Sejarah DIY telah berkembang seiring waktu
SEJARAH PERKEMBANGAN
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
untuk memenuhi tugas matakuliah Teori Perkembangan Regional
yang dibina oleh Dr. M. Baiquni, M.A.
Oleh:
Lutfiana Devi Kurniawati
13/356106/PGE/1063
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
PROGRAM STUDI MAGISTER GEOGRAFI
SEPTEMBER 2013
A. Pendahuluan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di
Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian
Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status
ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan
Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul
DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state”
dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik
Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda
(Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status
ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur
dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah
penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung
hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam
BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sebelum diberlakukannya otoda tahun 2001, terdapat 3 daerah tingkat
propinsi di Indonesia yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat, yaitu
Daerah Istimewa Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI), dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Pemberian status keistimewaan kepada suatu daerah
didasarkan pada pertimbangan historis, peran daerah terhadap perjuangan
nasional, dan fungsi daerah tersebut dalam menunjang pembangunan nasional.
Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai sejarah dan latar belakang Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Propinsi ke-12 di Indonesia.
B. Profil
Sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak bisa
terlepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya
kasultanan ini adalah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan
Senopati (1575-1601). Kerajaan Mataram Islam mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
1. Kerajaan Mataram Islam
Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang.
Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko
Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama
Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat
bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus
yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan
tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya
memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng
Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi
sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang.
Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten
yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram
Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi
raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama
masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali
Blambangan) berhasil ia taklukkan.
1.1. Puncak Kejayaan Kerajaan Mataram Islam
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa
(kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan
Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie) Belanda. Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang
sangat anti kolonialisme itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628
dan 1629). Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti
bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,
dan tidak terbagi-bagi.
1.2. Runtuhnya Kerajaan Mataram Islam
Kejayaan politik dan militer Mataram Islam yang mencapai puncaknya
pada jaman Sultan Agung itu akhirnya mulai merosot sedikit demi sedikit.
Pengganti Sultan Agung, Hamangkurat I (1647-1677) justru bersahabat dengan
VOC. Hamangkurat II (1677-1703) menyerahkan Semarang kepada VOC.
Meskipun demikian, Hamangkurat II melawan VOC di Kartasura sampai Kapten
Tack meninggal. Hamangkurat III (1703-1708) lebih bersikap menentang VOC.
Kemerosotan tajam terjadi pada jaman Sunan Paku Buwono II (PB II) yang
memerintah pada tahun 1727 sampai tahun 1749. Pada mulanya, PB II
menyerahkan Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura kepada VOC.
Pada tahun 1743 diserahkannya pula Demak dan Pasuruan. Belanda pun
menguasai pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal, Pekalongan, Kendal,
Tuban, Juwana, dan sebagainya. Sebelum mangkat, PB II menyerahkan seluruh
Mataram kepada VOC Belanda.
2. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta
Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil
dikuasai VOC (Belanda). Dengan Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743, Belanda
menguasai Mataram secara ekonomi dan politik. Belanda berhak atas daerahdaerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram. Kemudian,
sistem pemerintahan Mataram (pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem
dan para bupati) dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda. Sejak tanggal 11
Desember 1749, Paku Buwono II menyerahkan kedaulatan Mataram kepada
Belanda. Dengan demikian, kerajaan Mataram sudah tidak berdaulat lagi secara
de facto dan de jure.
Menyadari situasi itu, Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Hamengku
Buwono I) tidak menyetujui sikap lemah Paku Buwono II tersebut. Sebagai
reaksinya, pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan
istana bersama tiga pangeran lainnya (Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak, dan
Pangeran Hadiwijoyo). Mereka bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran
Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda dan memberontak. Mereka
berhasil merebut Mataram dari kekuasaan Belanda. Pada tahun 1750, mereka
sudah dapat mengepung ibukota Mataram dari 4 penjuru. Sampai pada tahun
1752, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka ambil alih kembali.
Belanda berusaha melakukan lobi-lobi. Pada tanggal 23 September 1754,
Belanda bernegoisasi dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji memberi
setengah dari kerajaan Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti Gianti
yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1755 di Gianti (Salatiga) di bawah
pemrakarsa Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob
Mossel, yang merupakan kesepakatan bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku
Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda (Gubernur
Hartingh). Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi dua
bagian, yaitu setengah di bagian Barat milik Kerajaan Surakarta dan setengahnya
di bagian Timur milik Pangeran Mangkubumi. Adapun wilayah yang diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi ini sesungguhnya masih diliputi oleh wilayah
pedalaman. Dalam perjanjian ini pula, Pangeran Aryo Mangkubumi dinobatkan
menjadi Raja atas setengah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan
Hamengkubuwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah.
Wilayah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang
selanjutnya dikenal juga dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono I
memperoleh wilayah antara lain Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati,
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan. Setelah selesai penandatanganan
Perjanjian Gianti, ditetapkan daerah Mataram yang ada dalam kekuasaannya
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang beribukota di Ngayogyakarta (Kota
Yogyakarta). Nama Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan pada tanggal 13 Maret
1755. Ibukota yang dipilih ini terletak di Hutan Beringin di sebuah desa kecil
Pachetokan. Di desa Pachetokan terdapat pesanggrahan yang pernah dibangun
Susuhunan Paku Buwono II yang disebut Garjitowati. Nama pesanggrahan ini
kemudian diganti dengan nama Ayodya yang kemudian menjadi lokasi
dibangunnya Keraton Ngayogyakarta. Gambar di bawah ini adalah wilayah yang
menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755).
Pembagian wilayah berdasarkan Perjanjian Giyanti.
Selama masa pembangunan keraton, Sultan Hamengku Buwono I
menempati tempat pemerintahan sementara di Pesanggrahan Ambarketawang di
daerah Gamping. Secara resmi, digunakannya pesanggrahan sebagai pusat
pemerintahan sementara dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1755. Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat baru selesai pembuatannya setahun kemudian.
Penempatan pusat kekuasaan secara resmi di keraton tersebut terjadi pada tanggal
7 Oktober 1756.
3. Lahirnya Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah
sebuah kerajaan baru di Yogyakarta, yaitu Kadipaten Paku Alaman. Saat itu,
Gubernur Jenderal Raffles menilai bahwa Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak
mentaati Perjanjian Tuntang. Karena itu, Sultan HB II dipaksa oleh Raffles untuk
turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi
daerah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sebagian dari wilayah kekuasaan
Kasultanan diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang adalah saudara dari Sri
Sultan HB III. Daerah otonom ini menjadi sebuah Kadipaten baru yang dikuasai
dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Kekuasaan itu mencakup
sebuah wilayah di dalam kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah ”Adikarto” yang
berada di daerah selatan Kulon Progo (Kapanewon, Temon, Wates, Panjatan,
Galur, dan Lendah). Pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo
mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I.
4. Reunifikasi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman
Pada masa pendudukan Jepang, Kasultanan dan Paku Alaman hendak
diadu domba. Penjajah yang mengaku dirinya sebagai ”saudara tua” itu berusaha
memancing persaingan di antara dua Projo Kejawen itu. Bibit-bibit perselisihan
sengaja ditebar supaya Kadipaten Paku Alaman (Paku Alam VIII) merasa iri
dengan Kasultanan yang memiliki Schakle School dan aset-aset lain yang lebih
besar.
Menghadapi gelagat yang tidak baik itu, Paku Alam VIII memutuskan
untuk menggabungkan kembali (reunifikasi) Kadipaten Paku Alaman dengan
Kasultanan Jogjakarta. Paku Alam VIII segera menyatakan keinginannya tersebut
kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Gayung pun bersambut. Sejak saat itu,
mereka berdua berkantor bersama di Kepatihan, Yogyakarta. Pada masa-masa
berikutnya, kesatuan antara Sri Sultan dan Paku Alam serta kesatuan antara
Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman menjadi tiang penyangga NKRI. Kesatuan
ini sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.
5. Sejarah Perkembangan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, beberapa minggu sesudahnya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan desakan untuk segera membuat
resolusi kerajaan. Dengan mempertimbangkan kondisi Republik Indonesia yang
ketika itu sangat membutuhkan dukungan nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang disebut Amanat 5 September 1945. Pada
prinsipnya, isi dekrit kerajaan adalah melakukan integrasi monarki Ngayogyakarta
Hadiningrat ke dalam NKRI. Dekrit Amanat 5 September 1945 ini kemudian
diikuti pula oleh dekrit yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada tanggal yang
bersamaan. Dekrit integrasi ke dalam NKRI sesungguhnya juga dikeluarkan pula
oleh berbagai kerajaan/monarki di seluruh wilayah Nusantara. Secara politik,
Amanat 5 September 1945 memberikan dampak yang luar biasa dan
mempengaruhi kerajaan-kerajaan nusantara lain untuk segera bergabung dengan
NKRI. Wilayah yang menjadi kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
pada tahun 1945 terdiri atas:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Bersamaan dengan dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Daerah Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1945 yang diketuai Mochamad Saleh
dan Wakil Ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka Sri Sultan
HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama yang dikenal
Amanat 30 Oktober 1945. Isi dari dekrit bersama kerajaan tersebut adalah
menyerahkan kekuasaan legislatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta.
Pada tanggal 18 Mei 1946, secara resmi digunakan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta yang menegaskan penyatuan dua kerajaan dan sekaligus menjadi
daerah istimewa dari NKRI. Penggunaan nama DI Yogyakarta ini juga termuat di
dalam Maklumat No 18 Tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Maklumat Yogyakarta No 18). Pemerintahan monarki
persatuan kemudian berlangsung hingga dikeluarkannya Undang-Undang No 3
Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam
undang-undang tersebut disebutkan penegasan secara administratif apabila
Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman merupakan bagian integral dari NKRI.
Pembagian wilayah administratif berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 Tentang DI
Yogyakarta adalah:
1. Kabupaten Bantul dengan ibukota Bantul
2. Kabupaten Gunung Kidul dengan ibukota Wonosari
3. Kulon Progo dengan ibukota Wates
4. Kabupaten Sleman dengan ibukota Sleman
5. Kota Yogyakarta sebagai ibukota Propinsi.
Perubahan pada tatanan pemerintahan daerah kembali dilakukan untuk
mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan tujuan pembangunan nasional
melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada
undang-undang desentralisasi fiskal ini, dilakukan perubahan atas struktur dan
wewenang pemerintahan daerah. Istilah pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) I
diganti dengan Pemerintahan Daerah Propinsi. Pemerintahan Daerah Tingkat
(Dati) II diganti dengan Pemerintahan Daerah Kabupatan atau Kota. Berdasarkan
ketentuan tersebut, istilah Kotamadya Yogyakarta diganti dengan Kota
Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintahan Kota Yogyakarta memiliki wewenang
penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sasaran otonomi
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950.
Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya.
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak
politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman
dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa bagi Daerah
Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah
Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya
mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia
serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan
kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan
Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa
dalam
hal
Bentuk
Pemerintahan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan &
Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat
kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5
Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat
Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan &
Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara
lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang
bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya.
C. Aspek/ Dimensi Penting
Ditetapkannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang terintegrasi
dengan pemerintah Republik Indonesia tidak pernah lepas dari eksistensi
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Sri Sultan Hamengku
Buwono dan Sri Paduka Paku Alam memliki pemikiran yang hebat untuk
membantu perjuangan kemerdekaan maupun mengisi kemerdekaan RI. Berikut
adalah eksistensi dan kontribusi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman.
1. Sebuah Kerajaan Revolusioner
Bila dipandang dari sudut proses pendirian, Kasultanan Yogyakarta adalah
sebuah kerajaan yang hadir karena visi. Pendirinya, Pangeran Mangkubumi
adalah seorang visioner. Visinya besar. Cita-citanya adalah melawan Penjajahan
dan mempertahankan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Meski akhirnya
nama Mataram tak dipakai lagi, kerajaan baru yang didirikannya merupakan
pewaris sah kerajaan Mataram tersebut.
Sekalipun berdiri sebagai salah satu wilayah kerajaan di Pulau Jawa,
Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menutup pintu untuk setiap upaya yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tidak sedikit peristiwa-peristiwa
pergerakan nasional yang tumbuh dan dimulai di Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Misalnya Kongres Perempuan I (1928), Taman Siswa (1922),
Kongres I Budi Utomo (1908), berdirinya organisasi Muhammadiyah. Kontribusi
kerajaan ini cukup besar terhadap perjuangan nasional dalam rangka upaya untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.
2. Membangun Perdaban Indonesia
Dibanding dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah
peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban
baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya
memberi diri menjadi “ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara
politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946), Kraton (Sri
Sultan HB IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk
menunjukkan eksistensi RI di mata dunia, dan sebagainya.
Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan
peradaban Indonesia. RI bagaikan anak bayi yang menyusu pada Yogya sebagai
induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya. Dalam dunia
pendidikan misalnya, pemikiran Ki Hadjar Dewantoro merupakan bukti
sumbangsih kearifan lokal Yogya bagi kemajuan peradaban modern Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia mengalami krisis peradaban, Yogya tampil untuk
memberikan koreksi. Sebagai contoh adalah koreksi Sri Sultan HB X terhadap
kepemimpinan Orde Baru yang menyalahgunakan konsep kearifan Jawa tentang
“ora ilok” (tidak layak), “mbeguguk mangutho waton” (keras kepala), “mbalelo”
(memberontak), “aja dumeh” (jangan merasa sok), “unggah-ungguh” (sopan
santun), “tepo-slira” (tenggang rasa), dan “ewuh pakewuh” (rasa segan). Inilah
kritik peradaban yang dilontarkan Sultan HB X dalam orasi Reformasi 1998 silam:
“Ora ilok diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk mangutho waton
dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga
pantas digebug dan dilibas, bukan bagi penguasa yang sudah tidak bisa lagi
menangkap aspirasi rakyat, karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja.
Aja dumeh malah dialamatkan bagi rakyat yang tergusur, bukan bagi mereka yang
menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh,
tepo sliro, dan ewuh pakewuh hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan pejabat
yang korup, main kolusi, dan sebagainya. Inilah saudara-saudaraku, yang
dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada
penguasa!” Hal itu menunjukkan betapa orang Yogya dengan Kraton sebagai
pusat peradaban (kearifan asli) masih perlu memberikan nutrisi bagi pertumbuhan
peradaban Indonesia.
3. Kepemimpinan Dwi Tunggal
Sejak bersama memimpin Yogyakarta, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam
VIII sangat kompak. Dalam hal bermain strategi, mereka pun bertindak dengan
sangat solid. Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, HB IX dan PA VIII
bersepakat untuk membuat isu (fluistercampagne) bahwa seolah-olah mereka
berdua akan meletakkan jabatan. Dengan desas-desus seperti itu, Belanda tidak
bisa memperalat mereka. Logikanya, jika mereka berdua lengser maka Belandalah
yang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi di Yogyakarta.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan HB IX-PA VIII memainkan peran
penting dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Pada tanggal 14
Januari 1946, setelah dwi tunggal Soekarno-Hatta berembug dengan dwi tunggal
HB IX-PA VIII, diambil keputusan untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta
ke Yogyakarta. Untuk itu, Paku Alam VIII memberikan Puro Pakualaman
menjadi tempat tinggal sementara bagi Bung Karno dan keluarganya. Sri Sultan
HB IX dan Sri Paku Alam VIII menjamin akan menjaga keamanan dan
keselamatan Pemerintahan RI dengan segala kemampuan yang ada.
4. Dedikasi Untuk RI
Sikap dan pemikiran tegas Paku Alam VIII untuk berpihak kepada NKRI
mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari para Abdi Dalam Puro Pakualaman.
Dengan demikian, dedikasi kepada NKRI tersebut merupakan suatu kebulatan
tekad seluruh Praja Pakualaman. Dalam sebuah rapat pada tanggal 13 Oktober
1945, Persatuan Abdi Dalem Praja Pakualaman menyatakan sebuah mosi sebagai
berikut:
1. Para Abdi Dalam Praja Pakualaman harus teguh, bersatu padu dalam
lingkungan negara Republik Indonesia Merdeka, siap mencurahkan segala
tenaga, jiwa, dan raga membela Indonesia merdeka.
2. Tetap setia dan berdiri di belakang Sri Paduka Ngarsa Dalem Kanheng
Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII yang telah mendapat
kepercayaan penuh dari PJM Presiden Republik Indonesia.
Para Abdi Dalam Praja Pakualaman akan meletakkan jabatannya, jika bangsa lain
memerintah Indonesia.
5. Fasilitator Perjuangan
Dalam mendedikasikan diri untuk kepentingan bangsa, Paku Alam VIII
(dan Kadipaten Pakualaman) lebih banyak mengambil peran sebagai fasilitator.
Sri Sultan HB IX lebih banyak tampil sebagai master mind dan decision maker.
Namun, posisi Paku Alam VIII sebagai the second people bukan tidak penting.
Dalam masa-masa sulit, peran seorang fasilitator seringkali justru sangat
menentukan.
Peran Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman sebagai falitator sangat
berarti selama masa revolusi fisik (1945-1949). Selama ibukota RI berada di
Yogyakarta (sejak 14 Januari 1946), Puro Pakualaman dipakai sebagai tempat
tinggal sementara oleh Presiden sekeluarga. Putri Bung Karno, Megawati, lahir di
istana Pakualaman ini. Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman memberi bantuan
akomodasi dan logistik bagi semua peserta konferensi TKR. Dalam konferensi itu
dipilih beberapa pimpinan baru, yaitu Kolonel Sudirman (Pimpinan Tertinggi
TKR), Letjend. Urip Sumoharjo (Kepala Staf Umum TKR), dan Sri Sultan HB IX
(Menteri Pertahanan). Seluruh pejabat TKR diberi bantuan berupa rumah-rumah
dinas oleh Puro Pakualaman. Letjend. Urip Sumoharjo diberi rumah dinas yang
berlokasi di jalan Widoro, Kotabaru. Selama perundingan KTN di Kaliurang (817 Desember 1947), Puro Pakualaman juga membantu akomodasi.
Untuk mengatasi masa sulit pada sekitar tahun 1965, Paku Alam VIII
melakukan tindakan-tindakan strategis. Ia memerintahkan seluruh aparat Pemda
untuk membantu masyarakat dengan memberi bantuan pangan. Dalam keadaan
darurat karena pemberontakan PKI, ia memfasilitasi RRI (Radio Republik
Indonesia) untuk mengadakan siaran di Ndalem Puro Pakualaman.
6. Penyelamat Ekonomi Indonesia
Wibawa Kasultanan dan HB IX juga mengembalikan kepercayaan
internasional terhadap RI. Pada akhir masa Orde Lama, RI terkucil dari pergaulan
internasional karena memutuskan untuk keluar dari PBB. Padahal, pada masa
awal Orde Baru, RI sangat membutuhkan bantuan keuangan dari negara-negara
dan lembaga-lembaga dunia. Waktu itu perekonomian Indonesia mencapai titik
nadir. Dalam hal ini HB IX tampil di pentas dunia untuk menyelamatkan ekonomi
RI.
Kredibilitas dan kapasitas HB IX ternyata diakui dunia. Oleh karena itu,
dunia kembali mempercayai Indonesia dan tergerak memberi bantuan kepada
Indonesia. Presiden Soeharto meminta bantuan HB IX untuk mengurus
kembalinya RI ke PBB, Bank Dunia, dan IMF. HB IX juga diminta oleh Presiden
Soeharto untuk menjadwalkan kembali pembayaran hutang-hutang asing dan
mencari kredit baru. Ekonom Widjojo Nitisastro berkomentar: ”Peranan dan figur
Sri Sultan telah berhasil mengambalikan kepercayaan terhadap Indonesia di luar
dan di dalam negeri!” Perjalanan HB IX keliling dunia untuk mencari bantuan
bagi Indonesia berhasil secara luar biasa. Kunjungan HB IX ke Jepang
menghasilkan kredit US $ 30 juta (1966). Setelah berkeliling di Eropa Barat, HB
IX mendapat kredit US $ 170 juta dan janji bantuan US $ 180 juta. Mata dunia
pun tertuju pada Indonesia. Atas undangan Jepang, sejumlah negara kreditor (AS,
Belanda, Inggris, Perancis, Jerman Barat) bersama Bank Dunia dan IMF, bertemu
dalam “Tokyo Meeting” yang didisain khusus untuk membantu ekonomi
Indonesia (19-20 September 1966). Ketika mengajukan dukungan dana di
Belanda, wibawa HB IX sangat besar. Menurut catatan Frans Seda, dalam
perundingan yang alot itu HB IX berani berkata lantang: ”Nu of nooit meer!”
(sekarang atau tidak pernah sama sekali). Lobi HB IX yang mendapat simpati pers
setempat mendorong Perdana Menteri Belanda, Joseph Luns, menyetujui
perjanjian sebelum HB IX pulang ke Indonesia.
7. Barometer Reformasi 1998
Kejayaan Kasultanan Yogyakarta masih sangat kuat sampai sekarang.
Ketika gonjang-ganjing melanda Indonesia menjelang lengsernya Soeharto,
Yogyakarta menjadi barometer nasional. Gerakan reformasi 1998 terakselerasi
oleh momen aksi sejuta massa (pisowanan ageng) yang terjadi pada tanggal 20
Mei 1998. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa HB X tenyata masih
disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak luas.
Maklumat yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Pakualaman untuk
mendukung gerakan reformasi itu menjadi pegangan bagi rakyat Yogyakarta
untuk menentukan sikap. Sultan HB X pun tidak enggan untuk mengkritisi rezim
Orde Baru. Sebelum Soeharto lengser, HB X pernah menyampaikan pidato di
mimbar bebas UGM. Sabdanya: ”Sebagai tradisi perjuangan yang telah
diwariskan para leluhur, saya siap memimpin perjuangan panjang di tengahtengah masyarakat, rakyat, dan segenap kawulo Yogyakarta Hadiningrat. Jangan
lagi rakyat menjadi obyek kekuasaan, kezaliman, dan ketidakadilan. Sekarang ini,
itu semua sudah tamat!” Semua yang hadir pada momen itu spontan berseru:
”Hidup Sultan…hidup Sultan…hidup Sultan!” (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat,
1999).
D. Analisis Isu-Isu Pembangunan
Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah
keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa
saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Polemik keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh:
1. manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 &
PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi
gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61
pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan laku spiritual memohon
petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur
setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja,
29/9/10);
2. setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah
(UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak
mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu
daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal
18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal
18 b (ayat 1 & 2);
3. pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh
dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX &
PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno &
Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
4.
ketidak pahaman para penerus dan pengisi kemerdekaan karena
perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah
kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik)
yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal
Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata
kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI
5. perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan
Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah
pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara
Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa
melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan
perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem
pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak
mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah
terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
6. proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat
dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi
demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai
dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung
karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan &
Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah
wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden),
sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas
pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota,
bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai
amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah
keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa
saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Di tengah harapan rakyat yang
menyeruak ke permukaan, hingga memunculkan gerakan-gerakan proKeistimewaan, potensi masyarakat untuk menjadi kecewa perlu diperhitungkan.
Kecewa pada Pemerintah Pusat, itu jelas. Penundaan sekian lama yang berakibat
menggantungnya nasib keistimewaan Yogya membuat hati masyarakat Yogya
gelisah. Di tengah tekanan hidup sekarang ini, tidak menutup kemungkinan
masyarakat kecewa pada Keraton.
Semakin besar harapan, keyakinan, dan kepercayaan rakyat pada Kraton,
semakin besar pula potensi rakyat untuk menjadi kecewa pada Kraton. Manakala
harapan, keyakinan, dan kepercayaan itu tak terpenuhi, rakyat bisa semakin
kecewa. Kiranya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi segenap kerabat Kraton
Yogya. Dalam rangka Keistimewaan, masyarakat Yogya berharap sebagai
berikut:
1. Kraton mempunyai visi yang jelas dan tegas tentang posisi dan
perannya.
2. Kraton mempunyai kesamaan bahasa dan kesamaan perspektif,
serta solid sebagai sebuah institusi.
3. Kraton menjaga keutuhan masyarakat dengan memberikan solusisolusi implementatif untuk kepentingan kesejahteraan segenap
rakyat.
E. Penutup
Dari pembahasan tentang sejarah perkembangan Daerah Istimewa
Yogyakarta tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman berawal dari
runtuhnya Kerajaan Mataram Islam.
2. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam bergabung menjadi satu
dalam mengayomi masyarakat Yogyakarta.
3. Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena pertimbangan historis dan
mengantarkan dwi tunggal Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur,
sementara Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY.
4. Kontribusi dan eksistensi Yogyakarta dalam perjuangan merebut dan
mengisi kemerdekaan sangatlah besar.
5. Keberadaan pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta dalam Negara
Republik masih menjadi perdebatan yang segera diperlukan
penyelesaiannya demi terciptanya ketenteraman masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. Informasi Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Online).
www.infoyogyakarta.pdf. Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (Online).
http://www.wikipedia.com Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (Online). http://www.bpkp.go.id.
Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Pendirian Negeri Pakualaman, Kadipaten Pakualaman, Praja
Pakualaman Tanggal 17 Maret 1813-1950 (Online).
http://www.sejarahnusantara.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Baskoro, Haryadi. Pakualaman: Satu dari Empat Projo Kejawen (Online).
http://pakualamanyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Baskoro, Haryadi. Sebuah Kerajaan Visioner (Online).
http://kasultananyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 september 2013.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Sejarah Singkat Provinsi DIY
(Online). http://www.pendidikan-diy.go.id. Diakses tanggal 9 September
2013.
Kusuma, Leo. Latar Belakang Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (Online).
http://leo4kusuma.blogspot.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Koesnodiprodjo, 1951, Himpunan Undang-Undang, Penetapan Pemerintah
Republik Indonesia 1945, Penerbit Djakarta, Jakarta.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Penerbit
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pemerintah Kota Yogyakarta. Sejarah Kota Yogyakarta (Online).
http://www.jogjakota.go.id. Diakses tanggal 9 September 2013.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah (Online).
httpportal.jogjaprov.go.id.pdf. Diakses tanggal 9 September 2013.
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
untuk memenuhi tugas matakuliah Teori Perkembangan Regional
yang dibina oleh Dr. M. Baiquni, M.A.
Oleh:
Lutfiana Devi Kurniawati
13/356106/PGE/1063
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
PROGRAM STUDI MAGISTER GEOGRAFI
SEPTEMBER 2013
A. Pendahuluan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di
Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian
Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status
ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan
Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul
DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state”
dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik
Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda
(Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status
ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur
dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah
penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung
hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam
BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sebelum diberlakukannya otoda tahun 2001, terdapat 3 daerah tingkat
propinsi di Indonesia yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat, yaitu
Daerah Istimewa Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI), dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). Pemberian status keistimewaan kepada suatu daerah
didasarkan pada pertimbangan historis, peran daerah terhadap perjuangan
nasional, dan fungsi daerah tersebut dalam menunjang pembangunan nasional.
Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai sejarah dan latar belakang Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Propinsi ke-12 di Indonesia.
B. Profil
Sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak bisa
terlepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya
kasultanan ini adalah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan
Senopati (1575-1601). Kerajaan Mataram Islam mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
1. Kerajaan Mataram Islam
Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang.
Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko
Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama
Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat
bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus
yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan
tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya
memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng
Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi
sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang.
Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten
yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram
Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi
raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama
masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali
Blambangan) berhasil ia taklukkan.
1.1. Puncak Kejayaan Kerajaan Mataram Islam
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa
(kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan
Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie) Belanda. Kekuatan militer Mataram sangat besar. Sultan Agung yang
sangat anti kolonialisme itu menyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali (1628
dan 1629). Sultan Agung memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti
bahwa kerajaan Mataram harus berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,
dan tidak terbagi-bagi.
1.2. Runtuhnya Kerajaan Mataram Islam
Kejayaan politik dan militer Mataram Islam yang mencapai puncaknya
pada jaman Sultan Agung itu akhirnya mulai merosot sedikit demi sedikit.
Pengganti Sultan Agung, Hamangkurat I (1647-1677) justru bersahabat dengan
VOC. Hamangkurat II (1677-1703) menyerahkan Semarang kepada VOC.
Meskipun demikian, Hamangkurat II melawan VOC di Kartasura sampai Kapten
Tack meninggal. Hamangkurat III (1703-1708) lebih bersikap menentang VOC.
Kemerosotan tajam terjadi pada jaman Sunan Paku Buwono II (PB II) yang
memerintah pada tahun 1727 sampai tahun 1749. Pada mulanya, PB II
menyerahkan Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura kepada VOC.
Pada tahun 1743 diserahkannya pula Demak dan Pasuruan. Belanda pun
menguasai pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal, Pekalongan, Kendal,
Tuban, Juwana, dan sebagainya. Sebelum mangkat, PB II menyerahkan seluruh
Mataram kepada VOC Belanda.
2. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta
Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil
dikuasai VOC (Belanda). Dengan Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743, Belanda
menguasai Mataram secara ekonomi dan politik. Belanda berhak atas daerahdaerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram. Kemudian,
sistem pemerintahan Mataram (pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem
dan para bupati) dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda. Sejak tanggal 11
Desember 1749, Paku Buwono II menyerahkan kedaulatan Mataram kepada
Belanda. Dengan demikian, kerajaan Mataram sudah tidak berdaulat lagi secara
de facto dan de jure.
Menyadari situasi itu, Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Hamengku
Buwono I) tidak menyetujui sikap lemah Paku Buwono II tersebut. Sebagai
reaksinya, pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan
istana bersama tiga pangeran lainnya (Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak, dan
Pangeran Hadiwijoyo). Mereka bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran
Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda dan memberontak. Mereka
berhasil merebut Mataram dari kekuasaan Belanda. Pada tahun 1750, mereka
sudah dapat mengepung ibukota Mataram dari 4 penjuru. Sampai pada tahun
1752, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka ambil alih kembali.
Belanda berusaha melakukan lobi-lobi. Pada tanggal 23 September 1754,
Belanda bernegoisasi dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji memberi
setengah dari kerajaan Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti Gianti
yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1755 di Gianti (Salatiga) di bawah
pemrakarsa Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob
Mossel, yang merupakan kesepakatan bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku
Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda (Gubernur
Hartingh). Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi dua
bagian, yaitu setengah di bagian Barat milik Kerajaan Surakarta dan setengahnya
di bagian Timur milik Pangeran Mangkubumi. Adapun wilayah yang diberikan
kepada Pangeran Mangkubumi ini sesungguhnya masih diliputi oleh wilayah
pedalaman. Dalam perjanjian ini pula, Pangeran Aryo Mangkubumi dinobatkan
menjadi Raja atas setengah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan
Hamengkubuwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah.
Wilayah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang
selanjutnya dikenal juga dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono I
memperoleh wilayah antara lain Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati,
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan. Setelah selesai penandatanganan
Perjanjian Gianti, ditetapkan daerah Mataram yang ada dalam kekuasaannya
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang beribukota di Ngayogyakarta (Kota
Yogyakarta). Nama Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan pada tanggal 13 Maret
1755. Ibukota yang dipilih ini terletak di Hutan Beringin di sebuah desa kecil
Pachetokan. Di desa Pachetokan terdapat pesanggrahan yang pernah dibangun
Susuhunan Paku Buwono II yang disebut Garjitowati. Nama pesanggrahan ini
kemudian diganti dengan nama Ayodya yang kemudian menjadi lokasi
dibangunnya Keraton Ngayogyakarta. Gambar di bawah ini adalah wilayah yang
menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755).
Pembagian wilayah berdasarkan Perjanjian Giyanti.
Selama masa pembangunan keraton, Sultan Hamengku Buwono I
menempati tempat pemerintahan sementara di Pesanggrahan Ambarketawang di
daerah Gamping. Secara resmi, digunakannya pesanggrahan sebagai pusat
pemerintahan sementara dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1755. Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat baru selesai pembuatannya setahun kemudian.
Penempatan pusat kekuasaan secara resmi di keraton tersebut terjadi pada tanggal
7 Oktober 1756.
3. Lahirnya Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah
sebuah kerajaan baru di Yogyakarta, yaitu Kadipaten Paku Alaman. Saat itu,
Gubernur Jenderal Raffles menilai bahwa Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak
mentaati Perjanjian Tuntang. Karena itu, Sultan HB II dipaksa oleh Raffles untuk
turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi
daerah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sebagian dari wilayah kekuasaan
Kasultanan diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang adalah saudara dari Sri
Sultan HB III. Daerah otonom ini menjadi sebuah Kadipaten baru yang dikuasai
dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Kekuasaan itu mencakup
sebuah wilayah di dalam kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah ”Adikarto” yang
berada di daerah selatan Kulon Progo (Kapanewon, Temon, Wates, Panjatan,
Galur, dan Lendah). Pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo
mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I.
4. Reunifikasi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman
Pada masa pendudukan Jepang, Kasultanan dan Paku Alaman hendak
diadu domba. Penjajah yang mengaku dirinya sebagai ”saudara tua” itu berusaha
memancing persaingan di antara dua Projo Kejawen itu. Bibit-bibit perselisihan
sengaja ditebar supaya Kadipaten Paku Alaman (Paku Alam VIII) merasa iri
dengan Kasultanan yang memiliki Schakle School dan aset-aset lain yang lebih
besar.
Menghadapi gelagat yang tidak baik itu, Paku Alam VIII memutuskan
untuk menggabungkan kembali (reunifikasi) Kadipaten Paku Alaman dengan
Kasultanan Jogjakarta. Paku Alam VIII segera menyatakan keinginannya tersebut
kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Gayung pun bersambut. Sejak saat itu,
mereka berdua berkantor bersama di Kepatihan, Yogyakarta. Pada masa-masa
berikutnya, kesatuan antara Sri Sultan dan Paku Alam serta kesatuan antara
Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman menjadi tiang penyangga NKRI. Kesatuan
ini sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.
5. Sejarah Perkembangan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, beberapa minggu sesudahnya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan desakan untuk segera membuat
resolusi kerajaan. Dengan mempertimbangkan kondisi Republik Indonesia yang
ketika itu sangat membutuhkan dukungan nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang disebut Amanat 5 September 1945. Pada
prinsipnya, isi dekrit kerajaan adalah melakukan integrasi monarki Ngayogyakarta
Hadiningrat ke dalam NKRI. Dekrit Amanat 5 September 1945 ini kemudian
diikuti pula oleh dekrit yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada tanggal yang
bersamaan. Dekrit integrasi ke dalam NKRI sesungguhnya juga dikeluarkan pula
oleh berbagai kerajaan/monarki di seluruh wilayah Nusantara. Secara politik,
Amanat 5 September 1945 memberikan dampak yang luar biasa dan
mempengaruhi kerajaan-kerajaan nusantara lain untuk segera bergabung dengan
NKRI. Wilayah yang menjadi kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
pada tahun 1945 terdiri atas:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Bersamaan dengan dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Daerah Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1945 yang diketuai Mochamad Saleh
dan Wakil Ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka Sri Sultan
HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama yang dikenal
Amanat 30 Oktober 1945. Isi dari dekrit bersama kerajaan tersebut adalah
menyerahkan kekuasaan legislatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta.
Pada tanggal 18 Mei 1946, secara resmi digunakan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta yang menegaskan penyatuan dua kerajaan dan sekaligus menjadi
daerah istimewa dari NKRI. Penggunaan nama DI Yogyakarta ini juga termuat di
dalam Maklumat No 18 Tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Maklumat Yogyakarta No 18). Pemerintahan monarki
persatuan kemudian berlangsung hingga dikeluarkannya Undang-Undang No 3
Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam
undang-undang tersebut disebutkan penegasan secara administratif apabila
Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman merupakan bagian integral dari NKRI.
Pembagian wilayah administratif berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 Tentang DI
Yogyakarta adalah:
1. Kabupaten Bantul dengan ibukota Bantul
2. Kabupaten Gunung Kidul dengan ibukota Wonosari
3. Kulon Progo dengan ibukota Wates
4. Kabupaten Sleman dengan ibukota Sleman
5. Kota Yogyakarta sebagai ibukota Propinsi.
Perubahan pada tatanan pemerintahan daerah kembali dilakukan untuk
mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan tujuan pembangunan nasional
melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada
undang-undang desentralisasi fiskal ini, dilakukan perubahan atas struktur dan
wewenang pemerintahan daerah. Istilah pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) I
diganti dengan Pemerintahan Daerah Propinsi. Pemerintahan Daerah Tingkat
(Dati) II diganti dengan Pemerintahan Daerah Kabupatan atau Kota. Berdasarkan
ketentuan tersebut, istilah Kotamadya Yogyakarta diganti dengan Kota
Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintahan Kota Yogyakarta memiliki wewenang
penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sasaran otonomi
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950.
Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya.
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak
politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman
dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa bagi Daerah
Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah
Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya
mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia
serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan
kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan
Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa
dalam
hal
Bentuk
Pemerintahan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan &
Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat
kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5
Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat
Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan &
Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara
lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang
bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya.
C. Aspek/ Dimensi Penting
Ditetapkannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang terintegrasi
dengan pemerintah Republik Indonesia tidak pernah lepas dari eksistensi
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Sri Sultan Hamengku
Buwono dan Sri Paduka Paku Alam memliki pemikiran yang hebat untuk
membantu perjuangan kemerdekaan maupun mengisi kemerdekaan RI. Berikut
adalah eksistensi dan kontribusi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman.
1. Sebuah Kerajaan Revolusioner
Bila dipandang dari sudut proses pendirian, Kasultanan Yogyakarta adalah
sebuah kerajaan yang hadir karena visi. Pendirinya, Pangeran Mangkubumi
adalah seorang visioner. Visinya besar. Cita-citanya adalah melawan Penjajahan
dan mempertahankan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Meski akhirnya
nama Mataram tak dipakai lagi, kerajaan baru yang didirikannya merupakan
pewaris sah kerajaan Mataram tersebut.
Sekalipun berdiri sebagai salah satu wilayah kerajaan di Pulau Jawa,
Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menutup pintu untuk setiap upaya yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tidak sedikit peristiwa-peristiwa
pergerakan nasional yang tumbuh dan dimulai di Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Misalnya Kongres Perempuan I (1928), Taman Siswa (1922),
Kongres I Budi Utomo (1908), berdirinya organisasi Muhammadiyah. Kontribusi
kerajaan ini cukup besar terhadap perjuangan nasional dalam rangka upaya untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.
2. Membangun Perdaban Indonesia
Dibanding dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah
peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban
baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya
memberi diri menjadi “ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara
politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946), Kraton (Sri
Sultan HB IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk
menunjukkan eksistensi RI di mata dunia, dan sebagainya.
Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan
peradaban Indonesia. RI bagaikan anak bayi yang menyusu pada Yogya sebagai
induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya. Dalam dunia
pendidikan misalnya, pemikiran Ki Hadjar Dewantoro merupakan bukti
sumbangsih kearifan lokal Yogya bagi kemajuan peradaban modern Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia mengalami krisis peradaban, Yogya tampil untuk
memberikan koreksi. Sebagai contoh adalah koreksi Sri Sultan HB X terhadap
kepemimpinan Orde Baru yang menyalahgunakan konsep kearifan Jawa tentang
“ora ilok” (tidak layak), “mbeguguk mangutho waton” (keras kepala), “mbalelo”
(memberontak), “aja dumeh” (jangan merasa sok), “unggah-ungguh” (sopan
santun), “tepo-slira” (tenggang rasa), dan “ewuh pakewuh” (rasa segan). Inilah
kritik peradaban yang dilontarkan Sultan HB X dalam orasi Reformasi 1998 silam:
“Ora ilok diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk mangutho waton
dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga
pantas digebug dan dilibas, bukan bagi penguasa yang sudah tidak bisa lagi
menangkap aspirasi rakyat, karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja.
Aja dumeh malah dialamatkan bagi rakyat yang tergusur, bukan bagi mereka yang
menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh,
tepo sliro, dan ewuh pakewuh hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan pejabat
yang korup, main kolusi, dan sebagainya. Inilah saudara-saudaraku, yang
dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada
penguasa!” Hal itu menunjukkan betapa orang Yogya dengan Kraton sebagai
pusat peradaban (kearifan asli) masih perlu memberikan nutrisi bagi pertumbuhan
peradaban Indonesia.
3. Kepemimpinan Dwi Tunggal
Sejak bersama memimpin Yogyakarta, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam
VIII sangat kompak. Dalam hal bermain strategi, mereka pun bertindak dengan
sangat solid. Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, HB IX dan PA VIII
bersepakat untuk membuat isu (fluistercampagne) bahwa seolah-olah mereka
berdua akan meletakkan jabatan. Dengan desas-desus seperti itu, Belanda tidak
bisa memperalat mereka. Logikanya, jika mereka berdua lengser maka Belandalah
yang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi di Yogyakarta.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan HB IX-PA VIII memainkan peran
penting dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Pada tanggal 14
Januari 1946, setelah dwi tunggal Soekarno-Hatta berembug dengan dwi tunggal
HB IX-PA VIII, diambil keputusan untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta
ke Yogyakarta. Untuk itu, Paku Alam VIII memberikan Puro Pakualaman
menjadi tempat tinggal sementara bagi Bung Karno dan keluarganya. Sri Sultan
HB IX dan Sri Paku Alam VIII menjamin akan menjaga keamanan dan
keselamatan Pemerintahan RI dengan segala kemampuan yang ada.
4. Dedikasi Untuk RI
Sikap dan pemikiran tegas Paku Alam VIII untuk berpihak kepada NKRI
mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari para Abdi Dalam Puro Pakualaman.
Dengan demikian, dedikasi kepada NKRI tersebut merupakan suatu kebulatan
tekad seluruh Praja Pakualaman. Dalam sebuah rapat pada tanggal 13 Oktober
1945, Persatuan Abdi Dalem Praja Pakualaman menyatakan sebuah mosi sebagai
berikut:
1. Para Abdi Dalam Praja Pakualaman harus teguh, bersatu padu dalam
lingkungan negara Republik Indonesia Merdeka, siap mencurahkan segala
tenaga, jiwa, dan raga membela Indonesia merdeka.
2. Tetap setia dan berdiri di belakang Sri Paduka Ngarsa Dalem Kanheng
Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII yang telah mendapat
kepercayaan penuh dari PJM Presiden Republik Indonesia.
Para Abdi Dalam Praja Pakualaman akan meletakkan jabatannya, jika bangsa lain
memerintah Indonesia.
5. Fasilitator Perjuangan
Dalam mendedikasikan diri untuk kepentingan bangsa, Paku Alam VIII
(dan Kadipaten Pakualaman) lebih banyak mengambil peran sebagai fasilitator.
Sri Sultan HB IX lebih banyak tampil sebagai master mind dan decision maker.
Namun, posisi Paku Alam VIII sebagai the second people bukan tidak penting.
Dalam masa-masa sulit, peran seorang fasilitator seringkali justru sangat
menentukan.
Peran Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman sebagai falitator sangat
berarti selama masa revolusi fisik (1945-1949). Selama ibukota RI berada di
Yogyakarta (sejak 14 Januari 1946), Puro Pakualaman dipakai sebagai tempat
tinggal sementara oleh Presiden sekeluarga. Putri Bung Karno, Megawati, lahir di
istana Pakualaman ini. Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman memberi bantuan
akomodasi dan logistik bagi semua peserta konferensi TKR. Dalam konferensi itu
dipilih beberapa pimpinan baru, yaitu Kolonel Sudirman (Pimpinan Tertinggi
TKR), Letjend. Urip Sumoharjo (Kepala Staf Umum TKR), dan Sri Sultan HB IX
(Menteri Pertahanan). Seluruh pejabat TKR diberi bantuan berupa rumah-rumah
dinas oleh Puro Pakualaman. Letjend. Urip Sumoharjo diberi rumah dinas yang
berlokasi di jalan Widoro, Kotabaru. Selama perundingan KTN di Kaliurang (817 Desember 1947), Puro Pakualaman juga membantu akomodasi.
Untuk mengatasi masa sulit pada sekitar tahun 1965, Paku Alam VIII
melakukan tindakan-tindakan strategis. Ia memerintahkan seluruh aparat Pemda
untuk membantu masyarakat dengan memberi bantuan pangan. Dalam keadaan
darurat karena pemberontakan PKI, ia memfasilitasi RRI (Radio Republik
Indonesia) untuk mengadakan siaran di Ndalem Puro Pakualaman.
6. Penyelamat Ekonomi Indonesia
Wibawa Kasultanan dan HB IX juga mengembalikan kepercayaan
internasional terhadap RI. Pada akhir masa Orde Lama, RI terkucil dari pergaulan
internasional karena memutuskan untuk keluar dari PBB. Padahal, pada masa
awal Orde Baru, RI sangat membutuhkan bantuan keuangan dari negara-negara
dan lembaga-lembaga dunia. Waktu itu perekonomian Indonesia mencapai titik
nadir. Dalam hal ini HB IX tampil di pentas dunia untuk menyelamatkan ekonomi
RI.
Kredibilitas dan kapasitas HB IX ternyata diakui dunia. Oleh karena itu,
dunia kembali mempercayai Indonesia dan tergerak memberi bantuan kepada
Indonesia. Presiden Soeharto meminta bantuan HB IX untuk mengurus
kembalinya RI ke PBB, Bank Dunia, dan IMF. HB IX juga diminta oleh Presiden
Soeharto untuk menjadwalkan kembali pembayaran hutang-hutang asing dan
mencari kredit baru. Ekonom Widjojo Nitisastro berkomentar: ”Peranan dan figur
Sri Sultan telah berhasil mengambalikan kepercayaan terhadap Indonesia di luar
dan di dalam negeri!” Perjalanan HB IX keliling dunia untuk mencari bantuan
bagi Indonesia berhasil secara luar biasa. Kunjungan HB IX ke Jepang
menghasilkan kredit US $ 30 juta (1966). Setelah berkeliling di Eropa Barat, HB
IX mendapat kredit US $ 170 juta dan janji bantuan US $ 180 juta. Mata dunia
pun tertuju pada Indonesia. Atas undangan Jepang, sejumlah negara kreditor (AS,
Belanda, Inggris, Perancis, Jerman Barat) bersama Bank Dunia dan IMF, bertemu
dalam “Tokyo Meeting” yang didisain khusus untuk membantu ekonomi
Indonesia (19-20 September 1966). Ketika mengajukan dukungan dana di
Belanda, wibawa HB IX sangat besar. Menurut catatan Frans Seda, dalam
perundingan yang alot itu HB IX berani berkata lantang: ”Nu of nooit meer!”
(sekarang atau tidak pernah sama sekali). Lobi HB IX yang mendapat simpati pers
setempat mendorong Perdana Menteri Belanda, Joseph Luns, menyetujui
perjanjian sebelum HB IX pulang ke Indonesia.
7. Barometer Reformasi 1998
Kejayaan Kasultanan Yogyakarta masih sangat kuat sampai sekarang.
Ketika gonjang-ganjing melanda Indonesia menjelang lengsernya Soeharto,
Yogyakarta menjadi barometer nasional. Gerakan reformasi 1998 terakselerasi
oleh momen aksi sejuta massa (pisowanan ageng) yang terjadi pada tanggal 20
Mei 1998. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa HB X tenyata masih
disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak luas.
Maklumat yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Pakualaman untuk
mendukung gerakan reformasi itu menjadi pegangan bagi rakyat Yogyakarta
untuk menentukan sikap. Sultan HB X pun tidak enggan untuk mengkritisi rezim
Orde Baru. Sebelum Soeharto lengser, HB X pernah menyampaikan pidato di
mimbar bebas UGM. Sabdanya: ”Sebagai tradisi perjuangan yang telah
diwariskan para leluhur, saya siap memimpin perjuangan panjang di tengahtengah masyarakat, rakyat, dan segenap kawulo Yogyakarta Hadiningrat. Jangan
lagi rakyat menjadi obyek kekuasaan, kezaliman, dan ketidakadilan. Sekarang ini,
itu semua sudah tamat!” Semua yang hadir pada momen itu spontan berseru:
”Hidup Sultan…hidup Sultan…hidup Sultan!” (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat,
1999).
D. Analisis Isu-Isu Pembangunan
Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah
keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa
saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Polemik keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh:
1. manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 &
PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi
gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61
pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan laku spiritual memohon
petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur
setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja,
29/9/10);
2. setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah
(UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak
mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu
daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal
18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal
18 b (ayat 1 & 2);
3. pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh
dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX &
PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno &
Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
4.
ketidak pahaman para penerus dan pengisi kemerdekaan karena
perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah
kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik)
yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal
Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata
kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI
5. perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan
Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah
pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara
Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa
melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan
perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem
pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak
mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah
terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
6. proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat
dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi
demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai
dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung
karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan &
Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah
wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden),
sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas
pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota,
bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai
amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah
keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa
saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Di tengah harapan rakyat yang
menyeruak ke permukaan, hingga memunculkan gerakan-gerakan proKeistimewaan, potensi masyarakat untuk menjadi kecewa perlu diperhitungkan.
Kecewa pada Pemerintah Pusat, itu jelas. Penundaan sekian lama yang berakibat
menggantungnya nasib keistimewaan Yogya membuat hati masyarakat Yogya
gelisah. Di tengah tekanan hidup sekarang ini, tidak menutup kemungkinan
masyarakat kecewa pada Keraton.
Semakin besar harapan, keyakinan, dan kepercayaan rakyat pada Kraton,
semakin besar pula potensi rakyat untuk menjadi kecewa pada Kraton. Manakala
harapan, keyakinan, dan kepercayaan itu tak terpenuhi, rakyat bisa semakin
kecewa. Kiranya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi segenap kerabat Kraton
Yogya. Dalam rangka Keistimewaan, masyarakat Yogya berharap sebagai
berikut:
1. Kraton mempunyai visi yang jelas dan tegas tentang posisi dan
perannya.
2. Kraton mempunyai kesamaan bahasa dan kesamaan perspektif,
serta solid sebagai sebuah institusi.
3. Kraton menjaga keutuhan masyarakat dengan memberikan solusisolusi implementatif untuk kepentingan kesejahteraan segenap
rakyat.
E. Penutup
Dari pembahasan tentang sejarah perkembangan Daerah Istimewa
Yogyakarta tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman berawal dari
runtuhnya Kerajaan Mataram Islam.
2. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam bergabung menjadi satu
dalam mengayomi masyarakat Yogyakarta.
3. Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena pertimbangan historis dan
mengantarkan dwi tunggal Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur,
sementara Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY.
4. Kontribusi dan eksistensi Yogyakarta dalam perjuangan merebut dan
mengisi kemerdekaan sangatlah besar.
5. Keberadaan pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta dalam Negara
Republik masih menjadi perdebatan yang segera diperlukan
penyelesaiannya demi terciptanya ketenteraman masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. Informasi Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Online).
www.infoyogyakarta.pdf. Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (Online).
http://www.wikipedia.com Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (Online). http://www.bpkp.go.id.
Diakses tanggal 9 September 2013.
Anonim. Sejarah Pendirian Negeri Pakualaman, Kadipaten Pakualaman, Praja
Pakualaman Tanggal 17 Maret 1813-1950 (Online).
http://www.sejarahnusantara.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Baskoro, Haryadi. Pakualaman: Satu dari Empat Projo Kejawen (Online).
http://pakualamanyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Baskoro, Haryadi. Sebuah Kerajaan Visioner (Online).
http://kasultananyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 september 2013.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Sejarah Singkat Provinsi DIY
(Online). http://www.pendidikan-diy.go.id. Diakses tanggal 9 September
2013.
Kusuma, Leo. Latar Belakang Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (Online).
http://leo4kusuma.blogspot.com. Diakses tanggal 9 September 2013.
Koesnodiprodjo, 1951, Himpunan Undang-Undang, Penetapan Pemerintah
Republik Indonesia 1945, Penerbit Djakarta, Jakarta.
Poerwokoesoemo, Soedarisman, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Penerbit
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pemerintah Kota Yogyakarta. Sejarah Kota Yogyakarta (Online).
http://www.jogjakota.go.id. Diakses tanggal 9 September 2013.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah (Online).
httpportal.jogjaprov.go.id.pdf. Diakses tanggal 9 September 2013.