Ringkasan UAS Filsafat Ketuhanan 2012.do (1)

BAHAN UJIAN UAS FILSAFAT KETUHANAN
3.2.
Seberapa jauh membentang pengalaman mns itu?
Persoalan pokok: Di mana batas ruang pengalaman mns? Perlu
dibedakan isi pengalaman yg berhubungan dg Allah & isi pengalaman
mns saja. Kita perlu mengartikan “apa itu pengalaman”. Pengalaman 
satu kejadian awal yg ditentukan realitas atau satu cara pengenalan yg di
dlm kesadarannya, realitas itu hadir scr langsung. Pengalaman thd
realitas itu adl pengalaman awal yg belum direfleksi. Isi pengalaman
awal ini tdk bisa dikatakan scr langsung, & ia hny ditangkap melalui
refleksi budi & kegiatan berpikirnya.
1. Pengalaman akan Realitas Mutlak.
Realitas mutlak: tak pernah tampil di permukaan pandangan kita
scr penuh. Lalu, di mana kita mencariNya? Kita mencariNya
melalui proses pengetahuan kita. Di sana dibutuhkan kriteria
objektivitas pengetahuan. Cr pengenalan kita akan realitas mutlak
tdk sempurna, tpi di dlmnya hadirlah realitas mutlak sbg satu
momen konstitutif. Pengetahuan kita ttg realitas mutlak tdk pernah
ditematisir scr lengkap. Dia dikenal scr tersirat; itu berarti bhw
realitas mutlak hny bercahaya dlm slh penghayatan pengenalan
mns. Kita menyebut kehadiran realitas mutlak dg cara demikian

sbg “pengalaman eksistensial” atau pengalaman transendental.
Keberatan thd pendirian itu: realitas mutlak itu hny satu ilusi, atau
satu ide, satu yg bersifat subjektif, satu proyeksi kesadaran.
Jawaban thd keberatan itu: Kita kembali kpd pengalaman
transendental yg tdk tertematisir. Kita sebetulnya sdh
“terstrukturir” di dlm realitas mutlak. Itu berarti bhw sdh ada
ketersediaan subjek (pengalaman passivita) atau satu penerimaan
akan realitas mutlak; ketersediaan ini memungkinkan adanya
kegiatan subjek utk mengenalNya meskipun pengenalan itu
bersifat tdk sempurna. Di dlm ketersediaan subjek terdpt
manifestasi realitas mutlak yg melampaui (mentransendir)
pengetahuan subjek. Krn itu, pengalaman transcendental bukanlah
hal yg semu atau hasil proyeksi kesadaran mns.
2. Indikasi yg menunjuk kpd pengalaman akan realitas mutlak
a. Realitas Mutlak sbg satu realitas “Ada”.
 Banyak realitas “ada” yg tampil dlm berbagai macam bentuk
& gejala baik pd benda2 anorganis maupun organis. Realitas
1

plural ini mengandaikan 1 “realitas ada mutlak” yg

mendasari realitas plural.
 Org menggunakan prinsip berpikir: kontradiksi, yaitu satu
prinsip yg menegaskan bhw tdk mungkin sesuatu itu
serempak tjd & tdk tjd atau ada & tdk ada. Bila kita
menegaskan bhw realitas mutlak itu adl satu realitas “ada”,
mk dg prinsip berpikir kontradiksi, kita tdk mungkin berkata
“realitas mutlak itu tdk ada”.
b. Realitas Mutlak sbg satu kebenaran mutlak.
 Tiap pernyataan mengandaikan adanya tolok ukur kebenaran
mutlak, termasuk pernyataan yg keliru.
 Pendirian skeptiker: tdk ada kebenaran mutlak. Letak
kontradiksi pendiriannya tersirat saat mrk menerima adanya
kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adl pernyataan bhw
tdk ada kebenaran mutlak.
 Kebenaran mutlak yg terbaca dlm pertentangan antara
pernyataan yg benar & pernyataan yg salah.
c. Realitas Mutlak sbg satu Nilai mutlak.
 Tiap pernyataan memiliki nilai: ada nilai yg mengikat & ada
nilai yg tdk mengikat. Nilai itu menunjuk kpd satu nilai
mutlak.

 Max Scheler: Mengenal 2 arti nilai, yaitu isi noematis &
nilai dr sesuatu hal. Isi noematis itu (noem=pemikiran) dr
aktus rasa: sesuatu yg a priori dlm aktus rasa, & tdk
bergantung pd objek di luar. Dia bersifat emotif (bersifat
menggerakkan). Aktus rasa itu terdiri dr dua sisi: sisi vital
(menyentuh hakikat hidup semua makhluk dg modalitas nilai
spt menyenangkan & tdk menyenangkan, baik-buruk, indahjelek dsb) & sisi pribadi yg adl nilai mutlak tanpa bergantung
pd hakikat hidup. Arti kedua: nilai adl nilai dr sesuatu hal;
artinya, nilai itu ada dlm sgl macam realitas “ada” baik yg
bersifat anorganis maupun yg bersifat organis. Benda
anorganis tdk memiliki nilai dlm dirinya sendiri, tpi nilai
utilitaris, yaitu dia bernilai ketika org “menggunakannya”.
Benda organis (makhluk hidup) memiliki nilai di dlm dirinya
dg adanya hierarki nilai, dr tingkat paling rendah (psikovital) sampai kpd tingkat paling tinggi yaitu pribadi.
 Nilai mutlak: pribadi yg jg mrpk norma mutlak.
 Arti pribadi dlm filsafat Scheler: btk eksistensi dr roh,
sementara roh sendiri berarti keseluruhan pribadi dg
aktusnya.
2


 Bagaimana posisi ilmu pengetahuan yg dikatakan bebas
nilai? Posisi ini tdk dpt lagi diterima, krn ilmu pengetahuan
diwajibkan utk tunduk pd kebenaran.
d. Realitas Mutlak sbg satu kebebasan.
 Arti kebebasan: Mns sbg satu hakikat yg bebas, yaitu hak utk
menentukan diri sendiri.
 Realitas Mutlak: tolok ukur penggunaan kebebasan.
 Otonomitas & kebebasan mns hny terwujud dlm ruang
lingkup Realitas Mutlak.
 Filsafat Thomas: hubungan yg hakiki antara realitas mutlak
& kebebasan mns.
e. Kesadaran diri sbg dasar pengalaman akan Realitas Mutlak.
 Dlm proses kesadaran, terdapat satu realitas lain di luar mns.
 Kesadaran diri bersifat terbatas, & kaitannya dg filsafat
Descartes.
3. Pengalaman Realitas Mutlak scr implisit sbg pengalaman
Realitas Ada.
 Kita kembali ke pertanyaan awal: Seberapa jauh membentang
pengalaman mns? Jawabannya: Realitas mutlak ada scr tersirat
dlm semua pengalaman baik dlm pengalaman inderawi maupun

dlm refleksi budi; dia mrpk isi kesadaran kita.
 Kita tdk dpt menangkap realitas mutlak scr langsung, & tdk bs
menghindari realitas itu, krn Dia sdh tersedia & berada dlm
pengenalan kita. Kita tdk mungkin diam di depannya; kita harus
berbicara ttgnya.
 Adanya keragu2an thd eksistensinya. Dibutuhkan kemampuan
mns utk menerobos masuk ke dunia di balik kesadaran mns.
3.3.
Dapatkan org berbicara ttg “pengalaman akan Allah”?
1. Tdk ada satu pengalaman yg jelas akan Allah.
 Jika ada pengalaman yg jelas akan Allah, atheisme tdk mungkin
ada.
 Ontologisme Gioberti: Realitas “ada” adl substansi sendiri: dia
adl pencipta yg menghslkan eksistensi pertama. Eksistensi
pertama bergerak kembali menunju penciptanya sambil meniru
penciptanya. Di dlm pikiran mns ada intuisi langsung.
 Bertolak dr ontologisme, mns dpt berbicara ttg pengalaman akan
Allah melalui intuisi. Kelemahan pandangan ini: intuisi tdk
3


mungkin bebas dr pengalaman inderawi & refleksi budi. Hub
antara Allah & daya intuisi ttp tdk jelas.
2. Pengalaman transendental adl pengalaman akan Allah dlm arti
ttt.
 Arti pengalaman transendental: pengalaman awal yg tdk
tertematisir atau pengalaman prarefleksif, & itu bersifat personal.
 Pengalaman transendental adl satu pengalaman eksistensial: Dia
senantiasa memanggil tpi menantang eksistensi mns utk
menjawabNya.
3. Konsekuensi isi pengalaman transendental utk pengenalan yg
jelas akan Allah.
a. Pengenalan akan Allah sbg pengembangan pengalaman
transendental.

Ada org yg berpendapat bhw pengenalan akan Allah itu
satu hal kebetulan, & itu keluar dr satu kepercayaan yg
disebabkan oleh faktor luar & faktor dlm. Pendapat demikian
tdk cocok. Pengenalan akan Allah itu mrpk satu momen
pengenalan yg melampaui sesuatu yg tertangkap scr inderawi
& yg terefleksi dlm pengertian budi. Pengenalan itu ada secara

tersirat di dlm pengalaman inderawi & refleksi budi. Seorang
atheis & agnostik pun ada dlm momen itu.

Pengenalan atas cara yg disebut terakhir ini adl
pengalaman transendental yg perlu dikembangkan. Di sinilah
diperlukan metode utk mengembangkan isi pengalaman
transendental itu. Pengembangan metodis utk berbicara ttg
Allah adl satu keharusan. Tpi inilah ketegangannya:
ketegangan antara pengalaman langsung yg tak tertematisir &
hasil proses kesadaran mns utk mentematisir pengalaman
langsung itu.
b. Momen eksistensial yg praktis dlm pengenalan akan Allah.

Pengenalan akan Allah mrpk pengalaman transendental
yg perlu dikembangkan. Pengenalan akan Allah atas cr
demikian mrpk satu momen eksistensial yg praktis.
Maksudnya: momen pengalaman eksistensial yg menunjuk
kpd satu ketersediaan subjek atau satu disposisi yg harus
diambil subjek, ketika berhadapan dg tantangan eksistensial.


Kemampuan pengenalan spt itu berbeda dg pengenalan
dlm ilmu pengetahuan. Kemampuan pengenalan ilmiah
bersifat sekunder, ttp kemampuan pengenalan yg dimaksud adl
kemampuan pengenalan ktk berhadapan dg pertanyaan
eksistensial. Kemampuan pengenalan ini terwujud dlm
4

tindakan konkret utk menyikapi tantangan eksistensial, &
perwujudan tindakan nyata itulah satu momen eksistensial yg
praktis, yg di dlmnya pengenalan mns akan Allah menjadi
nyata. Pengenalan yg nyata akan Allah sll bergantung pd
keputusan pribadi yg bebas.
c. Masih perlukah pembuktian akan adanya Allah?
Org mempersempit arti kata “pembuktian” dg pembuktian
matematis atau pembuktian ilmu2 empiris. Pembuktian dlm arti
yg tepat: setiap gerak pikir yg memperlihatkan kebenaran
pernyataan dg cara mengungkapkan dasar 2 yg berbicara ttg
kebenaran itu scr jelas & masuk akal. Setiap pembuktian selalu
berada dlm konteks ttt. Pembuktian akan Allah: satu kegiatan
berpikir utk memahami & mengenal Allah dg argumentasi yg

masuk akal dlm konteks ttt.
4. Pengembangan Metodis Bbrp Kenyataan Yg Menunjuk kpd
Allah
4 Kenyataan Mendasar: Pertama & kedua adl pembuktian
Antropologis ttg Allah. Ketiga & Keempat: pembuktian Kosmologis
ttg Allah.
1. Mns dlm usaha mencari arti hidup.
Stp pengalaman sll punya arti ttt. Arti pengalaman dlm bbrp
tataran:

Tataran empiris (sesuatu yg diinderai)

Arti bahasa ( kata atau bahasa)

Tataran etika (tujuan perbuatan mns)

Arti dlm tataran hidup (kepenuhan hidup mns & seluruh
hdpnya).
Seluruh hidup mns: aktivitas utk mencari arti hdpnya:
a. Tindakan mns tdk mungkin ada tanpa pemahaman ttg

artinya. Stp perbuatan baik yg dilakukan scr sadar maupun
tdk sadar sll memuat satu tujuan ttt & arti ttt.
b.Arti stp peristiwa hidup mentransendir peristiwa itu sendiri.
Peristiwa hidup ttt memperluas horizon pengalaman hidup
kita & membebaskan kita dr kesempitan pengalaman.
Realisasi diri mns adl keberadaan mns itu sendiri. Dia bukan
tujuan mns. Keberadaan mns itu bersifat “intensional”, yaitu
terarah kpd sesuatu. Dg demikian, arti hdpnya bukan terletak
pd realisasi diri, tpi pd karakter intensionalitasnya
keberadaan mns.
5

c. Mencari arti hidup berarti mencari dasar mutlak sbg
pegangan hidup. Stp org, betapapun sederhana daya
refleksinya, mengakui adanya satu dasar mutlak yg mjd
pegangan hdpnya. Apakah ada arti hidup di dlm pengalaman
penderitaan yg terus menerus? Atau di dlm perbuatan bunuh
diri? Di dlm pengalaman & perbuatan bunuh diri ada arti
hidup yg sedang dicari, tpi krn jalan keluar dr bunuh diri tdk
ada, maka org itu menempuh bunuh diri.

d.Mengiakan adanya arti hidup berarti mengakui adanya
realitas mutlak yg disbt Allah dlm bhs religius. Pengalaman
positif & negatif mns memuat satu petunjuk akan adanya arti
mutlak yg ditemukan dlm realitas mutlak. Realitas mutlak ini
memberi arti thd semua yg kita alami. Realitas mutlak itu
harus memiliki watak personal, krn kita adl hakikat personal.
Realitas mutlak yg bersifat personal itu adl Allah.
2. Mns di hadapan tuntutan moral.
1. Manifestasi kesadaran moral dlm penilaian moral.
Perbuatan mns tdk luput dr tuntutan penilaian moral. Ada
perbuatan yg spontan mendatangkan penilaian moral “baik”
& “buruk”. Ada perbuatan yg scr moral tdk bisa dinilai, mis;
org sakit jiwa. Penilaian moral hny tertuju pd perbuatan
seseorang yg ditentukannya scr bebas & yg mjd tanggung
jawabnya. Penilaian moral jg bisa dijatuhkan atas perbuatan
kita sendiri. Keadaan2: suara hati. Instansi ini memuji atau
mengecam perbuatan baik perbuatan org lain maupun
perbuatan kita sendiri.
2. Persyaratan penilaian moral.
Dua titik tolak penilaian moral:
1. Perbuatan seseorg dijalankan tanpa paksaan. Keputusan
bebas org yg bersangkutan mrpk syarat mutlak penilaian
moral. Dia sendiri bertanggung jawab thd perbuatannya.
2. Perbuatan mns yg mengandung nilai itu sendiri adl
pribadi mns. Nilai moral itu bukan satu nilai tersendiri
yg terlepas dr nilai2 lain yg bersifat mnswi. Nilai moral
itu adl nilai mutlak yg bersifat kategoris: wajib, harus.
Prinsip umum: Lakukanlah yg baik & jauhkanlah yg
jahat.”
3. Hakikat Kewajiban Moral.
 satu tuntutan atau panggilan yg “harus” diikuti scr mutlak
& bebas. Itu menunjuk pd adanya satu instansi “keharusan”.
Ketegangan tjd: kewajiban & kebebasan. Kewajiban
6

bertumbuh dr kebebasan batiniah, tpi tanpa kebebasan,
kewajiban menjadi tak berarti. Dua posisi ekstrim: sikap
legalisme & kebebasan tanpa batas. Di sini pentingnya
pendidikan moral.
4. Kewajiban moral menunjuk 1 realitas absolut yg bersifat
pribadi.
 Penerimaan adanya hukum kodrat rasional oleh pribadi2
konkret. Hukum kodrat rasional ini identik dg kodrat
rasional mns tpi serempak berbeda dr kodrat rasional
mns.
 Kewajiban moral mns tdk melenyapkan otonomi mns.
Dia tinggal sbg satu tuntutan mutlak, instansi yg
menunjuk kpd satu kuasa mutlak yg mengatur mns.
Kuasa ini ada dlm lubuk hati terdalam. Realitas ini harus
pribadi, krn mns sbg pribadi tdk bisa bertgg jwb scr
moral thd 1 realitas yg tdk bersifat pribadi. Realitas
pribadi ini bersifat imanen & sekaligus transenden.
 Suara hati itu: panggilan dr 1 pribadi ke pribadi lain.
Pribadi yg memanggil itu ada dlm suara hati, dasar
mutlak kewajiban kita & Dia menjamin kebebasan kita.
Dia disebut Allah.
3. Mencari Dasar Terakhir
Perhatian konkret kita atas masalah: Apa kita bisa mengenal
Allah melalui permenungan akan sifat2 ttt dr alam material.
A. Penjelasan ttg kontingensi.
Kata kontingensi dikaitkan dg “keharusan atau kewajiban”.
Kata “keharusan” berarti tdk dpt tdk ada, wajib ada, harus
ada, mau tdk mau harus ada”. Kontingensi adl lawan dr
keharusan; kontingensi berarti “dpt ada, dpt jg tdk ada, tdk
wajib ada, bs ada, bs tdk ada, mungkin ada”. Pengertian
“keharusan” memiliki keharusan logis & keharusan adanya
sesuatu. Keharusan logis adl keharusan dr satu pernyataan
spt ucapan “adl wajib atau perlu bhw...” Keharusan ini tdk
pernah menyentuh satu barang atau hal. Dia mrpk
pernyataan yg dihasilkan dr pengertian mns. Keharusan ini
berbeda dg keharusan adanya sesuatu. Keharusan yg terakhir
ini dibedakan dr keharusan yg bersyarat, yaitu sesuatu itu
harus ada sejauh dia ada. Dia ada scr bersyarat. Keharusan
yg tak bersyarat berarti sesuatu yg mutlak ada; realitasnya
tdk bergantung pd sesuatu yg lain. Kontingensi justru
7

diperttgkan dg keharusan tak bersyarat ini. Keharusan tak
bersyarat ini dikenakan pd realitas mutlak atau Allah.
Keharusan tak bersyarat ini memberi dasar bg kontingensi.
B. Langkah Pembuktian
Ada 3 langkah utk mengembangkan pemahaman ttg
perbedaan antara realitas ada yg bersifat mutlak & realitas
ada yg kontingen.
1. Haruslah diakui bhw tdk mungkin ada 1 realitas yg
berasal dr sesuatu yg tdk ada. Harus ada 1 dasar mutlak
yg mendasari realitas yg ada ini. Dasar mutlak itu ada dr
dirinya sendiri. Soal  apakah realitas mutlak ini
identik dg dunia dlm arti totalitas dunia atau bagian dr
dunia ataukah realitas mutlak ini berbeda dr dunia.
2. Realitas mutlak tdk identik dg dunia baik bukan satu
totalitas dunia maupun bukan bagian dr dunia. Realitas
mutlak ini sempurna & ciri khasnya ialah dia mendasari
dirinya dr dirinya sendiri & tdk ada sesuatu di luar
dirinya. Ia bersifat melampaui dunia ini (transenden) tpi
jg ada scr implisit dlm dunia ini (imanen).
3. Realitas mutlak yg bersifat imanen transenden dlm
hubungan dg dunia ini justru disebut Allah. Realitas ini
bersifat personal, sempurna, imanen transenden.
4. Mns di hadapan misteri dunia yg tengah berkembang
Peristiwa dunia menunjuk kpd realitas Allah. Peristiwa dunia itu
tampak dlm satu gejala yg menonjol, yaitu proses menjadi”.
A. Problematika proses “menjadi”.
 Proses “menjadi”  proses perkembangan dr yg lama kpd
yg baru, disebut jg “perubahan”. Soal  Apakah perubahan
atau perkembangan itu hakiki atau sekunder (semu)?
Problem itu dipertajam dg pengalaman subjek, mis. subjek
Jaka. Subjek berkembang dr kanak2 sampai tua, baik
perubahan psikologis maupun biologis. Pertanyaan  apa
perubahan ini melibatkan perubahan jati diri subjek atau tdk.
Jawabannya “ya” & “tdk”; masing 2 punya argumentasi.
Pengalaman perubahan subjek menyentuh pengalaman
“kebaruan”. Dr mana asal kebaruan itu?
 Filsafat merefleksikan asal usul kebaruan dg bertolak pd
pengalaman konkret. Hal baru tdk hny berasal dr luar, jg tdk
hny berasal dr dlm, tpi dr “hasil perwujudan diri dlm proses
utk mjd lebih sempurna.” Kebaruan itu berasal dr realitas
8

keberadaan diri yg aktif dlm proses penyempurnaan diri sbg
perwujudan diri yg terus menerus. Tpi jawaban terakhir ini
meninggalkan persoalan metafisis: Apakah realitas
keberadaan diri yg aktif itu aktif dr dirinya sendiri atau
digerakkan oleh realitas Ada absolut yg disebut Allah?
B. Prestasi diri sbg momen penentu dlm evolusi.
ISTILAH
Agnostisisme
Harfiah  teori ttg “kemustahilan utk mengetahui”
Arti  pengingkaran scr umum thd segala metafisika sbg sumber
pengetahuan nyata; secara khusus, agnostisisme mrpk pengingkaran dr
kemungkinan utk mengetahui Allah. Paham ini menerima kemungkinan
adanya suatu kenyataan yg bersifat transenden thd mns, tpi menolak
gagasan bhw mns dapat mengetahui secara pasti eksistensi & khususnya
hakikat kenyataan yg transenden itu.
Antropomorfisme
Kecenderungan utk menafsirkan semua wujud dunia luar dlm istilahistilah yg sesuai dg kodrat mns.
Aseitas
Kekhasan sesuatu yg punya alasan & tujuan eksistensinya dlm diri sendiri.
Deisme
Mengakui seorang Allah pencipta yg mempribadi, tpi mengingkari bhw
Allah itu menaruh minat atau punya pengaruh thd dunia. Akibatnya,
Deisme menyangkal kuasa pelestarian & kerja sama Allah thd ciptaan 2.
Deisme jg menyangkal mukjizat2 & segala pewahyuan adikodrati.
Deontologis
Argumen ini bertolak dr kenyataan adanya kewajiban moral. Tdk dpt
disangkal bhw tindakan kita dipengaruhi oleh suatu nilai mutlak atau sbg
tindakan yg harus dilakukan atau dihindari tanpa syarat.
Argumen ontologis menjawab pertanyaan 2 ttg bagaimana kenyataan
dapat diterangkan, & dasar terakhir kewajiban moral. Argumen ini
menjawab : hanyalah suatu Nilai Mutlak, yaitu Allah sendiri, & dlm nilai
itu semua nilai moral yg kita alami mengambil bagian.
Docta Ignorantia
Nilkolaus dr Kusa  munculnya kesadaran berdasarkan penalaran,
artinya, terbukti oleh rasio, akan alasan 2 mengapa kita tdk dpt mengenal
segala sesuatu yg berhubungan dg yg tak terbatas, khususnya Allah, dlm
9

diri-Nya sendiri; ketidakmungkinan itu disebabkan oleh jarak yg tak
terbatas yg ada antara yg terbatas & yg tak terbatas.
Emanatisme
Paham filsafat & keagamaan yg menyatakan bhw dunia muncul sbg hasil
emanasi dr Yg Esa. Yg Esa, yg tak terperikan & tak terpahamkan, dlm
suatu aliran yg tak berawal & tak berakhir menghasilkan berbagai
tingkatan kenyataan, seperti akal, jiwa dunia, & akhirnya pengadapengada kodrati yg berakar dlm materi. Masing 2 saat dlm emanasi itu
adalah akibat dr saat yg mendahuluinya & asal dr saat yg mengikutinya.
Fatum
Zaman dulu : keniscayaan mutlak yg menetapkan jalan kejadian segala
hal sebelum hal-hal itu tjd, di dlm segala aspeknya, & yg bahkan tdk
terjangkau oleh kehendak dewa-dewa.
Fideisme
Latin : fides, “kepercayaan”; & dr situ berarti filsafat yg berdasarkan
kepercayaan)
 Sebuah paham yg mengajarkan bhw kebenaran2 metafisik, moral &
keagamaan tdk terjangkau oleh akal budi mns & hanya dapat
ditangkap melalui iman.
 Umumnya fideisme mengacu pd teori2 yg menyatakan bhw hal yg
mengatasi indera ditangkap oleh sejenis “feeling” atau iman.
Henoteisme
Paham yg mengakui banyak dewa, tpi dlm doa & kultus hanya berseru
kpd seorang dewa saja, seakan-akan tdk ada dewa lain.
Okasionalisme
Paham yg mengatakan bhw satu-satunya sebab sejati segala kejadian dlm
dunia material & dunia rohani adalah Allah; sebab-sebab langusung &
terbatas tdk lebih dr kesempatan-kesempatan bagi campur tangan ilahi.
Panenteisme
Paham yg ditumuskan o/ K.C.F. Krause yg tanpa mencampuradukkan
dunia dg Allah, tdk mau memisahkannya pula dr dhat ilahi. Dlm
konsepsi itu ad-nya Allah memang tdk disempitkan menjadi adanya
dunia. Dunia mrpk ungkapan empiris Alla yg berada di dlm segala hal
secara imanen & sekaligus transenden.
Pankosmisme
 Semacam panteisme yg menciutkan Allah mjd semesta fisik, &
memandang semesta fisik ini sbg kenyataan yg satu-satunya
Panteisme
 Salah satu bentuk dari bentuk2 yg mungkin dr monisme.
10

 Hanya ada satu kenyataan yaitu Allah, segala hal lain hanyalah mrpk
cara beradanya Allah
 Paham imanensi total
 Allah bukan hanya himpunan dari hal2 yg banyak itu, melainkan
Ialah asas kesatuan hal-hal itu. Oleh kesatuan itulah hal 2 yg banyak
itu mewujudkan alam semesta.
Sientisme
 Sesuai dg dogma rasionalis, yg memandang intelegensi mns sbg
ukuran segala intelegibilitas, sientisme membatasi rasionalisme
tersebut dlm batas-batas ilmu pengetahuan saja, sehingga roh mns
sendiri direduksikan mjd dimensi “ilmiah” saja.
Teisme
 Mengakui Allah sbg Ada yg mempribadi & transenden, yg menimbulkan dunia dr ketiadaan melalui aktus penciptaan-Nya yg bebas.
 Politeisme menyatakan adanya dewa & kadang2 dominasi seorang
dewa tertinggi.
 Henoteisme, meskipun mengakui banyak dewa, dlm doa & kultus
menyeru kpd seorang dewa saja, seakan 2 tdk ada dewa lain;
sedangkan teisme adl monoteis, dlm teori maupun praktek.
 Menganut satu Allah; di luar Allah itu tdk ada & tdk mungkin ada
dewa lain. Sbg akibatnya, teisme jg menolak segala bentuk prinsip
mutlak yg berlawanan dg itu, yg mungkin dianggap sbg sumber
kejahatan atau materi [dualisme].
 Berlawanan dg deisme, teisme mempertahankan kelangsungan
eksistensi makhluk2 oleh Allah, kerja sama Allah dg makhluk-Nya
lewat penyelenggaraan-Nya, & jg kemungkinan intervensi Allah dlm
bentuk mukjizat & wahyu. Teisme jg berbeda dg jelas & panteisme
karena tekanannya pd perbedaan zatiyah antara Allah & dunia, & pd
sifat Allah sbg pribadi.
Teleologis
Bukti teleologis mendasarkan diri pd pertimbangan ttg keselarasan yg
merajai alam semesta & perlunya Intelegensi Tertinggi utk menerangkan
keselarasan tersebut.
Teosofi
 Mencoba mengembangkan kecenderungan2 yg mrpk kecenderungan2
kodrati tiap org, utk sampai pd suatu visi ttg Allah, & lewat visi itu
mendapatkan suatu pengetahuan gaib ttg segala hal.
 Dua teosofi :
1. Teosofi aliran umum yg terdapat dlm seluruh sejarah filsafat
11

2. Teosofi modern : semacam panteisme yg mengajarkan bhw
dunia terbentuk dr suatu rangkaian emanasi yg mrpk berbagaibagai tingkatan antara roh & materi; tetapi tingkatan-tingkatan
itu tdk mempunyai perbedaan hakiki antara mereka.

12