Sosiologi Gereja dan Sosiologi Gereja (1)
Course: “Sosiologi Gereja”
Topic: Preliminary Discourse
UKSW Fakultas Teologi
8 Mei 2017
Sosiologi, Gereja dan Sosiologi Gereja:
Suatu Pengantar
Dr. Abraham Silo Wilar, M. Th., M. A.
Pengantar
Sosiologi
Secara umum Sosiologi dipahami sebagai suatu disiplin ilmu tentang
masyarakat, suatu disiplin ilmu di luar ilmu alam, atau ilmu biologi, dan lainnya.
Ken Plummerdi dalam bukunya “Sociology: the Basics” menyampaikan bahwa
Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia yang di dalamnya
penderitaan, sukacita, kesuraman dan keriangan menjadi bagian dari studi (Ken
Plummer, 2010: 3‐5). Tidak hanya itu saja. Plummer kemudian menyampaikan
juga bahwa Sosiologi adalah studi tentang segala‐hal di mana perhatian, cinta,
permainan, negara, tomat, toilet dan telpon dapat menjadi fokus studi (Ken
Plummer, 2010: 10‐14). Contoh, sosiologi tomat menunjukkan dua hal penting di
dalam kajiannya, yaitu: sejarah tomat dan tomat dalam sistem ekonomi global
(Ken Plummer, 2010:12). Demikian pula dengan toilet yang melahirkan sosiologi
toilet. Dua hal menarik ada di dalamnya yaitu: kesehatan dan modernitas (Ken
Plummer, 2010:12).
Sebagai suatu disiplin ilmu, Sosiologi tidak dapat dilepaskan dari tokoh‐
tokoh seperti August Comte (umum dikenal sebagai Bapak Sosiologi) atau Emile
Durkheim pada era klasik, dan Anthony Giddens pada era kontemporer. Masing‐
masing tokoh tersebut telah memperkaya Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu.
Bila melihat ulasan Robert E. Park yang menjelaskan tentang relasi sosiologi
dengan ilmu sosial, maka kita bisa melihat bahwa Park menempatkan August
Comte sebagai Bapak Sosiologi yang membingkai Sosiologi dalam studi sejarah
atau filsafat sejarah (Park, 1921: 44). Sehingga, dengan demikian, Sosiologi
adalah suatu historical studies.
Di tempat lain, Giddens dalam bukunya “Sociology: A Brief but critical
introduction” menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis (1986: 156).
Menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis, menurut Giddens, adalah suatu
usaha untuk meretas jalan baru dari Sosiologi yang selama ini Sosiologi di‐
bingkai dalam ilmu alam, dan sejarah. Cara membingkai Sosiologi di dalam ilmu
alam dan sejarah telah menghasilkan Sosiologi yang menjelaskan dan penjelasan.
Padahal, menurut Giddens, sejarah itu sendiri adalah konstruksi dari
pergumulan manusia dan keterlibatan manusia di dalamnya. Oleh karena itu,
sebagai teori kritis, Sosiologi tidak menerima dunia sebagaimana terlihat tetapi
mengajukan pertanyaan, misalnya, tipe perubahan sosial apa yang diharapkan
dan layak? (Anthony Giddens, 1986: 157). Dengan demikian, sosiologi bukan
hanya menjelaskan dan penjelasan apa yang terjadi tetapi aktif mencari untuk
mendapatkan apa yang diharapkan dan layak itu (meta‐explanation).
Selain tokoh‐tokoh tersebut dengan masing‐masing fokusnya di dalam
kajian sosiologi, bidang studi ini sebagai suatu disiplin ilmu juga memusatkan
perhatian kepada sejumlah topik, misalnya, struktur, kohesi sosial, geneologi,
dan lainnya dari suatu masyarakat. Contoh, percakapan tentang struktur dari
masyarakat melingkupi hal‐hal berikut: bagaimana struktur terbentuk, apa
fungsi dari struktur, apa pengaruh struktur di dalam relasi interpersonal dan
2
seterusnya. Atau, geneologi suatu masyarakat akan memusatkan perhatian
kepada kinship, dan seterusnya.
Gereja
Ketika berbicara tentang gereja, maka percakapan akan diisi oleh hal‐hal
berikut: “gereja adalah kumpulan orang beriman”; gereja bukanlah gedungnya;
dan seterusnya. Namun demikian, percakapan tentang gereja memiliki
problematika tersendiri. Misalnya, William Tyndale, setelah pada tahun 1522
mendapatkan kopian terjemahan PB yang dilakukan oleh Luther, memulai
sendiri penerjemahan PB ke dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan sumber
sumber Ibrani dan Yunani. Tetapi penerjemahannya direspon oleh pihak GKR
dengan pembakaran dan mengutuk karyanya sebagai “terjemahan palsu”.
Persoalannya terletak pada penerjemahan yang dilakukan Tyndale atas kata
“church” atau “ekklesia” sebagai “congregation” yang menekankan istilah “the
Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the Visible Church” yang
merujuk kepada GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika tersebut dapat
terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya ketegangan di dalam
Katolisisme. Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church
atau ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang
menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja
tidak terlepas dari subyektivitas (baca: peran penafsir).
Bertolak dari uraian di atas, secara keilmuan, percakapan tentang gereja
sangat berkait erat dengan bidang studi teologi khususnya eklesiologi. Sebagai
salah satu rumpun dari bidang studi teologi, eklesiologi memusatkan perhatian
kepada pemahaman‐pemahaman mengenai apa itu gereja, sifat gereja, dan
lainnya. Oleh karena itu, eklesiologi tidak dapat dilepaskan dari rumpun lain
3
seperti, misiologi, historika, dan teologi sistematika –atau yang saat ini dikenal
sebagai teologi konstruktif. Contoh berikut menjelaskan keterkaitan tersebut
sebagai berikut: teologi tentang Inkarnasi tentang Yesus Kristus telah
melahirkan suatu pemahaman tentang misiologi inkarnasional. Dalam bingkai
ini, eksistensi gereja, yang senantiasa dipahami sebagai missio dei, dilihat
sebagai misi inkarnasional itu.
Contoh lain adalah gereja memahami dirinya sebagai missio dei memiliki
tugas diakonia sebagai salah satu applicatio dari misi tersebut. John N. Collins di
dalam bukunya “Diakonia” menunjukkan bagaimana Yesus sebagai hamba bagi
semua, dan bantuan ke jemaat Yerusalem, telah menjadi teks‐teks yang
menyusun eksistensi diakonia tidak terlepaskan dari gereja. Collins
menyebutkan bagaimana Kristus sendiri menjadi “diakonos”(John N. Collins,
1990: 227). Singkatnya, gereja tidak bisa dipisahkan dari teologi dan berbagai
rumpunnya.
Sosiologi Gereja: Relasi Sosiologi Agama dengan Gereja
Kirchensoziologie/Sociology of Church
Bertolak dari penjelasan tentang Sosiologi dan gereja seperti yang sudah
diuraikan di atas, saya saat ini akan melihat istilah sosiologi gereja di dalam dua
kategori, yaitu Kirchensoziologie atau Sociology of Church, dan
Christentumforschung/Riset Kristianitas. Kedua istilah ini saya dapatkan dari
manuskrip karya Karl Gabriel, Martin Laube, Thomas Großbölting, Judith
Könemann, dan Astrid Reuter (2014)
Di dalam manuskrip tersebut, tulisan berjudul “Von der Kirchensoziologie
zur Christentumsforschung? Vergewisserungen und Perspektiven nach
Luckmann” menyampaikan beberapa butir penting yang berkaitan dengan
4
sosiologi agama dan gereja dalam rangka memberi respon terhadap pandangan
Thomas Luckmann yang pernah menyampaikan kritiknya tentang
Kirchensoziologie pada tahun 1950‐an (Karl Gabriel, 2014: 6). Perkembangan
terkini di Jerman ‐‐sejak Luckmann menuliskan kritiknya‐‐ telah membawa
beberapa perubahan di tengah masyarakat Jerman, termasuk gereja di
dalamnya. Karl Gabriel mencatat perubahan tersebut, misalnya, gereja‐gereja
berada dalam proses “Absterbens”, yaitu proses di mana gereja‐gereja kehilangan
daya untuk merasa dan bertindak normal di tengah‐tengah statistik pemeluk
agama Kristen yang berkisar 50 juta dari 80,7 Juta penduduk Jerman (Karl
Gabriel, 2014:4); lanskap di bidang agama‐agama di Jerman mengalami
perubahan dan perubahan ini terkait dengan “Pluralismus”, keragaman agama‐
agama (Karl Gabriel, 2014:5); sekularisme dari masyarakat modern tetap
berinteraksi dengan bidang agama‐agama; dan lainnya.
Perubahan‐perubahan di atas menjadi fokus kajian dari sosiologi agama
khususnya “sociology of church” atau kirchensoziologie di dalam khazanah
keilmuan di Jerman. Tetapi, manuskrip “von der Kirchensoziologie zur
Christentumsforschung” melihat pergeseran dari “Kirchensoziologie” ke “riset
Kristianitas”; artinya, suatu penelitian mengenai Kristianitas itu sendiri.
Sehingga, dalam pemahaman saya atas manuskrip tersebut, percakapan tentang
gereja bukan hanya tentang aplikasi sosiologi terhadap gereja atau aspek sosial
dari gereja; tetapi dunia Kristianitas di mana gereja adalah bagian dari dunia itu
di samping simbol, format iman, dan seterusnya yang menyusun Kristianitas
(Karl Gabriel, 2014:7). Pergeseran tersebut, bagi saya, merupakan suatu usaha
melihat gereja di dalam interkonektivitas antara aspek‐aspek yang menyusun
eksistensi gereja.
5
“Sosiologi Gereja” sebagai suatu bentuk Christentumsforschung
Bertolak dari pergeseran dari Sociology of Church ke
Christentumsforschung, saya menempatkan “Sosiologi Gereja” sebagai suatu
wujud dari “riset Kristianitas”. Sebab, “Sosiologi Gereja” adalah bagian dari
Kristianitas di samping elemen‐elemen lain yang menyusun Kristianitas dan
setiap elemen tersebut telah menjadi disiplin ilmu tersendiri, misalnya, Biblika,
Sistematika, Liturgika, dan Eklesiologi.
Sebagai suatu bentuk “Christentumsforschung”, “Sosiologi Gereja” adalah
suatu disiplin ilmu yang menempatkan gereja sebagai “societas”/masyarakat.
Sebagai suatu masyarakat, sama seperti masyarakat lainnya, ungkapan “Ubi
societas ibi ius”, yang artinya “ada masyarakat, ada hukum”, gereja juga memiliki
ius‐nya sendiri (hukumnya sendiri): ius ecclesia. Hukum Gereja adalah nama dari
seperangkat aturan yang mengatur gereja sebagai masyarakat: ius ecclesia. Tidak
hanya itu. Sebagai suatu masyarakat gereja juga memiliki aspek‐aspek yang
menyusunnya, sama seperti masyarakat di luar gereja memiliki aspek‐aspek
yang menyusunnya.
“Sosiologi Gereja”:
Pengantar, Aspek‐Aspek Pertimbangan, Cakupan,
Definisi, Fokus Kajian dan Topik Kajian
Pengantar
“Sosiologi Gereja” adalah suatu disiplin ilmu yang tidak terlepas dari
bidang studi teologi dengan berbagai rumpunnya seperti sejarah gereja, ilmu
biblika, sistematika, eklesiologi, eskatologi dan soteriologi. Tetapi, bidang studi
teologi dan berbagai rumpunnya tersebut tidak identik dengan “sosiologi gereja”.
6
Hal itu disebabkan karena bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya
memiliki pokok kajiannya masing‐masing yang khas. Namun demikian, bukan
berarti bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya tidak memiliki hubungan
dengan “sosiologi gereja”.
Relasi antara “sosiologi gereja” dengan teologi dan eklesiologi adalah
tanpa kedua bidang studi tersebut sosiologi gereja tidak akan pernah bisa
menjadi suatu disiplin ilmu. Artinya, sosiologi tetap bisa meneropong gereja dan
peneropongan seperti itu adalah bentuk dari applicatio bidang studi sosiologi
atas gereja: belum membahas Gereja sebagai masyarakat. Sehingga, walaupun
ada istilah sosiologi di dalam “sosiologi gereja”, bidang sosiologi sendiri tidak
akan pernah bisa membuat “sosiologi gereja” sebagai suatu disiplin ilmu. Sejajar
dengan hal itu, tanpa sosiologi, teologi dan eklesiologi tidak dapat mampu
membentuk sosiologi gereja sebagai suatu disiplin ilmu. Artinya: sosiologi gereja
adalah suatu perpaduan antara teologi, eklesiologi dan sosiologi dan perpaduan
itu melahirkan makna tersendiri yang khas.
Meski terdapat perpaduan, perpaduan tersebut bukan suatu bentuk
applicatio bidang studi Sosiologi terhadap gereja, juga bukan tentang aspek
sosial dari gereja. Perpaduan ini hendak menyampaikan bahwa sosiologi gereja
adalah suatu disiplin ilmu yang memusatkan perhatian kepada gereja sebagai
“societas” atau masyarakat dan interkoneksitas dari aspek‐aspek yang
menyusun eksistensi gereja sebagai masyarakat. Di bawah ini saya akan
memberi beberapa pertimbangan dan penjelasan lebih detil tentang fokus dari
sosiologi gereja. Bertolak dari perpaduan tersebut, maka penulisan “Sosiologi
Gereja” dapat menggunakan dua cara, yaitu: “sosiologi‐gereja” dan “sosiologi
gereja”. Bentuk pertama, yaitu “Sosiologi‐Gereja” adalah suatu bentuk perpaduan
7
dari sosiologi dengan gereja, dan perpaduan itu menghasilkan suatu pengertian
baru tentang “sosiologi‐gereja”. Bentuk kedua adalah “Sosiologi Gereja”(baca:
tidak ada spasi di antara Sosiologi dengan Gereja). Format kedua akan dijelaskan
lebih jauh di bagian bawah ini.
“Sosiologi gereja”
Pertimbangan Pertama: Aspek Linguistik
Secara linguistik, perpaduan tersebut dimungkinkan karena sosiologi
adalah suatu kata benda, dan gereja adalah suatu kata benda. Ketika dua kata
benda disandingkan maka terbentuk suatu makna baru dari penggabungan
tersebut. Tidak lagi satu kata, misalnya sosiologi, yang mendominasi. Ini
merupakan suatu praktek yang lazim. Contoh, kaki adalah kata benda, dan gajah
adalah kata kerja. Kata kaki merujuk kepada salah‐satu bagian tubuh dari
manusia, dan kata gajah merujuk kepada salah satu jenis binatang yang memiliki
hubungan dengan binatang Mammoth yang telah lama punah. Ketika dua kata
kerja disandingkan, maka kaki gajah merujuk kepada suatu penyakit yang
menyerang bagian kaki dan penyakit itu membuat kaki membesar seperti gajah.
Contoh lain adalah penggabungan dua kata benda berikut: mata dan hari.
Penggabungan tersebut tidak lagi merujuk kepada satu organ penting dari
manusia, yaitu organ mata, dan juga tidak lagi merujuk kepada satu pembagian
waktu yang khusus selain “abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, dan jam”,
yaitu hari. Penggabungan dua kata benda itu telah mendorong terbentuknya
fungsi referensial ke salah satu benda tata‐surya, yaitu matahari (sun).
Terciptanya makna baru dari penggabungan dua kata benda tersebut
membuat penggabungan istilah sosiologi dan gereja menjadi sosiologi gereja
menjadi suatu hal yang bisa diterima penalaran.
8
Pertimbangan Kedua: Aspek Literatur dan Historika
Aspek ini mencatat bahwa sejarah dan literatur pernah menjadi saksi
bahwa ada istilah “societas perfecta” yang digunakan untuk menggambarkan
Gereja sebagai suatu masyarakat sempurna (Peter Huizing: 1986, 23‐31). Istilah
tersebut digunakan untuk merujuk kepada eksistensi GKR yang menjadi suatu
entitas mandiri, memiliki sistem hukumnya sendiri, memiliki pimpinannnya
sendiri, dan memiliki strukturnya sendiri; suatu entitas yang terlepas dari
entitas lain seperti negara (Peter Huizing: 1986, 23).
Sejarah mencatat bahwa pemerintahan gereja atau administrasi gereja
adalah suatu bentuk dari usaha gereja untuk mengorganisir dirinya berdasarkan
prinsip, worldview, values, norms, dan seterusnya. Hal itu dilakukan karena
gereja memahami eksistensinya berakar di dalam iman terhadap Kristus yang di
dalam iman tersebut gereja berpartisipasi di dalam missio dei. Bagian dari usaha
organisasi eksistensi tersebut, gereja memiliki Hukum Gereja dan Azas‐azasnya.
(M. H. Bolkestein, 1956).
Pertimbangan Ketiga: Aspek Teologi Biblika dan Eklesiologi
Aspek ini mencatat bahwa gereja sebagai “societas perfecta”
berhubungan erat dengan teologi biblika dan eklesiologi. Ungkapan “ut omnes
unum sint” yang ada di dalam Yohanes 17:11 telah menjadi salah satu teks
rujukan penting di dalam terbentuknya gereja sebagai “societas perfecta”(Peter
Huizing: 1986, 31. Apa yang disampaikan oleh Yohanes 17:11 telah menjadi
dasar penting bahwa sosiologi gereja sungguh‐sungguh tidak terlepas dari
bidang studi teologi secara khusus rumpun studi teologi biblika. Namun
demikian, selain ada teks, terbentuknya gereja sebagai masyarakat juga karena
9
ada pretext, teks pendahulu, yang menjadi rujukan terdahulu di dalam
membentuk eksistensi gereja sebagai masyarakat.
Sementara itu, rumpun studi eklesiologi juga berperan penting di dalam
memberi fondasi bagi terbentuknya sosiologi gereja. Peran tersebut terletak
pada pemahaman tentang gereja yang tidak hanya suatu persekutuan orang
beriman (communitas fidelium) tetapi juga sebagai “potetas regimnis seu
iurisdictionis”. (Eugenio Corecco: 1986, 3‐5).
Pertimbangan Keempat: Aspek Sosial dari Gereja
(baca: di dalam dan bersama dengan entitas lainnya selain gereja)
Aspek ini berusaha menyampaikan bahwa gereja memiliki aspek sosial.
Aspek sosial ini merujuk kepada eksistensinya di‐dalam dan bersama‐dengan‐
entitas lain selain gereja. Itu terjadi karena Gereja berbagi ruang dan waktu
bersama dengan entitas lainnya. Dengan demikian, “sosiologi gereja”
memberikan perhatian terhadap sharing space and time with others tersebut.
Dalam “sosiologi gereja” perhatian terhadap sharing tersebut dimasukkan di
dalam aspek relasi dalam keseharian.
Relasi dalam keseharian akan membahas interaksi gereja sebagai
masyarakat dengan masyarakat lain di luar gereja, dan budaya yang ada di
masyarakat tersebut. Namun demikian, pembahasan tentang relasi dalam
keseharian itu tidak terlepaskan dari dua aspek lainnya, yaitu: Prinsip, dan
Worldview, Values dan Norms, yang menyusun eksistensi gereja sebagai
masyarakat. Sehingga, dengan demikian, interaksi dengan masyarakat di luar
gereja akan dilihat di dalam Prinsip dan Worldview, Values, dan Norms.
10
Cakupan
Merujuk kepada keempat pertimbangan di atas, “sosiologi gereja”
memiliki cakupan sebagai berikut: teologi dan berbagai rumpunnya seperti
historika, sistematika, liturgika, dan relasi dengan entitas lain di luar gereja.
Singkatnya, cakupannya meliputi unsur‐unsur pembentuk dari sosiologi gereja,
baik aspek internal ataupun aspek eksternal (baca: entitas lain di luar gereja).
Aspek internal yang membentuk “sosiologi gereja” adalah Prinsip,
Worldview, Values, Norms, Struktur, Model dan Relasi dalam keseharian,
sementara itu unsur eksternal yang membentuk sosiologi gereja adalah prinsip,
struktur, model dan relasi dari masyarakat lain selain gereja. Interaksi di antara
sesama aspek internal dan atau antara aspek internal dengan aspek eksternal
adalah fokus dari sosiologi gereja.
Definisi
Dengan cakupan internal dan eksternal tersebut, sosiologi gereja dapat
didefinisikan sebagai suatu bidang studi tentang gereja sebagai masyarakat di
mana unsur‐unsur internal dan eksternal turut membentuk eksistensi tersebut;
di mana unsur‐unsur internal, seperti Prinsip dan Struktur saling
berhubungan/memberi pengaruh, atau relasi Prinsip dan model, atau relasi
Prinsip dengan relasi dengan entitas lain. Sehingga, aspek‐aspek yang menyusun
gereja dan interkonektivitasnya menjadi fokus dari “Sosiologi gereja”.
Fokus Kajian & Topik Kajian
Bertolak dari definisi di atas, mempelajari gereja sebagai masyarakat
berarti berusaha memahami tentang bagaimana Prinsip terbentuk, siapa saja
yang terlibat di dalam membentuk Prinsip, hal‐hal apa yang terlibat di dalam
membentuk Prinsip, bagaimana proses pembentukannya, dan bagaimana
11
pengaruh Prinsip terhadap struktur, model dan relasi. Di samping itu, dalam
rangka memahami, aktivitas mengumpulkan dan menganalisa data, baik yang
berasal dari sejarah gereja, teologi biblika, teologi sistematika, historika, ataupun
yang berasal entitas lain selain gereja, menjadikan studi tentang gereja sebagai
masyarakat mendapatkan basis keilmiahan.
Setelah memahami fokus kajian dari sosiologi gereja, bidang studi ini
menyediakan sejumlah topik kajian sebagai berikut:
1. Tentang Prinsip
1.1.
Bagaimana peran pretext di dalam membentuk Prinsip?
1.2.
Apa pemikiran yang dominan dari pre text yang membentuk
Prinsip?
1.3.
Bagaimana peran text di dalam membentuk Prinsip?
1.4.
Dari sekian banyak text, teks mana yang lebih banyak
mendominasi gereja?
1.5.
Mengapa ada teks‐teks tertentu yang lebih banyak mendominasi
gereja?
1.6.
Apa pandangan text tentang the others?
1.7.
Apakah text memberi ruang untuk praktek isolasi gereja terhadap
the others?
2. Tentang Relasi Prinsip dan Struktur
2.1.
Apakah ada penyimpangan di dalam relasi Prinsip dan Struktur?
(baca: inkonsistensi atau deviasi dalam realisasi Prinsip ke
Struktur) Bila ada penyimpangan, apa yang terjadi dari struktur
atau prinsip yang mengijinkan terjadinya penyimpangan tersebut?
Atau, penyimpangan itu terjadi karena entitas lain di luar gereja?
12
2.2.
Proses apa yang perlu ada di dalam aplikasi Prinsip ke dalam
Struktur?
3. Tentang Worldview, Values and Norms
3.1.
Mengapa Christo‐centric yang menjadi Worldview dari Gereja
sebagai masyarakat?
3.2.
Mengapa Pneumatology terlihat kurang dihargai di dalam
beberapa gereja?
3.3.
Apakah manusia yang ada di dalam gereja sudah menjadikan
Christo‐centric sebagai Worldview di dalam berinteraksi dengan
ekonomi global?
3.4.
Bagaimana norma pengharapan akan Parousia menggerakkan
Gereja sebagai masyarakat berinteraksi dengan
4. Tentang Model
4.1.
Mengapa ada model hirarkis? Apa yang menjadi Prinsip dari model
hirarki tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini? Apakah
ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan model
tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
4.2.
Mengapa ada model non hirarkis? Apakah yang teks katakan
mengenai model ini?
4.3.
Mengapa ada model advokatif? Apa yang menjadi prinsip dari
model advokatif tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini?
Apakah ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan
model tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
13
Penutup
Gereja sebagai Masyarakat sedang menampilkan suatu bentuk
masyarakat. Bentuk masyarakat apa yang sedang ditampilkan melalui sejumlah
organisasi prinsip, worldview, norma, struktur, model, dan relasi? Inilah
pertanyaan mendasar tentang “sosiologi gereja”. Sosiologi gereja berusaha
menjawab pertanyaan ini dengan pertama‐tama mencari jawabannya ke dalam
“gereja itu sendiri” dan kemudian, kedua, relasi gereja dengan masyarakat lain
selain gereja. Demikianlah diskursus awal ini yang kiranya dapat memberi
gambaran tentang apa itu sosiologi gereja dan bagaimana kelas ini akan
berproses.
Daftar Pustaka
Bolkestein, Marinus Hendrik. 1956. Azas‐azas Hukum Geredja. Jakarta: Badan
Penerbit Kristen.
Centrum für Religion und Moderne. 2014. Von der Kirchensoziologie zur
Christentumsforschung? Vergewisserungen un Perspectiven nach
Luckmann. Münster: Westfäliche Wilhelms‐Universität Münster.
Corecco, Eugenio. 1986. “Ecclesiological Bases of the Code”, in James Provost,
and Knut Walf (Editors), Canon Law – Church Reality. Edinburgh: T & T
Clark LTD.
Doyle, Dennis M. 2016. What is Christianity? A Dynamic Introduction. New York:
Paulist Press.
Giddens, Anthony. 1986. Sociology: A brief but critical introduction. 2nd Edition.
London: MacMillan Education LTD.
14
Huizing, Peter. 1986. “The Central Legal System and Autonomous Churches”, in
James Provost and Knut Walf (Editors). Canon Law ‐ Church Reality.
Edinburgh: T & T Clark LTD.
Park, Robert E. 1921. “Sociology and the Social Sciences”, in Robert E. Park and
Ernest W. Burges (Editors). Introduction to the Science of Sociology.
Chicago, Illinois: the University of Chicago Press.
Plummer, Ken. 2010. Sociology: the Basics. London & New York: Routledge.
15
Sosiologi Gereja
2nd Meeting
Dennis M Doyle mencatat bahwa istilah “church” yang berasal dari
ecclesia telah menjadi istilah yang problematis. Doyle menjelaskan sebagai
berikut:
William Tyndale, setelah pada tahun 1522 mendapatkan kopian
terjemahan PB yang dilakukan oleh Luther, memulai penerjemahan PB sendiri
ke dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan sumber sumber Ibrani dan
Yunani. Tetapi penerjemahannya direspon oleh pihak GKR dengan pembakaran
dan mengutuk karyanya sebagai “terjemahan palsu”. Persoalannya terletak pada
penerjemahan kata “church” atau “ekklesia” sebagai “congregation” yang
16
menekankan istilah “the Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the
Visible Church” dengan rujukan GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika
tersebut dapat terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya
ketegangan di dalam Katolisisme.
Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church atau
ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang
menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja
tidak terlepas dari subyektivitas.
17
Topic: Preliminary Discourse
UKSW Fakultas Teologi
8 Mei 2017
Sosiologi, Gereja dan Sosiologi Gereja:
Suatu Pengantar
Dr. Abraham Silo Wilar, M. Th., M. A.
Pengantar
Sosiologi
Secara umum Sosiologi dipahami sebagai suatu disiplin ilmu tentang
masyarakat, suatu disiplin ilmu di luar ilmu alam, atau ilmu biologi, dan lainnya.
Ken Plummerdi dalam bukunya “Sociology: the Basics” menyampaikan bahwa
Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia yang di dalamnya
penderitaan, sukacita, kesuraman dan keriangan menjadi bagian dari studi (Ken
Plummer, 2010: 3‐5). Tidak hanya itu saja. Plummer kemudian menyampaikan
juga bahwa Sosiologi adalah studi tentang segala‐hal di mana perhatian, cinta,
permainan, negara, tomat, toilet dan telpon dapat menjadi fokus studi (Ken
Plummer, 2010: 10‐14). Contoh, sosiologi tomat menunjukkan dua hal penting di
dalam kajiannya, yaitu: sejarah tomat dan tomat dalam sistem ekonomi global
(Ken Plummer, 2010:12). Demikian pula dengan toilet yang melahirkan sosiologi
toilet. Dua hal menarik ada di dalamnya yaitu: kesehatan dan modernitas (Ken
Plummer, 2010:12).
Sebagai suatu disiplin ilmu, Sosiologi tidak dapat dilepaskan dari tokoh‐
tokoh seperti August Comte (umum dikenal sebagai Bapak Sosiologi) atau Emile
Durkheim pada era klasik, dan Anthony Giddens pada era kontemporer. Masing‐
masing tokoh tersebut telah memperkaya Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu.
Bila melihat ulasan Robert E. Park yang menjelaskan tentang relasi sosiologi
dengan ilmu sosial, maka kita bisa melihat bahwa Park menempatkan August
Comte sebagai Bapak Sosiologi yang membingkai Sosiologi dalam studi sejarah
atau filsafat sejarah (Park, 1921: 44). Sehingga, dengan demikian, Sosiologi
adalah suatu historical studies.
Di tempat lain, Giddens dalam bukunya “Sociology: A Brief but critical
introduction” menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis (1986: 156).
Menempatkan Sosiologi sebagai Teori Kritis, menurut Giddens, adalah suatu
usaha untuk meretas jalan baru dari Sosiologi yang selama ini Sosiologi di‐
bingkai dalam ilmu alam, dan sejarah. Cara membingkai Sosiologi di dalam ilmu
alam dan sejarah telah menghasilkan Sosiologi yang menjelaskan dan penjelasan.
Padahal, menurut Giddens, sejarah itu sendiri adalah konstruksi dari
pergumulan manusia dan keterlibatan manusia di dalamnya. Oleh karena itu,
sebagai teori kritis, Sosiologi tidak menerima dunia sebagaimana terlihat tetapi
mengajukan pertanyaan, misalnya, tipe perubahan sosial apa yang diharapkan
dan layak? (Anthony Giddens, 1986: 157). Dengan demikian, sosiologi bukan
hanya menjelaskan dan penjelasan apa yang terjadi tetapi aktif mencari untuk
mendapatkan apa yang diharapkan dan layak itu (meta‐explanation).
Selain tokoh‐tokoh tersebut dengan masing‐masing fokusnya di dalam
kajian sosiologi, bidang studi ini sebagai suatu disiplin ilmu juga memusatkan
perhatian kepada sejumlah topik, misalnya, struktur, kohesi sosial, geneologi,
dan lainnya dari suatu masyarakat. Contoh, percakapan tentang struktur dari
masyarakat melingkupi hal‐hal berikut: bagaimana struktur terbentuk, apa
fungsi dari struktur, apa pengaruh struktur di dalam relasi interpersonal dan
2
seterusnya. Atau, geneologi suatu masyarakat akan memusatkan perhatian
kepada kinship, dan seterusnya.
Gereja
Ketika berbicara tentang gereja, maka percakapan akan diisi oleh hal‐hal
berikut: “gereja adalah kumpulan orang beriman”; gereja bukanlah gedungnya;
dan seterusnya. Namun demikian, percakapan tentang gereja memiliki
problematika tersendiri. Misalnya, William Tyndale, setelah pada tahun 1522
mendapatkan kopian terjemahan PB yang dilakukan oleh Luther, memulai
sendiri penerjemahan PB ke dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan sumber
sumber Ibrani dan Yunani. Tetapi penerjemahannya direspon oleh pihak GKR
dengan pembakaran dan mengutuk karyanya sebagai “terjemahan palsu”.
Persoalannya terletak pada penerjemahan yang dilakukan Tyndale atas kata
“church” atau “ekklesia” sebagai “congregation” yang menekankan istilah “the
Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the Visible Church” yang
merujuk kepada GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika tersebut dapat
terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya ketegangan di dalam
Katolisisme. Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church
atau ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang
menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja
tidak terlepas dari subyektivitas (baca: peran penafsir).
Bertolak dari uraian di atas, secara keilmuan, percakapan tentang gereja
sangat berkait erat dengan bidang studi teologi khususnya eklesiologi. Sebagai
salah satu rumpun dari bidang studi teologi, eklesiologi memusatkan perhatian
kepada pemahaman‐pemahaman mengenai apa itu gereja, sifat gereja, dan
lainnya. Oleh karena itu, eklesiologi tidak dapat dilepaskan dari rumpun lain
3
seperti, misiologi, historika, dan teologi sistematika –atau yang saat ini dikenal
sebagai teologi konstruktif. Contoh berikut menjelaskan keterkaitan tersebut
sebagai berikut: teologi tentang Inkarnasi tentang Yesus Kristus telah
melahirkan suatu pemahaman tentang misiologi inkarnasional. Dalam bingkai
ini, eksistensi gereja, yang senantiasa dipahami sebagai missio dei, dilihat
sebagai misi inkarnasional itu.
Contoh lain adalah gereja memahami dirinya sebagai missio dei memiliki
tugas diakonia sebagai salah satu applicatio dari misi tersebut. John N. Collins di
dalam bukunya “Diakonia” menunjukkan bagaimana Yesus sebagai hamba bagi
semua, dan bantuan ke jemaat Yerusalem, telah menjadi teks‐teks yang
menyusun eksistensi diakonia tidak terlepaskan dari gereja. Collins
menyebutkan bagaimana Kristus sendiri menjadi “diakonos”(John N. Collins,
1990: 227). Singkatnya, gereja tidak bisa dipisahkan dari teologi dan berbagai
rumpunnya.
Sosiologi Gereja: Relasi Sosiologi Agama dengan Gereja
Kirchensoziologie/Sociology of Church
Bertolak dari penjelasan tentang Sosiologi dan gereja seperti yang sudah
diuraikan di atas, saya saat ini akan melihat istilah sosiologi gereja di dalam dua
kategori, yaitu Kirchensoziologie atau Sociology of Church, dan
Christentumforschung/Riset Kristianitas. Kedua istilah ini saya dapatkan dari
manuskrip karya Karl Gabriel, Martin Laube, Thomas Großbölting, Judith
Könemann, dan Astrid Reuter (2014)
Di dalam manuskrip tersebut, tulisan berjudul “Von der Kirchensoziologie
zur Christentumsforschung? Vergewisserungen und Perspektiven nach
Luckmann” menyampaikan beberapa butir penting yang berkaitan dengan
4
sosiologi agama dan gereja dalam rangka memberi respon terhadap pandangan
Thomas Luckmann yang pernah menyampaikan kritiknya tentang
Kirchensoziologie pada tahun 1950‐an (Karl Gabriel, 2014: 6). Perkembangan
terkini di Jerman ‐‐sejak Luckmann menuliskan kritiknya‐‐ telah membawa
beberapa perubahan di tengah masyarakat Jerman, termasuk gereja di
dalamnya. Karl Gabriel mencatat perubahan tersebut, misalnya, gereja‐gereja
berada dalam proses “Absterbens”, yaitu proses di mana gereja‐gereja kehilangan
daya untuk merasa dan bertindak normal di tengah‐tengah statistik pemeluk
agama Kristen yang berkisar 50 juta dari 80,7 Juta penduduk Jerman (Karl
Gabriel, 2014:4); lanskap di bidang agama‐agama di Jerman mengalami
perubahan dan perubahan ini terkait dengan “Pluralismus”, keragaman agama‐
agama (Karl Gabriel, 2014:5); sekularisme dari masyarakat modern tetap
berinteraksi dengan bidang agama‐agama; dan lainnya.
Perubahan‐perubahan di atas menjadi fokus kajian dari sosiologi agama
khususnya “sociology of church” atau kirchensoziologie di dalam khazanah
keilmuan di Jerman. Tetapi, manuskrip “von der Kirchensoziologie zur
Christentumsforschung” melihat pergeseran dari “Kirchensoziologie” ke “riset
Kristianitas”; artinya, suatu penelitian mengenai Kristianitas itu sendiri.
Sehingga, dalam pemahaman saya atas manuskrip tersebut, percakapan tentang
gereja bukan hanya tentang aplikasi sosiologi terhadap gereja atau aspek sosial
dari gereja; tetapi dunia Kristianitas di mana gereja adalah bagian dari dunia itu
di samping simbol, format iman, dan seterusnya yang menyusun Kristianitas
(Karl Gabriel, 2014:7). Pergeseran tersebut, bagi saya, merupakan suatu usaha
melihat gereja di dalam interkonektivitas antara aspek‐aspek yang menyusun
eksistensi gereja.
5
“Sosiologi Gereja” sebagai suatu bentuk Christentumsforschung
Bertolak dari pergeseran dari Sociology of Church ke
Christentumsforschung, saya menempatkan “Sosiologi Gereja” sebagai suatu
wujud dari “riset Kristianitas”. Sebab, “Sosiologi Gereja” adalah bagian dari
Kristianitas di samping elemen‐elemen lain yang menyusun Kristianitas dan
setiap elemen tersebut telah menjadi disiplin ilmu tersendiri, misalnya, Biblika,
Sistematika, Liturgika, dan Eklesiologi.
Sebagai suatu bentuk “Christentumsforschung”, “Sosiologi Gereja” adalah
suatu disiplin ilmu yang menempatkan gereja sebagai “societas”/masyarakat.
Sebagai suatu masyarakat, sama seperti masyarakat lainnya, ungkapan “Ubi
societas ibi ius”, yang artinya “ada masyarakat, ada hukum”, gereja juga memiliki
ius‐nya sendiri (hukumnya sendiri): ius ecclesia. Hukum Gereja adalah nama dari
seperangkat aturan yang mengatur gereja sebagai masyarakat: ius ecclesia. Tidak
hanya itu. Sebagai suatu masyarakat gereja juga memiliki aspek‐aspek yang
menyusunnya, sama seperti masyarakat di luar gereja memiliki aspek‐aspek
yang menyusunnya.
“Sosiologi Gereja”:
Pengantar, Aspek‐Aspek Pertimbangan, Cakupan,
Definisi, Fokus Kajian dan Topik Kajian
Pengantar
“Sosiologi Gereja” adalah suatu disiplin ilmu yang tidak terlepas dari
bidang studi teologi dengan berbagai rumpunnya seperti sejarah gereja, ilmu
biblika, sistematika, eklesiologi, eskatologi dan soteriologi. Tetapi, bidang studi
teologi dan berbagai rumpunnya tersebut tidak identik dengan “sosiologi gereja”.
6
Hal itu disebabkan karena bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya
memiliki pokok kajiannya masing‐masing yang khas. Namun demikian, bukan
berarti bidang studi teologi dan berbagai rumpunnya tidak memiliki hubungan
dengan “sosiologi gereja”.
Relasi antara “sosiologi gereja” dengan teologi dan eklesiologi adalah
tanpa kedua bidang studi tersebut sosiologi gereja tidak akan pernah bisa
menjadi suatu disiplin ilmu. Artinya, sosiologi tetap bisa meneropong gereja dan
peneropongan seperti itu adalah bentuk dari applicatio bidang studi sosiologi
atas gereja: belum membahas Gereja sebagai masyarakat. Sehingga, walaupun
ada istilah sosiologi di dalam “sosiologi gereja”, bidang sosiologi sendiri tidak
akan pernah bisa membuat “sosiologi gereja” sebagai suatu disiplin ilmu. Sejajar
dengan hal itu, tanpa sosiologi, teologi dan eklesiologi tidak dapat mampu
membentuk sosiologi gereja sebagai suatu disiplin ilmu. Artinya: sosiologi gereja
adalah suatu perpaduan antara teologi, eklesiologi dan sosiologi dan perpaduan
itu melahirkan makna tersendiri yang khas.
Meski terdapat perpaduan, perpaduan tersebut bukan suatu bentuk
applicatio bidang studi Sosiologi terhadap gereja, juga bukan tentang aspek
sosial dari gereja. Perpaduan ini hendak menyampaikan bahwa sosiologi gereja
adalah suatu disiplin ilmu yang memusatkan perhatian kepada gereja sebagai
“societas” atau masyarakat dan interkoneksitas dari aspek‐aspek yang
menyusun eksistensi gereja sebagai masyarakat. Di bawah ini saya akan
memberi beberapa pertimbangan dan penjelasan lebih detil tentang fokus dari
sosiologi gereja. Bertolak dari perpaduan tersebut, maka penulisan “Sosiologi
Gereja” dapat menggunakan dua cara, yaitu: “sosiologi‐gereja” dan “sosiologi
gereja”. Bentuk pertama, yaitu “Sosiologi‐Gereja” adalah suatu bentuk perpaduan
7
dari sosiologi dengan gereja, dan perpaduan itu menghasilkan suatu pengertian
baru tentang “sosiologi‐gereja”. Bentuk kedua adalah “Sosiologi Gereja”(baca:
tidak ada spasi di antara Sosiologi dengan Gereja). Format kedua akan dijelaskan
lebih jauh di bagian bawah ini.
“Sosiologi gereja”
Pertimbangan Pertama: Aspek Linguistik
Secara linguistik, perpaduan tersebut dimungkinkan karena sosiologi
adalah suatu kata benda, dan gereja adalah suatu kata benda. Ketika dua kata
benda disandingkan maka terbentuk suatu makna baru dari penggabungan
tersebut. Tidak lagi satu kata, misalnya sosiologi, yang mendominasi. Ini
merupakan suatu praktek yang lazim. Contoh, kaki adalah kata benda, dan gajah
adalah kata kerja. Kata kaki merujuk kepada salah‐satu bagian tubuh dari
manusia, dan kata gajah merujuk kepada salah satu jenis binatang yang memiliki
hubungan dengan binatang Mammoth yang telah lama punah. Ketika dua kata
kerja disandingkan, maka kaki gajah merujuk kepada suatu penyakit yang
menyerang bagian kaki dan penyakit itu membuat kaki membesar seperti gajah.
Contoh lain adalah penggabungan dua kata benda berikut: mata dan hari.
Penggabungan tersebut tidak lagi merujuk kepada satu organ penting dari
manusia, yaitu organ mata, dan juga tidak lagi merujuk kepada satu pembagian
waktu yang khusus selain “abad, dasawarsa, tahun, bulan, minggu, dan jam”,
yaitu hari. Penggabungan dua kata benda itu telah mendorong terbentuknya
fungsi referensial ke salah satu benda tata‐surya, yaitu matahari (sun).
Terciptanya makna baru dari penggabungan dua kata benda tersebut
membuat penggabungan istilah sosiologi dan gereja menjadi sosiologi gereja
menjadi suatu hal yang bisa diterima penalaran.
8
Pertimbangan Kedua: Aspek Literatur dan Historika
Aspek ini mencatat bahwa sejarah dan literatur pernah menjadi saksi
bahwa ada istilah “societas perfecta” yang digunakan untuk menggambarkan
Gereja sebagai suatu masyarakat sempurna (Peter Huizing: 1986, 23‐31). Istilah
tersebut digunakan untuk merujuk kepada eksistensi GKR yang menjadi suatu
entitas mandiri, memiliki sistem hukumnya sendiri, memiliki pimpinannnya
sendiri, dan memiliki strukturnya sendiri; suatu entitas yang terlepas dari
entitas lain seperti negara (Peter Huizing: 1986, 23).
Sejarah mencatat bahwa pemerintahan gereja atau administrasi gereja
adalah suatu bentuk dari usaha gereja untuk mengorganisir dirinya berdasarkan
prinsip, worldview, values, norms, dan seterusnya. Hal itu dilakukan karena
gereja memahami eksistensinya berakar di dalam iman terhadap Kristus yang di
dalam iman tersebut gereja berpartisipasi di dalam missio dei. Bagian dari usaha
organisasi eksistensi tersebut, gereja memiliki Hukum Gereja dan Azas‐azasnya.
(M. H. Bolkestein, 1956).
Pertimbangan Ketiga: Aspek Teologi Biblika dan Eklesiologi
Aspek ini mencatat bahwa gereja sebagai “societas perfecta”
berhubungan erat dengan teologi biblika dan eklesiologi. Ungkapan “ut omnes
unum sint” yang ada di dalam Yohanes 17:11 telah menjadi salah satu teks
rujukan penting di dalam terbentuknya gereja sebagai “societas perfecta”(Peter
Huizing: 1986, 31. Apa yang disampaikan oleh Yohanes 17:11 telah menjadi
dasar penting bahwa sosiologi gereja sungguh‐sungguh tidak terlepas dari
bidang studi teologi secara khusus rumpun studi teologi biblika. Namun
demikian, selain ada teks, terbentuknya gereja sebagai masyarakat juga karena
9
ada pretext, teks pendahulu, yang menjadi rujukan terdahulu di dalam
membentuk eksistensi gereja sebagai masyarakat.
Sementara itu, rumpun studi eklesiologi juga berperan penting di dalam
memberi fondasi bagi terbentuknya sosiologi gereja. Peran tersebut terletak
pada pemahaman tentang gereja yang tidak hanya suatu persekutuan orang
beriman (communitas fidelium) tetapi juga sebagai “potetas regimnis seu
iurisdictionis”. (Eugenio Corecco: 1986, 3‐5).
Pertimbangan Keempat: Aspek Sosial dari Gereja
(baca: di dalam dan bersama dengan entitas lainnya selain gereja)
Aspek ini berusaha menyampaikan bahwa gereja memiliki aspek sosial.
Aspek sosial ini merujuk kepada eksistensinya di‐dalam dan bersama‐dengan‐
entitas lain selain gereja. Itu terjadi karena Gereja berbagi ruang dan waktu
bersama dengan entitas lainnya. Dengan demikian, “sosiologi gereja”
memberikan perhatian terhadap sharing space and time with others tersebut.
Dalam “sosiologi gereja” perhatian terhadap sharing tersebut dimasukkan di
dalam aspek relasi dalam keseharian.
Relasi dalam keseharian akan membahas interaksi gereja sebagai
masyarakat dengan masyarakat lain di luar gereja, dan budaya yang ada di
masyarakat tersebut. Namun demikian, pembahasan tentang relasi dalam
keseharian itu tidak terlepaskan dari dua aspek lainnya, yaitu: Prinsip, dan
Worldview, Values dan Norms, yang menyusun eksistensi gereja sebagai
masyarakat. Sehingga, dengan demikian, interaksi dengan masyarakat di luar
gereja akan dilihat di dalam Prinsip dan Worldview, Values, dan Norms.
10
Cakupan
Merujuk kepada keempat pertimbangan di atas, “sosiologi gereja”
memiliki cakupan sebagai berikut: teologi dan berbagai rumpunnya seperti
historika, sistematika, liturgika, dan relasi dengan entitas lain di luar gereja.
Singkatnya, cakupannya meliputi unsur‐unsur pembentuk dari sosiologi gereja,
baik aspek internal ataupun aspek eksternal (baca: entitas lain di luar gereja).
Aspek internal yang membentuk “sosiologi gereja” adalah Prinsip,
Worldview, Values, Norms, Struktur, Model dan Relasi dalam keseharian,
sementara itu unsur eksternal yang membentuk sosiologi gereja adalah prinsip,
struktur, model dan relasi dari masyarakat lain selain gereja. Interaksi di antara
sesama aspek internal dan atau antara aspek internal dengan aspek eksternal
adalah fokus dari sosiologi gereja.
Definisi
Dengan cakupan internal dan eksternal tersebut, sosiologi gereja dapat
didefinisikan sebagai suatu bidang studi tentang gereja sebagai masyarakat di
mana unsur‐unsur internal dan eksternal turut membentuk eksistensi tersebut;
di mana unsur‐unsur internal, seperti Prinsip dan Struktur saling
berhubungan/memberi pengaruh, atau relasi Prinsip dan model, atau relasi
Prinsip dengan relasi dengan entitas lain. Sehingga, aspek‐aspek yang menyusun
gereja dan interkonektivitasnya menjadi fokus dari “Sosiologi gereja”.
Fokus Kajian & Topik Kajian
Bertolak dari definisi di atas, mempelajari gereja sebagai masyarakat
berarti berusaha memahami tentang bagaimana Prinsip terbentuk, siapa saja
yang terlibat di dalam membentuk Prinsip, hal‐hal apa yang terlibat di dalam
membentuk Prinsip, bagaimana proses pembentukannya, dan bagaimana
11
pengaruh Prinsip terhadap struktur, model dan relasi. Di samping itu, dalam
rangka memahami, aktivitas mengumpulkan dan menganalisa data, baik yang
berasal dari sejarah gereja, teologi biblika, teologi sistematika, historika, ataupun
yang berasal entitas lain selain gereja, menjadikan studi tentang gereja sebagai
masyarakat mendapatkan basis keilmiahan.
Setelah memahami fokus kajian dari sosiologi gereja, bidang studi ini
menyediakan sejumlah topik kajian sebagai berikut:
1. Tentang Prinsip
1.1.
Bagaimana peran pretext di dalam membentuk Prinsip?
1.2.
Apa pemikiran yang dominan dari pre text yang membentuk
Prinsip?
1.3.
Bagaimana peran text di dalam membentuk Prinsip?
1.4.
Dari sekian banyak text, teks mana yang lebih banyak
mendominasi gereja?
1.5.
Mengapa ada teks‐teks tertentu yang lebih banyak mendominasi
gereja?
1.6.
Apa pandangan text tentang the others?
1.7.
Apakah text memberi ruang untuk praktek isolasi gereja terhadap
the others?
2. Tentang Relasi Prinsip dan Struktur
2.1.
Apakah ada penyimpangan di dalam relasi Prinsip dan Struktur?
(baca: inkonsistensi atau deviasi dalam realisasi Prinsip ke
Struktur) Bila ada penyimpangan, apa yang terjadi dari struktur
atau prinsip yang mengijinkan terjadinya penyimpangan tersebut?
Atau, penyimpangan itu terjadi karena entitas lain di luar gereja?
12
2.2.
Proses apa yang perlu ada di dalam aplikasi Prinsip ke dalam
Struktur?
3. Tentang Worldview, Values and Norms
3.1.
Mengapa Christo‐centric yang menjadi Worldview dari Gereja
sebagai masyarakat?
3.2.
Mengapa Pneumatology terlihat kurang dihargai di dalam
beberapa gereja?
3.3.
Apakah manusia yang ada di dalam gereja sudah menjadikan
Christo‐centric sebagai Worldview di dalam berinteraksi dengan
ekonomi global?
3.4.
Bagaimana norma pengharapan akan Parousia menggerakkan
Gereja sebagai masyarakat berinteraksi dengan
4. Tentang Model
4.1.
Mengapa ada model hirarkis? Apa yang menjadi Prinsip dari model
hirarki tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini? Apakah
ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan model
tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
4.2.
Mengapa ada model non hirarkis? Apakah yang teks katakan
mengenai model ini?
4.3.
Mengapa ada model advokatif? Apa yang menjadi prinsip dari
model advokatif tersebut? Siapa saja yang cocok dengan model ini?
Apakah ada penjelasan dari Prinsip yang menjelaskan kecocokan
model tersebut dengan kelompok tertentu di gereja?
13
Penutup
Gereja sebagai Masyarakat sedang menampilkan suatu bentuk
masyarakat. Bentuk masyarakat apa yang sedang ditampilkan melalui sejumlah
organisasi prinsip, worldview, norma, struktur, model, dan relasi? Inilah
pertanyaan mendasar tentang “sosiologi gereja”. Sosiologi gereja berusaha
menjawab pertanyaan ini dengan pertama‐tama mencari jawabannya ke dalam
“gereja itu sendiri” dan kemudian, kedua, relasi gereja dengan masyarakat lain
selain gereja. Demikianlah diskursus awal ini yang kiranya dapat memberi
gambaran tentang apa itu sosiologi gereja dan bagaimana kelas ini akan
berproses.
Daftar Pustaka
Bolkestein, Marinus Hendrik. 1956. Azas‐azas Hukum Geredja. Jakarta: Badan
Penerbit Kristen.
Centrum für Religion und Moderne. 2014. Von der Kirchensoziologie zur
Christentumsforschung? Vergewisserungen un Perspectiven nach
Luckmann. Münster: Westfäliche Wilhelms‐Universität Münster.
Corecco, Eugenio. 1986. “Ecclesiological Bases of the Code”, in James Provost,
and Knut Walf (Editors), Canon Law – Church Reality. Edinburgh: T & T
Clark LTD.
Doyle, Dennis M. 2016. What is Christianity? A Dynamic Introduction. New York:
Paulist Press.
Giddens, Anthony. 1986. Sociology: A brief but critical introduction. 2nd Edition.
London: MacMillan Education LTD.
14
Huizing, Peter. 1986. “The Central Legal System and Autonomous Churches”, in
James Provost and Knut Walf (Editors). Canon Law ‐ Church Reality.
Edinburgh: T & T Clark LTD.
Park, Robert E. 1921. “Sociology and the Social Sciences”, in Robert E. Park and
Ernest W. Burges (Editors). Introduction to the Science of Sociology.
Chicago, Illinois: the University of Chicago Press.
Plummer, Ken. 2010. Sociology: the Basics. London & New York: Routledge.
15
Sosiologi Gereja
2nd Meeting
Dennis M Doyle mencatat bahwa istilah “church” yang berasal dari
ecclesia telah menjadi istilah yang problematis. Doyle menjelaskan sebagai
berikut:
William Tyndale, setelah pada tahun 1522 mendapatkan kopian
terjemahan PB yang dilakukan oleh Luther, memulai penerjemahan PB sendiri
ke dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan sumber sumber Ibrani dan
Yunani. Tetapi penerjemahannya direspon oleh pihak GKR dengan pembakaran
dan mengutuk karyanya sebagai “terjemahan palsu”. Persoalannya terletak pada
penerjemahan kata “church” atau “ekklesia” sebagai “congregation” yang
16
menekankan istilah “the Invisible Church” sebagai “Gereja sejati” bukan “the
Visible Church” dengan rujukan GKR (Dennis M. Doyle, 2016:29).” Problematika
tersebut dapat terjadi karena kondisi historis saat itu, yaitu menigkatnya
ketegangan di dalam Katolisisme.
Merujuk apa yang disampaikan oleh Doyle, istilah gereja (church atau
ekklesia) dan artinya tidak dapat dilepaskan dari konotasi subyek yang
menafsirkannya dan konteks historis saat itu. Artinya: memahami apa itu gereja
tidak terlepas dari subyektivitas.
17