Epidemiologi Pencegahan Primer dan Sekun

Epidemiologi, Pencegahan Primer dan Sekunder
Pada Hipotiroid Kongenital
Annang Giri Moelyo, Galih Herlambang
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Upaya pencegahan primer dan sekunder pada hipotiroid kongenital
diharapkan dapat mendeteksi penyakit lebih dini, melakukan penanganan lebih
awal, dan mengurangi komplikasi gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Sehingga terciptanya pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal
untuk mendapatkan generasi yang lebih baik.

Pendahuluan
Hipotiroid kongenital (HK) adalah penyakit akibat adanya kekurangan hormon
tiroid yang dapat menyebabkan gangguan neurodevelopment. Gangguan
neurodevelopment
tersebut
dapat
berupa
disabilitas
intelektual,
keterbelakangan mental (retardasi mental), gangguan pendengaran, dan

gangguan pertumbuhan.1 Pada usia sekolah dan remaja, anak dengan HK
memiliki skor IQ lebih rendah dibandingkan seusianya, disfungsi kognitif,
perkembangan motorik, gangguan bahasa dan perilaku serta adanya tuli
sensorik.1,2
Hormon tiroid berfungsi mengatur proses metabolisme pada tubuh
manusia dan perkembangan sel saraf. Dalam perkembangan sel saraf hormon
tiroid berfungsi mempengaruhi proses migrasi sel di korteks, hipokampus dan
serebelum. Fungsi lain hormon tiroid adalah mempengaruhi diferensiasi sel
neuron dan glia; pembentukan lapisan korteks serebri serta mielinisasi sel
saraf.
Penanganan yang tepat pada penyakit ini dapat mencegah dan
mengurangi komplikasi gangguan neurodevelopment dan pertumbuhan.
Pencegahan primer pada penyakit ini berupa pengendalian faktor risiko
terjadinya hipotiroid kongenital. Pencegahan sekunder dapat berupa deteksi
dini penyakit hipotiroid kongenital dengan skrining pada bayi baru lahir.
Pencegahan tersier berupa penanganan yang tepat (baik terapi maupun
pemantauan) agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
Skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir di Indonesia
mengalami perkembangan. Pada tahun 2006 Kementerian Kesehatan RI telah
melaksanakan program skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir di 7

propinsi dan tahun 2010 dilaksanakan pada 12 kota besar di Indonesia. 3
Kemenkes RI juga membuat Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 78 Tahun
2014 tentang skrining hipotiroid kongenital dengan harapan dapat
dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Epidemiologi
Hipotiroid kongenital terjadi pada 1 diantara 2000 – 4000 bayi baru lahir. 4 Di
Indonesia, pada tahun 2000 – 2005 telah dilakukan program skrining di dua
tempat yaitu RS Dr. Hasan Sadikin (RSHS) dan RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) dengan jumlah masing-masing 55.647 bayi dan 25.499 bayi dengan
angka kejadian sebesar 1:3258 kelahiran. Setiap tahun diperkirakan terdapat
lebih dari 1600 bayi yang lahir dengan hipotiroid kongenital di Indonesia. 3
Menurut data registri penderita hipotiroid kongenital Pengurus Pusat IDAI
sampai dengan tahun 2012 baru terdapat sebanyak 906 anak. Namun hal ini,
belum dapat menggambarkan keseluruhan penderita hipotiroid kongenital di
Indonesia.5 Melalui pelaksanaan skrining hipotiroid untuk neonatus insiden
dapat meningkat hingga 1:2000. Kejadian baru penyakit ini lebih tinggi pada
daerah endemis defisiensi iodium. Menurut jenis kelamin, penderita hipotiroid
kongenital lebih banyak terjadi pada perempuan. 6
Pengendalian Faktor Risiko HK Sebagai Bentuk Pencegahan Primer

Faktor risiko terjadinya hipotiroid kongenital bervariasi. Faktor risiko
hipotiroid kongenital permanen adalah usia ibu saat melahirkan (> 40 tahun),
bayi perempuan lebih tinggi daripada bayi laki-laki, usia kehamilan < 37
minggu atau > 40 minggu, kelahiran kembar (gemelli), adanya malformasi
kongenital. Selain itu terdapat riwayat orang tua dengan hipotiroidisme
dan/atau struma (termasuk hipotiroidisme karena autoimun) terutama pada
hipotiroid transien.7,8 Pada hipotiroid kongenital transien sering berkaitan
dengan adanya usia kehamilan prematur dan retardasi pertumbuhan. 7
Penelitian Ehsan K menambahkan adanya faktor risiko hipotiroid kongenital
berupa pernikahan keluarga dekat dan bayi yang lahir di perkotaan namun hal
ini beum dapat dijelaskan alasannya. 8 Faktor risiko lingkungan hipotiroid
kongenital adalah daerah dengan defisiensi iodium dan diabetes gestasional
terutama pada hipotiroid kongenital subklinis.7,8
1

Upaya pencegahan primer pada HK dapat dilakukan dengan
pengendalian faktor-faktor risikonya. Pengendalian faktor risiko ini diharapkan
dapat mengurangi angka kejadian penyakit ini. Faktor risiko yang dapat
dikendalikan tersebut antara lain: usia ibu saat melahirkan, usia kehamilan
prematur dan postmature, dan pernikahan keluarga dekat.

Etiologi
Penyebab lain hipotiroid kongenital sangat bervariasi seperti terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi hipotiroid kongenital9
Primer

Tiroid disgenesis (85%)
Aplasia

Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan tanda klinis sangat bervariasi mulai dari gejala sangat ringan hingga
tampak jelas. Hal tersebut sangat tergantung pada etiologi, usia terjadinya,
derajat penyakit, dan lamanya kondisi hipotiroid. Gejala klinis hanya tampak
pad 10-15% bayi baru lahir. Adapun, gejala klinis yang sering terdapat pada
HK adalah ikterus berkepanjangan, letargi, gangguan minum, dan konstipasi. 7
Manifestasi klinis lainnya yang dapat dijumpai adalah distensi abdomen
dengan hernia umbilikalis, makroglosia, kulit yang dingin dan mottled,
hipotermia, fontanella posterior > 0,5 cm, pangkal hidung rata, dan fontanella
anterior lebar. Pada bayi usia lebih besar dapat ditemukan pangkal hidung
datar/rata (flat nasal bridge) dengan pseudohipertelorisme, bradikardia dan

hipotonia.9,10

Hipoplasia
Ektopik (57%)
Tiroid dishormonogenesis (15%)
Defek simporter natrium-iodida
Defek pada tiroid peroksidase
Defek tiroglobulin

Hipotiroid kongenital sering dikaitkan dengan adanya
malformasi kongenital. Malformasi kongenital terbanyak adalah kelainan
jantung. Malformasi lainnya antara lain rambut yang runcing/tajam,
palatoskisis, abnormalitas neurologis dan kelainan urogenital. Penderita HK
juga sering terdapat pada pasien Sindrom Down.

Defek deiododinase
Resistensi terhadap ikatan/sinyal TSH
Defek reseptor TSH
Defek protein G
Sekunder (sentral)


Isolated TSH deficiency
Congenital hypopituitarism (multiple hormone deficiencies)

Perifer

Defek transport hormon tiroid
Defek metabolism hormon tiroid
Resistensi terhadap hormon tiroid

Transient

Paparan iodine berlebih maternal/neonatal
Defisiensi iodine maternal/neonatal
Obat antitiroid pada ibu
Maternal TRB-Antibody
Mutasi heterozigot THOX2 atau DUOXA2
Hemangioma hepatic congenital

Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis hipotiroid kongenital didasarkan atas ada tidaknya
program skrining pada neonatus. Pada program skrining neonatus
menggunakan alur diagnosis berdasarkan hasil laboratorium. Pada daerah yang
tidak melakukan program skrining neonatus diagnosis hipotiroid kongenital
diawali dengan ada tidaknya gejala dan tanda klinis.
Hipotiroid kongenital sering bersifat asimtomatis (95%)
sehingga menyulitkan penegakan diagnosis berdasarkan manifestasi klinis.
Manifestasi klinis baru muncul seiring berjalannya waktu. Derajat beratnya
penyakit dapat berdasarkan klinis (adanya manifestasi klinis) maupun secara
biologis (fT4 20 mU/L) perlu
dilakukan pengambilan spesimen ulang/duplo. Apabila kadar TSH < 20 mU/L
maka hasil dianggap normal sedangkan kadar TSH ≥ 20 mU/L maka perlu
dilakukan pemeriksaan serum TT4/fT4 dan TSH untuk konfirmasi ulang.
Pemeriksaan konfirmasi fT4 atau TSH dilakukan dengan metode ELISA/FEIA
kuantitatif.10
Apabila hasil pemeriksaan konfirmasi didapatkan kadar fT4 rendah
dan/atau TSH meningkat, maka dapat didiagnosis sebagai hipotiroid
kongenital. Kadar fT4 yang rendah tanpa melihat kadar TSH adalah indikasi
dilakukannya terapi. Apabila kadar fT4 normal dengan kadar TSH minimal 2
kali pemeriksaan > 20 mU/L maka dapat diberikan terapi. Selain itu, terapi

pengganti hormon dapat mulai diberikan pada kondisi:
 bayi/anak dengan klinis hipotiroid dan hasil pemeriksaan laboratorium
atau neonatus dengan hasil skrining abnormal (TSH>20 mU/L) dan
telah dikonfirmasi dengan serum darah hipotiroid,
 pemeriksaan skrining kadar TSH ≥40 mU/L tanpa menunggu
konfirmasi pemeriksaan serum darah (fT4 dan TSH).
Apabila kadar TSH antara 6-20 mU/L dengan bayi sehat dan kadar fT4 normal
maka pemeriksaan TSH diulang dalam 3-4 minggu. Apabila kadar TSH tetap
tinggi, maka dapat dinerikam terapi atau pemeriksaan diulang laboratorium
dalam 2 minggu.10,11
Tahapan proses skrining HK secara garis besar meliputi proses
persiapan (persetujuan dan penolakan tindakan), pengambilan sampel (waktu
pengambilan, data demografi bayi, metode pengambilan, pengiriman, proses
skrining di laboratorium, dan kesalahan pada pengambilan sampel, pencatatan

dan pelaporan), pencatatan dan dokumentasi. Program skrining ini sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam mendeteksi secara dini penyakit hipotiroid
kongenital sehingga dapat dilakukan terapi lebih awal. Terapi dini pada
penyakit ini akan menghindari gangguan pertumbuhan dan perkembangan
khususnya retardasi mental.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk menentukan
penyebab hipotroid kongenital adalah ultrasonografi tiroid, sintigrafi tiroid,
serum tiroglobulin, antibodi tiroid, dan iodium urin. Namun pemeriksaan ini
tidak akan mempengaruhi pemberian terapi sehingga tidak perlu adanya
penundaan terapi.10
Tatalaksana
Terapi hipotiroid kongenital dengan terapi pengganti hormon yaitu
levotiroksin. Levotiroksin merupakan hormon tiroid sintetik dimana secara
kimiawi identik dengan tiroksin. Levotiroksin ini diberikan dalam bentuk
preparat oral dan diberikan dalam jangka panjang.
Levotiroksin segera dapat diberikan pada penderita hipotiroid
kongenital. Obat ini diberikan tidak lebih dari usia 2 minggu atau segera
setelah pemeriksaan konfirmasi serum. Dosis levotiroksin pada nenonatus
yang dianjurkan adalah 10-15 mcg/kg berat badan/hari. Dosis levotiroksin
yang dapat diberikan tertera pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Dosis pemberian levotiroksin9,10
Usia
0-3 bulan
3-6 bulan
6-12 bulan

1-5 tahun
6-12 tahun
Lebih dari 12 tahun

Dosis (mcg/kgBB)
10-15
8-10
6-8
5-6
4-5
2-3

Pada kondisi HK berat, levotiroksin dapat diberikan dosis lebih tinggi,
sedangkan bayi dengan HK ringan atau sedang diberikan dosis lebih rendah.
Dosis tersebut harus selalu disesuaikan dengan kondisi klinis dan biokimiawi
5

serum tiroksin dan TSH menurut umur. Pemberian levotiroksin dengan cara
digerus/dihancurkan dan bisa dicampurkan dengan sedikit ASI atau air putih.
Obat teratur diminum pada pagi hari.

Pemantauan Terapi
Pemantauan terapi berdasarkan pemantauan fungsi tiroid secara teratur dengan
pemeriksaan fT4 dan TSH. Pemeriksaan serum tersebut dilakukan minimal 4
jam setelah pemberian levotiroksin terakhir.Target terapi hipotiroid kongenital
adalah tercapainya kadar fT4 pada setengah batas atas rentang normal sesuai
usia dan kadar TSH pada rentang normal. Pemantauan pertama dilakukan
setelah 2 minggu pemberian terapi dan dilanjutkan setiap minggu sampai kadar
TSH normal. Pemantauan setiap 2 bulan sampai usia 12 bulan dann setiap 4
bulan pada usia 1-3 tahun. 9,10 Pemantauan lain yang juga perlu diperhatikan
adalah pemantauan pertumbuhan, perkembangan, perilaku, psikomotor, fungsi
mental dan kognitif, tes pendengaran dan penglihatan, umur tulang (bone age)
dan konseling genetika bila diperlukan.9
Simpulan
Hipotiroid kongenital merupakan gangguan defisiensi hormon tiroid yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembengan penderita terutama
gangguan neurodevelopment. Upaya pengendalian faktor-faktor risiko dan
deteksi dini melalui skrining neonatus diharapkan dapat mengurangi angka
kejadian hipotiroid kongenital dan memberikan terapi lebih awal sehingga
dapat menciptakan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Dengan
pertumbuhan dan perkembangan optimal akan tercipta generasi bangsa yang
sehat dan cerdas.
Daftar Pustaka
1. Leger J. Congenital hypothyroidism: a clinical update of long term
outcome
in
young
adults.European
Journal
ofEndocrinology.2015;172:R67–R77

2. Rovet JF. Long-term neuropsychological sequelae of early-treated
congenital hypothyroidism: effects in adolescence. Acta Paediatr
Suppl. 1999;88(432):88-95.
3. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Anak Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman skrining hipotiroid kongenital. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2012 h.
4. Dorreh F, Chaijan P, Javaheri J, Zeinalzadeh AH. Epidemiology of
congenital hypothyroidism in Markazi Province, Iran. J Clin Res
Pediatr Endocrinol 2014;6(2):105-110.
5. Moelyo AG. Diagnosis dan tatalaksana hipotiroid kongenital. Makalah
simposium Yogyakarta.
6. Grosse SD, Vliet G Van. Prevention of intellectual disability through
screening for congenital hypothyroidism: how much and at what level?
Arch Dis Child. 2011;96(4):374–9.
7. Medda E, Olivieri A, Stazi MA, Grandolfo ME, Fazzini C, Baserga M,
et al. Risk factors for congenital hypothyroidism: results of a
population case-control study (1997-2003). European journal of
endocrinology. 2005;153(6):765–73.
8. Keshavarzian E, Valipoor AA, Maracy MR. The incidence of
congenital hyopthyroidism and its determinants from 2012 to 2014 in
Shadegan, Iran: a case-control study. Epidemiol Health 2016; 38:
e2016021.
9. LaFranchi SH. Approach to the diagnosis and treatment of neonatal
hypothyroidism. The Journal of clinical endocrinology and
metabolism. 2011 Oct;96(10):2959–67.
10. Kementerian Kesehatan RI. Modul pelatihan: skrining hipotiorid
kongenital (SHK) bagi petugas kesehatan. 2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
11. Léger J, Olivieri A, Donaldson M, Torresani T, Krude H, Van Vliet G,
et al. European society for paediatric endocrinology consensus
guidelines on screening, diagnosis, and management of congenital
hypothyroidism. Horm Res Paediatr. 2014;81:80–103.

6