengan berbagai macam persoalan istri dewasa ini.

b. Metode komparatif, yaitu membandingkan suatu data dengan data

yang lain, kemudian dicari titik persamaan dan perbedaannya yang pada akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan. Metode ini akan menjelaskan hubungan atau relasi antara hukum Islam dan hukum Positif tentang bentuk-bentuk pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri untuk kemudian disimpulkan.


(11)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pemaksaan hubungan Seksual Suami Terhadap Istri

A.1. Pengertian Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istri adalah segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan

kekuasaan untuk mengendalikan istri.5

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan

KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.6

Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan

5

YLBHI. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. (Jakarta: Sentralisme Production. 2007)

6


(12)

12

cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan

orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.7

Pemaksaan hubungan seksual dalarn rumah tangga jelas telah melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktifitas seksual yang didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, balikan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasan. Hubungan seks yang dilakukan dibawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.

Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri

dapat dikatagorikan sebagai tindakan marital rape, adapun pengertian dari

marital rape itu sendiri beragam. Menurut Nurul Ilmi Idrus, dalam laporan

penelitiannya mendefimsikan bahwa marital rape hubungan seksual yang

disertai paksaan, ancaman, pemaksaan selera sendiri, dan penggunaan

obat-obat terlarang atau minuman beralkohol.8 Sedangkan Farha Ciciek

mengelompokannya kedalam 3 bagian, yaitu pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak siap, hubungan seksual yang diiringi penyiksaan, dan

pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki istri.9

Berdasarkan beberapa pengertian marital rape di atas, dapat

dirumuskan bahwa yang termasuk katagori tindakan marital rape adalah:

7

Abdul Muqsit Ghozi, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta: Rahima, 2002, Cet. 1, hlm. 105.

8

Nurul Ilmi Idrus, Marital rape: Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM dan Ford Foundation, 1999), hlm. 25-38.

9

Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Belajar Dan Kehidupan Rasul (Jakarta: LKAJ, Solidaritas Perempuan dan The Ford Foundation, 1998),hlm. 24-25.


(13)

13

1. Hubungan seksual yang dilakukan secara paksaan atau dengan kekerasan,

karena istri dalam keadaan tidak siap atau lelah sehingga mengakibatkan istri mengalami luka fisik atau psikis.

2. Hubungan seksual yang dilakukan tanpa memperhatikan kepuasan ataupun

kenikmatan keduanya.

Katagori di atas tidak mutlak termasuk ke dalam tindakan marital rape

karena setiap saat tindakan marital rape dapat berubah dan semakin variatif

bentuknya.

A.2. Bentuk Bentuk Pemaksaan Ilubungan Seksual Suami Terhadap Istri

Pemaksan hubungan seksual merupakan suatu bentuk kekerasan yang terjadi dalam kehiduapan rumah tangga (di ruang domestik). Terkait kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (di ruang domestik), terutama

kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri (wife abuse) mempunyai

berbagai macam bentuk dan jenisnya. Obyek kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan (istri) tapi tidak dipungkiri juga seorang suami menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya saja selama ini fakta menunjukkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ini sebagian besar adalah perempuan.

Adapun yang termasuk dalam katagori bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah perkosaan, pengguguran kandungan tanpa seizin perempuan yang bersangkutan, perdagangan perempuan, dan melarikan perempuan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan secara khusus dalam KUHP


(14)

14

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia yang menyatakan bahwa yang termasuk kekerasan terhadap perempuan itu adalah sebagai korban dan

(a) perkosaan,10 (b) pengguguran kandungan tanpa seizing yang

bersangkutan,11 (c) perdagangan perempuan,12 dan (d) melarikan perempuan.13

Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender mempunyai macam dan bentuk kejahatan, di antaranya:

1. Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam

perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrealaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya: ketakutan, rasa malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, maupun kultural.

2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga

(domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan

terhadap anak-anak (child abuse).

3. Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital

mutilation).

4. Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan

bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.

10

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Pasal 285.

11

Ibid, Pasal 347.

12

Ibid, Pasal 287.

13


(15)

15

5. Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan

nonfisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana

(enforced sterilization).

7. Kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau menyentuh

bagian dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Kekerasaan ini sering terjadi ditempat pekerjaan atau tempat umum.

8. Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan

masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal yang tidak

menyenangkan bagi perempuan.14

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual secara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan atau tujuan tertentu.15 Adapun bentuk kekerasan ini dapat

diwujudkan dengan perilaku pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan atau yang

14

Mansor Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20

15


(16)

16

tidak disukai, perusakan organ reproduksi perempuan, melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan istri, dan melakukan hubungan seksual yang tidak menghiraukan kondisi istri.

Bentuk kekerasan inilah yang termasuk dalam katagori tindakan pemaksaan hubungan seksual (aktivitas seksual tanpa pesetujuan) yang dikarenakan kondisi istri atau sebaliknya dalam keadaan kuarang sehat, lelah atau tidak siap. Ketidaksiapan istri atau kondisi yang tidak sehat dalam melakukan aktivitas seksual, merupakan suatu hal yang sengat diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual karena hal tersebut merupakan salah satu faktor agar kedua belah pihak ketika melakukan hubungan seksual merasakan kepuasan atau kenikamatan dan aktivitas seksual tersebut, dan bukan hanya salah satu pihak saja yang merasakan. Hal seperti inilah dari kedua pihak perlu adanya interaksi aktif agar dalam melakukan hubungan seksual suami istri saling mengerti keadaan masing-masing.

Bentuk yang lumrah terjadi dalam rumah tangga dapat diringkas kedalam 3 bentuk yaitu: (a) kekerasan sikap, merendahkan, (b) kekerasan bahasa, memaki dan mengintimidasi, (c) kekerasan fisik, menjambak, memukul, dan menendang. Dan, salah satu bentuk kekerasan yang kerap terjadi di dalam rumah tangga adalah pemaksaan aktivitas atau selera seksual tanpa memperhatikan kondisi istri.

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan ragam dan kelanjutan kekerasan berdasar gender. Kekerasan berdasar gender menyudutkan kemanusiaan perempuan ke titik nadir. Perempuan tidak lagi


(17)

17

sebagai subyek tetapi semata sebagai objek dari berbagai kekuasaan dan kekerasan baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan seksual.

B. Pandangan Hukum Islam Tentang Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri

B.1. Pengertian Hukum Islam

Menurut Hasby Ash Shiddieqie menyatakan bahwa hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dan pada fiqh Islam atau syariat Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.16

Kumpulan daya upaya para ahli hukum untuk menetapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat.

Istilah hukum Islam walaupun berlafad Arab, namun telah dijadikan bahasa Indoneisa, sebagai terjemahan dan Fiqh Islam atau syari’at Islam yang bersumber kepada al-Qur’an As-Sunnah dan Ijma’ para sahabat dan tabi’in. Lebih jauh Hasby menjelaskan bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan undang-undang gerak dan subur. Dia mempunyai

gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus.17

Hukum Islam menekankan pada final goal, yaitu untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia. Fungsi ini bisa meliputi beberapa hal yaitu:

1. Fungsi social engineering. Hukum Islam dihasilkan untuk mewujudkan

kemaslahatan dan kemajuan umat. Untuk merealisasi ini dan dalam

16

Hasby ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakrta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 44.

17


(18)

18

kapasitasnya yang lebih besar, bisa melalui proses siyasah syariyyah,

dengan produk qanun atau perundang-undangan.

2. Perubahan untuk tujuan lebih baik. Disini berarti sangat besar

kemungkinannya untuk berubah, jika pertimbangan kemanfaatan untuk masyarakat itu muncul.

Dalam hukum Islam tidak dibedakan antara hukum perdata dengan hukum publik. Hal ini disebabkan menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Oleh karena itu dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang

hukum itu. Yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja, seperti munakahat,

wirasah, muamalat dalam arti khusus, jinayat atau ukubat, al ahkam as-sultoniyyah, syiar, dan mukhasshamat.18

Kalau bagian bagian-bagian tersebut disusun menurut sistimatika hukum barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik, maka susunan hukum muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut:

1. Hukum Privat :

a. Munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.

b. Wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Muamalah dalam arti yang khusus. Mengatur masalah kebendaan dan hak-hak

18


(19)

19

atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan sebagainya.

2. Hukum Publik

a. Jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan

yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun

dalam jarimah takzir.

b. Al-ahkam Assultonijyah membicarakan soal-soal yang berpusat kepada negara, ke pemerintah.

c. Siyar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungannya dengan pemeluk agama dan negara lain.

d. Mukshshonat mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.19

Agama Islam diturunkan Alloh mempunyai tujuan yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia secara individual dan masyarakat. Begitu pula dengan hukum-hukunmya. Menurut Abu Zahroh ada tiga tujuan hukum Islam.

1. Mendidik individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi

masyarakatnya dan tidak menjadi sumber malapetakata bagi orang lain.

2. Menegakkan keadilan di dalam masyarakat secara internal di antara

sesama ummat Islam maupun eksternal antara ummat Islam dengan masyarakat luar. Agama Islam tidak membedakan manusia dari segi keturunan, suku bangsa, agama. Warna kulit dan sebagainya. Kecuali ketaqwaan kepada-Nya.

19


(20)

20

3. Mewujudkan kemaslahatan hakiki bagi manusia dan masyarakat. Bukan

kemaslahatan semu untuk sebagian orang atas dasar hawa nafsu yang berakibat penderitaan bagi orang lain, tapi kemaslahatan bagi semua

orang, kemaslahatan yang betul-betul bisa dirasakan oleh semua pihak.20

Yang dimaksud dengan kemaslahatan hakiki itu meliputi lima hal yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima hal tersebut merupakan pokok kehidupan manusia di dunia dan manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan hidupnya di dunia ini kecuali dengan kelima hal itu. Menurutnya yang dimaksud dengan lima ini adalah:

1. Memelihara Agama. Memelihara agama adalah memelihara kemerdekaan

manusia di dalam menjalankan agamanya. Agamalah yang meninggikan martabat manusia dari hewan. Tidak ada paksaan di dalam menjalankan agama. Sudah jelas mana yang benar dan mana yang salah.

2. Memelihara jiwa adalah memelihara hak hidup secara terhormat

memelihara jiwa dan segala macam ancaman, pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya. Islam menjaga kemerdekaan berbuat, berpikir dan bertempat tinggal, Islam melindungi kebebasan berkreasi di lingkungan sosial yang terhormat dengan tidak melanggar hak orang lain.

3. Memelihara akal adalah memelihara manusia agar tidak menjadi beban

sosial, tidak menjadi sumber kejahatan dan penyakit di dalam masyarakat. Islam berkewajiban memelihara akal sehat manusia karena dengan akal sehat itu manusia mampu melakukan kebajikan dan sesuatu yang

20


(21)

21

bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat laksana batu merah di dalam bangunan sosial.

4. Memelihara keturunan, adalah memelihara jenis anak keturunan manusia

melalui ikatan perkawainan yang sah yang diikat dengan suatu aturan hukum agama.

5. Memelihara harta benda adalah mengatur tatacara mendapatkan dan

mengembangbiakkan harta benda secara benar dan halal, Islam mengatur tatacara bermuamalah secara benar, halal, adil dan saling ridla meridlai. Islam melarang cara mendapatkan harta secara paksa, melalui tipuan dan sebagainya seperti mencuri, merampok, menipu, memeras dan

sebagainya.21

Muhammad Abu Zahroh telah membagi kemaslahatan kepada 3

tingkatan yaitu bersifat daruri, haaji, tahsini.

1. Yang bersifat daruri adalah sesuatu yang tidak boleh tidak harus ada untuk

terwujudnya suatu maslahat seperti kewajiban melaksanakan hukuman qisas bagi yang melakukan pembunuhan sengaja, diyat bagi pembunuhan yang tidak sengaja.

2. Maslahat yang bersifat haaji adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk

menolak timbulnya kemadlaratan dan kesusahan di dalam hidup manusia. Seperti diharamkan bermusuhan, iri dengki terhadap orang lain, tidak boleh egois.

21


(22)

22

3. Maslahat yang bersifat tahsini adalah sesuatu yang diperlukan untuk

mewujudkan kesempurnaan hidup manusia.22

Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa tujuan hukum Islam itu ada dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Dirnaksud dengan tujuan umum ditetapkannya aturan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didalam hidupnya, yang prinsipnya adalah menarik manfaat dan

menolak kemadlaratan. Kemaslahatan manusia itu ada yang bersifat daruri,

haaji dan tahsini.23 Tujuan hukum Islam yang bersifat khusus adalah yang berkaitan dengan satu persatu aturan hukum Islam. Hal ini dapat diketahui dengan memahami asbabun nuzul dan hadits-hadits yang shahih.

B.2. Hubungan Seksual Suami Istri dalam Hukum Islam

Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mengembangkan keturunan dengan cara legal dan bertanggungjawab secara social maupun moral. Kebutuhan biologis merupakam kebutuhan dasar terdapat pada manusia laki-laki maupun perempuan. Merupakan hal alami atau sunnatullah jika suami istri satu sama lain saling membutuhkan, dan saling memenuhi kebutuhan ini. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis merupakan karunia Allah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan yang perlu disalurkan sesuai dengan petunjuknya.

Seks bukanlah suatu yang tabu dalam Islam, tetapi dianggap sebagai aktifitas yang sah dalam perkawinan. Tidak ada konsep dosa yang dilekatkan

22

Ibid. hlm. 366.

23


(23)

23

kepadanya. Seks dianggap kebutuhan prokreasi perlu bagi kelangsungan hidup manusia, maka perkawinan dalam Islam menjadi penting sekalipun belum

tentu wajib hukumnya.24 Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur

alat reproduksinya, tetapi secara psikologis, Allah memberikan pasangan yang sama dalam hal kebutuhan reproduksi ini. Oleh karena itu suami istri tidak diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan sendiri dengan mengabaikan kebutuhan pasangan. Sebab perkawinan memiliki tujuan yang agung dan merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling menghormati.

Seks merupakan kebutuhan demi menghasilkan keturunan sehingga dalam menjalin hubungan suami istri dibutuhkan keterlibatan secara utuh di antara kedua belah pihak.

Terkait dengan hubungan suami istri, di antara kedua belah pihak akan menimbulkan akibat hukum yang harus dipenuhi, yaitu hak dan kewajiban. Bahkan hampir dalam semua fiqh klasik, dalam hak dan kewajiban suami istri telah menempatkan hubungan seksual suami istri sebagai kewajiban bagi istri dan hak bagi suami. Sebagaimana yang diungkapkan az-Zuhaili, bahwa kewajiban istri yang menjadi hak suaminya, selain harus menjaga rumah, harta dan anak-anaknya dengan baik, istri juga harus taat kepada suaminya dalam hal hubungan seksual (jima’) dan keluar rumah, disamping

kewajiban-kewajiban yang lain.25

24

Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Bandung Budaya, 1994, hlm. 139.

25


(24)

24

Salah satu ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan tentang hubungan seksual di antara suami istri adalah suarat al-Baqarah ayat 223, adapun bunyinya:

Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok

tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah: 223)26

Hamka, menafsirkan ayat ini terutama tentang maksud “istri sebagai sawah ladang”, bahwa istri ibarat sawah ladang tempat suami menanam benih untuk menyambung keturunan, dan suami sebagai pemilik sawah ladang boleh masuk ladang kapanpun dia suka dan mau, namun dalam menanam benih juga

harus memperhatikan pada saat yang tepat agar tidak sia-sia.27

Interpretasi terhadap ayat di atas adalah sebagai keharusan seorang istri untuk selalu siap kapan pun suami menghendakinya dan hak bagi seorang suami untuk mendatangi istri kapanpun yang dia inginkan. Posisi istri ibarat objek yang boleh digunakan oleh sang pemilik manfaat, dan terserah sang pemilik mengambil manfaat bagaimana caranya. Perlu diketahui bahwa suatu objek yang dapat menghasilkan manfaat yang baik tergantung sang pemiliknya, ketika cara yang digunakannya tepat dan benar maka hasil yang

26

Al-Baqarah (2): 223.

27


(25)

25

diperolehnya pun akan sesuai dengan apa yang dikehendakinya, tetapi ketika cara yang dipakai adalah cara yang tidak sesuai, dalam hal ini tidak tepat, maka hasil yang diperoleh pun tidak sesuai juga dengan apa yang diharapkan.

Hubungan seksual suami istri, ada yang mengatakan bahwa itu adalah hak istri. Sebagaimana yang diungkapkan Ibn Hazm dalam al-Muhallah, bahwa lelaki diwajibkan mencampuri istrinya minimal satu kali masa suci, jika ia mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukannya berarti

ia telah melanggar ketetapan Allah.28 Adapun ayat yang digunakan dalil oleh

Ibn Hazm adalah:

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q. S.

al-Baqarah: 222)29

Istri dalam hubungan seksual tidak bisa langsung ditetapkan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban untuk melayani apa yang dikehendaki oleh suami dan hak bagi suami untuk meminta hal tersebut kepada istri sehingga harus dipenuhi tanpa adanya penolakan, tetapi hal tersebut bisa saja menjadi

28

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, IX: 6844

29


(26)

26

berubah karena yang dicari dan hal tersebut bukanlah kewajiban siapa dan hak siapa. Ketenangan, kenikmatan dan tidak adanya rasa takut, emosi dan memaksa itulah yang sebenarnya diharapkan dalam hubungan seksual suami istri.

C. Pandangan Hukum Positif Tentang Hubungan Seksual Suami Istri C.1. Pengertian Hukum Positif

Ilmu Hukum Positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu

negara atau masyarakat tertentu pada saat tertentu.30 Dengan demikian dalam

kehidupan masyarakat Indonesia hukum positif adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu ini. Jadi jelas hukum positif adalah hukum yang nyata

berlaku (ius constitutum) di Indonesia dan bukan hukum masa depan yang di

idam-idamkan (ius constituendum), tidak pula hukum kodrati atau alami (ius

natural atau natural law) yang bersifat universal. Sudiman Kartohadiprodjo pernah menyatakan bahwa (Sudiman Kartohadiprojo: 1979): “Hukum positif

dengan nama asing disebut juga: ius constitutum sebagai lawan daripada ius

constituendum, yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi akibat peristiwa - peristiwa dalam sesuatu pergaulan hidup yang

tertentu”. Titik tolak pembedaan antara ius constitutum dan ius constituendum

diletakkan pada faktor ruang waktu, yaitu masa kini dan masa mendatang. Dalam hal ini, hukum diartikan sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif. Kecenderungan pengertian tersebut sangat kuat, oleh

30


(27)

27

karena kalangan tertentu berpendapat bahwa “Setelah diundangkan maka ius

constituendum menjadi ius constitutum (B. Utrecth: 1966).

Hukum positif (Indonesia) adalah keseluruahan asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Apabila diuraikan lebih lanjut, hubungan manusia dalam masyarakat ini berarti hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan masyarakat dan sebaliknya

hubungan masyarakat dengan manusia anggota masyarakat itu.31

Walaupun batasan atau definisi hukum positif sebagaimana diuraikan diatas tampaknya sederhana, namun dalam kenyataannya keseluruhan asas-asas atau kaidah yang mengatur suatu masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Indonesia, itu sangat kompleks karena banyak asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia yang bermasyarakat dan bernegara itu. Tujuan ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum positif adalah untuk memahami dan menguasai pengetahuan tentang kaidah dan asas-asas itu untuk kemudian dapat mengambil keputusan berdasarkannya. Namun demikian, pengetahuan tentang hukum positif Indonesia memerlukan kita menguasai fakta-fakta berupa asas dan kaidah itu untuk dapat menggunakannya di dalam mengambil keputusan. Tugas ilmu pengetahuan hukum positif adalah untuk menyusun fakta-fakta mengenai kaidah ini

menjadi kesatuan yang sistematis sehingga dapat dikuasai.32

Untuk dapat melakukan hal tersebut diatas, arti dan isi dari kaidah-kaidah hukum itu harus diketahui secara pasti, kemudian pengertian yang

31

Ibid, hlm. 4.

32

H.Ph. Visser’t Hooft, Filosofie van de Rechtswetenchap, Tjeenk Willink, Zwolle, 1988, pp. 11, 21,


(28)

28

lebih mendalam dari berbagi kaidah hukum itu harus ditelusuri dan dikembalikan kepada asas-asas yang menjadi dasar dari kaidah-kaidah hukum yang kongkrit itu. Dengan cara demikian dapat misalnya dikumpulkan dan disusun secara sistematis semua ketentuan yang mengatur kehidupan kekeluargaan. Hal yang sama dapat dilakukan untuk hak-hak atas benda atau perikatan. Pengertian-pengertian seperti perorangan, benda, itikad baik, perikatan, perbuatan dan tindakan hukum, kesalahan dan kejahatan dengan demikian terbentuk dan dimantapkan. Disepakati asas-asas untuk

bidang-bidang hukum tertentu, misalnya hukum pidana, asas “nullum crimen sine

lage (tiada kejahatan tanpa ketentuan perundangan-undangan terlebih

dahulu)33, atau dalam hukum sipil, “pacta sunt servanda” (perjanjian harus

ditepati)34. Kegiatan ilmu yang melakukan semua hal diatas tadi kerena

menyangkut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku atau kaidah-kaidah hukum positif disebut ilmu hukum positif. Adapun metode yang digunakan

adalah metode analitis atau positivism. Jelas kiranya bahwa dalam menangani

ilmu hukum positif ini kita berurusan dengan ilmu yang normatif, artinya ilmu

mengenai kaidah-kaidah bagaimana orang yang seharusnya berperilaku (das

Sollon) dalam masyrakat, bukan bagaimana sebenarnya merupakan perilaku (das Sein)35 dalam masyarakat.

33

Mr J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I, terjemah Hasnan 1979. hlm. 3.

34

Fockema Andrae, Kamus Istilah Hukum, Saleh Adiwinata dkk., Bandung: Bina Cipta, 1983.

35


(29)

29

C.2. Hubungan Seksual Suami Istri dalam Hukum Positif

Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial atas tingkah laku dan pikiran yang ditundukkan dan diarahkan kepada kepentingan-kepentingan tertentu. Konstruksi tersebut melahirkan pendisiplinan seksualitas masyarakat. Pendisiplinan seksualitas ini dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui hukum tentang hubungan keluarga, karena berbicara seksualitas sangat erat kaitannya dengan keluarga. Di Indonesia, hukum keluarga menjadi alat konstruksi dan pendisiplinan seksualitas masyarakat adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mewakili negara di satu sisi dan ideologi Islam di sisi lainnya. Kedua peraturan ini merupakan hasil relasi dan pengetahuan dan kekuasaan yang membentuk wacana seksualitas masyarakat yang kemudian dilegitimasi dalam peraturan tersebut. Konstruksi ini tentu akan mereduksi seksualitas masyarakat sendiri.

Dalam perkawinan, terdapat ajaran-ajaran tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami memiliki hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula istri, memiliki hak dan kewajiban terhadap suami. Mahar dan nafkah misalnya, merupakan kewajiban yang harus dibayar suami yang karena hal itu adalah hak istri. Sedangkan sebagai imbangan dari kewajiban yang telah dilakukan suami, istri berkewajiban taat dan hormat kepada suami.

Dalam soal hubungan seks suami istri, pandangan tentang status keduanya dipengaruhi oleh konsep dasar perkawinan itu sendiri. Jika sebuah


(30)

30

bahwa dengan pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks sebagai alat melanjutkan keturunan, dan pihak perempuan yang dinikahinya. Dalam konsep pernikahan yang seperti ini, pihak laki-laki adalah pemilik sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh istri. Dengan begitu, kapan, di mana, dan bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya tergantung kepada pihak suami, dan istri tidak punya pilihan lain

kecuali melayani.36

Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan (suami dan istri). Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagi modal dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan istri (laki-laki dan perempuan).

D. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga

Perkawinan tidak hanya sebagai media merealisasikan syari’at Allah agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

36

Ken Suratiyah, Pengorbanan Wanita Pekerja Industri, dalam Irwan Abdullah (Ed), Sangkan Paran Gender, Cet. I, Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1997


(31)

31

Ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara suami istri dapat dirumuskan dan berbagai pandangan di antaranya adalah perspektif Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, dan hukum Islam (konsep fiqh konvensional).

D.1. Perspektif Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 telah menjelaskan beberapa aturan di antaranya yang telah di atur dalam pasal 30 sampai 34. Adapun bunyi pasal-pasalnya adalah sebagaimana berikut:

Pasal 30

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31

1. Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama didalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Pasal 32

1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

2. Rumah tempat kediaman yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini

ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33

Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan

hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing


(32)

32

Prinsip perkawinan yang terkandung di dalam UU No. 1/1974 pada pasal 31 sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan berumah tangga ataupun dalam pergaulan bermasyarakat. Sehingga dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istripun harus sesuai dengan prinsip perkawinan yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut.

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menurut Sayuti Thalib merumuskan bahwa ada lima hal yang sangat penting hubungannya dengan keseimbangan dan keharmonisan hubungan suami istri di antaranya:

Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta-mencintai dan santun-menyantuni. Artinya, masing-masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf ke dalam rumah tangga.

Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal dalam satu kediaman tersebut.

Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggungjawab suami, sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

Kelima, istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar,

wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.37

37

Sayuti Thalib, Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: UI press, 1982, hlm. 73-78.


(33)

33

Hak dan kewajiban yang dirumuskan di atas, menunjukkan bahwa hubungan yang ma’ruf merupakan hal yang sangat diperlukan atau yang sangat menunjang untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan tentram di manapun tempatnya baik secara lahir ataupun batin dengan tanpa adanya kerikuhan atau sikap saling acuh tak acuh antara kedua belah pihak yang hanya karena suatu masalah kecil yang timbul ketika di atas ranjang saja. Hal seperti ini Legal yuridis yang terdapat di Indonesia terkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri tidak hanya dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan saja tetapi juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan secara rinci.

Pembahasan hak dan kewajiban suami istri dalam KHI dijelaskan dalam beberapa pasal di antaranya adalah pasal 77-78 yang mengatur hal-hal yang umum, pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman dan pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.

Pasal-pasal yang terdapat di dalam KHI ini merupakan perincian dari hal-hal yang dijelaskan secara umum dalam Undang-Undang Perkawinan seperti bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi suami, nafkah, kiswah dan kediaman atau sandang, pangan, dan papan.

Masalah hak dan kewajiban suami istri, dalam KHI agaknya menunjukkan sikap yang mendua, satu sisi ingin mewujudkan kesetaran


(34)

34

fikih Islam yang jelas tidak menempatkan perempuan dan laki-laki secara

seimbang.38

D.2. Perspektif Fiqh Konvensional

Sebuah keluarga terbentuk akibat terjadinya akad nikah atau transaksi perkawinan yang akan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara pihak suami dan istri. Hak dan kewajiban harus dilandasi oleh beberapa prinsip, antara lain: kesamaan, keseimbangan, dan keadilan antara keduanya, serta

adanya kesetaraan, partnership (kerjasama) dan keadilan dalam hubungan

seksual laki-laki dan perempuan.39 Al-Qur’an menyatakan dalam ayatnya yang

berbunyi:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru’ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah: 228)

38

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Perdana Media, 2004. hlm. 193.

39

Husain Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2007. hlm. 59.


(35)

35

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ayat ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki memiliki hak atas

perempuan. Dasar dari pembagian hak dan kewajiban ini adalah ‘urf (tradisi)

dan al-fitrah (fitrah). Setiap hak pasti ada kewajiban, dan sebaliknya.40

Fitrah sebagaimana diketahui adalah nilai-nilai yang melekat pada manusia semenjak ia diciptakan. Dalam bahasa yang lebih popular boleh jadi disebut nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam Islam nilai-nilai ini mengandung makna kesucian.

Secara garis besar, hak dan kewajiban dalam perkawinan dibagi menjadi tiga hal : hak bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban istri. Dalam hal ini, Muhammad Baqir al-Habsyi memberi ulasan yang sistematis diantaranya:

1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri

a. Dihalalkannya bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri,

demikian pula sebaliknya termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua.

b. Timbulnya hubungan di antara mereka berdua.

c. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya, segera setelah

berlangsungnya akad nikah.

d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami.

e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri.

f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.

40


(36)

36

2. Kewajiban suami terhadap istrinya

a. Yang berupa uang (materi), yaitu mahar dan nafkah sehari-hari.

b. Yang bersifat non-materi yaitu mempergauli istri sebaik-baiknya dan

melaksanakan keadilan di antara istri-istri apabila memiliki lebih dari satu istri. Suami juga wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual antara suami-istri.

3. Kewajiban istri terhadap suami

a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya

selama tidak merupakan yang dilarang Allah.

b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya.

c. Menghindari dan segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami

seperti bersikap angkuh, atau rnenampakkan wajah cemberut, atau

penampilan buruk lainnya.41

41

Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqh Praktis: Menuut al-Qur‘an dan as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’. Bandung: Mizan, 2002, hlm. 128-146.


(1)

Ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara suami istri dapat dirumuskan dan berbagai pandangan di antaranya adalah perspektif Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, dan hukum Islam (konsep fiqh konvensional).

D.1. Perspektif Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 telah menjelaskan beberapa aturan di antaranya yang telah di atur dalam pasal 30 sampai 34. Adapun bunyi pasal-pasalnya adalah sebagaimana berikut:

Pasal 30

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31

1. Hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama didalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Pasal 32

1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

2. Rumah tempat kediaman yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33

Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.


(2)

Prinsip perkawinan yang terkandung di dalam UU No. 1/1974 pada pasal 31 sangat jelas disebutkan bahwa kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan berumah tangga ataupun dalam pergaulan bermasyarakat. Sehingga dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istripun harus sesuai dengan prinsip perkawinan yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut.

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menurut Sayuti Thalib merumuskan bahwa ada lima hal yang sangat penting hubungannya dengan keseimbangan dan keharmonisan hubungan suami istri di antaranya:

Pertama, pergaulan hidup suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta-mencintai dan santun-menyantuni. Artinya, masing-masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf ke dalam rumah tangga.

Kedua, suami memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai kepala keluarga dan istri juga memiliki kewajiban dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga.

Ketiga, rumah kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal dalam satu kediaman tersebut.

Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggungjawab suami, sedangkan istri wajib membantu suami mencukupi biaya hidup tersebut.

Kelima, istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar, wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.37

37

Sayuti Thalib, Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: UI press, 1982, hlm. 73-78.


(3)

Hak dan kewajiban yang dirumuskan di atas, menunjukkan bahwa hubungan yang ma’ruf merupakan hal yang sangat diperlukan atau yang sangat menunjang untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan tentram di manapun tempatnya baik secara lahir ataupun batin dengan tanpa adanya kerikuhan atau sikap saling acuh tak acuh antara kedua belah pihak yang hanya karena suatu masalah kecil yang timbul ketika di atas ranjang saja. Hal seperti ini Legal yuridis yang terdapat di Indonesia terkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri tidak hanya dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan saja tetapi juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan secara rinci.

Pembahasan hak dan kewajiban suami istri dalam KHI dijelaskan dalam beberapa pasal di antaranya adalah pasal 77-78 yang mengatur hal-hal yang umum, pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, pasal 81 tempat kediaman dan pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang, dan pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.

Pasal-pasal yang terdapat di dalam KHI ini merupakan perincian dari hal-hal yang dijelaskan secara umum dalam Undang-Undang Perkawinan seperti bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi suami, nafkah, kiswah dan kediaman atau sandang, pangan, dan papan.

Masalah hak dan kewajiban suami istri, dalam KHI agaknya menunjukkan sikap yang mendua, satu sisi ingin mewujudkan kesetaran sedangkan pada sisi lain belum berhasil sepenuhnya keluar dari mainstream


(4)

fikih Islam yang jelas tidak menempatkan perempuan dan laki-laki secara seimbang.38

D.2. Perspektif Fiqh Konvensional

Sebuah keluarga terbentuk akibat terjadinya akad nikah atau transaksi perkawinan yang akan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara pihak suami dan istri. Hak dan kewajiban harus dilandasi oleh beberapa prinsip, antara lain: kesamaan, keseimbangan, dan keadilan antara keduanya, serta adanya kesetaraan, partnership (kerjasama) dan keadilan dalam hubungan seksual laki-laki dan perempuan.39 Al-Qur’an menyatakan dalam ayatnya yang berbunyi:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah: 228)

38

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Perdana Media, 2004. hlm. 193.

39

Husain Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2007. hlm. 59.


(5)

Menurut Wahbah az-Zuhaili, ayat ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan. Dasar dari pembagian hak dan kewajiban ini adalah ‘urf (tradisi) dan al-fitrah (fitrah). Setiap hak pasti ada kewajiban, dan sebaliknya.40

Fitrah sebagaimana diketahui adalah nilai-nilai yang melekat pada manusia semenjak ia diciptakan. Dalam bahasa yang lebih popular boleh jadi disebut nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam Islam nilai-nilai ini mengandung makna kesucian.

Secara garis besar, hak dan kewajiban dalam perkawinan dibagi menjadi tiga hal : hak bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban istri. Dalam hal ini, Muhammad Baqir al-Habsyi memberi ulasan yang sistematis diantaranya:

1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri

a. Dihalalkannya bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri, demikian pula sebaliknya termasuk hubungan seksual di antara mereka berdua.

b. Timbulnya hubungan di antara mereka berdua.

c. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya, segera setelah berlangsungnya akad nikah.

d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami. e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri. f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.

40


(6)

2. Kewajiban suami terhadap istrinya

a. Yang berupa uang (materi), yaitu mahar dan nafkah sehari-hari.

b. Yang bersifat non-materi yaitu mempergauli istri sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan di antara istri-istri apabila memiliki lebih dari satu istri. Suami juga wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual antara suami-istri.

3. Kewajiban istri terhadap suami

a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan yang dilarang Allah.

b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya. c. Menghindari dan segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami

seperti bersikap angkuh, atau rnenampakkan wajah cemberut, atau penampilan buruk lainnya.41

41

Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqh Praktis: Menuut al-Qur‘an dan as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’. Bandung: Mizan, 2002, hlm. 128-146.