Komponen Struktural Modal Sosial dan

Komponen Struktural Modal Sosial  
 
Oleh Sunyoto Usman 
Fisipol UGM 
 
 
Bab  ini  memberi  perbendaharaan  pengetahuan  kepada  mahasiswa  tentang 
keberadaan  dan  proses  terbentuknya  komponen  struktural  modal  sosial. 
Komponen struktural tersebut dapat berupa asosiasi, organisasi, perkumpulan 
atau  perhimpunan,  serta  jejaring  (network)  yang  melembaga  di  dalamnya.  
Komponen  struktural  modal  sosial  tersebut  muncul  dipengaruhi  oleh 
serangkaian  tindakan  para  aktor.  Hubungan  antara  komponen  struktural 
dengan  tindakan  aktor  bersifat  interdependensi  (timbal­balik,  saling 
menentukan). Di satu pihak, komponen struktural tumbuh dan berkembang dari 
serangkaian  tindakan  para  aktor  yang  dibalut  oleh  berbagai  macam 
kepentingan.    Di  lain  pihak,  komponen  struktural  tersebut  juga  menciptakan 
serangkaian  tindakan  para  aktor,  terutama  dalam  upaya  mereka  memberi 
respons dan stimulan serta beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosial. 
Setelah  mendiskusikan  topik  ini  mahasiswa  diharapkan  memahami 
keberadaan  dan  kekuatan  yang  melekat  dalam  komponen  struktural  modal 
sosial. 


 
 
•  Ikatan Sosial 
 
Dalam  uraian  terdahulu  telah  disampaikan  bahwa  dalam  modal  sosial 
terdapat komponen yang bersifat struktural.  Komponen ini bersifat obyektif dan relatif 
dapat  diobservasi  dengan  kasat  mata  (tangiable)  seperti  asosiasi,  organisasi, 
perkumpulan  atau  perhimpunan  serta  jejaring  (network)  yang  melembaga 
didalamnya.  Asosiasi,  organisasi,  perkumpulan  atau  perhimpunan  serta  jejaring 
(network)    semacam  itu  tidak  terbentuk  mendadak  dan  tiba­tiba  tetapi  terbentuk 
melalui  proses  panjang  dan  berlilit­lilit  dengan  bermacam­macam  kepentingan.  
Menurut  Nan  Lin  (2004:128)  faktor  penting  yang  mendorong  timbulnya  komponen 
yang  bersifat  struktural  tersebut  adalah  tindakan  aktor  yang  terkait  dengan  upaya 
minimalisasi  kerugian  (minimization  of  loss)  dan  maksimalisasi  keuntungan 
(maximimization of gain).  Tindakan  aktor semacam itu diasumsikan dilandasi oleh 
kalkulasi  atau  perhitungan  rasional  dengan  mempertimbangan  peluang  dan  resiko 
yang ada di sekitarnya.   
 
Pertanyaannya kemudian adalah kalkulasi seperti apakah yang paling kuat 

menjadi  energi  pendorong  dua  macam  tindakan  tersebut?    Tidak  mudah 
menjawabnya, karena konteks yang berbeda bisa melahirkan bentuk kalkulasi yang 
berbeda  pula.  Menurut  Nan  Lin  baik  tindakan  minimalisasi  kerugian  maupun 
maksimalisasi  keuntungan  bisa  terkait  dengan  dua  macam  kalkulasi  yaitu  (1) 
memelihara  sumberdaya  (to  maintain  resources),  dan  (2)  mengembangkan 
sumberdaya  (to  expand  resources).    Tindakan  aktor  yang  terkait  dengan  upaya 
memelihara sumberdaya (resources) dekat dengan kalkulasi menekan kemungkinan 
kehilangan  sumberdaya.    Sedangkan  tindakan  aktor  yang  terkait  dengan  upaya 
mengembangkan  sumberdaya,  lebih  dekat  dengan  kalkulasi  memperoleh 
keuntungan.  Menurut  Nan  Lin  kendatipun  upaya  memelihara  sumberdaya  dan 
mengembangkan  sumberdaya  memiliki  karakteristik  yang  berbeda,  namun 
perbedaan dua macam upaya tersebut tidak bersifat dichotomy, tetapi berbentuk a 
ranked  action  set  (berjenjang)  dan  lazimnya  diekspresikan  dalam  bentuk  prioritas. 
Pada  saat  tertentu  tindakan  memelihara  sumberdaya  (to  maintain  resources) 
ditempatkan  sebagai  prioritas,  dan  pada  saat  tertentu  lainnya  upaya 

 




mengembangkan  sumberdaya  (to  expand  resources)  justru  yang  menjadi  prioritas 
(dan demikian pula sebaliknya). 
 
Apa  implikasinya  terhadap  interaksi  sosial?    Dalam  kehidupan  nyata 
interaksi  sosial  lazim  diwarnai  oleh  tindakan  aktor  yang  tidak  pernah  lelah   
mempertahankan sumberdaya (resources) yang dimiliki atau dikuasai.  Mereka selalu 
berusaha keras bagaimana supaya tidak kehilangan sumberdaya.  Manakala aktor­
aktor yang menjalin interaksi sosial tersebut sama­sama berhasil mempertahankan 
sumberdaya  (resources)  yang  dimiliki  atau  dikuasai  (tidak  ada  yang  merasa 
kehilangan),    maka  terjadilah  kondisi  a  mutual  recognition  (saling  menghargai).   
Kondisi saling menghargai tersebut bukan hanya refleksi atau cermin tidak ada pihak 
yang kehilangan, tetapi juga mampu mencegah kemungkinan terjadinya kehilangan 
itu sendiri.  Kendatipun demikan dalam praktek tidak mudah mengembangkan kondisi 
saling  menghargai  atau  memberi  perhatian.    Mengapa?  Alasan  pertama,  kondisi 
semacam  ini    bolehjadi  mudah  berlaku  dalam  interaksi  sosial  yang  terjalin  dalam 
kelompok kecil, akan tetapi sangat sulit dikembangkan atau dipelihara ketika interaksi 
sosial  yang  terjalin  melibatkan  banyak  aktor,  seperti  yang  terjadi  dalam  komunitas 
atau  masyarakat  luas  (society).    Kepentingan  mereka  amat  bervariasi,  derajad 
toleransinya juga amat beragam dan tidak mudah disatukan.  Alasan kedua, jarang 
terjadi kasus pihak­pihak yang menjalin interaksi sosial memiliki persamaan kuantitas 

dan  kualitas  sumberdaya.      Karena  itu  kondisi  a  mutual  recognition  (saling 
menghargai  atau  memberi  perhatian)    tersebut  tidak  selalu  konstan.    Kondisi 
semacam ini dapat dikembangkan manakala salah satu pihak bersedia memberikan 
pengorbanan.  Pihak  yang  memberi  pengorbanan  ketika  itu  belum  memikirkan 
mendapatkan keuntungan. Kelak setelah pihak yang memberi pengorbanan tersebut 
mulai memikirkan mendapatkan keuntungan,  kondisi tersebut berarkhir (paling tindak 
ditinjau  kembali).      Pernyataan  ini  semakin  menegaskan  bahwa  kondisi  a  mutual 
recognition  (saling  menghargai  atau  memberi  perhatian)  lebih  digerakkan  di  atas 
prinsip  minimialisasi  kehilangan  (minimization  of  loss)  daripada  maksimilisasi 
keuntungan (maximization of gain).   
 
Sumberdaya  (resources)  tidak  dikuasai  atau  dimiliki  secara  abadi.  Suatu 
ketika  sumberdaya  (resources)    juga  diserahkan  (transfered)  kepada  orang. 
Pertanyaannya adalah kepada siapa sumberdaya tersebut diserahkan?   Bagaimana 
proses  menyerahkannya?  Bagaimana  sosiologi  menjelaskan  fenomena  ini?   
Penjelasan  sosiologi  tentang  masalah  ini  lazim  dikaitkan  dengan  interaksi  sosial. 
Manakala  bereferensi  pada  prinsip  meminimalkan  kehilangan,  maka  orang 
cenderung menyerahkan (to transfer) sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai kepada 
aktor­aktor yang dianggap mau dan mampu memelihara kelangsungan sumberdaya 
tersebut.    Aktor­aktor  tersebut  acapkali  dalam  satu  ikatan  primodial  karena  bukan 

hanya  dianggap  memiliki  persamaan  sikap  dan  kepentingan  tetapi  juga  diyakini 
mampu memelihara trust (nilai­nilai positif yang menghargai perkembangan). 
 
Seperti  telah  disampaikan  dalam  uraian  terdahulu  konsep  modal  sosial 
berbeda dengan modal manusia (human capital). Modal manusia adalah sumberdaya 
(resources)  yang  dimiliki  oleh  aktor  yang  memungkinkan  aktor  tersebut    dapat 
membuat  keputusan  sendiri  atau  mendayagunakan  sumberdaya  tersebut  sesuai 
dengan otoritas yang dimiliki sendiri. Sementara itu modal sosial adalah sumberdaya 
(resources)  yang  melekat  dalam  relasi­relasi  antar  aktor  (tidak  melekat  dalam  diri 
aktor).    Modal  sosial  baru  dapat  diketahui  atau  diidentifikasi  setelah  aktor­aktor 
tersebut saling menjalin relasi.  Kalau mereka pasif, maka modal sosial tersebut tidak 
dapat diidentifikasi eksistensinya. Modal sosial dikembangkan melalui pembentukan 
(kreasi)  dan  pemeliharaan  ikatan  sosial  (social  ties).    Ikatan  sosial  membentuk 
jejaring,  dan  jejaring  memberikan  akses  pada  aktor­aktor  pada  sumberdaya 
(resources).  Begitu  jejaring  terbentuk,  maka  aktor­aktor  sebetulnya  bukan  hanya 

 




dapat meraih sumberdaya tersebut, tetapi juga membuka jalan menciptakan peluang 
untuk menambah sumberdaya baru. Demikianlah proses ini berlanjut dan terjadilah 
kemudian akumulasi serta peningkatan jumlah sumberdaya. 
 
 
 
•  Jejaring (Networks) 
 
Burt  (2001:31)  memilahkan  jejaring  kedalam  dua  kategori  yaitu  structural 
holes  atau jejaring yang ditandai oleh peran penghubung atau jembatan (broker) dan  
network closure atau jejaring yang ditandai oleh interkoneksi antar aktor yang amat 
kuat  (tanpa  broker).  Kendatipun  karakteristik  dua  macam  struktur  jejaring  tersebut 
berbeda namun sama­sama berupa refleksi tindakan aktor­aktor dalam membentuk 
relas­relasi  sosial  yang  dikembangkan  untuk  memenuhi  pelbagai  macam 
kepentingan.  Sebagai ilustrasi berikut disampaikan diagram yang pernah ditawarkan 
Burt. 

 

 


(Burt,2001:33) 

 
Dalam  diagram  tersebut  ditunjukkan  sosiogram  yang  menggambarkan 
kedekatan hubungan antar aktor dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan 
tertentu,  serta    aktor­aktor  yang  berperan  sebagai  jembatan  (broker)  yang 
menghubungkan  mereka.    Titik­titik  adalah  gambaran  posisi  aktor­aktor,  dan  garis 
menunjukkan jalingan hubungan antar aktor. Secara teoritis sosiogram semacam itu 
tidak  permanen  dalam  arti  jejaring  yang  terbentuk  untuk  tujuan,  tempat  dan  waktu 
tertentu bisa berbeda dengan jejaring yang terbentuk untuk tujuan, tempat dan waktu 
tertentu  lainnya.    Dalam  sosiogram  tersebut  terdapat  tiga  kelompok  (A,B  dan  C).  
Setiap  kelompok  melembagakan  pola  hubungan  sosial  sendiri.  Namun  mereka 
sebenarnya  tidak  terpisah,  karena  terdapat  sejumlah  aktor  yang  berperan 
menjembatani  hubungan  antar  kelompok.    Dalam  kondisi  demikian  informasi  yang 
diterima oleh aktor­aktor tertentu dapat tersebar kepada aktor­aktor tertentu lainnya 
meskipun mereka berafiliasi pada kelompok yang berbeda.  Oleh karena sejumlah  
aktor menjadi bagian dari lebih dari satu kelompok (beberapa kelompok sekaligus), 
maka mereka memperoleh informasi lebih banyak daripada aktor­aktor yang hanya 
menjadi bagian dari satu kelompok saja.   

 
Structural  holes  separate  nonredundant  sources  of  information,  sources  that 
are more additive than overlapping.  There are two indicators of redundancy: 
cohesion and equivalence.  Cohesive contacts (contacts strongly connected to 

 



each other) are likely to have similar information an therefore provide redundant 
information  benefits.    Structurally  equivalent  contacts  (contacts  who  link  a 
manager to the same third parties) have the same sources of information and 
therefore provide redundant information benefits. 
(Burt, 2003:35). 

 
Manakala informasi tersebut dianggap sebagai energi untuk memanfaatkan 
dan menciptakan peluang, maka kata Burt tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan 
bahwa  peluang  mereka  lebih  besar  dibandingkan  dengan  aktor­aktor  lain.    Karena 
mereka  bukan  hanya  dapat  memanfaatkan  dan  menciptakan  peluang  berdasarkan 

informasi  beredar  di  lingkungannya  sendiri,  tetapi  juga  dapat  memanfaatkan  dan 
menciptakan peluang berdasarkan informasi yang beredar di lingkungan lain.  Mereka 
dapat  digolongkan  sebagai  aktor­aktor  yang  mengetahui,  menguasai  dan 
mendayagunakan  pelbagai  macam  peluang.    Mereka  lebih  banyak  memiliki  energi 
atau peluang akses terhadap sumberdaya yang dapat kembangkan sebagai modal 
sosial daripada aktor­aktor yang lain. 
 
Pandangan  tersebut  berbeda  dengan  sosiogram  dalam  bentuk  network 
closure    atau  jejaring  yang  ditandai  oleh  ikatan  (connected)  semua  aktor  yang 
terhimpun di dalamnya.  Menurut Coleman dalam jejaring semacam ini semua aktor 
memiliki akses yang sama terhadap informasi.  Berikut dikutipkan pendapat Coleman. 
 
An important form of social capital is the potential for information the inheres in 
social relations. ... A person who is not greatly interested in current events but 
who is interested in being informed about important developments can save the 
time required to read a newspaper if he can get the information he wants from 
a friend who pays attention to such matter. 
(Coleman,1990:310) 
 


Selanjutnya  network  closure  atau  jejaring  yang  ditandai  oleh  interkoneksi 
antar aktor yang amat kuat juga memfasilitasi berlakunya norma­norma yang telah 
menjadi  kesepakatan  bersama  dan  pemberian  sangsi  terhadap  terjadinya 
penyimpangan terhadap norma­norma tersebut. Dalam network closure aktor­aktor 
senantiasa berusaha menjaga berlakunya norma­norma terutama untuk memelihara 
keakraban dan hubungan sosial yang harmonis.  Kepatuhan terhadap norma­norma 
tersebut diyakini mampu menciptakan relasi­relasi sosial melembagakan kesadaran 
kolektif serta persamaan dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya dapat 
menjadi energi untuk mengembangkan modal sosial.  Dalam network closure aktor­
aktor juga memberikan sangsi supaya aktor­aktor konsisten mentaati kewajiban dan 
larangan yang terendap dalam norma­norma tersebut.  Berlakunya norma­norma dan 
sangsi­sangsi  tersebut  memiliki  kekuatan  mendorong  aktor­aktor  mengembangkan 
ikatan­ikatan  sosial  yang  amat  berharga  bagi  pengembangan  modal  sosial.    Hal 
senada juga pernah disampaikan oleh Granovetter (1992:44) bahwa sangsi terhadap 
penyimpangan  norma  mampu  menumbuhkan  trust  (keyakinan  terhadap  nilai­nilai 
positif  yang  mampu  menciptakan  perubahan),  dan  kerjasama  yang  saling 
menguntungkan. 
 
Burt (2003:39­40) pernah melakukan studi tentang jejaring yang tumbuh dan 
berkembang di kalangan para menejer.  Kegiatan mereka membentuk jejaring sosial 

yang diikat dengan norma­norma dan sangsi. Adapun pertanyaan­pertanyaan yang 
diajukan Burt untuk mengidentifikasi jejaring mereka adalah sebagai berikut. 
 
(a) people with whom they most often discussed important personal matters, 
(b)  the  people  with  whom  they  most  often  spent  free  time,  (c)  the  person  to 
whom they report in the firm, (d) their most promising subordinate, (e) their most 
valued contacts in the firm, (f) essential sources of buy­in, (g) the contact most 

 



important for their continued success in the firm, (h) their most difficult contact, 
and (i) the people with whom they would discuss moving to a new job in another 
firm. 

 
Sembilan  macam  pertanyaan  tersebut  dipergunakan  oleh  Burt  untuk 
menggambarkan jejaring yang memperlihatkan relasi­relasi langsung maupun tidak 
langsung di antara para menejer yang diobsevasi, terutama di seputar posisi aktor­
aktor tertentu yang dianggap memiliki banyak informasi dan dipilih sebagai referensi 
sikap  dan  tindakan.    Melalui  serangkaian  pertanyaan  tersebut  Burt  dapat 
mengidentifikasi tiga komponen yang terendap dalam jejaring yaitu jumlah aktor yang 
terlibat  dalam  jejaring  (size),  kedekatan  kontak  para  aktor  tersebut  (density)  dan 
ikatan kuat terhadap aktor­aktor tertentu yang dianggap sebagai panutan (hierarchy).  
Tiga  komponen  ini  (size,  density  dan  hierarchy)  selanjutnya  mewarnai  segenap 
analisis tentang jejaring sosial. 
 
 
 
 
 

 
 

 

 



Komponen Kultural Modal Sosial 
 
Oleh Sunyoto Usman 
Fisipol UGM 

 
Bab  ini  memberi  perbendaharaan  pengetahuan  kepada  mahasiswa  tentang 
keberadaan dan proses terbentuknya komponen kultural (kognitif) modal sosial.  
Komponen  kultural  tersebut  terutama  berupa  social  trust  (keyakinan 
melembagakan  tindakan  yang  diendapi  oleh  nilai­nilai  positif  yang  mampu 
menciptakan perubahan) dan pertukaran sosial (social exchange) yang saling 
menguntungkan (reciprocal relationships).  Di satu sisi, komponen­komponen 
tersebut tumbuh dan berkembang berkat fasilitas jejaring (network). Di sisi lain, 
keberadaannya  juga  memperkuat  eksistensi  jejaring  (network)  tersebut.  Jadi 
ada hubungan timbal balik. Setelah mendiskusikan topik ini mahasiswa dapat 
memahami keberadaan dan kekuatan yang melekat dalam komponen kognitif 
modal sosial. 

 
 
•  Social Trust 
 
Dalam literatur terdapat banyak difinisi tentang trust.  Salah satu di antara 
difinisi tersebut disampaikan oleh Gabby dan Leender sebagai berikut. 
 
..... a set of beliefs about the other party (trustee), which lead one (trustor) to 
assume  that  the  trustee’s  actions  will  have  positive  consequences  for  the 
trustor’s self. 
(Gabby and Leenders, 2003) 
 

Dalam definisi tersebut sedikitnya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan 
yaitu belief (keyakinan), trustor (pihak yang menaruh kepercayaan) dan trustee (pihak 
yang  dipercaya).    Oleh  karena  bentuknya  adalah  belief  (keyakinan),  maka  trust 
tergolong tidak kasat mata dan hanya bisa diidentifikasi gejala­gejalanya.  Mayer at 
al (1995) menyatakan terdapat tiga dimensi trust (keyakinan terhadap nilai­nilai positif 
yang  mampu  menciptakan  perubahan),  yaitu  capability,  benevolence  dan  integrity.  
Capability  terkait  dengan  skills  (keterampilan)  dan  kompetensi  yang  dimiliki  oleh 
kelompok,  komunitas  atau  masyarakat  tempat  afiliasi  para  aktor  yang  dapat 
didayagunakan  sebagai  energi  atau  kekuatan  untuk  mencapai  tujuan  tertentu.  
Benevolence  terkait  dengan  seberapa  jauh  trustee  (pihak  lain)  bersedia  atau  mau 
berbuat  baik  terhadap  trustor.    Kemudian  integrity  terkait  dengan  persepsi  trustor 
terhadap  trustee  tentang  prinsip­prinsip  tertentu  yang  patut  diterima  atau  diikuti.  
Setiap dimensi tersebut berdiri sendiri (independen) maksudnya kendatipun memiliki 
keterkaitan  namun  sebenarnya  terpisah.    Aktor­aktor  tertentu  yang  menaruh  trust  
pada kemampuan dan integritas kelompok tidak serta merta menaruh trust terhadap 
kemampuan  dan  integritas  komunitas  (community)  atau  masyarakat  (society),  dan 
begitu  pula  sebaliknya.    Aktor­aktor  tertentu  yang  menaruh  trust  terhadap 
kemampuan dan integritas trustee tertentu (pihak lain) juga tidak serta menaruh trust 
terhadap  kemampuan  dan  integritas  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat,  dan 
demikian pula sebaliknya.  Pandangan semacam itu hendak menegaskan terdapat 
keragaman  tingkat  kedalaman  trust  yang  tumbuh  dan  berkembang  dalam  suatu 
kelompok,  komunitas  atau  masyarakat.    Kelompok,  komunitas  dan  masyarakat 
tertentu mampu membangun trust yang cukup kuat, sebaliknya kelompok, komunitas 
dan  masyarakat  tertentu  lainnya  justru  terlihat  berat  sekali  membangun  trust 
(keyakinan terhadap nilai­nilai positif yang mampu menciptakan perubahan),. 
 
Trust yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kelompok, komunitas 
atau masyarakat tidak terjadi secara kebetulan, atau terbentuk mendadak dan tiba­

 



tiba.    Trust  terjadi  melalui  proses  yang  melibatkankan  hubungan  antar  aktor­aktor 
yang  terhimpun  dalam  kelompok,  komunitas  atau  kelompok  tersebut.    Herreros 
(2004: 52­71) menyatakan bahwa terjadinya trust bisa terkait dengan hal­hal sebagai 
berikut.    Pertama,  trust  terkait  dengan persepsi  individual  aktor  terhadap  aktor  lain 
yang terhimpun dalam suatu kelompok, komunitas atau masyarakat.  Individual aktor 
menaruh  trust  kepada  aktor  lain  (walaupun  bolehjadi  tidak  dikenalnya  secara 
personal)  ketika  mempunyai  kesan  baik  terhadap  sikap  dan  tindakan  yang 
diperagakan oleh anggota kelompok, komunitas atau masyarakat tersebut.  Dalam 
konteks ini aktor lain (trustee) dianggap sebagai representasi karakteristik kelompok, 
komunitas dan masyarakat.  Karena itu pada saat individual aktor tadi memperoleh 
pengalaman  berupa  perlakuan  baik  dari  kelompok,  komunitas  dan  masyarakat 
tertentu,  maka  segera  tertanam  dalam  persepsinya  bahwa  aktor­aktor  lain  yang 
terhimpun  dalam  kelompok,  komunitas  atau  masyarakat  tersebut  juga  memberi 
perlakuan baik terhadap dirinya.  Dengan demikian trust semacam ini terbentuk dari 
sebuah  bridging  network  (Putnam,  2000:22­23)  atau  lahir  dari  pihak  ketiga  (co­
members),  berada  di  luar  trustor  (pihak  yang  menaruh  kepercayaan)  dan  trustee 
(pihak  yang  dipercaya).    Oleh  karena  terbentuknya  trust  tersebut  melibatkan  pihak 
ketiga  (co­members),  maka  pembahasan  eksistensi  trust  dalam  konteks  ini  bukan 
hanya  melibatkan  persepsi  tetapi  juga  dengan  aspek  partisipasi.    Partisipasi 
diasumsikan  mendahului  kemauan  dan  kemampuan  individual  aktor  melakukan 
justifikasi dalam proses membangun persepsi. 
 
Kedua, trust (keyakinan terhadap nilai­nilai positif yang mampu menciptakan 
perubahan),  terkait  kemampuan  individual  aktor  memahami  nilai­nilai  dan  norma­
norma  sosial  yang  terendap  dalam  kelompok,  komunitas  dan  masyarakat.    Dalam 
konteks ini nilai­nilai dan norma­norma sosial tersebut diasumsikan sebagai referensi 
semua  aktor  dalam  bersikap  dan  bertindak  yang  dikembangkan  untuk  mencapai 
tujuan bersama, baik pada level kelompok, komunitas maupun masyarakat. Nilai­nilai 
dan  norma­norma  tersebut  ditempatkan  sebagai  pengikat  solidaritas  sosial  atau 
acuan  menyelesaikan  pelbagai  bentuk  konflik  dan  penyimpangan.  Nilai­nilai  dan 
norma­norma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa dalam arti mereka yang 
mematuhi  mendapatkan  ganjaran  (reward)  dan  mereka  yang  mengingkari  diberi 
sangsi.  Pemahaman  individual  aktor  terhadap  nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial 
tersebut  selanjutnya  memudahkannya  mengidentifikasi  siapa  aktor­aktor  lain  yang 
patut  dikategorikan  sebagai  trustee  (pihak  yang  dipercaya).    Bagaimana  kalau 
kelompok, komunitas dan masyarakat tersebut diwarnai oleh afiliasi etnis, keyakinan 
agama  dan  ideologi  (hiterogin)?    Tendensi  demikian  tidak  mengganggu  upaya 
membangun  trust  sepanjang  mereka  mau  dan  mampu  memahami  kewajiban  dan 
larangan yang terendap dalam nilai­nilai dan norma­norma sosial tersebut.  Nilai­nilai 
dan  norma­norma  sosial  bukan  hanya  diketahui  atau  dipahami  karakteristik  dan 
fungsinya, tetapi juga disadari dapat memfasilitasi terbentuknya solidaritas sosial. 
 
Ketiga,  trust  terkait  dengan  kemampuan  melakukan  transformasi  nilai­nilai 
dan norma­norma sosial yang menjadi referensi sikap dan tindakan tersebut kedalam 
kehidupan  nyata.  Nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  tersebut  ditelaah  secara  kritis 
kemudian diaplikasikan sesuai dengan kondisi lingkungan.  Benar memang nilai­nilai 
dan norma­norma sosial tersebut mempunyai kekuatan memaksa, tetapi aplikasinya 
dijaga tidak merusak jalinan relasi atau jejaring yang sudah terbangun.  Transformasi 
nilai­nilai  dan  norma­norma  sosial  tersebut  memiliki  konteks  tertentu  dan 
diekspresikan  dalam  bentuk  tindakan­tindakan  nyata.  Tindakan­tindakan  nyata 
tersebut bukan hanya sebuah keteladanan atau contoh nyata (sesuai dengan konteks 
tertentu), tetapi juga memudahkan trustor mengidentifikasi siapa aktor­aktor lain yang 
layak diklasifikasikan sebagai trustee (pihak yang dipercaya).   
 
 

 



•  Pertukaran Sosial 
 
Relasi­relasi  sosial  yang  tumbuh  dalam  kelampok,  komunitas  dan 
masyarakat  ditandai  oleh  pertukaran  sosial  (social  exchange).    Dalam  sosiologi 
pertukaran sosial lazim dikonsepsikan sebagai relasi­relasi sosial yang terjalin antar 
aktor  dalam  bingkai  transaksi  sumberdaya  (resources).    Dalam  konsep  tersebut 
terendap dua elemen penting yaitu aktor­aktor yang menjalin hubungan (subyek) dan 
sumberdaya  (resources)  yang  ditransaksikan  atau  ditukarkan  (obyek).      Dalam  diri 
aktor­aktor  tersebut  terendap  keinginan  dan  keyakinan  tertentu,  karena  itu  ketika 
seorang aktor melakukan transaksi sumberdaya bukan hanya memperhatikan posisi 
atau  status  sosial  aktor­aktor  lain,  tetapi  juga  mengembangkan  hubungan  yang 
ditandai  oleh  proses  pertukaran  dengan  mempertimbangkan  keinginan  dan 
keyakinan  aktor­aktor  tersebut.    Pertimbangan  tersebut  berupa  kalkulasi  tentang 
bentuk dan jumlah sumberdaya yang ditransaksikan (dilandasi rasionalitas tertentu).  
Dengan  demikian  dalam  proses  pertukaran  tersebut  terdapat  aspek  relational 
sekaligus  aspek  transaksional.    Aspek  relational  dalam  proses  pertukaran 
dikategorikan  sebagai  pertukaran  sosial  (social  exchange),  sedangkan  aspek 
transaksional dalam proses pertukaran dikategorikan sebagai pertukaran ekonomik 
(economic  exchange).    Dua  macam  pertukaran  tersebut  sama­sama  diendapi 
kalkulasi yang rasional, meskipun dengan proses yang berbeda. 
 
Nan Lin (2004:155) menunjukkan terdapat perbedaan prinsip yang melekat 
dalam  pertukaran  ekonomik  dan  pertukaran  sosial.  Pertukaran  ekonomik  memberi 
tekanan  (fokus)  pada  transaksi  (bersifat  transaksional).    Tujuan  utamanya  adalah 
memperoleh  keuntungan  ekonomi  melalui  cara  atau  mekanisme  transaksi. 
Sumberdaya (resources) ditransaksikan dan dalam transaksi tersebut dimediasi oleh 
harga  (uang).    Setiap  pertukaran  dilakukan  untuk  mendapatkan  keuntungan 
maksimal.  Rasionalitas  yang  dijadikan  acuan  adalah  analisis  tentang  relasi­relasi 
yang mendatangkan keuntungan, dan keuntungan yang diperoleh tersebut kemudian 
diletakkan  sebagai  pijakan  untuk  melakukan  transaksi­transaki  berikutnya.  
Bagaimana  kalau  relasi­relalsi  tersebut  gagal  mendatangkan  keuntungan?    Aktor­
aktor  tersebut  bisa  mencari  alternatif  relasi­relasi  lain  (meninggalkan  relasi­relasi 
yang  ada),  atau  masih  mempertahankan  relasi­relasi  yang  ada  tetapi  dengan 
menekan biaya yang ditransaksikan (transactional cost).  
 
Seperti  telah  disampaikan  pada  uraian  di  atas  bahwa  dalam  pertukaran 
ekonomik,  aktor­aktor  selalu  berusaha  melakukan  relasi­relasi  yang  mampu 
mendatangkan sumberdaya (resources) melalui pelbagai bentuk transaksi (bersifat 
transaksional). Oleh karena spirit yang terendap dalam relasi­relasi tersebut adalah 
memperoleh  keuntungan  ekonomi,  maka  komitmen  aktor­aktor  pada  umumnya 
hanya dalam waktu relatif pendek atau hanya sebatas keperluannya saja.  Komitmen 
tersebut  melemah  (bahkan  hilang)  ketika  mereka  merasa  bahwa  telah  sama­sama 
memperoleh  keuntungan  ekonomi.  Dalam  benak  mereka  hanya  ada  satu  harapan 
yaitu  bagaimana  supaya  transaksi  dapat  berjalan  dengan  fair  (more  gain  and  less 
cost).  Relasi­relasi di luar tujuan tersebut diabaikan.  Itulah sebabnya lazim dikatakan 
bahwa  kerjasama  di  antara  mereka  hanyalah  bersifat  insedential,  dan  lebih 
mengedepankan kesepakatan niilai ekonomi. 
 
Tendensi  tersebut  berbeda  dengan  pertukaran  sosial.    Dalam  pertukaran 
sosial fokusnya bukan pada transaksi­transaksi yang dilakukan oleh aktor­aktor tetapi 
pada relasi­relasi sosial. Aktor­aktor juga memperhitungan biaya (cost) tetapi biaya 
tersebut  bukan  berupa  uang,  tetapi  sebuah  “pengorbanan”.  Dalam  kegiatan 
perdagangan misalnya bisa terjadi orang mengalami kerugian ekonomi, namun tetap 
dipertahankan (berlangsung) karena  dirasakan memperoleh keuntungan relasi­relasi 
sosial.  Kasus semacam itu dalam pepatah Jawa dinyatakan “tuna satak bati sanak”.  

 



Tuna (rugi) satak (harta) tetapi bati (untung) sanak (saudara). Dalam pepatah Jawa 
tersebut  terendap  pertimbangan  rasional  bahwa  kerugian  ekonomi  yang  dialami 
orang  (akibat  dari  penambahan  biaya)  sebenarnya  sebuah  “pengorbanan”  yang 
dapat  berfungsi  memperkuat  relasi­relasi  sosial,  dan  pada  gilirannya  kelak  diyakini 
membuahkan  keuntungan  ekonomi  juga.    Karena  itu  dalam  pertukaran  sosial, 
perhatian  aktor­aktor  terutama  pada  pengakuan  (recoginition),  bukan  pada  uang 
(materi).  Bagi mereka pengakuan jauh lebih penting daripada sekedar uang (materi). 
 
Dalam  pertukaran  sosial  apa  yang  hendak  diraih  bukan  kekayaan  semata 
tetapi  adalah  reputasi  (social  standing)  dan  kepercayaan.    Karena  itu  relasi­relasi 
yang  terjalin  tidak  berdasarkan  nilai­nilai  dan  norma­norma  yang  bersifat  kontrak 
(sebagaimana dalam pertukaran ekonomi), tetapi berdasarkan nilai­nilai dan norma­
norma yang melembagakan solidaritas sosial. Dalam pertukaran ekonomi nilai dan 
norma  kontrak  ditujukan  untuk  menjaga  survival  diri  aktor,  sedangkan  dalam 
pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati ditujukan untuk menjaga survival 
kelompok  (kebersamaan).  Dalam  pertukaran  ekonomi,  nilai  dan  norma  kontrak 
ditujukan  untuk  meningkatkan  keuntungan  (optimatization  of  gains),  sedangkan 
dalam pertukaran sosial nilai dan norma yang disepakati bersama tersebut ditujukan 
untuk menekan kehilangan (minimization of loss). 
 
Seperti telah disampaikan pula bahwa relasi­relasi dalam pertukaran sosial 
terutama  didorong  oleh  motivasi  memperoleh  reputasi  (penghargaan)  dengan 
menebarkan  pengakuan  (recognition)  dalam  jejaring  kelompok.    Karena  itu  dalam 
pertukaran  sosial  aktor­aktor  yang  menjalin  hubungan  senantiasa  berusaha 
memelihara relasi­relasi sosial (maintenance of social relationships).  Bentuk relasi 
semacam ini melahirkan dua macam kemungkinan partisipasi. Manakala hubungan 
yang mereka jalin mampu mendorong relasi yang mapan (a presistent relationship), 
maka  hubungan  tersebut  terus  berlanjut.    Tetapi  sebaliknya  manakala  hubungan 
tersebut  dirasakan  tidak  mampu  mendorong  hubungan  yang  mapan,  maka  dicari 
alternatif lain yang diyakini mampu memperkuat pengakuan (recognition). Atau bisa 
juga tetap mempertahankan hubungan sosial yang telah terjalin, tetapi menurunkan 
derajad pengakuan (recognition).   
 
Relasi­relasi yang mapan (presistent relationships) mampu memperluas dan 
menebarkan  pengakuan  melalui  koneksi­koneksi  antar  aktor.  Semakin  kuat 
mempertahankan  relasi­relasi  yang  mapan  tersebut  maka  semakin  mudah 
menebarkan  pengakuan.  Jejaring  mereka  semakin  kuat  ketika  aktor­aktor  tersebut 
mampu  menumbuhkan  sentiment  melalui  aktor­aktor  tertentu  yang  memiliki 
pengaruh.  Sikap  dan  tindakan  aktor­aktor  yang  berpengaruh  tersebut  selanjutnya 
menjadi  referensi  sikap  dan  tindakan  aktor­aktor  lain.    Semakin  luas  koneksi  antar 
aktor  (baik  langsung  maupun  tidak  langsung),  maka  semakin  besar  efek  dari 
pengakuan  (recognition)  dan  reputasi  yang  ditimbulkan,  dan  selanjutnya  semakin 
besar  pula  kemungkinannya  dapat  megembangkan  modal  sosial.    Semakin  kuat 
komitmen  atau  integritas  mereka  dalam  jejaring  yang  dibangun  untuk  mencapai 
tujuan  bersama,  maka  semakin  kuat  pula  potensi  mereka  mengembangkan  modal 
sosial. Berikut dikutipkan pandang Ni Lan dalam masalah tersebut. 
 
Transactional rationality can survive on an individual basis when partners 
in  exchanges  are  interchangeable  as  long  as  they  meet  the  requirement  of 
transactional utility.  Relational rationality depends on the survival of the group 
and  the  group’s  members.    The  more  resources  embedded  in  the  social 
networks and the stronger the ties, the greater the collective benefit to the group 
and the relative benefit to each actor in the group. Ni Lan (2014:156) 

 

 



Dalam  membahas  pertukaran  sosial,  sebuah  kata  kunci  yang  berulang 
muncul  adalah  reputasi.    Kata  reputasi  dianggap  lebih  tepat  dipakai  daripada  kata 
mutual  recognition  atau  social  credits.    Dalam  pertukaran  ekonomik  (economic 
exchange) alat transaksi adalah uang, sedang dalam pertukaran sosial alat transaksi 
tersebut  adalah  reputasi.    Reputasi  memiliki  implikasi  yang  signifikan  terhadap 
pengakuan  (recognition),  dan  pengakuan  tersebut  memiliki  peran  penting  dalam 
menjaga  eksistensi  para  aktor.  Ketika  sebuah  kelompok  atau  komunitas  tergolong 
homogin dalam arti para aktor yang menjadi anggotanya memiliki karakteristik yang 
kurang  sama,  tidak  terlalu  sulit  mengidentifikasi  relasi­relasi  yang  saling 
menguntungkan  (reciprocal  relationships)  atau  tindakan­tindakan  yang  bersifat 
sejajar (symetric).  Solidaritas sosial dalam kelompok atau komunitas semacam itu 
biasanya  terlihat  kuat.    Tetapi  tendensi  berbeda  diketemukan  pada  kelompok  atau 
komunitas yang tergolong hiterogin.  Dalam kelompok atau komunitas yang tergolong 
hiterogin  acapkali  pertukaran  menjadi  berat  sebelah  (unequal  transactions)  dan 
tindakan­tindakan menjadi bersifat asymetric (tidak sejajar).  Dalam kondisi demikian 
aktor­aktor  menghadapi  persoalan  reputasi,  karena  kendatipun  mereka  terhimpun 
dalam satu kelompok atau komunitas, reputasinya beragam dalam arti sejumlah aktor 
memiliki reputasi yang lebih tinggi daripada sejumlah aktor yang lain.  Lalu bagaimana 
menjelaskan  masalah  pengakuan  (recognition)  ketika  reputasi  aktor­aktor  tersebut 
beragam (hiterogin)? 
 
Ni  Lan  (2004:158)  menjawab  pertanyaan  semacam  itu  berangkat  dari  
penjelasan  tentang  pengakuan  (recognition).  Kata  Ni  Lan  pengakuan  tersebut 
memberi legitimasi kepada aktor­aktor tentang sumberdaya (resources) yang dimiliki.  
Ketika  pengakuan  tersebut  disebarkan  melalui  jejaring  (network),    maka  eksistensi 
atau  keberadaan  aktor­aktor  dalam  jejaring  semakin  kuat.    Dalam  proses  ini 
dibutuhkan  reputasi  (alat  pertukaran  sosial).  Reputasi  terutama  berfungsi  memberi 
dukungan proses penyebaran pengakuan tersebut.  Reputasi menegaskan aset yang 
dimiliki oleh aktor­aktor tersebut. Fungsinya mirip uang dalam pertukaran ekonomi. 
Perkembangan selanjutnya reputasi menjadi aset kolektif.  Kelompok atau komunitas 
dapat  mengembangkan  sebuah  reputasi.    Dalam  konteks  ini  reputasi  dipahami 
sebagai  aset  jaringan.  Reputasi  bukan  hanya  memperkuat  legitimasi  aktor­aktor 
dalam melakukan claim terhadap sumberdaya (resources) yang dimiliki, tetapi juga 
claim terhadap posisi­posisinya.   
 
Dari segenap uraian yang telah dipaparkan, secara ringkas dapat dikatakan 
bahwa  pertukaran  sosial  ditandai  dengan  relasi­relasi  sosial  (social  relationships).  
Pertukaran  sosial  berupaya  melakukan  optimalisasi  pengeluaran  atau  biaya 
hubungan (relationship at a cost). Dalam pertukaran sosial, reputasi (social standing) 
memiliki  peran  penting  karena  menentukan  pengakuan  (social  credit,  social  debt), 
sebuah  sarana  yang  dipergunakan  untuk  melegitimasi  sumberdaya  (resources).  
Tendensi ini terbeda dengan pola yang terdapat dalam pertukaran ekonomik, karena 
dalam  pertukaran  ekonomik  sarana  yang  dipergunakan  untuk  melegitimasi 
sumberdaya  adalah  kekayaan  (economic  standing).  Dalam  konteks  ini  kekayaan 
(economic standing) memiliki peran penting karena menentukan transaksi keuangan 
(economic credit, economic debt). 

 

 

10