Tentang Paham Kesetaraan Gender Angkatan

Tentang Paham Kesetaraan Gender
Angkatan Muda
Wajiran, S.S., M.A.1

Pe n gan tar
Pada suatu kesem patan saya diundang untuk menjadi pembicara di salah satu
gerakan kemahasiswaan, saya m erasa agak terkejut dengan pernyataan salah
seorang aktivis perem puan yang berpendapat mengenai em ansipasi wanita.
Menurutnya salah satu wujud em ansipasi wanita adalah ketidakterkekangannya dengan aturan-aturan m asyarakat yang m enurutnya sangat
m erugikan kaum perem puan. Ia m encontohkan pembatasan ruang gerak dan
pem batasan waktu beraktivitas adalah sebuah bentuk diskrim inasi yang perlu
direvisi di negeri ini. Menurutnya wanita boleh kapan saja keluar rum ah,
tanpa harus ijin dengan suam i atau orang tua, sebagaim ana halnya laki-laki.
Itulah sebuah hasil interaksi sosial masa kini, dimana paham dan wacana
yang datang dari berbagai Negara telah m elahirkan berbagai dam pak negative
terhadap generasi kita. Wacana feminism e yang sudah lama lahir dan
berkembang di barat kini telah menjalar di masyarakat kita. Ironisnya
gerakan fem inism e ini lebih vulgar dan lebih garang di negeri asal m ereka
sendiri. J ika di Am erika, hal ini tentu sangat wajar terjadi, karena m ereka
bukan beragam a islam , tetapi di Indonesia hal ini tentu bertolak bekang
dengan kita yang m em iliki nilai norm a dan agam a.

Kita bisa melihat bagaim ana gerakan perem puan sudah m eram bah di segala
bidang di negeri ini. Mulai dari persoalan domestik, sam pai pada ranah
politik. Di dalam rum ah tangga seumpam anya, wanita sudah ham pir 60 %
(m ungkin lebih) bekerja di luar rum ah. Wanita juga sudah banyak yang
m endudukan jabatan-jabatan publik.
Sebenarnya, peran ini tidak berm asalah selam a ada kesepakatan dengan sang
suam i. Peran dan fungsi perem puan juga sudah m endapat tem pat yang sangat
luas di negeri ini. Hanya saja, terkadang kaum perempuan m erasa belum puas
dengan kesem patan-kesem patan yang sudah m ereka dapatkan.
Adanya wacana jatah kursi di DPR 30 % bagi kaum perem puan adalah sebuah
1

Dosen Universitas Ahm ad Dahlan Yogyakarta

13 0 I

Konfrontasi

ironi. Pemberian kuota 30 % kepada kaum perempuan untuk m enem pati
lembaga legislatif sebenarnya sebuah penghinaan terhadap perem puan

sendiri. Karena dengan mem beri jatah 30 %, kaum perem puan dianggap tidak
bisa mem perolah kedudukan itu secara alam ipemberian kuota ini, justru akan
m enunjukan bahwa kaum perem puan m em ang tidak pantas m enduduki
jabatan ini. J ika saja kita m au fair, tidak perlu ada jatah-jatah tersebut.
Orang-orang yang m enempati jabatan tersebut adalah m ereka yang terpilih
karena m em iliki kem am puan dan kapabilitas di bidangnya.

W acan a Fe m in is m e
Di Am erika dan Inggris kaum perempuan berjuang karena kenyataanya
m ereka mendapat perlakuan yang tidak m anusiawi oleh pemerintahan atau
m asyarakat pada m asa itu. Oleh karena itu, mereka berjuang dalam ranah
yang ham pir sam a; para fem inis di dua negera itu berjuang m enuntut
kesetaraan upah, kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesetaraan
kesem patan kerja. Setelah sem ua hal itu tercapai, tuntutan m ereka m eram bah
pada perjuangan atas kontrasepsi gratis dan hak untuk m elakukan aborsi
(Hollows:n 20 0 0 :5). Dua hal tentunya sangat bertentangan dengan norm a
m asyarakat apalagi agam a Islam . Hal ini harusnya m enjadi bahan
pertim bangan bagi gerakan perempuan Indonesia, karena jelas-jalas
m elanggar norm a dan etika agam a.
Dam pak dari wacana kebebasan para fem inis telah m elahirkan pergaulan

bebas yang sangat m engkhawatirkan. Pasalnya, tuntutan m ereka untuk
bekerja di luar rum ah telah m ember kebebasan kepada kaum perem puan
bebas bergaul dengan siapa saja. Kesem patan ini telah m elahirkan
perem puan-perem puan tidak bertanggungjawab yang m enyalahgunakan
kebebasan itu. Tidak jarang para professional perem puan m elakukan
tindakan-tidankan
yang
diluar
batas
kemanusiaan.
Kasus-kasus
perselingkuhan yang m arak terjadi sebenarnya adalah dam pak dari adanya
paham kebebasan kaum perem puan ini.
Kita bisa melihat, begitu banyaknya kasus-kasus keham ilan di luar nikah. Di
ham pir sem ua negara m aju hal ini telah m enjadi ancam an yang sangat tidak
terkendalikan. Ditunjang dengan adanya perkem bangan teknologi inform asi,
sem akin m em udahkan kom unikasi laki dan perem puan yang m elahirkan
pergaualan bebas. Facebook adalah salah satu m edia social m edia yang sering
digunakan oleh kaum muda m engekspresikan kebebasannya secara vulgar.
Hal ini jugalah yang m endorong lahirnya kekerasan, pelecehan dan bahkan

kejahatan seksual di lingkungan kita.
Tentu kita masih ingat tentang wacana kaum fem inis yang menghendaki alat
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 13 1

kontrasepsi gratis. Gagasan ini m enunjukan ketidakm am puan mereka (barat)
dalam m engendalikan pergaualan bebas di negara tersebut. Alat kontrasepsi
dianggap dapat m enyelesaikan m asalah bagi m ereka. Secara m oral ini jelasjelas bertentangan dengan norm a m asyarakat kita, karena pem berian alat
kontrasepsi hanya akan m elahirkan m asalah yang lebih besar. Lihatlah
anggapan
m asyarakat
sekarang yang merem ehkan
keperawanan.
Keperawanan dianggap sudah bukan hal yang penting lagi. Karena m enurut
hasil penelitian rem aja di kota-kota besar sudah banyak yang tidak perawan.
Saya yakin ini adalah salah satu dam pak yang dihasilkan dari paham
kesetaraan gender yang selam a ini kita anut habis-habisan.

Ke d u d u kan p e re m p u an d alam Is lam

Berkenaan dengan pandangan atau kedudukan wanita dalam Islam , dapat kita
lihat pada pesan Rasulullah pada saat Khutbah Haji Wada’ (Thalib:
20 0 5:128).
“Wahai m anusia, istri-istri kalian mem iliki hak-hak atas kalian dan kalian
m em iliki hak-hak atas m ereka. Mereka bergantung kepadam u, m ereka
tidak dapat m engerjakan sem uanya sendirian. Tak disangkal lagi kamu
telah mendapatkan kepercayaan dari Allah, dan m ereka telah m enjadikan
pasangan sah kam u dibawah ketetapan Sang Maha Pengasih, oleh karena
itu bertawalah kepada Allah, berkenaan dengan wanita, perlakukan
m ereka denganlemah dan lembut”
Dari pesan ini dapat kita paham i bagaim ana Nabi Muham m ad SAW, yang
m erupakan representasi ajaran Islam , m enem patkan kaum perem puan
sebagai m anusia yang sangat terhorm at dan m em iliki kedudukan sangat
m ulia. Pesan ini menunjukan kem uliaan Islam di bandingkan dengan ajaranajaran para filsuf barat yang m enjadi panutan para fem inis itu.
Agam a Islam adalah agam a yang m enem patkan kaum perem puan sangat
ideal. Dibandingkan dengan ajaran-ajaran para filosof yang sangat m erugikan
kaum perempuan. Tom as Aquinas yang m enganggap kaum perempuan adalah
m akhluk yang tidak sempurna. Beberapa filosof juga m enganggap kaum
perem puan itu setengah laki-laki. Dengan dem ikian kualitas kaum perem puan
dianggap lebih rendah daripada laki-laki.

Islam m enem patkan kaum perem puan dalam posisi yang sangat ideal. Islam
m enem patkan kaum perem puan sangat terhorm at bahkan kadang kaum
perem puan diposisikan lebih berharga dari pada laki-laki. Seperti bahwa
surga ada di telapak kaki ibu. Hal ini m enunjukan bahwa penghorm atan itu
sangat diutam akan kepada ibu (perempuan), yang dengan susah payah telah

13 2 I

Konfrontasi

m elahirkan kita.
Kesetaraan gender dalam islam sebenarnya sudah bisa dilihat dari cara nabi
m enem patkan istri-istrinya. Khadijah adalah istri pertam a Beliau yang juga
seorang pengusaha kaya. Bahkan dalam beberapa hal, khadijah m engeluarkan
dana untuk m em bantu perjuangan Rasulullah dalam berbagai hal. Ini adalah
bukti kem uliaan nilai-nilai islam di dalam m em perlakukan kaum perem puan
pada m asa itu.

Ke w ajiban Kita s e bagai U m at Is lam
Para aktivis perem puan yang selama ini sudah bergerak m enyuarakan

kesetaraan dan em ansipasi pada um um nya adalah um at islam . Kebanyakan
m ereka yang ada di Indonesia adalah generasi islam yang harusnya sadar
bahwa perjuangan kaum perem puan di barat itu tidak seutuhnya benar,
bahkan bisa dikatan salah besar. Oleh karena itu, hendaknya kita tidak
m entah-m entah m engambil dan m engaplikasikan sebuah paham apalagi yang
jelas-jelas bertentangan dengan norm a dan nilai moral yang ada di Negara
kita.
Ini m em ang sangat ironis, karena kenyataannya um at Islam (aktivis
perem puan Indonesia) lebih cinta pada kebebasan ala barat (Am erika dan
Inggris) di bandingkan dengan norm a agam a dan juga nilai budaya sendiri.
Inilah yang harusnya m enjadi bahan instrospeksi bagi kita karena jika ini
dibiarkan ada kekhawatiran akan hilangnya atau lunturnya nilai-nilai luhur
bangsa yang m erupakan ciri khas kebudayaan Indonesia.
Itulah mengapa saya m engajak kepada segenap umat Islam untuk m elawan
wacana dengan wacana. J ika m ereka gencar m enyebarkan gagasan kebebasan
atas nam a hak asasi m anusia, m aka kita pun harus bergerak dengan
m enyebarkan secara menyeluruh bahwa nilai kem anusiaan itu ada di dalam
agam a Islam. Ajaran-ajaran Islam dan budaya kita sesungguhnya lebih
m anusiawi dibandingkan dengan paham yang ada di barat itu. Sem oga
dengan adanya perlawanan hegemoni, akan m engurangi kegarangan gerakangerakan libralism e yang ada di lingkungan kita.

Lembaga pendidikan Islam atau Ormas Islam m em iliki peran yang sangat
penting untuk m engjawab tantangan ini. Oleh karena itu lem baga pendidikan
seperti sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sudah saatnya bentengi generasi
m uda dengan ajaran-ajaran m oral dan nilai-nilai yang berasal dari agam a dan
budaya kita sendiri.Tentunya ini adalah tantangan yang sangat berat
m engingat media telekomunikasi telah m enjadi alat utam a bagi kaum liberal
untuk m enggem pur pertahanan budaya kita.
Sem oga tulisan yang singkat ini dapat m enggugah kesadaran kita sehingga
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 13 3

kita sam a-sam a dapat bahu-m ebahu m engantisipasi kerusakan m oral yang
terjadi di Negara kita. Sekecil apapun kedudukan kita, sepanjang kita niatkan
untuk kebaikan Insya Allah akan mendapat balasan yang besar di sisi Allah
SWT. Akhirnya m arilah berjuang tanpa henti untuk m em erangi m usuh kita
yaitu liberalism , kolonialism e, fem inism e dan komunism e, juga ism e-ism e
lain yang bertentangan dengan agam a dan nilai luhur bangsa kita. W allahu
a’lam u bishaw ab.


13 4 I

Konfrontasi

 
 
 
 
This article is part of 
 
 
JURNAL
KONFRONTASI
 
Volume IV, No. 1, January 2015 
Visit: 
www.konfrontasi.co