Catatan Akhir Tahun 2013 Krisis dan Benc
Catatan Akhir Tahun 2013 : Krisis dan Bencana Ekologi Jawa Barat
Sampurasun…!.
Lembaran tahun 2013 telah berakhir. Lembaran tahun 2014 tiba dan akan kita isi dan jalani bersama
di bumi Parahyangan, negeri seribu gunung, situ, sungai dan sumber-sumber mata-mata air yang
semakin terancam. Perubahan waktu terus berganti, usia bumi semakin menua. Namun, krisis dan
bencana lingkungan hidup di Jawa Barat tidak semakin baik dan pulih. Sebaliknya, krisis
lingkungan hidup semakin kronis dan bencana lingkungan hidup pun terus mendera. Kerusakan
ekosistem, kerugian lingkungan hidup, ekonomi dan sosial, sengketa ruang dan lingkungan hidup,
kriminalisasi serta malapetaka kematian akibat bencana menjadi tragedi dalam lakon horor
pembangunan di Jawa Barat.
Jejak krisis tahun 2013
Tak berbeda dari tahun sebelumnya, kualitas ekologi tahun 2013 tidak mengalami kemajuan berarti.
Krisis lingkungan hidup terus terjadi berbanding lurus dengan kuantitas bencana lingkungan hidup
yang mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat. Selama tahun 2014, tidak ada perubahan
kebijakan politik yang radikal dan solusi-solusi nyata yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi
Jawa Barat dan 27 Kabupaten/kota untuk memulihkan krisis lingkungan hidup dan mengurangi
resiko bencana lingkungan hidup.
Jejak krisis lingkungan hidup tahun 2014 bisa kita periksa dari sejumlah fakta-fakta lapangan,
sengketa demi sengketa lingkungan hidup, sejumlah pengaduan-pengaduan warga korban yang
deras mengalir kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,organisasi lingkungan dan catatancatatan dari diskusi di jejaring media sosial. Ini pertanda, krisis lingkungan hidup di bumi Jawa
Barat terus memburuk melintas batas di perdesaan dan perkotaan, terus mendera di wilayah bagian
utara, tengah dan selatan Jawa Barat.
Sejumlah krisis lingkungan hidup yang semakin akut dan mengemuka di tahun 2013 diantaranya
pencemaran air, udara dan tanah oleh aktivitas industri polutif dan limbah peternakan dan pertanian,
alih fungsi kawasan dan lahan lindung dan produktif oleh pemukiman, sarana komersil, industri dan
infrastruktur jalan tol, waduk dan bandara, perluasan pertambangan di kawasan hutan dan pesisir
pantai selatan dan utara, salah urus persampahan, abrasi dan rob, sengketa ruang dan fenomena
krisis lingkungan hidup lainnya. Krisis lingkungan hidup yang terus memburuk menjadi bukti
terjadinya salah urus daerah aliran sungai (DAS) utama di bumi Jawa Barat yang rawan dan rentan
bencanaseperti DAS Citarum, Ciliwung, Cimanuk, Cisanggarung, Citanduy, Ciwulan, Cilaki dan
daerah aliran sungai lainnya.
Bencana lingkungan hidup pun terus menimpa bukan hanya bencana alam yang datang. Serupa
dengan tahun sebelumnya, bencana lingkungan hidup yang mengemuka diantaranya dampak
pencemaran, banjir, longsor, gerakan tanah, krisis air akibat kekeringan selain gempa dan angin
puting beliung.
Dari catatan Walhi Jawa Barat, di seluruh wilayah Jawa Barat, di tahun 2013 frekuensi bencana
banjir, longsor dan gerakan tanah serta korban bencana meningkat dari tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 2013, jumlah banjir mencapai 21 kasus merendam sekitar 32.630 rumah, 43 kasus
longsor dengan jumlah kerusakan rumah mencapai 389 rumah, 15 kasus krisis air bersih, 8 kasus
angin puting beliung menghancurkan 491 rumah dan 4 kasus gempa tektonik. Jumlah warga yang
mengungsi akibat banjir mencapai 3000 jiwa dan mengungsi akibat longsor mencapai 375 kk.
Korban kematian akibat beragam bencana meningkat. Pada tahun 2012 tercatat 33 jiwa meninggal
dunia, sepanjang tahun 2013 jumlah korban tewas mencapai 46 jiwa.
Krisis lingkungan hidup juga ditandai dengan semakin merebaknya protes warga dan sengketa
lingkungan hidup. Bahkan krisis lingkungan hidup turut memperburuk tatanan sosial yang ditandai
dengan merebaknya sejumlah konflik sosial yang dibarengi tindakan-tindakan intimidasi, represif
bahkan berujung kriminalisasi terhadap warga korban yang gigih memperjuangkan ruang dan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dari catatan Walhi Jawa Barat jumlah protes warga
sepanjang tahun 2013, sengketa lingkungan hidup mencapai 36 buah protes dalam bentuk aksi dan
demontrasi.
Penyebab yang sama
Tidak mengalami perubahan, kualitas lingkungan hidup di wilayah Jawa Barat tidak mengalami
kemajuan. Penyebab krisis lingkungan hidup berada pada dua ranah yaitu ranah politik dan etik.
Dalam ranah politik, produksi keputusan politik pemerintah (daerah) dalam aras perencanaan,
program, kebijakan dan penegakan hukum tidak mengalami perubahan yang mendasar. Aktornya
nyata, pemerintahan, perusahaan dan masyarakat.
Dalam aras perencanaan, instrumen kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah tidak
memihak pada upaya perlindungan ruang wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan
mengarusutamakan pengurangan resiko bencana lingkungan hidup. Bahkan, sejumlah mandat
dalam hukum lingkungan hidup pun tidak dijalankan dan mekanisme perijinan lingkungan hidup
pun tidak sedikit dilabrak. Selain itu, kebijakan perencanaan dalam RPJMD lima tahunan dan
RKPD tahunan tidak memastikan pemulihan lingkungan hidup menjadi prioritas perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan.
Dalam aras kebijakan dan program, kecendrungan kebijakan dan program yang disusun hanya
menjalankan program rutinitas dan seremonial belaka. Banyak kebijakan dan program pemerintah
daerah yang dijalankan belum bisa menjawab akar masalah krisis lingkungan hidup, masih minim
informasi dan partisipasi masyarakat, minim anggaran dan inovasi-inovasi solutif. Instrumen
anggaran yang rata-rata hanya 1,5% dari total APBD provinsi dan 27 kabupaten/kota tidak mungkin
menjawab masalah lingkungan hidup yang setiap tahun terus bertambah rusak dan semakin kronis.
Setiap tahun, jika diakumulasi kerusakan dan kerugian lingkungan hidup mencapai puluhan
trilyunan rupiah sementara akumulasi anggaran perbaikan lingkungan hidup hanya berkisar diantara
ratusan milyar rupiah. Perbandingan kerugian dan pemulihan sekitar 50:1. Bahkan, praktik
eksploitasi sumber alam tidak sepadan dengan pendapatan asli daerah dan tidak berpengaruh besar
pada kemajuan kualitas kehidupan dan kemakmuran masyarakat.
Dalam aras penegakan hukum tata ruang dan lingkungan hidup tidak mengalami perubahan
signifikan. Peran pemerintah dan aparatur penegak hukum begitu lemah menjalankan fungsi
pengawasan, pembinaan, penegakan hukum dan menindak pelaku-pelaku perusahaan pelanggar ijin
ruang, pencemar dan pengrusak lingkungan hidup. Sejumlah praktik pelanggaran perijinan ruang
dan lingkungan hidup tidak menjadi perhatian serius malah dibiarkan. Begitu malas pemerintah dan
penegak hukum menjalankan kerja audit lingkungan hidup dan menindak hukum pelaku
pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Bahkan sejumlah mandat hukum tata ruang dan
lingkungan hidup seperti KLHS, Amdal hanya formalitas, ijin lingkungan hidup, audit lingkungan
hidup tidak serius dijalankan dan diimplementasikan sementara kualitas dan kuantitas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sangat terbatas.
Selain ranah politik yang mendominasi, melegitimasi dan melegalisasi krisis dan bencana
lingkungan hidup, ranah etika masyarakat pun belum mengalami perubahan sosial yang signifikan.
Meski ada trend, partisipasi masyarakat meningkat dalam melindungi dan mengelola lingkungan
hidup, perilaku peduli, ramah, bersahabat masyarakat terhadap lingkungan hidup belum menjadi
gerakan sosial yang masif. Tentu, perilaku etik masyarakat untuk melindungi dan merawat
lingkungan hidup tidak berjalan linier dan tunggal, ada peran pemerintah melekat di sana yang bisa
menggerakan masyarakat bisa aktif berpartisipasi melindungi dan merawat ruang hidupnya.
Ancaman ke depan
Ke depan, ancaman krisis dan bencana lingkungan hidup yang semakin memburuk tidak akan
terhindarkan. Beragam produk politik berupa kebijakan dan program atas nama pembangunan telah
berlangsung dijalankan. Proyek-proyek pembangunan pemerintah pusat seperti MP3EI,
implementasi kebijakan RTRW dan RPJMD kabupaten/kota pro modal dan investasi ekonomi
sedang berlangsung dan dipastikan akan berdampak pada buruknya kualitas lingkungan hidup dan
terancamnya ruang-ruang hidup masyarakat. Sengketa dan konflik akan semakin nyata seiring nafsu
pembangunan berorientasi investasi, modal finansial dan infrastruktur fisik artifisial.
Mitigasi ke depan
Sepertinya bukan perkara mudah untuk memulihkan nasib dan krisis lingkungan hidup dengan
cepat dan tepat di tengah situasi politik, kebijakan dan program pembangunan, penegakan hukum
yang lemah dan budaya perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Namun tindakan-tindakan
mitigasi akibat pembangunan dan pengurangan resiko krisis dan bencana lingkungan hidup serta
tindakan pencegahan penting dilakukan dengan peran total kolektif semua aktor pembangunan.
Karena dimensi politik negara telah melegitimasi dan melegalisasi terjadinya krisis lingkungan
hidup maka upaya mitigasi harus diletakan pada perubahan kebijakan politik pada ranah
perencanaan, program dan kebijakan pembangunan yang lebih memihak pada agenda perlindungan
ruang dan lingkungan hidup. Selain itu, perlu kerja nyata dalam penegakan hukum tata ruang dan
lingkungan hidup yang lebih adil dan mengakui praktik, pengalaman dan pengetahuan lokal dan
komunitas.
Dalam konteks ini, maka peran dan posisi aktor pemerintahan daerah seperti gubernur, bupati,
walikota, dan parlemen/ anggota dewan di daerah menjadi faktor kunci dan determinan dalam
menentukan kebijakan yang lebih memihak lingkungan hidup ke depan. Tuntutan terobosan solusi
nyata dari pemerintahan daerah dan desa mendorong kebijakan politik dan program pembangunan
yang lebih adil dan memihak lingkungan hidup mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, momentum hajat demokrasi Pemilukada dan Pileg penting dikawal agar
melahirkan pemimpin daerah dan birokrasi yang memihak pada kepentingan lingkungan hidup.
Momentum Pileg 2014 menjadi sangat penting dijadikan media dan saluran memandatkan isu
lingkungan hidup menjadi agenda politik dan prioritas pembangunan dengan diawali membangun
kontrak politik bersama para kandidat anggota parlemen daerah.
Selain mitigasi diranah kebijakan politik, penting juga upaya mitigasi di level masyarakat dan dunia
usaha yang memiliki tanggung jawab sosial akibat kegiatan usaha yang dilakukannya. Penegakan
hukum ruang dan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dan memastikan tanggung jawab sosial
perusahaan mutlak dijalankan. Sebangun dengan itu, pembangunan kesadaran dan partisipasi nyata
masyarakat dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup dengan memperbanyak model-model
kelola ruang dan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal mutlak dilakukan.
Tentu agenda dan tindakan mitigasi nyata terhadap dampak dan resiko pembangunan akan bisa
dikerjakan oleh semua aktor pembangunan manakala semua aktor memiliki kesepahaman
pandangan bersama bahwa keselamatan, kesehatan dan keamanan ekosistem serta keadilan generasi
ke depan adalah utama dan mendudukan kepentingan lingkungan hidup yang terlindungi, baik dan
sehat di atas kepentingan ekonomi.
Akankah tahun 2014 dan seterusnya melahirkan horor dan nasib ekologis yang lebih mencekam?.
Jawabannya, kembali pada komitmen dan konsistensi semua pihak untuk menjadi bagian dari solusi
menuju perubahan nasib lingkungan hidup ke depan yang lebih baik dan sehat agar keadilan antar
generasi dapat di wujudkan. Penulis meyakini, sesungguhnya, bumi, air dan sumber-sumber
kehidupan yang terkandung di dalam, permukaan dan di atas bumi Jawa Barat adalah ruang hidup
bersama mahluk hidup untuk generasi sekarang dan ke depan. Bumi dilahirkan sebagai titipan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Rampes…!
Penulis : Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Periode 2011-2015.
Kontak Person : 082116759688
Sampurasun…!.
Lembaran tahun 2013 telah berakhir. Lembaran tahun 2014 tiba dan akan kita isi dan jalani bersama
di bumi Parahyangan, negeri seribu gunung, situ, sungai dan sumber-sumber mata-mata air yang
semakin terancam. Perubahan waktu terus berganti, usia bumi semakin menua. Namun, krisis dan
bencana lingkungan hidup di Jawa Barat tidak semakin baik dan pulih. Sebaliknya, krisis
lingkungan hidup semakin kronis dan bencana lingkungan hidup pun terus mendera. Kerusakan
ekosistem, kerugian lingkungan hidup, ekonomi dan sosial, sengketa ruang dan lingkungan hidup,
kriminalisasi serta malapetaka kematian akibat bencana menjadi tragedi dalam lakon horor
pembangunan di Jawa Barat.
Jejak krisis tahun 2013
Tak berbeda dari tahun sebelumnya, kualitas ekologi tahun 2013 tidak mengalami kemajuan berarti.
Krisis lingkungan hidup terus terjadi berbanding lurus dengan kuantitas bencana lingkungan hidup
yang mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat. Selama tahun 2014, tidak ada perubahan
kebijakan politik yang radikal dan solusi-solusi nyata yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi
Jawa Barat dan 27 Kabupaten/kota untuk memulihkan krisis lingkungan hidup dan mengurangi
resiko bencana lingkungan hidup.
Jejak krisis lingkungan hidup tahun 2014 bisa kita periksa dari sejumlah fakta-fakta lapangan,
sengketa demi sengketa lingkungan hidup, sejumlah pengaduan-pengaduan warga korban yang
deras mengalir kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,organisasi lingkungan dan catatancatatan dari diskusi di jejaring media sosial. Ini pertanda, krisis lingkungan hidup di bumi Jawa
Barat terus memburuk melintas batas di perdesaan dan perkotaan, terus mendera di wilayah bagian
utara, tengah dan selatan Jawa Barat.
Sejumlah krisis lingkungan hidup yang semakin akut dan mengemuka di tahun 2013 diantaranya
pencemaran air, udara dan tanah oleh aktivitas industri polutif dan limbah peternakan dan pertanian,
alih fungsi kawasan dan lahan lindung dan produktif oleh pemukiman, sarana komersil, industri dan
infrastruktur jalan tol, waduk dan bandara, perluasan pertambangan di kawasan hutan dan pesisir
pantai selatan dan utara, salah urus persampahan, abrasi dan rob, sengketa ruang dan fenomena
krisis lingkungan hidup lainnya. Krisis lingkungan hidup yang terus memburuk menjadi bukti
terjadinya salah urus daerah aliran sungai (DAS) utama di bumi Jawa Barat yang rawan dan rentan
bencanaseperti DAS Citarum, Ciliwung, Cimanuk, Cisanggarung, Citanduy, Ciwulan, Cilaki dan
daerah aliran sungai lainnya.
Bencana lingkungan hidup pun terus menimpa bukan hanya bencana alam yang datang. Serupa
dengan tahun sebelumnya, bencana lingkungan hidup yang mengemuka diantaranya dampak
pencemaran, banjir, longsor, gerakan tanah, krisis air akibat kekeringan selain gempa dan angin
puting beliung.
Dari catatan Walhi Jawa Barat, di seluruh wilayah Jawa Barat, di tahun 2013 frekuensi bencana
banjir, longsor dan gerakan tanah serta korban bencana meningkat dari tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 2013, jumlah banjir mencapai 21 kasus merendam sekitar 32.630 rumah, 43 kasus
longsor dengan jumlah kerusakan rumah mencapai 389 rumah, 15 kasus krisis air bersih, 8 kasus
angin puting beliung menghancurkan 491 rumah dan 4 kasus gempa tektonik. Jumlah warga yang
mengungsi akibat banjir mencapai 3000 jiwa dan mengungsi akibat longsor mencapai 375 kk.
Korban kematian akibat beragam bencana meningkat. Pada tahun 2012 tercatat 33 jiwa meninggal
dunia, sepanjang tahun 2013 jumlah korban tewas mencapai 46 jiwa.
Krisis lingkungan hidup juga ditandai dengan semakin merebaknya protes warga dan sengketa
lingkungan hidup. Bahkan krisis lingkungan hidup turut memperburuk tatanan sosial yang ditandai
dengan merebaknya sejumlah konflik sosial yang dibarengi tindakan-tindakan intimidasi, represif
bahkan berujung kriminalisasi terhadap warga korban yang gigih memperjuangkan ruang dan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dari catatan Walhi Jawa Barat jumlah protes warga
sepanjang tahun 2013, sengketa lingkungan hidup mencapai 36 buah protes dalam bentuk aksi dan
demontrasi.
Penyebab yang sama
Tidak mengalami perubahan, kualitas lingkungan hidup di wilayah Jawa Barat tidak mengalami
kemajuan. Penyebab krisis lingkungan hidup berada pada dua ranah yaitu ranah politik dan etik.
Dalam ranah politik, produksi keputusan politik pemerintah (daerah) dalam aras perencanaan,
program, kebijakan dan penegakan hukum tidak mengalami perubahan yang mendasar. Aktornya
nyata, pemerintahan, perusahaan dan masyarakat.
Dalam aras perencanaan, instrumen kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah tidak
memihak pada upaya perlindungan ruang wilayah daerah aliran sungai (DAS) dan
mengarusutamakan pengurangan resiko bencana lingkungan hidup. Bahkan, sejumlah mandat
dalam hukum lingkungan hidup pun tidak dijalankan dan mekanisme perijinan lingkungan hidup
pun tidak sedikit dilabrak. Selain itu, kebijakan perencanaan dalam RPJMD lima tahunan dan
RKPD tahunan tidak memastikan pemulihan lingkungan hidup menjadi prioritas perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan.
Dalam aras kebijakan dan program, kecendrungan kebijakan dan program yang disusun hanya
menjalankan program rutinitas dan seremonial belaka. Banyak kebijakan dan program pemerintah
daerah yang dijalankan belum bisa menjawab akar masalah krisis lingkungan hidup, masih minim
informasi dan partisipasi masyarakat, minim anggaran dan inovasi-inovasi solutif. Instrumen
anggaran yang rata-rata hanya 1,5% dari total APBD provinsi dan 27 kabupaten/kota tidak mungkin
menjawab masalah lingkungan hidup yang setiap tahun terus bertambah rusak dan semakin kronis.
Setiap tahun, jika diakumulasi kerusakan dan kerugian lingkungan hidup mencapai puluhan
trilyunan rupiah sementara akumulasi anggaran perbaikan lingkungan hidup hanya berkisar diantara
ratusan milyar rupiah. Perbandingan kerugian dan pemulihan sekitar 50:1. Bahkan, praktik
eksploitasi sumber alam tidak sepadan dengan pendapatan asli daerah dan tidak berpengaruh besar
pada kemajuan kualitas kehidupan dan kemakmuran masyarakat.
Dalam aras penegakan hukum tata ruang dan lingkungan hidup tidak mengalami perubahan
signifikan. Peran pemerintah dan aparatur penegak hukum begitu lemah menjalankan fungsi
pengawasan, pembinaan, penegakan hukum dan menindak pelaku-pelaku perusahaan pelanggar ijin
ruang, pencemar dan pengrusak lingkungan hidup. Sejumlah praktik pelanggaran perijinan ruang
dan lingkungan hidup tidak menjadi perhatian serius malah dibiarkan. Begitu malas pemerintah dan
penegak hukum menjalankan kerja audit lingkungan hidup dan menindak hukum pelaku
pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Bahkan sejumlah mandat hukum tata ruang dan
lingkungan hidup seperti KLHS, Amdal hanya formalitas, ijin lingkungan hidup, audit lingkungan
hidup tidak serius dijalankan dan diimplementasikan sementara kualitas dan kuantitas Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sangat terbatas.
Selain ranah politik yang mendominasi, melegitimasi dan melegalisasi krisis dan bencana
lingkungan hidup, ranah etika masyarakat pun belum mengalami perubahan sosial yang signifikan.
Meski ada trend, partisipasi masyarakat meningkat dalam melindungi dan mengelola lingkungan
hidup, perilaku peduli, ramah, bersahabat masyarakat terhadap lingkungan hidup belum menjadi
gerakan sosial yang masif. Tentu, perilaku etik masyarakat untuk melindungi dan merawat
lingkungan hidup tidak berjalan linier dan tunggal, ada peran pemerintah melekat di sana yang bisa
menggerakan masyarakat bisa aktif berpartisipasi melindungi dan merawat ruang hidupnya.
Ancaman ke depan
Ke depan, ancaman krisis dan bencana lingkungan hidup yang semakin memburuk tidak akan
terhindarkan. Beragam produk politik berupa kebijakan dan program atas nama pembangunan telah
berlangsung dijalankan. Proyek-proyek pembangunan pemerintah pusat seperti MP3EI,
implementasi kebijakan RTRW dan RPJMD kabupaten/kota pro modal dan investasi ekonomi
sedang berlangsung dan dipastikan akan berdampak pada buruknya kualitas lingkungan hidup dan
terancamnya ruang-ruang hidup masyarakat. Sengketa dan konflik akan semakin nyata seiring nafsu
pembangunan berorientasi investasi, modal finansial dan infrastruktur fisik artifisial.
Mitigasi ke depan
Sepertinya bukan perkara mudah untuk memulihkan nasib dan krisis lingkungan hidup dengan
cepat dan tepat di tengah situasi politik, kebijakan dan program pembangunan, penegakan hukum
yang lemah dan budaya perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Namun tindakan-tindakan
mitigasi akibat pembangunan dan pengurangan resiko krisis dan bencana lingkungan hidup serta
tindakan pencegahan penting dilakukan dengan peran total kolektif semua aktor pembangunan.
Karena dimensi politik negara telah melegitimasi dan melegalisasi terjadinya krisis lingkungan
hidup maka upaya mitigasi harus diletakan pada perubahan kebijakan politik pada ranah
perencanaan, program dan kebijakan pembangunan yang lebih memihak pada agenda perlindungan
ruang dan lingkungan hidup. Selain itu, perlu kerja nyata dalam penegakan hukum tata ruang dan
lingkungan hidup yang lebih adil dan mengakui praktik, pengalaman dan pengetahuan lokal dan
komunitas.
Dalam konteks ini, maka peran dan posisi aktor pemerintahan daerah seperti gubernur, bupati,
walikota, dan parlemen/ anggota dewan di daerah menjadi faktor kunci dan determinan dalam
menentukan kebijakan yang lebih memihak lingkungan hidup ke depan. Tuntutan terobosan solusi
nyata dari pemerintahan daerah dan desa mendorong kebijakan politik dan program pembangunan
yang lebih adil dan memihak lingkungan hidup mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, momentum hajat demokrasi Pemilukada dan Pileg penting dikawal agar
melahirkan pemimpin daerah dan birokrasi yang memihak pada kepentingan lingkungan hidup.
Momentum Pileg 2014 menjadi sangat penting dijadikan media dan saluran memandatkan isu
lingkungan hidup menjadi agenda politik dan prioritas pembangunan dengan diawali membangun
kontrak politik bersama para kandidat anggota parlemen daerah.
Selain mitigasi diranah kebijakan politik, penting juga upaya mitigasi di level masyarakat dan dunia
usaha yang memiliki tanggung jawab sosial akibat kegiatan usaha yang dilakukannya. Penegakan
hukum ruang dan lingkungan hidup bagi pelaku usaha dan memastikan tanggung jawab sosial
perusahaan mutlak dijalankan. Sebangun dengan itu, pembangunan kesadaran dan partisipasi nyata
masyarakat dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup dengan memperbanyak model-model
kelola ruang dan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal mutlak dilakukan.
Tentu agenda dan tindakan mitigasi nyata terhadap dampak dan resiko pembangunan akan bisa
dikerjakan oleh semua aktor pembangunan manakala semua aktor memiliki kesepahaman
pandangan bersama bahwa keselamatan, kesehatan dan keamanan ekosistem serta keadilan generasi
ke depan adalah utama dan mendudukan kepentingan lingkungan hidup yang terlindungi, baik dan
sehat di atas kepentingan ekonomi.
Akankah tahun 2014 dan seterusnya melahirkan horor dan nasib ekologis yang lebih mencekam?.
Jawabannya, kembali pada komitmen dan konsistensi semua pihak untuk menjadi bagian dari solusi
menuju perubahan nasib lingkungan hidup ke depan yang lebih baik dan sehat agar keadilan antar
generasi dapat di wujudkan. Penulis meyakini, sesungguhnya, bumi, air dan sumber-sumber
kehidupan yang terkandung di dalam, permukaan dan di atas bumi Jawa Barat adalah ruang hidup
bersama mahluk hidup untuk generasi sekarang dan ke depan. Bumi dilahirkan sebagai titipan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Rampes…!
Penulis : Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Periode 2011-2015.
Kontak Person : 082116759688