Kaum Muda GPIB dan Gerakan Kharismatik

JOAS ADIPRASETYA
Email: j.adiprasetya@sttjakarta.ac.id. Joas Adiprasetya adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang
ditugaskan secara khusus menjadi dosen penuh waktu di STT Jakarta untuk bidang teologi sistematika; kini Ketua
STT Jakarta. Makalah ini disajikan dalam Studi Teologi, Materi Persidangan Sinode XX GPIB, di Wisma Kinasih II,
Depok, pada 2 Mei 2014.

Saya diminta untuk memberikan masukan dengan tema “Gereja-gereja Arus-Utama di tengah
Kalangan Kristen Kharismatik.” Saya berusaha memahami maksud tema ini, dan saya menduga
yang dimaksud adalah bagaimana gereja-gereja arus-utama, maksudnya GPIB, GKI, dan gerejagereja tradisional lainnya mengambil sikap terhadap perkembangan gerakan Kharismatik. Semoga
dugaan saya benar. Untuk itu, saya ingin memberi sebuah catatan awal yang patut kita pahami
benar, yaitu bahwa istilah “Gereja-gereja Arus Utama” sesungguhnya tidak lagi menjadi istilah
yang tepat, untuk dua alasan. Pertama, jika “arus utama” mengindikasikan jumlah mayoritas,
maka istilah tersebut tidak lagi tepat, sebab tampaknya jumlah warga dari gerakan Kharismatik
sudah melampaui jumlah warga gereja-gereja tradisional (demikian istilah yang saya usulkan).
Kedua, istilah “arus utama” dengan mudah dipersepsi sebagai sebuah ungkapan yang arogan dan
karenanya perlu dihindari.
Catatan lain yang penting adalah bahwa scope pembahasan saya terfokus pada usaha bersama
kita untuk menemukan format pelayanan pemuda GPIB—bahkan nanti kita memperluasnya
untuk warga jemaat non-pemuda—dalam konteks pertumbuhan gerakan Kharismatik. Saya tidak
akan masuk ke dalam rincian apa dan bagaimananya gerakan Kharismatik, sebab dibutuhkan
studi yang lebih luas dan mendalam.1 Dengan demikian, makalah ini tidak bersifat deskriptif

(tentang seluk-beluk gerakan Kharismatik) atau analitis (yang sudah dengan apik dikerjakan oleh
tim litbang), namun lebih berwatak strategis-preskriptif.

1

Studi Gerakan Kharismatik masa kini telah berkembang sangat pesat dan mengalami pengarusutamaan dalam
dunia teologi dengan mengambil nama Renewal Studies. David Duncombe mendefinisikan sub-disiplin baru ini sebagai
“the application of a pneumatological framework on the inter-related fields of Biblical Studies, Church History,
Theology, and Missiology. This methodology, seeks to identify the operation of the Holy Spirit in God’s reformative
work in humanity. This includes a direct examination of pneumatic manifestations, such those witnessed during the
Pentecostal and Charismatic Renewals. However, Renewal Studies will also include the study theological renewals,
such as Vatican II, or socio-cultural renewals such as those experienced in Africa due to the spread of post-colonial
African Christianity.” http://daveduncombe.wordpress.com/2012/12/12/defining-renewal-studies/ (diakses 29 April
2014).

1

Dari laporan penelitian yang telah dikerjakan oleh tim dan telah saya baca, saya menangkap
sebuah kesan kuat bahwa, di balik perhatian besar pada gerakan Kharismatik terdapat sebuah
pemahaman bahwa gerakan Kharismatik merupakan sebuah ancaman. Beberapa kalimat di dalam

laporan mengungkapnya, baik tersurat maupun tersirat. Terus terang saya cukup lama
menggumuli hal ini pula, bahkan sebelum saya diundang untuk berbicara pada hari ini. Apakah
fakta kemerosotan jumlah anggota gereja kita dan pertumbuhan jumlah gereja lain—katakanlah
gereja X—harus membuat kita melihat gereja X sebagai ancaman bagi gereja kita? Seolah-seolah
kemajuan mereka berkorelasi langsung dengan kemunduran kita; atau tepatnya, merekalah
penyebab kematian kita! Jangan-jangan memang itu definisi paling lugas dari kata “ancaman.”
Lantas saya sempat memiliki sebuah perenungan yang agak di luar pakem, begini.
Jika kita memang sungguh menghayati apa yang kita ucapkan setiap minggu, bahwa kita
percaya pada gereja yang satu dan am (una et catholica ecclesia), bukankah gereja kita dan gereja X
adalah bagian dari satu gereja yang kita akui tersebut? Lantas, bukankah hal itu juga berarti bahwa
perpindahan warga gereja kita ke gereja X sebenarnya bukan sebuah perpindahan keluar dari una
et catholica ecclesia itu? Perenungan ini bahkan menuntun saya pada ucapan Kristus sendiri, “Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia
tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24). Bukankah
setiap gereja sebenarnya berpartisipasi ke dalam kefanaan dan memang tidak akan pernah abadi.
Mati dan ditutupnya sebuah gereja adalah sebuah kewajaran; sama wajarnya dengan lahir dan
dibukanya sebuah gereja yang baru. Bahkan, Stephen Gray dan Franklin Dumond, penulis buku
Legacy Churches,2 menginformasikan bahwa setiap hari di Amerika Serikat terdapat sembilan gereja
ditutup selamanya. Beberapa minggu lalu saya membaca sebuah kisah tentang the Reformed
Church in Plano (RCP) di Amerika Serikat, yang mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum

“mati.”3 Bahkan ibadah terakhirnya terselenggara bagaikan sebuah ibadah penghiburan dan
pemakaman, namun dengan sebuah khotbah tentang pengharapan kebangkitan.
Mungkin, perasaan terancam yang kita miliki saat ini tak lebih besar daripada perasaan
terancam yang menghinggapi para petinggi gereja Katolik Roma ketika orang banyak berduyunduyun berpindah ke “gereja” Protestan pada masa itu; juga perasaan yang sama mungkin saat ini
menghinggapi pemimpin gereja Kharismatik di Korea Selatan karena pertumbuhan melesat yang
mereka nikmati selama beberapa dasawarsa telah rampung dan warganya kini melakukan eksodus
besar-besaran, justru ke gereja asal mereka dulu, yaitu gereja-gereja “tradisional,” yang jauh lebih
kuat pelayanan sosialnya.

2

Stephen Gray & Franklin Dumond, Legacy Churches (St. Charles, IL: Churchsmart Resources, 2009).

Angie Mabry-Nauta, “Mourning the Death of a Church,” dalam Christianity Today (11 Maret 2014);
http://www.christianitytoday.com/ct/2014/march-web-only/mourning-death-of-church.html (diakses 25 April 2014).
3

2

Dalam realisme pada ketidakabadian gereja (apa pun) ini, saran saya sederhana saja. Kita

harus selalu bersiap-siap untuk menghadapi saat “kematian” gereja kita; GPIB cepat atau lanbat
akan memudar! Namun demikian, sementara kita masih memiliki kesempatan untuk hidup, kita
juga harus berusaha sebaik mungkin mengolah “kehidupan” gereja kita. Keduanya memerlukan
kesediaan untuk menghilangkan perasaan terancam oleh gereja lain. Dan keduanya juga
membutuhkan sebuah spiritualitas yang mendalam yang berporos pada pengharapan kebangkitan,
yaitu saat kita mengambil bagian ke dalam persekutuan yang sejati Allah Tritunggal (koinonia tou
Theou), yang sesungguhnya menjadi motivasi terkuat kita untuk membuat kehidupan gereja kita
menjadi lebih bermakna bagi anggota-anggotanya.

Jemaat tempat saya melayani sebagai tenaga kategorial kaum muda selama bertahun-tahun,
sebelum akhirnya ditahbis menjadi pendeta, yaitu GKI Pondok Indah, juga menghadapi persoalan
yang sama. Itu sebabnya, saya dapat memastikan bahwa kebingungan menghadapi gerakan
Kharismatik merupakan fenomena yang jamak dijumpai di gereja-gereja tradisional. Selain
gerakan Kharismatik, sebenarnya kami juga menghadapi gerakan lain yang tak kalah
membingungkannya, yaitu gerakan Injili. Problemnya berbeda. Jika perjumpaan dengan gerakan
Kharismatik memunculkan masalah seputar kegairahan versus kelesuan, perjumpaan dengan
gerakan Injili memunculkan masalah seputar ketertutupan versus keterbukaan doktrinal. Kami
pernah menghadapi sebuah saat ketika badan pengurus Komisi Pemuda kami diisi oleh orangorang dari kedua kelompok ini. Mereka semacam menjadi agen-agen promosi kedua gerakan
tersebut di dalam komunitas GKI Pondok Indah.
Usaha melarang, menasihati, membuat acara-acara menarik, dan sebagainya tampak tidak

berhasil, sampai akhirnya GKI Pondok Indah secara sangat serius memutuskan untuk
menegaskan visi, misi, dan strateginya serta secara konsisten “memaksa” program-program
turunannya, termasuk program-program kaum muda, menyesuaikan diri dengan visi, misi, dan
strategi tersebut. Saya paham bahwa tentu banyak di antara kita yang sudah mencoba cara ini ...
dan gagal! Kritik saya yang utama adalah bahwa model klasik visi-misi-strategi tersebut menjadi
semacam pakem organisasional, namun selalu lemah dalam implementasi. Kelemahan
implementatif tersebut secara khusus terletak pada beberapa titik buta (blindspots).
Titik buta pertama adalah ketika perubahan visi, misi, dan strategi tidak dibarengi dengan
perubahan kultur bergereja, baik organizational culture maupun communal culture. Maka, semua
perumusan itu hanya bertengger di spanduk-spanduk dan tertulis di dokumen-dokumen tanpa
sungguh terjadi perubahan signifikan.
Titik buta kedua muncul ketika perubahan tersebut tidak dibarengi dengan sebuah kesediaan
untuk merengkuh spiritualitas transformasi jemaat, yang mengasuh seluruh jemaat untuk bersedia
letting go dan letting come, yaitu bersedia untuk membiarkan pergi program-program tertentu,
semenarik apa pun namun tak sesuai dengan visi, misi, dan strategi, sekaligus bersedia terbuka

3

pada pembaruan-pembaruan yang harus terjadi demi pencapaian visi tersebut. Kebiasaan buruk
copy-paste program harus disudahi; program-program yang nice to have harus dihapus dan terhadap

program-program yang must energi lebih besar harus diberikan. Alhasil, secara perlahan-lahan,
jemaat berhenti berlari di atas ministry treadmill yang secara semu memberi sinyal bahwa kita
adalah sebuah jemaat yang aktif dan maju, namun pada kenyataannya hanya berlari di tempat.
Titik buta ketiga adalah ketika seluruh elemen bergereja tidak secara serempak mengabdi
pada visi, misi, dan strategi tersebut. Salah satu contoh, misalnya, khotbah dan pemahaman
Alkitab tidak berkaitan dengan visi, misi, dan strategi. Mungkin salah satu sebabnya adalah kita
perlu mengabdi pada tema yang ditetapkan sinode, yang mungkin tidak cocok sama sekali dengan
situasi lokal dan dengan visi, misi, dan strategi tersebut.
Titik buta berikut, yang keempat, adalah kesenjangan antara yang sinodal dan yang lokal.
Saya semakin tidak percaya pada kekuatan visi, misi, dan strategi yang bersifat supra-lokal (sinode
misalnya) tanpa dibarengi usaha lokal untuk merumuskan sendiri visi, misi, dan strategi
kontekstualnya sendiri. Semua kebijakan sentralistis, sejauh saya mengamati, menjadi salah satu
penyebab kebuntuan jemaat-jemaat lokal untuk menjawab tantangan eksternal seperti gerakan
Kharismatik. Bukankah justru yang sebaliknyalah yang muncul di dalam gerakan Kharismatik,
yaitu semangat lokal yang menegaskan jatidirinya secara kontekstual dan unik, seberapa pun tak
bersetujunya kita dengan isinya.
Yang kelima merupakan titik buta yang khas gereja-gereja tradisional, yaitu tidak
ditemukannya kesediaan untuk bersikap “radikal.” Penyakit kita adalah mediokritas; segala
sesuatu dikerjakan apa adanya, serba tanggung, setengah-setengah, dan superfisial. Sekali kita
menegaskan visi, misi, dan strategi, kerjakan seoptimal mungkin. Sikap ini menjadikan risk-taking

sebuah kebajikan yang harus dijalani. Artinya, kegagalan sangat mungkin terjadi, namun jika tidak
bersedia menanggung risiko, sudah pasti keberhasilan tidak akan tercapai. Kita kerap menyebut
kelompok-kelompok Kharismatik sebagai kelompok-kelompok yang ekstrim. Dan ini benar!
Namun, saya membenarkannya secara positif, sebab apa yang mereka lakukan secara ekstrim itu
sesungguhnya merupakan sebuah ekspresi dari kesediaan mereka untuk meriskir apa yang mereka
yakini secara total dan karenanya perlu diperjuangkan tanpa malu, tanpa ragu, dan tanpa kuatir
akan gagal.

Saya belum melakukan penelitian yang memadai tentang sejak titik awal dimulainya model
pembinaan kategorial berbasis usia di gereja-gereja kita. Menurut Kara Powell, age-segmented
ministry ini laku keras sejak lahirnya organisasi-organisasi parachurch yang terfokus pada kaum
muda di Amerika Serikat, seperti Young Life, InterVarsity, dan Youth for Christ.4 Ia memberi contoh
“Is the Era of Age Segmentation Over?” dalam Christianity Today (September 2009);
http://www.christianitytoday.com/parse/2009/september/is-era-of-age-segmentation-over.html?paging=off (diakses 29
April 2014).
4

4

ucapan Jim Rayburn, pendiri Young Life, yang sering berkata, “Adalah sebuah dosa untuk

membuat seorang anak bosan dengan Injil.” Namun, tren ini tampaknya juga didorong oleh
semakin popularnya psikologi perkembangan yang memberi informasi tentang keunikan tiap-tiap
jenjang usia manusia.
Alhasil, semua gereja Protestan masa kini mengadopsi model pembinaan kategorial-usia atau
age-segmented ini tanpa pernah sungguh-sungguh melakukan evaluasi mendasar atasnya. Dalam
praktik, pendekatan kategorial-usia ini diperluas bahkan (dan terutama) pada dimensi
peribadahan. Di hari Minggu, ibadah di gedung utama gereja disebut “ibadah umum.” Kemudian
ada lagi ibadah sekolah minggu, remaja (teruna), pemuda, dan sebagainya. Para penatua
dikonsentrasikan pada ibadah umum; masih beruntung jika ada satu penatua yang ditugasi
mendampingi ibadah kategorial. Padahal, yang disebut sebagai “ibadah umum” sesungguhnya
adalah ibadah dewasa, sebab kaum muda sudah dilokalisasi di ibadah-ibadah non-umum. Maka,
jika ada seorang anak yang ikut ibadah umum, ia adalah seorang anak yang “tidak umum.”
Atas nama perhatian khusus pada anak-anak muda kita, maka kita limpahi mereka dengan
fasilitas ini dan itu untuk memastikan bahwa mereka tidak “lari” ke gereja lain—dalam kasus ini,
Kharismatik—dan tetap bersama dengan kita. Kita tak mau membiarkan gereja Kharismatik
“mencuri domba-domba” kita dengan iming-iming ibadah yang menarik, nyanyian yang meriah,
musik yang popular, dan sebagainya. Maka, kita membawa masuk semua iming-iming itu ke dalam
gereja kita dan memperbolehkan, bahkan mendorong, ibadah anak muda kita untuk
mempergunakannya. Berapa pun harganya sungguh tak jadi soal, asal mereka tak berpindah ke
gereja Kharismatik, bukan? Lantas ibadah dan persekutuan anak muda kita dipenuhi dengan

nyanyian-nyanyian khas “persekutuan” (demikian kita menyebutnya). Beberapa orang
menyebutnya nyanyian Seven-Eleven, sebab ia hanya memuat tujuh kata dan dinyanyikan berulangulang sebanyak sebelas kali.
Apa yang terjadi lantas menjadi seperti ini: Seorang ibu rumahtangga merasa sedih sebab
anak-anaknya tak mau makan lauk sayur dan tempe yang dimasaknya. Mereka meminta ayam
goreng dari sebuah restoran yang logonya menampilkan seorang tua berjenggot dari dunia Barat.
Lantas ibu itu membawa anak-anaknya jajan ke restoran itu, lengkap dengan ice cream dan
minuman yang harganya selangit. Sesekali tak apalah. Namun keesokan harinya, hal yang sama
terjadi lagi dan terus terjadi di hari-hari selanjutnya. Lantas, ketimbang harus makan di restoran
itu, sang ibu memutuskan untuk membeli dan membawa pulang ayam goreng itu ke rumah.
Hal serupalah yang tampaknya muncul dalam model pembinaan kita. Kita bawa “ayam
goreng” Kharismatik ke rumah kita, asal anak-anak muda kita tidak “jajan” di luar rumah. Dan
hal itu berlangsung selama bertahun-tahun. Singkatnya terjadi sebuah habituasi (pembiasaan) yang
kita ciptakan sendiri. Ketika menginjak usia pemuda, mereka mengikuti dan menyelesaikan
katekisasi. Lantas, secara logis tak ada lagi wadah bagi mereka selain masuk ke “ibadah umum.”
Mereka harus menyanyikan nyanyian-nyanyian dari Kidung Jemaat dan Gita Bakti, selain satu set
liturgi yang serba teratur, tanpa tepuk-tangan, dan seterusnya; Anda tahu persis selanjutnya. Kita
menyebutnya “khidmat dan teratur;” mereka menyebutnya “membosankan.” Maka, setelah
tertahan selama beberapa belas tahun untuk tidak pindah ke gereja Kharismatik, akhirnya kini,
5


bahkan setelah mereka cukup dewasa untuk memutuskan sendiri, plus kendaraan yang mereka
pakai sendiri, mereka akan pindah ke sana juga. Toh, kita sudah membuat mereka terbiasa
dengan tradisi Kharismatik, hanya saja di dalam gereja kita. Singkatnya, kita telah membesarkan
calon anggota gereja Kharismatik, for free, sebelum mereka berpindah ke sana dengan atas
kemauan sendiri!
Semoga seluruh analisis ini menunjukkan titik buta terbesar dalam model pembinaan kita
selama ini. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa model pembinaan kategorial-usia plus rasa
minder pada tradisi kita sendiri plus keputusan gegabah untuk menjadi peniru—dan kita tahu
persis bahwa barang KW tidak pernah sebaik aslinya—telah menghasilkan bencana jangka panjang
yang tampaknya mulai kita tuai akibatnya sekarang.
Lantas, strategi pembinaan semacam apa yang perlu kita bangun agar anak-anak muda kita
mampu mengakarkan diri pada langgam hidup bergereja GPIB? Saya terus-terang belum menggali
lebih lanjut, namun izinkan saya mengusulkan beberapa bulir pemikiran.
1. Tampaknya kita perlu memikirkan perubahan radikal model pembinaan dan ibadah yang
berbasis kategori usia (age-segmented model) menjadi family-based model atau intergenerational
model. Untuk itu, kita perlu belajar dari gereja-gereja tradisional di Amerika Serikat—tempat
asal gerakan Kharismatik—yang bertahan dan bahkan berkembang menghadapi pertumbuhan
pesat Kharismatik berkat pendekatan-pendekatan tersebut.
2. Kita perlu menyadari dan memanfaatkan kekuatan habituasi dalam proses pembinaan. Karena
itu, saya menyarankan dihentikannya pengadopsian model ibadah Kharismatik atau praktik

ibadah quasi-Kharismatik, tanpa harus sepenuhnya ngotot memegang teguh model tradisional
yang lama, yang juga ternyata terbukti tidak efektif, lantas menemukan atau jika perlu
mengkonstruksi sebuah model baru yang sekaligus terbuka namun berakar pada teologi GPIB.
Misalnya, manfaatkan himne-himne baru, liturgi-liturgi baru, atau belajarlah dari model
ibadah yang muncul di dalam emergent/emerging churches.5
3. Ketimbang mengadopsi model pembinaan dan peribadahan Kharismatik, sebaiknya kita
mengkonstruksi model kita sendiri dan mengoptimalkannya menjadi excellent. Penyakit
mediokritas, sekali lagi, perlu dilawan dan diatasi. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa
belajar dari gerakan Kharismatik. Sebaliknya, kita wajib mempelajari hal-hal baik dari mereka,
sama seperti kita perlu belajar dari tradisi-tradisi lainnya.

Strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan terkait dengan isu partisipasi dan
kepemimpinan. Harus diakui bahwa salah satu kekuatan terbesar gerakan Kharismatik adalah

5

Ada banyak usaha yang dibutuhkan untuk memperbarui liturgi gereja yang friendly terhadap generasi muda.
STT Jakarta akan membahas hal ini sebagai salah satu isu dalam Simposium Nasional Pelayan Ibadah, pada 28-30
Agustus 2014, dalam kerjasama dengan Calvin Institute of Christian Worship, Grand Rapids, Michigan.

6

dibukanya kesempatan setiap warga untuk berpartisipasi ke dalam seluruh dimensi kehidupan
gereja. Gereja Protestan tradisional menganut falsafah “imamat am orang percaya” (Luther),
namun tidak memberlakukannya secara konsisten, atau malah mempraktikkan yang sebaliknya.
Itu sebabnya kerap muncul olok-olok yang tak bisa saya pungkiri kebenarannya, “Gereja Katolik
memiliki seorang paus, namun di gereja-gereja Protestan terdapat ribuan paus.” Sebaliknya, saya
tidak pernah mendengar gerakan Kharismatik menekankan prinsip ini secara eksplisit, namun
mereka memberlakukannya secara alami. Itu sebabnya, saya memiliki sebuah keyakinan, yang
tentu masih perlu diteliti, bahwa salah satu cara menanggapi eksodus anak-anak muda kita ke
gerakan Kharismatik adalah karena mereka diberi ruang cukup untuk berpartisipasi sesuai dengan
kemauan dan kemampuan mereka.
Bagaimana dengan gereja-gereja tradisional? Partisipasi umat memang dianggap penting,
setidaknya hal tersebut yang disuarakan terus dari atas mimbar. Namun, saya menengarai bahwa
partisipasi tersebut adalah agar umat mengambil bagian dalam peran-peran yang tidak terlalu
sentral, apalagi peran kepemimpinan. Anak-anak muda, secara khusus, malah kerap sekadar diberi
peran-peran supporting (keamanan, dekorasi, perlengkapan, dan sebagainya). Sementara itu, fungsifungsi kepemimpinan, misalnya kepenatuaan, tetap didominasi oleh yang dewasa—jika bukan
malah tua—dan selalu bergiliran di antara mereka, setelah “beristirahat” sejenak. Dalam
kehidupan ibadah pun, paling-paling anak-anak muda diberi peran dalam hal musik dan pengisi
suara; sedang peran-peran sentral tetap didominasi oleh penatua.
Saya pernah membandingkan peran-peran dalam ibadah yang selalu dimonopoli penatua dan
tugas-tugas penatua di Tata Gereja GKI, ternyata tak satu pun peran liturgis tersebut diatur di
Tata Gereja. Sebagai contoh, peran-peran seperti usher, pengedar kantong kolekte, penghitung
uang kolekte, pengantar pendeta, pemimpin liturgi, pemimpin Pengakuan Iman, dan sebagainya;
tak satu pun tercantum di dalam Tata Gereja dan itu berarti sebenarnya dapat dibagikan kepada
warga, termasuk anak-anak muda. Bahkan, dalam Tata Gereja, anak-anak muda yang sudah
mengaku percaya sebenarnya berhak menjadi penatua, bahkan ketika mereka masih duduk di
jenjang SMA atau universitas, namun tak pernah diberi kesempatan. Pameo “anak muda adalah
pemimpin masa depan” lantas terdengar menyebalkan, sebab itu berarti, “anak muda adalah
pemimpin masa depan, ketika orang tua yang menjadi pemimpin masa kini tak kuat lagi.” Saya
berkeyakinan bahwa jika anak muda tidak menjadi pemimpin masa kini—dan karenanya menjadi
policy and decision makers—mereka tidak akan menjadi pemimpin masa depan yang baik.
Untuk semua ini, saya percaya salah satu langkah yang perlu diambil adalah menciptakan dan
memiliki para pembaru yang mendalam secara teoretis, imajinatif secara konseptual, dan kreatif
dalam hal implementasi. Investasikan tenaga-tenaga terbaik GPIB untuk mempelajari secara
khusus studi-studi yang terkait dengan isu ini, seperti: pembangunan jemaat, liturgi dan musik
gereja, intergenerational youth ministry, kepemimpinan, dan pendidikan Kristiani. Lebih baik
memiliki tenaga-tenaga penuh-waktu di banyak bidang fungsional dan sedikit di bidang
organisatoris, ketimbang sebaliknya, seperti yang selama ini terus terjadi di banyak gereja.

7