Pengaturan Perlindungan dan Pelestarian warisan

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL:
PENGATURAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT
DALAM UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA
(UNCLOS)

Marchsya Fitri Andina (1206264190)
M. Bigi (1206243910)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2016

1

DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah

3

4

BAB II: ISI
1. Sejarah UNCLOS
2. Prinsip Hukum Lingkungan Internasional dalam UNCLOS
3. Ketentuan Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut
dalam UNCLOS

5
8

4. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Laut dalam UNCLOS
5. Case Study

20
21

10

BAB III: PENUTUP

1. Kesimpulan

28

DAFTAR ISI

29

2

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Berdasarkan penelitian ilmiah sampai saat ini, Bumi merupakan satu-satunya
planet yang mampu menyokong kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Hal ini dikarenakan oleh faktor-faktor yang apabila dikombinasikan membuat
kehidupan di Bumi menjadi mungkin. Beberapa dari faktor-faktor tersebut ialah
letak planet bumi yang ideal di galaksi, jarak dari matahari, kemiringan yang
menyebabkan adanya bermacam-macam musim, perisai stratosfer yang melindungi

bumi, lapisan atmosfer dimana kita bisa bernapas, sumber air yang cukup,
perubahan temperatur yang normal, sinar matahari, tenaga dan mineral, fotosintesis,
siklus air, siklus karbon, tanah, beraneka flora dan fauna.1
Perubahan di muka bumi merupakan hal yang biasa. Bumi memiliki pertahanan
atas perubahan yang terjadi diatasnya. Meskipun begitu, pertahanan atas perubahan
ini sejatinya hanya terhadap perubahan yang natural saja—Bumi ternyata rentan atas
perubahan anthropogenic atau perubahan yang disebabkan oleh ulah manusia. 2
Reaksi Bumi atas perubahan yang disebabkan manusia ini semakin terasa seiring
berjalannya waktu. Sebagaimana dilaporkan oleh publikasi yang diterbitkan oleh
United Nations Environment Programme (UNEP), di akhir tahun 2014 terdapat
sembilan isu lingkungan secara global, yang diantaranya adalah: excess nitrogen di
lingkungan, munculnya penyakit-penyakit menular, pemburuan ikan dan kerang di
Ekosistem Laut, perdagangan ilegal atas binatang liar, polusi udara, sampah plastik

1 Ved P. Nanda dan George (Rock) Pring, International Environmental Law and Policy for the
21st Century, 2nd Revised Edition, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013), hlm. 3.
2 Ibid.

3


di laut, dan salah satu yang paling disoroti oleh dunia, yaitu perubahan yang drastis
di kutub utara.3
Dalam perkembangannya, isu-isu lingkungan dalam lingkup global telah
menjadi sorotan hukum internasional. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
konferensi-konferensi yang mencoba membahas dan merumuskan aturan-aturan di
tingkat internasional untuk menjadi tolak ukur maupun pedoman berperilaku bagi
negara anggota untuk meregulasi maupun menangani permasalah lingkungan yang
terjadi. Salah satu hasil konferensi internasional yang kemudian menjadi hard law
adalah United Nations Convention on The Law of The Sea (untuk selanjutnya
disebut UNCLOS).
PBB mulai memberikan perhatiannya kepada masalah lingkungan laut setelah
terjadi beberapa peristiwa yang mencemari laut. Perhatian kepada lingkungan
terbukti dengan diselenggarakannya konferensi di Stockholm pada 1972. Prinsipprinsip dari Stockholm 1972 kemudian kerap diadopsi untuk konvensi-konvensi
yang berkaitan dengan lingkungan, salah satunya adalah UNCLOS 1982.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah disusunnya dan terbentuknya UNCLOS?
2. Bagaimana hubungan UNCLOS dengan Konferensi Stockolm dan prinsipprinsip yang ada di dalamnya?
3. Bagaimana UNCLOS mengatur perlindungan dan pelestarian laut?
4. Bagaimana penerapan peraturan dalam UNCLOS terkait kasus MOX Plant
Case?


3 United Nations Environment Programme, UNEP Year Book: Emerging Issues in Our Global
Environment, (UNEP Division of Early Warning and Assessment, 2014,) hlm. 2-3.

4

BAB II
ISI

1. Sejarah Pembentukan UNCLOS
Hukum internasional yang mengatur mengenai pencemaran laut muncul ke
permukaan lebih lambat daripada hukum internasional yang mengatur mengenai
pelayaran dan kedaulatan negara di laut. Pengaturan mengenai pelayaran dan
kedaulatan negara di laut merupakan isu yang nampak lebih penting pada masa
lampau dibandingkan dengan pencemaran laut. Bahkan terdapat anggapan bahwa
begitu luasnya lautan, sehingga dianggap laut tidak akan mungkin tecemar.4 Karya
dari Hugo Grotius yaitu ‘mare libervm’ atau bila diterjemahkan dengan bahasa
Inggris menjadi ‘freedom of the sea’ merupakan tulisan pertama yang terkenal terkait
dengan regulasi laut. Freedom of the sea yang dipublikasikan secara anonim pada
1609 dan


menjadi suatu prinsip penting untuk dunia pelayaran internasional. 5

Tulisan Hugo Grotius tersebut sebenarnya memberikan pembelaan bagi Belanda,
negara asal Grotius, untuk dapat mengarungi lautan dan melakukan ekspedisi. Hal
tersebut dapat dilihat dalam bukunya Mare Liberum:6 Memang pada 1602, di Eropa
dinyatakan bahwa laut terbagi menjadi dua, milik spanyol dan milik Portugal,
sehingga Hugo Grotius berusaha membuat perubahan.7
“My intention is to demonstrate briefly and clearly that the Dutch—that is
to say,the subjects of the United Netherlands—have the right to sail to the East
Indies,as they are now doing, and to engage in trade with the people there.”

Kemudian, negara-negara mulai memikirkan kedaulatan mereka di lautan.
Negara-negara tersebut

melakukan klaim terhadap laut yang berada disekitar

4 Timo Koivurova, Introduction to International Environmental Law, (New York: Routledge
2014), hlm. 151.
5 R. P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, (The Hague: Nijhoff Publishers

1982), hlm. 2.
6 Hugo Grotius, Freedom of the Sea, (New York: Oxford University Press 1916), hlm. 7.
7 Stephen J. Darmody, The law of the Sea: A Delicate Balance for Environmental Lawyers,
Natural Resources and Environments, Vol. 9, No. 4, hlm. 24.

5

wilayah kedaulatan mereka dengan pengukuran yang beragam. Ada yang mengukur
dengan jarak meriam apabila ditembakan yang diperkenalkan oleh Cornelius van
Bynkershoek.8 Kebutuhan negara-negara untuk mengeksploitasi kekayaan mereka di
laut membuat mereka menginginkan untuk menambah luas kedaulatan mereka di
lautan. Mereka membuat teori-teori mengenai wilayah kedaulatan mereka di lautan,
masing-masing memiliki pendapat yang berlainan.9 Maka Liga Bangsa-Bangsa
mengadakan konferensi di Hague pada 1930, tetapi tidak ada hasil dari konferensi
tersebut.
Pasca Perang Dunia Ke-II, tepatnya pada 28 September 1945 presiden Harry S.
Truman dari Amerika menyuarakan perluasan wilayah kedaulatannya di laut.
Perluasan ini dengan dalih untuk menjaga dan mengeksploitasi sumber daya alam
yang terdapat di sekitar atau dekat dengan wilayah kedaulatannya seiring dengan
perkembangan teknologi yang terjadi.10 Dapat dilihat bahwa unsur kepentingan

menjadi suatu faktor untuk pembentukan regulasi-regulasi.. Sedangkan, mengenai
pencemaran laut nampaknya belum menjadi suatu isu yang dipertimbangkan pada
saat itu.
Bila melihat kembali ke tahun 1926, sebenarnya terdapat suatu usaha
internasional terkait pencegahan pencemaran laut, lebih spesifiknya “discharges of
oiI” atau kebocoran minyak, yaitu Preliminary Conference on Oil Pollution of
Navigable Waters di Washington. Berdasarkan draf konferensi tersebut, dibentuklah
International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil pada
1954.Kemudian, perjanjian internasional tersebut diikuti oleh lahirnya perjanjianperjanjian internasional lainnya yang berkaitan dengan lingkungan, seperti 1958
High Seas Fishing and Conservation Convention, 1958 Convention on the
Continental Shelf, dan 1958 Convention on the High Seas.11
Pada masa 60-90’an banyak peristiwa-peristiwa kebocoran minyak di laut oleh
kapal-kapal pengangkut. Hal ini menjadi alasan bagi PBB untuk memberikan
8 Timo Koivurova, Op. Cit., hlm. 138.
9 Ibid., hlm. 140.
10 Ibid., hlm. 234.
11 Phillipe Sands and Jacqualine Peel, Principles of International Environmental Law, Third
Edition, (Cambridge: Cambridge University Press 2012), hlm. 348.

6


perhatian lebih kepada perlindungan lingkungan laut.12 Pencemaran laut menjadi isu
yang penting pada masa itu, contohnya peristiwa Torrey Canyon, sehingga
diselenggarakan

Stockholm

Conference

1972.

Konferensi

ini

kemudian

menghasilkan Declaration of the United Nations Conference on the Human
Environment.
Bila melihat deklarasi tersebut, maka dapat dilihat deklarasi tersebut hanya

berupa prinsip-prinsip, tidak terdapat pengaturan yang spesifik tentang penjagaan
lingkungan laut. Namun, prinsip-prinsip tersebut diadopsi untuk UNCLOS 1982.
Nama yang dikenal untuk UNCLOS 1982 adalah Arvid Prado, seorang
perwakilan PBB dari Malta. Pada 1 November 1967, beliau menyuarakan urgensi
untuk membentuk hukum internasional baru terkait laut yang lebih jelas. Kemudian,
konferensi yang membahas UNCLOS 1982 akhirnya diselenggarakan pada 1973 di
New York. Konferensi ini memakan waktu selama 9 tahun. 13 9 tahun dalam koferensi
ini dilakukan di New York dan Geneva. Setelah selesai pada 1982 di Montego Bay,
Jamaika, ditanda tangani pada 10 December 1982, kemudian pada 16 November
1994 UNCLOS 1982 diberlakukan.14 Kemudian negara-negara yang meratifikasi
UNCLOS 1982 terus bertambbah.15Pada Part XII dibahas mengenai Protection and
Preservation of the Marine Environment, pada bagian ini diatur jelas mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dari pencemaran sampai dengan
penegakan hukumnya.

12 Ibid.
13 Alfred P. Rubin, “Monster from The Deep: Return of UNCLOS,” The National Interest, No.
37 (fall 1994), hlm. 63.
14 http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.htm
15 Margaret L. Tomlinson dan Michael A. Becker, “International Law of the Sea,” The

International Lawyer, International Legal Developments, American Bar Association, vol. 42, No. 2, hlm.
800.

7

2. Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan Internasional dalam UNCLOS 1982
Part XII dan kaitannya dengan Stockholm 1972.
Prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional secara general dapat dijabarkan
sebagai berikut:16
1. States have sovereignty over their natural resources and the responsibility
2.
3.
4.
5.
6.
7.

not to cause transboundary environmental damage;
The principle of preventive action;
The principle of cooperation;
The principle of sustainable development;
The precautionary principle;
The polluter pays principle; and
The principle of common but differentiated responsibility.

Prinsip-prinsip ini tentu dapat ditemukan dalam UNCLOS 1982. Sebelum
diadopsi kedalam UNCLOS 1982, prinsip-prinsip ini dituangkan dalam Declaration
of the United Nations Conference on the Human Environment. Deklarasi tersebut
menghasilkan prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:17
1. Areas subject to protection (principle 2, 3, 4, & 5);
2. Legal duties and responsibilities of states (principle 21, 22, & 24).
Kemudian, dapat dibuktikan bahwa UNCLOS 1982 mengadopsi prinsip-prinsip
general dari hukum lingkungan internasional yang tertuang dalam Stockholm 1972,
seperti demikian:18
No

Prinsip-Prinsip

Hukum

.
1.

Internasional
States have sovereignty over their natural

Article 194

resources and the responsibility not to

Measures to prevent, reduce and control

cause

pollution of the marine environment

transboundary

Lingkungan UNCLOS 1982

environmental

damage

2. States shall take all measures necessary to
ensure that activities under their jurisdiction
or control are so conducted as not to cause

16 Phillipe Sands dan Jacqualine Peel, Op. Cit., hlm. 187.
17 Bahan kuliah hukum lingkungan internasional 17/2/2016
18 Bagian dalam UNCLOS yang dimasukkan dalam table adalah yang menurut penulis cukup
jelas dan mudah dilihat bahwa prinsip tersebut tertuang didalamnya.

8

damage by pollution to other States and their
environment, and that pollution arising from
incidents or activities under their jurisdiction
or control does not spread beyond the areas
where they exercise sovereign rights in
2.

accordance with this Convention.
Article 194

The principle of preventive action

Measures to prevent, reduce and control
pollution of the marine environment
1. States shall take, individually or jointly as
appropriate, all measures consistent with this
Convention that are necessary to prevent,
reduce and control pollution of the marine
environment from any source, using for this
purpose the best practicable means at their
disposal and in

accordance

with their

capabilities, and they shall endeavor to
3.
4.

The principle of cooperation

harmonize their policies in this connection.
Terlihat dalam Section 2 tentang Global and

The principle of sustainable development

Regional Cooperation.
Article 192
General obligation
States have the obligation to protect and

5.
6.

The precautionary principle

preserve the marine environment.
Terlihat dalam Section 4 tentang Monitoring

The polluter pays principle

and Environmental Assesment.
Article 235
Responsibility and Liability
3. With the objective of assuring prompt and
adequate compensation in respect of all
damage caused by pollution of the marine
environment, States shall cooperate in the
implementation of existing international law

9

and the further development of international
law relating to responsibility and liability for
the assessment of and compensation for
damage and the settlement of related disputes,
as well as, where appropriate, development of
criteria and procedures for payment of
adequate compensation, such as
compulsory insurance or compensation funds

3. Ketentuan Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut
dalam UNCLOS
UNCLOS pada hakikatnya merupakan konvensi yang mengatur mengenai
hukum laut (the Law of the Sea), yang merupakan penjelmaan dari upaya untuk
mewujudkan rezim hukum yang mengatur sekitar 70% dari keseluruhan luas
permukaan bumi.19 Secara keseluruhan, UNCLOS 1982 ini merupakan suatu
kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan
di laut, sehingga dianggap sebagai “a constitution for the oceans”.20 Oleh karena itu,
peraturannya tidak hanya terbatas mengenai Perlindungan dan Pelestarian Laut.
Secara luas, UNCLOS mengatur mengenai kawasan-kawasan laut yang tunduk pada
kedaulatan Negara pantai dan tunduk pada Hak berdaulat Negara pantai
(sovereignty and sovereign right).
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam PART XII mengenai
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam UNCLOS. Kesadaran akan
perlunya pengaturan mengenai hal ini muncul karena pada faktanya wilayah
samudera yang menutupi lebih dari 70% permukaan bumi, memainkan peran yang
vital

dalam

mempertahankan

keseimbangan

biologis

maupun

ekologis.21

19 Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut: Suatu
Ringkasan, cetakan ke-2, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 1.
20 Etty R. Agoes, “Penguatan Hukum Internasional Kelautan,” Makalah disampaikan pada
Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan
Leamanan untuk Meneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan,
5-6 Maret 2015, hlm. 2.
21 Boleslaw Adam Boczek, “Global and Regional Approaches to the Protection and
Preservation of the Marine Environment,” Case Western Reserve Journal of International Law, Volume

10

Pencemaran-pencemaran di kawasan laut pun dibagi menjadi beberapa sumber yaitu
pencemaran berasal dari sumber kegiatan darat22, kegiatan Laut23 Pencemaran
karena Dumping24,Kegiatan di kawasan2526 kegiatan oleh kendaraan laut27,

dan

kegiatan di atas udara28.Dalam hal penegakan hukumnya pun dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan Negara pantai sendiri untuk pencemaran yang
berasal dari kegiatan darat29 kegiatan dasar laut30, kegiatan di atas udara31, kegiatan
di selat internasional32 , kawasan tertutup es33 dan penegakan hukum di Negara
pantai34, lalu penegakan hukum untuk karena kegiatan di kawasan di tentukan oleh
pada bagian Bab 11 dari unclos sendiri mengingat kawasan yang dimaksud disini
bukanlah dibawah kekuasaan suatu Negara, lalu untuk penegakan hukum pada
kegiatan dumping di tetapkan oleh organisasi berkompeten(IMO) juga berlaku pada
penegakan hukum oleh Negara bendera35 dan penegakan hukum oleh Negara
pelabuhan36, dalam hal maksud Negara pantai, Negara pelabuhan dan Negara
bendera maksudnya disini adalah Negara pantai merupakan Negara penguasa
kawasan laut baik di kawasan penuh kedaulatan maupun kawasan kedaulatan
khusus, Negara pelabuhan disini dikamsudkan adalah Negara yang memiliki
pelabuhan yang dimana Negara pelabuhan yang juga sekaligus menguasai pantai,
dalam hal ini terminology pelabuhan disini menyisyaratkan bahwa belum tentu
setiap Negara memiliki pantai sehingga Negara pelabuhan di gunkan sebagai
maksud Negara pantai yang di dalam pelabuhanya terdapat kapal Negara asing yang
menetap di sana.

16, Issue 1, (Case Western Reserve School of Law, 1984), hlm. 41.
22 Pasal 207 UNCLOS 1982.
23 Pasal 208 UNCLOS 1982.
24 Pasal 210 UNCLOS 1982.
25 Pasal 209 UNCLOS 1982.
26 kawasan dimaksud disini adalah kawasan yang dimiliki oleh bersama yang dimana di
gunakan untuk kepentingan bersama umat manusia pada BAB 11 UNCLOS
27 Pasal 211 UNCLOS 1982.
28 Pasal 212 UNCLOS 1982.
29 Pasal 213 UNCLOS 1982.
30 Pasal 214 UNCLOS 1982.
31 Pasal 222 UNCLOS 1982.
32 Pasal 233 hanya diperuntukan oleh Negara yang memiliki selat internasional
33 Pasal 234 UNCLOS 1982.
34 Pasal 220 UNCLOS 1982.
35 Pasal 217 UNCLOS 1982.
36 Pasal 218 UNCLOS 1982.

11

Pada dasarnya ketentuan UNCLOS 1982 mengenai perlindungan kawasan
laut dari kerusakan ini sebagai ukuran yang seharusnya menjadi standarisasi dari
suatu Negara yang dimana standarisasi ini tidak berarti sebagai saranan
mengurangi suatu hak dan kewajiban Negara-negara yang telah terjalin melalui
perjanjian internasional sebelumnya.37
Dalam melihat ketentuan-ketentuan yang akan dijabarkan di bawah, perlu
juga diperhatikan pula istilah-istilah yang ada dalam UNCLOS untuk
membedakan peran Negara. Pembedaan peran ini berpengaruh kepada
kewajiban dan tanggung jawab negara. Negara peserta dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu negara yang benderanya dikibarkan oleh kapal (flag state), negara
pelabuhan tempat persinggahan kapal (port state), dan negara yang wilayah
lautnya dilewati oleh kapal (coastal state).
Untuk menentukan kewarganegaraan dari sebuah kapal, cara yang paling
mudah untuk dilakukan adalah dengan melihat bendera negara mana yang
disandang oleh kapal tersebut.38 Dalam hal ini maksudnya adalah di negara mana
kapal tersebut diregistrasi, yang lazim disebut sebagai negara bendera atau flag
state. Negara bendera memiliki jurisdiksi dalam penegakkan peraturan yang
lebih besar dibanding dua jenis negara yang lain.
Pasal 218 UNCLOS memberikan jurisdiksi kepada negara pelabuhan atau
port state dalam penegakkan hukum, yaitu negara pelabuhan berhak mengambil
tindakan hukum terhadap pelanggar ketentuan konvensi internasional yang
terjadi di laut internasional. Sementara itu, yang memiliki jurisdiksi paling
lemah adalah negara pantai (coastal state). Sebenarnya UNCLOS masih
memiliki jurisdiksi, yaitu atas laut internal, territorial, dan juga ZEE, meskipun
untuk ZEE jurisdiksinya harus terlebih dahulu diatur oleh hukum nasional.39

1. Ketentuan Umum
37 Pasal 237 UNCLOS 1982.
38 Daniel Patrick O’Connel, The International Law of The Sea: Volume II, (Virginia: Oxford
University Press, 1984), hlm.752.
39 Pasal 56 UNCLOS 1982.

12

Dalam pasal 192 mengatur tentang kewajiban bagi negara-negara peserta
konvensi untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.40 Untuk
selanjutnya dalam pasal 193 diatur bahwa negara memiliki hak untuk
menguasai dan mengelola sumber daya alam menurut kebijakan lingkungan
dan sesuai dengan tugas dari masing-masing negara untuk melindungi dan
memelihara lingkungan laut.41 Dalam pasal 194 kemudian diatur bahwa negaranegara harus mengambil segala upaya yang diperlukan untuk mencegah,
mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari
berbagai sumber.42 Didalam melaksanakan upaya-upaya tersebut negara-negara
peserta berkewajiban untuk tidak memindahkan kerusakan atau bahaya-bahaya
kedaerah lain atau mengubah suatu jenis pencemaran menjadi pencemaran
lainnya yang mana hal ini sesuai dengan pengaturan yang ada dalam pasal
196 .43
2. Kerjasama Regional-Internasional
Untuk selanjutnya dari pasal 197 hingga 201 diatur mengenai kewajiban
bagi setiap negara untuk melakukan kerjasama baik secara regional maupun
internasional

untuk

secara

bersama-sama

kemudian

melindungi

dan

melestarikan lingkungan lautnya. Mengenai bantuan-bantuan ilmiah dan
bantuan teknis untuk negara-negara berkembang oleh negara-negara peserta
baik secara langsung atau melalui organisasi internasional.44

3. Bantuan Teknis
Hak-hak negara berkembang untuk didahulukan dalam hal pengalokasian
dana dan bantuan teknis serta pemanfaatan jasa khusus diatur dalam pasal 202203. Serta kehendak dari konvensi UNCLOS 1982 agar negara-negara dengan
metode ilmiah yang diakui agar mengawasi akibat-akibat dari pencemaran laut
40 Pasal 192 UNCLOS 1982.
41 Pasal 193 UNCLOS 1982.
42 Pasal 194 UNCLOS 1982.
43 Pasal 196 UNCLOS 1982.
44 Chairul Anwar, Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,
(Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 104.

13

yang kemudian hasil pantauan ini kemudian dibuat dalam bentuk laporan dan
kemudian laporan ini disampaikan kepada organisasi-orgaisasi internasional
guna disebar luaskan kepada semua negara.45 Hal ini sebagaimana yang diatur
dalam pasal 202-206.

4. Pengaturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional Untuk
Melindungi dan Mengawasi Pencemaran Lingkungan Laut
Kewajiban untuk memformulasikan aturan-aturan Internasional dan
perundang-undangan nasional untuk mengawasi pencemaran dan untuk
harmonisasi kebijakan nasional, ditetapkan oleh konvensi dengan mengacu
kepada

berbagai

jenis

sumber-sumber

pencemaran.

Sumber-sumber

pencemaran tersebut antara lain dapat berupa: pencemaran daratan,
pencemaran kawasan dasar laut, pencemaran karena dumping, pencemaran
dari kapal, serta pencemaran yang berasal dari atau melalui atmosfer. 46
Sebagaimana hal ini yang diatur dalam pasal 207 sampai dengan pasal 212.

6. Penegakan Hukum/Pelaksanaan (Enforcement)
Setelah pada bagian sebelumnya diatur mengenai pencemaran, yang
berikutnya diatur dalam PART XII UNCLOS adalah mengenai penegakan
hukum/pelaksanaan.

Ketentuan-ketentuan

ini

mengatur

mengenai

pelaksanaan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah, mengurangi,
atau mengendalikan pencemaran laut. Latar belakang dari dimuatnya aturanaturan mengenai hal ini disebabkan atas kesadaran bahwa tidak adanya
pelaksanaan efektif di masa lalu merupakan salah satu dari kegagalan, atau
pelaksanaan fungsi yang tidak efektif, dari berbagau perjanjian mengenai
perlindungan laut terhadap pencemaran.47
45 Ibid, hlm 105.
46 Ibid, hlm 105.
47 Ibid., hlm. 26.

14

UNCLOS mengatur bahwa peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang ditetapkan oleh Negara
Anggota harus diiringi dengan penegakan hukum. Terhadap pencemaran
yang berasal dari sumber daratan, Negara Anggota wajiib menegakan hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuatnya dibawah
Pasal 207 UNCLOS dan

melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan

untuk mengimplementasikan standar dan aturan internasional yang dibentuk
melalui

organisasi

internasional

yang

kompeten

dan

konferensi

internasional.48 Dengan begitu, sejatinya penegakan hukum atas pencemaran
yang berasal dari sumber daratan diserahkan kepada Negara Anggota sendiri.
Begitu pula penegakan hukum atas pencemaran yang berasal dari
kegiatan-kegiatan Dasar Laut di yurisdiksi mereka serta yang berasal dari
pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di dalam
yurisdiksi mereka—yang diatur oleh pasal 60 dan pasal 80 UNCLOS—
Negara Anggota lah yang diharuskan untuk melakukan penegakan hukum.49
Sementara itu, mengenai penegakan hukum yang berhubungan dengan
polusi dari aktivitas di kawasan dasar laut internasional, diberlakukan
aturan-aturan yang diatur dalam PART XI dari UNCLOS yang mengatur
tentang bagian dasar laut dari konvensi. Dalam Pasal 145 UNCLOS—
sebagai bagian dari PART XI—diatur bahwa perlu dilakukan tindakantindakan untuk menjamin perlindungan lingkungan laut atas kerugian yang
dapat timbul dari aktivitas di kawasan dasar laut internasional.50 Untuk itu,
International

Seabed Authority51

bertanggungjawab

untuk

membuat

peraturan-peraturan yang relevan untuk menjamin perlindungan lingkungan
laut atas aktivitas di kawasan dasar laut internasional.

48 Pasal 213 UNCLOS 1982.
49 Pasal 214 UNCLOS 1982.
50 Pasal 145 UNCLOS 1982.
51 International Seabed Authority atau otoritas dasar laut internasional diatur dalam Section 4
dari UNCLOS. Singkatnya, International Seabed Authority merupakan organisasi yang mengatur dan
mengontrol aktivitas di kawasan dasar laut internasional. (lihat Pasal 157 UNCLOS)

15

Penegakan hukum atas aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
pencemaran yang berasal dari dumping dilakukan oleh Negara pantai,
Negara bendera dalam hal kapal yang memakai bendera Negara tersebut
ataupun pesawat udara yang teregister di Negara tersebut, atau Negara
manapun yang di dalam wilayahnya limbah atau jenis lainnya dimuat oleh
suatu kapal.52 Bagian kedua dari Pasal 216 UNCLOS juga mengatur bahwa
Negara tidak boleh mengadakan pemeriksaaan terhadap suatu kejadian
apabila sudah ada Negara lain yang mengadakan pemeriksaan dengan
mengacu pada pasal ini.53
Pasal 217 sampai dengan Pasal 222 dari UNCLOS mengatur mengenai
penegakan hukum oleh Negara pantai dan Negara pelabuhan. Negara pantai
merupakan Negara penguasa kawasan laut baik di kawasan penuh
kedaulatan maupun kawasan kedaulatan khusus, sedangkan Negara
pelabuhan adalah Negara yang memiliki pelabuhan juga sekaligus
menguasai pantai.

7. Pengamanan (Safeguards)
Bagian sebelumnya mengatur mengenai penegakan hukum, dan sebagai
lanjutannya, bagian ini mengatur tentang langkah-langkah prosedural yang
dilakukan untuk memastikan penegakan hukum. Pengamanan diatur dalam
Section 7 dari BAB XII UNCLOS, yaitu dari Pasal 223 sampai dengan Pasal
233 UNCLOS. Beberapa hal yang diatur dalam Section ini diantaranya
terdiri dari langkah-langkah pengamanan tertentu bagi perlindungan kapalkapal asing.

52 Chairul Anwar, Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982,
(Jakarta: Djambatan, 1989), hlm. 107.
53 Pasal 216 UNCLOS 1982.

16

Pelaksanaan wewenang untuk penegakan hukum diatur dalam Pasal 224
UNCLOS, yaitu bahwa wewenang untuk penegakan hukum terahadap
kendaraan air asing (foreign vessels) menurut section ini hanya dapat
dilaksanakan oleh para pejabat atau oleh kapal-kapal perang, pesawat udara
militer, atau kapal laut lainnya atau pesawat udara yang diberi tanda jelas
dan dapat dikenal sebagai sedang dalam dinas pemerintah serta diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan itu.54 Meskipun begitu,
dalam melaksanakan wewenang untuk penegakan hukum, Negara-negara
tidak boleh membahayakan keselamatan pelayaran atau menimbulkan
bahaya bagi kendaraan air tersebut, atau membawanya ke pelabuhan atau
tempat berlabuh yang tidak aman atau membuat lingkungan laut terpapar
risiko yang tidak wajar.55
Proses penegakan hukum atas kapal air asing yang disebutkan diatas
diatur dalam Pasal 226 sampai dengan Pasal 233 UNCLOS. Pasal-pasal ini
mengatur mengenai proses penuntutan layaknya suatu proses pidana, kecuali
dalam Pasal 229.

Hal-hal yang diatur antara lain: penahanan untuk

pemerluan pemeriksaan,56 larangan atas diskriminasi terhadap kapal-kapal
asing,57 penuntutan,58 denda yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran,59
pemberitahuan kepada Negara-negara bendera tentang tindakan-tindakan
penegakan hukum yang dilakukan oleh negara lain,60 dan apabila tindakan
penegakan hukum terkair dilaksanakan secara tidak sah, negara yang
bersangkutan dapat dianggap bertanggung jawab.61
Di sisi lain, Pasal 229 UNCLOS mengatur hal keperdataan, yaitu bahwa
denda uang hanya dapat dikenakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh kapal-kapal asing di luar laut teritorial. 62 Hal yang sama
54 Pasal 224 UNCLOS 1982.
55 Pasal 225 UNCLOS 1982.
56 Pasal 226 UNCLOS 1982.
57 Pasal 227 UNCLOS 1982.
58 Pasal 228 UNCLOS 1982.
59 Pasal 230 UNCLOS 1982.
60 Pasal 231 UNCLOS 1982.
61 Pasal 232 UNCLOS 1982.
62 Pasal 229 UNCLOS 1982.

17

berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran kapal-kapal asing di laut teritorial,
kecuali dalam perkara perbuatan pencemaran yang disengaja dan gawat.63

8. Wilayah yang Ditutupi Es (Ice-Covered Areas
Negara-negara pantai berhak menetapkan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan tanpa diskriminasi untuk pencegahan, pengurangan dan
pengendalian pencemaran laut yang berasal dari kendaraan air di kawasan yang
tertutup es dalam batas zona ekonomi eksklusif, dimana khususnya keadaan
cuacanya sangat buruk dan permukaan lautnya sepanjang tahun selalu tertutup es
sehingga menghambat atau membahayakan pelayaran, dan pencemaran
lingkungan lautnya akan sangat membahayakan atau tidak akan dapat
dikembalikan keseimbangan ekologinya seperti semula.64

9. Tanggung Jawab dan Kewajiban Ganti Rugi (Responsibility and
Liability)
Konvensi mengatur bahwa Negara bertanggungjawab atas pemenuhan
kewajiban-kewajiban internasional mereka berkenaan dengan perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut.65 Selain itu, Negara harus menjamin tersedianya
upaya menurut sistim perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti-rugi
yang segera dan memadai atau bantuan lainnya berkaitan dengan kerusakan
yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau oleh
badan hukum di bawah yurisdiksi mereka.66

10. Kekebalan (Sovereign Immunity)
Ketentuan dalam UNCLOS yang mengatur mengenai perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan,
kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan
63 Koers, op. cit., hlm. 31-32.
64 Pasal 234 UNCLOS 1982.
65 Pasal 235 section (1) UNCLOS 1982.
66 Pasal 235 section (2) UNCLOS 1982.

18

oleh suatu Negara serta digunakan hanya untuk keperluan pemerintah yang
bukan bersifat komersial. Meskipun begitu, tiap negara harus menjamin bahwa
operasi kapal-kapal tersebut sejalan dengan konvensi UNCLOS 1982.67

11. Kewajiban Negara Berdasarkan Konvensi Lain Mengenai Perlindungan
dan Pelestarian Lingkungan Laut (Obligations Under Other Convention
on the Protection and Preservation of the Marine Environment)
Ketentuan ini merupakan ketentuan peralihan, yang menegaskan bahwa
ketentuan-ketentuan perlindungan lingkungan dalam konvensi ini tidak
mengurangi kewajiban negara-negara mengenai hal yang sama, terhadap
konvensi-konvensi yang sudah ada dan konvensi-konvensi yang akan datang
yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban khusus yang diterima Negara
mengenai perlindungan lingkungan.68 Kewajiban yang diterima negara
berdasarkan Konvensi-konvensi khusus mengenai perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan asas-asas yang
umum dan tujuan Konvensi ini.69

4. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Laut dalam UNCLOS
Terdapat ekspektasi terhadap Negara-negara yang meratifikasi UNCLOS
untuk memenuhi kewajiban hukum internasionalnya untuk melindungi
lingkungan laut dan sumber daya yang terdapat di dalamnya dari pencemaran,
baik yang berasal dari darat, laut, maupun udara. Mekanisme penyelesaian
sengketa yang diatur dalam UNCLOS memperbolehkan negara pihak dan
International Seabed Authority untuk meminta pertolongan kepada yurisdiksi
teibunal maupun arbitrase UNCLOS untuk mengadili perkara yang berdasarkan
pelanggaran terhadap tanggung jawab Negara terhadap lingkungan yang diatur
67 Pasal 236 UNCLOS 1982.
68 Pasal 237 section (1) UNCLOS
69 Pasal 237 section (2) UNCLOS

19

dalam UNCLOS.70 Dalam UNCLOS diatur mengenai penyelesain sengketa
(settlement of disputes) pada Part XV mengenai Settlement of Disputes. Part ini
terdiri dari 20 ayat (279-299) yang terbagi menjadi 3 sections. Section 1
mengenai General Provisions (Pasal 279-285), Section 2 mengenai Compulsory
Procedures Entailing Binding Decisions (Pasal 286-296), dan Section 3
mengenai Limitations and Exceptions to applicability of Section 2 (Pasal 297299).71
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa dalam UNCLOS 1982 dapat
diterapkan untuk segala hal yang mungkin menjadi sengketa dalam UNCLOS
1982, tidak menutup kemungkinan untuk permasalahan lingkungan yang diatur
dalam Section XII. Dalam Part XV dimungkinkan untuk kedua pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan damai dan
dengan cara-cara yang dapat mereka pilih dengan tujuan perdamaian antara
mereka.72 Ketentuan ini berlaku bila tidak ada perjanjian diantara para pihak
sebelumnya terkait penyelesaian sengketa. Dalam bagian ini juga dijelaskan
mengenai kewajiban untuk bertukar pandangan diantara para pihak.Berdasarkan
Pasal 284 konsiliasi mungkin dilakukan untuk para pihak.
Bila sengketa diantara para pihak tidak selesai dengan cara perdamaian,
maka baru masuk kepada yang diatur dalam Section 2 yaitu Compulsory
Procedures Entailing Binding Decisions (Pasal 286).73 Para pihak bersengketa
memiliki hak untuk memilih prosedur yang piahk tersebut inginkan sebagaimana
diatur dalam Pasal 287. Pasal 288-289 juga masih berkaitan dengan ini yaitu
jurisdiksi dan ahli. Compulsory settlement tidak hanya sekedar aplikasi dan
interpretasi dari UNCLOS 1982, tetapi juga berikut ini:74
1. Provisonal Measures;
2. Prompt Release of Vessels;
3. Disputes Concerning Related Agreements.
70 Lawrence A. Kogan, “What Goes Around Comes Around: How UNCLOS Ratification Will
Herald Europe’s Precautionary Principle as U.S. Law,” Santa Clara Journal of International Law,
Volume 7, Issue 1, (Santa Clara University, 2009), hlm. 28.
71 UNCLOS 1982
72 Alan E. Boyle, “UNCLOS, the Marine Environment and the settlement of dispute”, hlm.
73 Ibid.
74 Ibid.

20

Pada Section berikutnya dijelaskan mengenai pembatasan dan pengecualian dari
penerapan Section 2. Yang diatur pada bagian ini adalah:
1. EEZ Disputes;
2. Maritime Boundary Disputes.

5. Case Study
Putusan dari peradilan-peradilan internasional memberikan petunjuk yang paling
authoritative atas keadaan hukum internasional pada saat putusan itu dijatuhkan. Dalam
ranah hukum lingkungan internasional, belum banyak yurisprudensi yang dapat menjadi
petunjuk sebagaimana diuraikan diatas, tetapi keberadaan dari putusan-putusan yang
ada menguatkan keberadaan tanggung jawab hukum untuk mencegah, mengurangi, dan
mengontrol kerugian lingkungan melewati batas negara, untuk bekerjasama dalam
mengatasi risiko lingkungan, untuk melaksanakan environment impact assessment and
monitoring (analisa dan monitoring mengenai dampak lingkungan).75 Hal lain yang
perlu dicatat ialah, dari kasus-kasus yang diajukan kepada International Court of
Justice (untuk selanjutnya disebut ICJ) maupun International Tribunal on the Law of
the Sea (untuk selanjutnya disebut ITLOS), tidak ada Negara yang mengajukan
keberatan atas tanggung jawabnya dibawah hukum internasional atas hal-hal yang telah
diuraikan diatas. Hal yang biasanya menjadi pokok perkara dalam kasus yang terjadi
ialah kemampuan atau ketidakmampuan Negara dalam melaksanakan atau tidak
melaksanakan tindakan yang seharusnya dilakukan, atau melaksanakan analisa
mengenai dampak lingkungan.76 Salah satu contoh dari kasus yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah kasus MOX Plant Case, dimana Irlandia mengajukan gugatan atas
Inggris.

5.1.

MOX Plant Case

75 Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law & The Environment,
Third Edition, (New York: Oxford University Press Inc., 2009), hlm. 140.
76 Ibid.

21

Pusat dari pertikaian dalam kasus ini adalah mixed oxide fuel plant (untuk
selanjutnya disebut MOX Plant) di Sellafield, Inggris, yang berada di pantai timur
dari Laut Irlandia (Irish Sea).77 Kasus ini dianggap sebagai kasus yan kompleks
berkaitan dengan hukum internasional dan hukum Uni Eropa. 78 Mixed oxide atau
MOX merupakan bahan bakar nuklir—yang diproduksi dengan memproses kembali
limbah nuklir—yang dapat digunakan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir untuk
menghasilkan tenaga.79 Pembangunan dan pengoperasian dari MOX plant ini
dilakukan oleh pemerintahan Inggris. Dalam kasus ini, Irlandia berdalil bahwa
pembangunan dan pengoperasian dari MOX Plant inilah yang merupakan penyebab
langsung maupun tidak langsung dari limbah radioaktif yang dilepaskan ke Laut
Irlandia.80 Posisi dari Laut Irlandia dapat dilihat dari gambar dibawah.

77 Angela Cassar, “Introductory Note to UNCLOS: MOX Plant Award and Order,”
International Legal Material, Vol. 42, No. 5, hlm. 1116.
78 Robin Churchill dan Joanne Scott, “The Mox Plant Litigation: The First Half Life,” The
International and Comparative Law Quaretly, Vol. 53, No. 3, Cambridge University Press, hlm. 643.
79 M. Bruce Volbeda, “The MOX Plant Case: The Question of“Supplemental Jurisdiction” for
International Environmental Claims Under UNCLOS,” Texas International Law Journal, Vol. 42:211,
(2006), hlm. 212.
80 Ibid., hlm. 213.

22

Gambar 5.1. Peta posisi MOX Plant yang dibangun Inggris.

Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa posisi dari MOX Plant yang
dibangun dan dioperasikan oleh pemerintahan Inggris—direpresentasikan
dengan titik merah—terdapat di wilayah teritorial Inggris atas Laut Irlandia,
dengan jarak kira-kira 112 mil dari Irlandia pada titik terdekatnya. 81 Kedudukan
Laut Irlandia seperti dapat dilihat pada gambar diatas, relatif tertutup, dengan
hanya dua badan air sempit yang merupakan akses Laut Irlandia ke Samudera
Antartik pada perbatasan utara dan selatannya. Kondisi tertutup ini membuat
81 Klemens Ólafur Thrastarson, “The Mox Plant Case and why it went for various International
Courts,” University of Iceland, Public International Law Journal, (September 2011), hlm. 1

23

pergerakan air dari dan menuju Samudera Atlantik menjadi terbatas. Akibatya,
Irlandia berdalil, pengenceran air laut menjadi tidak efektif dan menyebabkan
radionuclides yang dilepaskan ke lautan bergerak ke arah barat Irlandia.

5.1.1. Gugatan Irlandia terhadap Inggris
Setelah melalui beberapa kali perbincangan dan dialog yang tidak
memuaskan, Irlandia akhirnya memutuskan untuk menggugat Inggris dengan
dasar Pasal 287 UNCLOS pada bulan Oktober 2001. 82 Sesuai dengan Annex VII
dari UNCLOS, hearing diadakan di International Tribunal for The Law of The
Sea (ITLOS).83 Pada bulan Desember 2001, ITLOS memberikan arahan bahwa
Irlandia dan Inggris “harus bekerjasama dan harus... (a) saling bertukar
informasi mengenai kosekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi kepada Laut
Irlandia akibat pendirian MOX Plant; (b) mengawasi risiko dan efek dari
pengoperasian MOX plant kepada Laut Irlandia, dan (c) merancang,
sebagaimana mungkin, tindakan-tindakan untuk menghindari pencemaran atas
lingkungan laut yang mungkin terjadi akibat pengoperasian MOX Plant. 84
Wewenang untuk memberi arahan ini dimiliki oleh ITLOS dengan mengacu
pada Pasal 290 UNCLOS, yang mengatur bahwa apabila gugatan diajukan
kepada court atau tribunal yang memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan
sengketa sesuai dengan PART XV UNCLOS atau PART XI Section 5 UNCLOS,
maka court atau tribunal tersebut dapat memberikan arahan, sebelum jatuhnya
putusan akhir, berupa tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk sementara
waktu yang bertujuan untuk melindungi hak dari para pihak ataupun mencegah
ancaman serius kepada lingkungan laut.85 Sayangnya, arahan-arahan ini tidak
memberi pemecahan masalah yang memuaskan, sehingga Irlandia memutuskan
untuk mengajukan kasus ini ke tahap arbitrase.
82 Volbeda, op. cit., hlm. 217.
83 Pasal 287 UNCLOS mengatur bahwa Negara yang telah menandatangani, meratifikasi
ataupun mengaksesi UNCLOS memiliki kebebasan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang
berkaitan dengan interpretasi ataupun aplikasi dari ketentuandalam UNCLOS. Dalam hal ini, Irlandia
memilih untuk mengajukan gugatan sesuai dengan pilihan dibawah huruf (c), yaitu “...an arbitral
tribunal constituted in accordance with Annex VII.”
84 Volbeda, op. cit., hlm. 217.
85 Pasal 290 UNCLOS 1982.

24

Dasar hukum yang dipergunakan Irlandia untuk menggugat Inggris
terdiri dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCLOS dan ketentuanketentuan non-UNCLOS.
Beberapa dari pasal UNCLOS yang dipergunakan antara lain Pasal 123,
192-194, 197, 206-207, 211-213, 217, dan 222 UNCLOS. Inggris tidak
berargumentasi mengenai legitimasi dari gugatan yang berdasarkan UNCLOS
untuk diperkarakan di tribunal UNCLOS, tetapi mempermasalahkan gugatan
Irlandia yang tidak berdasarkan ketentuan UNCLOS di forum yang sama.86
Irlandia memasukkan lebih dari dua puluh perjanjian non-UNCLOS
sebagai dasar gugatannya, yang diantaranya adalah the 1985 European
Community Directive 85/337 on Environmental Impact Assessment (as
amended), the 1991 UNECE (United Nations Economic Commission for
Europe) Convention on Environmental Impact Assessment in a Transboundary
Context, the 1987 UNEP (United Nations Environment Programme) Goals and
Principles of Environmental Impact Assessment, the 1995 Global Programme of
Action, dan sebagainya. Dalam menjadikan peraturan-peraturan non-UNCLOS
sebagai dasar gugatan dalam tribunal UNCLOS—dalam hal ini yaitu ITLOS—
Irlandia menyatakan bahwa Inggris mempunyai kewajiban untuk mematuhi
kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur perjanjian-perjanjian lain tersebut,
yang dapat diaplikasikan dan dipaksakan dibawah UNCLOS.87
Dapat dilihat dari uraian diatas bahwa permasalahan dalam kasus ini
adalah mengenai permasalahan yurisdiksi dan hukum yang berlaku, yang akan
dibahas dengan lebih rinci pada bagian berikutnya.

5.1.2. Permasalahan Yurisdiksi dan Hukum yang Berlaku
Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa titik perdebatan dari kasus ini
adalah mengenai yurisdiksi, dimana Irlandia dan Inggris mempunyai anggapan
yang sama sekali berbeda. Irlandia berdalil bahwa Tribunal UNCLOS memiliki
86 Ibid., hlm. 219.
87 Ibid.

25

yurisdiksi untuk mengadakan hearing atas gugatan-gugatan dibawah UNCLOS,
dan setelah yurisdiksi itu dipenuhi, UNCLOS memberikan semacam yurisdiksi
tambahan (supplemental jurisdiction)88 untuk mengaplikasikan “ketentuanketentuan hukum internasional lain yang kompatibel dengan UNCLOS.”89 Di
sisi lain, Inggris berdalil bahwa UNCLOS secara khusus melarang penerapan
dari perjanjian non-UNCLOS kecuali perjanjian terkait secara khusus mengatur
mengenai ajudikasi UNCLOS.90
Dasar hukum yang menjadi perdebatan dalam hal ini adalah apa yang
diatur dalam Pasal 288 UNCLOS mengenai yurisdiksi dan Pasal 293 mengenai
hukum yang berlaku. Pasal 288 UNCLOS mengatur bahwa Tribunal UNCLOS
memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa yang muncul dibawah UNCLOS,
dan khususnya kepada sengketa non-UNCLOS apabila perjanjian non-UNCLOS
terkait memberikan yurisdiksi kepada UNCLOS untuk mengadakan hearing.91
Lebih

jauh,

Pasal

293

mengatur

bahwa

Tribunal

UNCLOS

dapat

memberlakukan hukum dalam UNCLOS dan ketentuan lain dibawah hukum
internasional yang kompatibel dengan UNCLOS.92
Dalam menggugat, Irlandia menggunakan Pasal 288 (1) UNCLOS untuk
meng-establish yurisdiksi, dan setelah itu mencoba untuk memberlakukan
hukum non-UNCLOS dibawah Pasal 293.93 Untuk membalasnya, Inggris
berdalil bahwa hanya gugatan-gugatan tertentu yang diatur dibawah Pasal 288
UNCLOS sajalah yang dapat dijadikan dasar hukum dalam Tribunal UNCLOS.94
Inggris menguatkan argumennya dengan memberikan interpretasi atas
Pasal 287 (1) dan Pasal 287 (2) UNCLOS. Pasal 287 (1) UNCLOS mengatur
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa mengenai interpretasi dan
penerapan dari UNCLOS. “Interpretasi dan penerapan dari UNCLOS”
88 Supplemental jurisdiction yang didalilkan oleh Irlandia memiliki model yang seama dengan
statute yang berlaku di Amerika Serikat.
89 Volbeda, op. cit., hlm. 219.
90 Volbeda, op. cit., hlm. 219-220.
91 Pasal 288 UNCLOS.
92 Pasal 293 UNCLOS.
93 Volbeda, op. cit., hlm. 220.
94 Ibid.

26

menyiratkan bahwa Tribunal UNCLOS hanya dapat diterapkan pada penerapan
ketentuan-ketentuan UNCLOS.95 Barulah pada Pasal 287 (2) UNCLOS diatur
mengenai perluasan yurisdiksi dimana dimungkinakan bagi Tribunal UNCLOS
untuk menangani kasus mengenai interpretasi dan penerapan atas ketentuanketentuan non-UNCLOS, dengan catatan hanya ketika para pihak setuju dan
ketentuan dalam perjanjian non-UNCLOS terkait memperbolehkan hal
tersebut.96

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
UNCLOS merupakan perjanjian internasional pertama yang secara
komprehensif mengatur mengenai hukum laut. Salah satu dari apa yang diatur dalam
UNCLOS adalah mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yang
95 Ibid., hlm. 227.
96 Ibid.

27

disadari merupakan isu yang penting. Perlu adanya peraturan skala internasional
yang mengatur mengenai hal ini antara lain karena sifat dari pencemaran laut
sendiri, yang lazimnya akan melewati batas negara sehingga perlu ada peraturan
yang jelas mengenai siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan begitu,
selain memberi peraturan-peraturan mendasar mengenai batas-batas ataupun
kawasan yang ada di laut, UNCLOS juga memfasilitasi penegakan hukum apabila
terjadi sengketa atau pelanggaran terhadap tanggung jawab internasional negara
terkait lingkungan laut.

Daftar Pustaka
I.

Buku

Anand, R.P. Origin and Development of the Law of the Sea. The Hague: Nijhoff
Publishers 1982.
Anwar, Chairul. Horizon Baru hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982.
Jakarta: Djambatan, 1989.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell. International Law & The
Environment. Third Edition. New York: Oxford University Press Inc., 2009.
Grotius, Hugo. Freedom of the Sea. New York: Oxford University Press, 1916.
Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut: Suatu
Ringkasan. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994.
Koivurova, Timo. Introduction to International Environmental Law. New York:
Routledge 2014.

28

Nanda, Ved P. dan George (Rock) Pring. International Environmental Law and Policy
for the 21st Century. 2nd Revised Edition. Leiden: Martinus Nijhoff
Publishers, 2013.
O’Connel, Daniel Patrick. The International Law of The Sea: Volume II, Virginia: Oxford
University Press, 1984.

Sands, Phillipe dan Jacqualine Peel. Principles of International Environmental Law.
Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

II.

Jurnal dan Artikel

United Nations Environment Programme, UNEP Year Book: Emerging Issues in Our
Global Environment, (UNEP Division of Early Warning and Assessment,
2014,) hlm. 2-3.
The United Nations Law of the Sea Treaty Information Center. “The Law of The Sea
Treaty (LOST) – Background.” http://www.unlawoftheseatreaty.org/. Diakses
pada tanggal 20 Februari 2016 pukul 16.03.
Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea. “The United Nations Convention on
the
Law
of
the
Sea
(A
historical
perspective).”
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_per
spective.htm. Diakses pada tanggal 20 Februari pukul 15.44.
Agoes, Etty R. “Penguatan Hukum Internasional Kelautan.” Makalah disampaikan pada
Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan,
Hukum, Budaya dan Leamanan untuk Meneguhkan Negara Maritim yang
Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan. 5-6 Maret 2015.
Boczek, Boleslaw Adam. “Global and Regional Approaches to the Protection and
Preservation of the Marine Environment.” Case Western Reserve Journal of
International Law. Volume 16, Issue 1. Case Western Reserve School of Law,
1984.
Boyle, Alan E. “UNCLOS, the Marine Environment and the settlement of dispute”,
Journal of International Law. 2009.
Volbeda, M. Bruce. “The MOX Plant Case: The Question of “Supplemental
Jurisdiction” for International Environmental Claims Under UNCLOS.” Texas
International Law Journal, Vol. 42:211. 2006.
Cassar, Angela. “Introductory Note to UNCLOS: MOX Plant Award and Order.”
International Legal Material. Vol. 42, No. 5.

29

Churchill, Robin dan Joanne Scott. “The Mox Plant Litigation: The First Half Life.”
The International and Comparative Law Quaretly. Vol. 53, No. 3. Cambridge
University Press.
Darmody, Stephen J. “The law of the Sea: A Delicate Balance for Environmental
Lawyers, Natural Resources and Environments.” Vol. 9, No. 4.
Kogan, Lawrence A. “What Goes Around Comes Around: How UNCLOS Ratification
Will Herald Europe’s Precautionary Principle as U.S. Law.” Santa Clara
Journal of International Law. Volume 7, Issue 1. Santa Clara University, 2009).
Rubin, Alfred P. “Monster from The Deep: Return of UNCLOS.” The National Interest.
No. 37. Fall 1994.
Thrastarson, Klemens Ólafur. “The Mox Plant Case and why it went for various
International Courts.” University of Iceland, Public International Law Journal.
September 2011.
Tomlinson, Margaret L. dan Michael A. Becker. “International Law of the Sea.” The
International Lawyer, International Legal Developments, American Bar
Association. vol. 42, No. 2.

30