Syiah dan Konsep Wilayah Faqih
SYI’AH
DAN KONSEP
WILAYATUL FAQIH
Oleh: HUMAIDI HAMBALI
NPM: 1206305272
Dosen Pengampu:
Drs. Afadhal
Tahun Ajaran 2012/2013
Agama dan Ideologi di Timur Tengah
Program Studi: Kajian Wilayah Timur Tengah
Jurusan: Politik dan Hubungan Internasional
Fakultas Pascasarjana
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
Pendahuluan
Islam sebagai Agama Monoteisme, mungkin hanya satu-satunya Agama yang
membincangkan sifat sesembahannya secara mendalam, karena agama-agama
1|Page
yang lain, seperti Budha, Hindu dan Kristen seperti kita ketahui tidak repot-repot
untuk
memperdebatkan
sifat
tuhannya
(dengan”t”
kecil)
tetapi
Islam
membincangkan dan memperdebatkan sifat Tuhannya dan tentunya beserta
aksesoris yang melekat pada dzat Tuhan, seperti bagaimana Tuhan itu
bersemayam diatas Arsy, bagaimana kehendak Tuhan, bagaimana Tuhan
mendengar dan seterusnya, bahkan muncul sebuah konsep menisbatan sang
Khalik kepada makluknya (qiyasu al-gaib ala asyahid), pasar raya tafsir dalam
rangka
menguak sebuah esensi dari sifat Agung Tuhan tersebut tak pelak
menimbulkan bermunculannya beberapa sekte teologis dalam Islam, mereka
berlindung dibalik sabda suci Tuhan untuk memperkuat argumen mereka masingmasing.
Terma Teologi sebenarnya pada masa-masa awal Islam bukanlah merupakan
sebuah ilmu yang independen, kita bisa menelisik misalnya pada sebuah buku
karangan Imam Besar Abu Hanifah tentang Tauhid yang diberi nama Fiqh alAkbar, teologi masih disebut sebagai Fiqh namun diberi sisipan al-Akbar, untuk
membedakan ilmu Fiqh yang membahas tentang hukum Islam yang bernama
Fiqh an sich. Dalam fase awal perkembangan Islam kita juga bisa membaca
bahwa memperbincangkan konsep ke-Tuhan-an adalah sebuah hal yang dianggap
tabu, suatu ketika Imam Malik di tanya oleh muridnya tentang bagaimanakah
Tuhan bersemayam diatas Arsy, Malik tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya
berapologi seraya berkata “ bersemayamnya Allah di Arsy adalah maklum dan
mengimaninya adalah wajib, sedangkan menanyakannya adalah aib. Memang
dalam beberapa permasalahan teologi Malik cenderung menghindar.
Nah dalam bentangan sejarah Islam pun kita bisa menelisik bahwa banyak
permasalahan agama ditarik kedalam permasalahan politik, atau sebaliknya.
Mawardi misalkan yang menulis sebuah anggitan dalam bidang politik “al-ahkam
as-Shulthaniyah” di picu karena adanya hubungan politik al-Mawardi sendiri
dengan pemerintah saat itu.
2|Page
BAB II
a. Sejarah dan Definisi Syi’ah
3|Page
Terma "Syi'ah", secara etimologis berarti pengikut dan pendukung. Di dalam Al
Quran, akar kata Syi'ah: syai' atau syuyu' dan derivasinya (penulis juga
memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses Isytiqaq akbar a la Ibn
Ginni) terulang sebanyak 13 kali. Namun dari ke 13 penggunaan kata tersebut,
hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu QS. AshShaffat:83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati
bersih. Sedangkan 12 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan
kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19:69), dalam permusuhan dan
perkelahian (QS. 28:15), perpecahan (QS. 6:65), pemecah belah agama (QS.
6:159), kelompok Fir'aun (QS. 28:4), kelompok yang dihancurkan (QS. 54:51),
penyebar keburukan (QS. 24:19) dan seterusnya.
Secara terminologis, Syi'ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti
Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini 'Ali KW dan
keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan
Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait 16.
Dr. Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait
saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi'ah. Seseorang baru
bisa dikatakan Syi'ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali KW.
(23SH-40H/600M-661M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw.
dengan nash dan washiat 17.
Tentang awal kemunculan Syi'ah dalam pentas sejarah dunia Islam, para penulis
dan sejarawan terbagi dalam dua varian:
Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu'/syi'ah adalah mazhab pertama yang
tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama
4|Page
Syi'ah adalah nama sekte pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang
digolongkan Syi'ah adalah: Abu Dzar al Ghifari r.a., Salman Al Farisi r.a, Miqdad
bin Aswad, dan 'Ammar bin Yasir RA. Pendapat seperti itu tampak pada M.H.
Thabathaba'i 19, Muhammah Jawwad al Mughniyah 20, M.H. Al Kasyif al Ghitha
21 dan ulama-ulama Syi'ah lainnya. M.H. Kasyif al Ghitha malah mengatakan
bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi'ah 22.
Varian kedua: Berpendapat bahwa jika yang dimaksud adalah Syi'ah dalam
pengertian terminologis, maka ia baru timbul pasca kepemimpinan 'Ali KW.
dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulispenulis non-Syi'ah. Terutama Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Syi'ah yang
dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam Ja'far Shadiq (80-148H/599M765M) 23. Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas dapat digabungkan
menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah
sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat 'Ali KW. sebagai
khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam
dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhalifahan
Abu Bakar RA. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sebuah
mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia
baru timbul pada penghujung masa 'Utsman RA, dan awal masa 'Ali KW24.
Dalam masa hidup Ali KW, menurut Abu Nasywan al Himyary 25, Syi'ah yang
mendukung 'Ali KW dalam perang Jamal dan Shiffin dapat diklasifikasikan dalam
tiga varian kecenderungan.
Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi'ah saat itu, adalah kelompok yang
mengakui kekhalifahan Abu bakar RA dan 'Umar RA. Mereka juga mengakui
kekhalifahan 'Utsman RA hingga pada masa di mana 'Utsman RA telah
5|Page
melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah
menyimpang.
Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama. Mereka berpendapat
bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar RA,
'Umar RA dan 'Ali KW. Sedangkah kekhalifahan 'Utsman RA tidak mereka akui.
Oleh karena itu, menurut al Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan syi'i
adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA. Sehingga,
menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi'i dan 'Utsmani. Yang pertama adalah
orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA, sedangkan yang
kedua adalah orang yang mendahulukan 'Utsman atas 'Ali KW.
Ketiga: Kelompok yang paling kecil. Yaitu mereka yang menganggap bahwa
orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw adalah
'Ali KW.
Dari ketiga kecenderungan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
mayoritas pendukung Syi'ah tidak melebihkan 'Ali atas semua sahabat Rasulullah
Saw. Namun mereka hanya melebihkannya atas 'Utsman. Dan, pelebihan mereka
atas 'Utsman itupun bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh
semua pendukung Syi'ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas 'Utsman
RA. setelah 'Utsman RA melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah
sebelumnya 26. Dan, tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut
adalah sebuah proses tarik-menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan
masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem
masyarakat di manapun berada.
6|Page
Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian
mendorong timbulnya Khawarij dan Murji'ah, ditambah dengan pembantaian
Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah
memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat
malang. Pasca perang Shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka,
diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein RA, sejarah
memang tampak tidak berpihak kepada mereka. Setelah tragedi-tragedi yang
menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian
secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya.
Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu al A'la al Maududi, kita
akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca
penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa
keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi
kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.
Dalam masa-masa tersebut, terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group
dalam Syi'ah. Penentuan siapa kita dan siapa orang luar kita makin mengental,
terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri.
Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai
upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta benda, dan harga diri.
Syaikh al Anshari mendefinisikan taqiyah sebagai berikut: Menjaga diri dari
perlakuan buruk dari orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya
yang bertentangan dengan kebenaran 27. Sehingga terjadi kemudian transformasi
kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi'ah.
Pada masa 'Ali k.w, pendukung (syi'ah) beliau tidak menggunakan nash-nash al
Qur'an dan Hadist untuk menjustifikasikan keberhakan 'Ali k.w. dan keturunannya
sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap 'Ali Kw yang
7|Page
membai'at Abu Bakar r.a., 'Umar r.a, dan 'Utsman r.a. Karena jika benar ada nash
yang jelas-jelas menunjuk 'Ali k.w. sebagai pengganti Rasulullah Saw. tentunya
'Ali Kw. tidak akan membai'at orang lain untuk memangku jabatan itu sebanyak
tiga kali, tanpa pernah menyinggung nash-nash itu. Namun, dalam proses
transformasi Syi'ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi
(teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi'ah
telah mempunyai "mantel" baik dari al Qur'an maupun Hadist.
Tentang al Qur'an, penghampiran teologis Syi'ah dalam al Qur'an tampak dalam
klaim yang sering didengungkan bahwa Syi'ah mempercayai adanya pengurangan
dan penambahan Al Quran 28. Walaupun pendapat itu, saat ini, ditolak oleh
banyak ulama-ulama Syi'ah 29, namun pada dataran realitas, klaim tersebut dapat
menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang
mu'tamad dalam Syi'ah 30. Salah satu bentuk pengurangan Al Quran, menurut
Syi'ah adalah penghapusan nama 'Ali k.w. dalam Al Quran. Misalnya adalah
dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al Kulayni --dalam kitabnya al Kâfi
31-- seharusnya tertulis: Wa man yuthi'i Allah wa rasûlahu (fî wilâyati 'Aly wa al
aimmah ba'dahu) faqad fâza. Bentuk lain penghampiran teologis Syi'ah pada Al
Quran adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan Al Quran sesuai dengan
konsep-konsep mazhab tersebut. Misalnya dalam tafsir al Mîzân karya M.H.
Thathaba'i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Al Imran: 163. firman Allah Swt:
Hum darajâtun 'inda Rabbihim, ia menafsirkan: Dari ash-Shadiq: Orang -orang
yang mengikuti keridlaan Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah!
adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu'minin. Dengan loyalitas dan
kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran
pahala mereka dan mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang-orang yang
mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak 'Ali dan
hak imam-imam Ahli Bait. Oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt.
32.
8|Page
Dalam tataran hadist, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syî'ah
makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak lagi
mencurahkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadist Syi'ah
berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadist
dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan
datang penulis akan memberikan stressing-point pada kajian hadist dalam wacana
keilmuan Syi'ah. Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syî'ah
bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte kecil di dalamnya 33.
b. Nikah Mut’ah dalam pandangan Syi’ah
Ada perbedaan mencolok antara Syi’ah (al-Imamiyah) dan kaum Sunni tentang
permasalahan nikah mut’ah. Nikah Mut’ah adalah nikah dengan batas waktu
tertentu, (an-nikah al-muaqqat) jenis pernikahan seperti ini memang terjadi pada
zaman Nabi disebagian riwayat menyatakan demikian, kemudian Nabi
mengharamkannya, karena memandang adanya beberapa madharat .
Sedangkan kaum Syi’ah terutama Syi’ah Imamiyah berbeda pandangan dalam
masalah ini, mereka memperbolehkan nikah mut’ah ini. Dengan bertendensikan
satu ayat dalam al-Qur’an “mafaistatha’tum bihi min hunna fa atu ujurahunna” .
dan mereka berkata bahwa beberapa Sahabat dan Tabi’in seperti, Abdullah bin
Abbas, Jabir bin Abdullah al-Anshory, Ibn Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab
memperbolehkan nikah mut’ah ini.
Sebenarnya perdebatan tentang masalah ini masih berlangsung hingga saat ini,
bukan saja antara Syi’ah dan Sunni akan tetapi antara kaum Sunni sendiri,
sebagian menyatakan bahwa sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi tidak bisa di
batalkan begitu saja oleh seorang Sahabat yaitu Sayyidina Umar. Karena nikah
mut’ah ini pernah dilakukan pada masa Nabi, Khalifah Abu Bakr, dan sebagian
pada masa Khalifah Umar.
9|Page
Akan tetapi yang jadi permasalahan penting bahwa Syi’ah Imamiyah masih
memperbolehkan konsep nikah mut’ah ini hingga sekarang, bahwa ini adalah
berdasarkan ijma orang-orang Islam pada masa Nabi tanpa adanya keraguan sama
sekali. Konsep nikah mut’ah ini juga kembali digulirkan Oleh seorang pemikir
Mesir Gamal al-Banna, dalam sebuah karyanya ia mengatakan seorang muslim
yang tinggal di negara Eropa dan negara mayoritas Kristen boleh melakukan
nikah mut’ah untuk menghindari dari perzinahan.
BAB III
Konsep Wilayah al-Faqih Menurut Syi’ah Itsna Asyariyah
10 | P a g e
“Wilayah al-Faqih adalah anugerah dari Allah SWT bagi kaum Muslimin”
(Ayatullah Ruhullah Khomaeni)
Orang Syiah berkeyakinan bahwa Imamah adalah sebuah rukun iman yang harus
di yakini, seperti halnya iman kepada Allah, iman kepada para Rasul. Kewajiban
imamah ini di nash oleh Allah SWT atas Sayyida Ali- karamallah wajha- dan di
sampaikan oleh nabi Muhammad SAW pada hari setelah kepulangannya dari haji
wada’ yang kemudian di sebut dengan yaum al-Ghadir. Dan hadist yang
disampaikan Rasulullah di sebut Hadist al-ghadi r, dan kaum Syiah merayakan
hari ini setiap tahun yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah, atas dasar inilah kaum
Syiah meyakini bahwa Rasulullah telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau
sebagai penerus Imamah adalah anak dari pamannya yaitu Sayyidina Ali,
kedudukan imam menurut mereka sama dengan kedudukan Nabi Muhammad
SAW, dan oleh karena itu, kedudukan seorang imam lebih tinggi ketimbang para
nabi yang lainnya, bahkan mereka juga ma’shum (terlepas dari kesalahankesalahan) sebuah doktrin yang agak ganjal bagi kita yang bukan golongan syiah,
tetapi begitu doktrin imamah begitu melekat di tubuh teologi syiah, bahkan
seorang belum bisa di kategorikan seorang syiah hanya dengan mencintai ahlu albait (keturunan-keturunan Nabi) tetapi ia juga harus meyakini bahwa Sayyidina
Ali adalah seorang imam. Seorang imam menurut Syiah adalah seseorang yang
ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur urusan mereka baik perkara
yang menyangkut kepentingan dunia bahkan urusan-urusan yang bersifat akhirat.
Silsilah Imam menurut Syiah Istna Asyariah adalah dari Sayyidina Ali sampai
pada Imam yang ke 12 yaitu Imam Mahdi al-Muntazhar . dan sebagian dari kaum
Syiah Ista Asyariah meyakini bahwa Imam yang ke 12 Muhammad bin Hasan
secara terang-terangan mengakui keimanannya setelah kelahirannya dan sujud
kearah kiblat. Dan Mahdi al-Muntazhar memiliki dua tahapan Gaib . pertama :
Gaib Sughra, yaitu dimulai dari sembunyinya sang Imam di sebuah gua sampai
pada tahun 329 H bertepatan pada tahun 940/941 M. Dan estafet kepemimpinan di
teruskan oleh 4 imam pengganti beliau yaitu : Umar Ustman bin Said Umar, Abu
11 | P a g e
Ja’far Muhammad bin Ustman bin Said, Abu al-Qasim Husain bin Ruh, dan yang
terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary. Sedangkan yang kedua
yaitu Ghaib kubra yaitu dimulai dari mangkatnya seorang Imam yang terakhir
Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary pata tahun 329 H bertepatan dengan
tahun 940/941 Masehi.
Syiah beranggapan bahwa pentingnya sebuah komunitas masyarakat di pimpin
oleh seorang Imam karena keberlangsungan hidup didunia tergantung seorang
pemimpin (Imam) dan kontuinitas Risalah Tuhan tergantung pula oleh seorang
Imam, karena dialah yang ma’shum diantara para manusia oleh sebab itu dialah
tempat kita bertanya tentang masalah Agama, dan juga urusan dunia. Imamah
adalah sesuatu hal yang membuat kita dekat dengan kebaikan dan sebaliknya kita
jauh dari segala keburukan.
Berangkat dari persepsi bahwa Wilayah Ali di berikan dari Rasulullah SAW
melalui hadisnya, dan hal itu pula menurut kaum Syiah bahwa hal itulah yang
menyebabkan turun surah al-Maidah ayat 3:
اليوم اكملت لكم ديناكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم السلم دينا
Wilayatul Faqih selanjutnya adalah sebuah konsep yang di usung orang-orang
syiah untuk meneruskan estafet perjalanan Imamah setelah ke-Ghaib-an seorang
Imam. Dan bagaimana sebuah konsep Wilayah al-Faqih bisa terwujud dibawah
naungan Wilayah seorang Imam, dan bagaimana konsep Wilayah yang bersifat
Tasyri’ bisa jatuh atau turun kepada seorang Imam yang menurut pandangan kaum
Syiah mereka adalah orang-orang pilihan yang Ma’shum. Mungkin elaborasi di
bawah perlu untuk di perhatikan. Tentang apa itu Wilayah, dan siapa yang berhak
memiliki wewenang kekuasaan untuk mengatur manusia dalam hal Agama.
12 | P a g e
BAB IV
A. Sekilas Makna Wilayah
Sebelum kita beranjak lebih jauh tentang wilayah, kita harus mengetahui makna
wilayah, para pakar fiqh lughah mengatakan bahwa wilayah adalah pertolongan,
dan kekuasaan atau adanya sesuatu otoritas pihak pertama pada pihak kedua.
13 | P a g e
Maka dalam praktek wilayah diharuskan adanya sebuah kerelaan (tanpa paksaan)
dan kedekatan agar terjadi tasarruf diantara dua pihak, maka kata wilayah
mengandung pengertian pertolongan, kecintaan dan kedekatan. Oleh karena itu
suatu tindakan pemaksaan tidak termasuk dalam kategori wilayah, karena tidak
menunjukkan adanya kedekatan dan kecintaan, kata wilayah sama sekali tidak
mengandung pengertian sebuah praktek hegemoni, akan tetapi adanya sebuah
sistem kebebasan, dalam artian tidak ada paksaan dalam wilayah . Kita bisa
simpulkan bahwa wilayah ialah terjadinya sesuatu diantara dua pihak tanpa
adanya sebuah paksaan melainkan karena kedekatan, dan kecintaan.
B. Ketetapan Wilayah
Allah SWT telah menciptakan segala hal untuk kita manfaatkan, aset-aset yang
berharga yang berada di dunia semua di ciptakan untuk kita manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini, dan oleh karena itu pula di tangan Allah segala
peraturan, ketetapan dibuat, Allah membimbing kita, mendidik kita menentukan
jalan kita sebagai hambanya, dan tentunya sesuai kemaslahatan, baik dunia
maupun akherat, dengan kata lain Allah mempunyai hak kekuasaan (wilayah)
untuk kita. Allah tidak akan membuat sesuatu konsep hukum kecuali mempunyai
kemaslahatan bagi hambanya, tapi sesungguhnya manusia itu lemah mempunyai
keterbatasan akal untuk mengetahui keseluruhan maslahat dibalik hukum Tuhan
tersebut . Allah berhak untuk memerintahkan hambanya apa-apa yang baik bagi
manusia dan berarti Allah juga berhak untuk melarang hambanya untuk
melakukan sesuatu yang mengandung bahaya dan kerusakan. Dan manusia
sebagai seorang hamba harus tunduk kepada hukum syariat yang telah ditetapkan
oleh Tuhan dengan menerimanya dan menjalankannya dalam lini kehidupannya.
Hukum Tuhan bisa sampai kepada kita dengan perantaraan seorang utusan, Rasul
atau Nabi-Nya melaui wahyu, maka wajib juga bagi manusia untuk taat dan patuh
14 | P a g e
terhadap apa-apa yang di sabdakan para utusan Tuhan tersebut , akan tetapi
ketaatan disini hanya sebagai sebuah petunjuk, Rasul tidak mempunyai kekuasaan
mutlak seperti halnya Tuhan, ia hanya perantara untuk menyampaikan hukumhukum Tuhan, begitu juga seorang Faqih ia hanya sebagai penjelas, penyampai
hukum-hukum Tuhan kepada manusia.
Akal manusia bisa menentukan dan memutuskan hal-hal yang menurutnya baik
untuk dilakukan oleh orang lain, oleh sebab itu akal manusia juga mewajibkan
untuk mentaati orang yang telah membimbing kita dan menunjukkan jalan yang
lurus walaupun ia adalah manusia biasa seperti kita. Dan oleh karena itu, kita juga
wajib mentaati kedua orang tua kita yang telah merawat kita dan mengasuh kita
serta membimbing kita dalam menjalani hidup ini, bahkan hukum Tuhan pun
menyuruh kita untuk itu.
Dan dari paparan diatas bisa di ambil benang merah bahwa pada dasarnya,
seorang manusia adalah bebas, tidak ada paksaan baginya untuk melakukan
apapun yang ia inginkan. Kekuasaan hanya milik Allah, hanya Allah yang
mempunyai wewenang hak prerogatif untuk mengatur ciptaannya, yaitu manusia.
Akan tetapi tidak mungkin hal itu bisa terjadi tanpa adanya seorang perantara
yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan, maka di utuslah seorang
Rasul atau Nabi untuk menjelaskan hukum, ketetapan –ketetapan dari Tuhan. Dan
berarti kita juga wajib mentaati para utusan tersebut karena ialah yang mengetahui
hukum Tuhan tersebut.
Setelah jelas bahwa adanya Wilayah – kekuasaan- pada Allah SWT sebagai
pencipta, baik wilayah berupa takwin ataupun tasyri’. Dan wilayah Allah yang
berupa tasyri’ itu bisa turun kepada para Rasul dan Nabi dan juga kepada para
Imam Ma’shum menurut kaum syiah, sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an
dan Hadist. Oleh sebab itu ketaatan kepada para imam tersebut merupakan suatu
15 | P a g e
kewajiban, kewajiban ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, akan tetapi
bersifat Irsyadiah dengan kata lain karena para Rasul telah membimbing kita,
mengajarkan hukum-hukum sakral Tuhan, maka kita harus taat kepada mereka.
Bukan sebuah ketaatan yang menyaingi ketaatan kita pada Tuhan.
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang secara jelas menyatakan adanya Wilayah bagi
para Rasul dan Nabi, dan juga bagi para Imam menurut kaum Syiah. Untuk
mengukuhkan argumentasi mereka tentang adanya otoritas seorang Imam untuk
mengatur manusia.
Pertama : Surah al-Baqarah ayat 124 tentang adanya Wilayah bagi Nabi Ibrahim
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang lalim (QS: al-Baqarah 124)
Menurut kaum Syiah ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT, menjadikan
Ibrahim sebagai hamba sebelum ia dijadikan seorang Nabi, dan dijadikan seorang
Nabi sebelum dijadikan seorang Rasul, dan dijadikannya Ibrahim seorang Rasul
sebeklum dijadikan al-Khalil (kekasih), dan dijadikan ak-khalil sebelum dijadikan
seorang Imam. Dan dari sini pula Allah mengungkapkan sesengguhnya Imamah
itu dengan nash.
Ayat kedua : Surah as-Shad ayat 26
16 | P a g e
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Maksud dari ayat ini adalah bahwa Allah telah memilih Nabi daud menjadi
memimpin untuk memimpin kaumnya, untuk mengatur manusia sesuai dengan
syariat, dan sebagai seorang Imam ia harus berlaku adil, karena Allah telah
berjanji barang siapa yang tersesat dari jalannya maka ingatlah azab pada hari
akhir
Ayat ketiga : Surah al-Ahzab ayat 6
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di
dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).
Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).
Dari ayat-ayat diatas kaum Syiah Istna asyariah berkesimpulan bahwa adanya
sebuah hak otoritas pada diri Nabi untuk mengatur manusia, pada ayat terakhir
Allah SWt menyatakan bahwa Nabi Muhammad aula bilmukminin dalam artian
bahwa jikalau seorang mukmin melihat adanya sesuatu kecintaan dan
kewibawaan maka Nabi lebih berhak untuk mendapatkan hal itu, dan seorang
mukmin harus mendahulukan kepentingan Nabi daripada kepentingan pribadi,
semisal Nabi diliputi bahaya maka seorang mukmin harus menghilangkan bahaya
yang dihadapi sang Nabi, itu adalah sebuah bentuk ketaatan dan kecintaan
seorabng terhadap Nabinya. Syeikh Ali as-Shobuni ketika menafsiri ayat ini
17 | P a g e
menyatakan bahwa Nabi lebih berhak untuk dicintai dan perintahnya harus kita
laksanakan dan menta’ati Nabi adalah sebuah kewajiban pendapat senada juga
diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, dengan kata lain Nabi memiliki
sebuah otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan jiwa dan harta, maka
otoritas kekuasaan Nabi (wilayah) lebih kuat, seperti seorang bapak yang juga
memiliki wilayah terhadap anak kecilnya untuk mengatur sang anak, begitu juga
Nabi karena dia mengetahui kemaslahatan umatnya. Dan adapun dalam masalah
yang
bersifat
individual
seperti
masalah
seorang
menthalak
isterinya,
mengawinkan anaknya maka itu bukan dari pembahasan konteks ayat tersebut,
artinya seorang mukmin lebih berhak dalam urusan pribadinya .
Sedangkan yang dijadikan landasan bagi kaum syiah untuk mengatakan bahwa
setelah Nabi memiliki otoritas kekuasaan (wilayah) lalu Nabi mempercayakan Ali
sebagai pemimpin setelah Nabi menurut kaum Syiah yang terdapat dalam Hadist
al-Ghadir , hadist inilah yang dijadikan pijakan bagi kaum syiah bahwa estafet
kepemimpinan setelah Rasul yang berhak memimpin adalah sayyidina Ali, bahwa
Rasul telah memilih sendiri Ali sebagai penggantinya. Dan kaum Syiah juga
mengatakan bahwa Ulama juga mempunyai otoritas kekuasaan karena dia adalah
pewaris para Nabi, berarti dia juga memiliki apa-apa yang dimiliki Nabi
Muhammad sebagai orang yang mewarisi.
BAB V
Beberapa Tingkatan Wilayah
Wilayah Shugra
18 | P a g e
Wilayah atau kekuasan disini tidak mutlak dalam artian seorang imam tidak
memiliki otoritas penuh untuk mengatur umatnya dalam segala urusan. Seperti
Wilayah yang di miliki Syeih Muhammad Husain al-Isfahani, Syeih al-Anshary
dan Said Khui’
Otoritas Wilayah yang dimiliki Imam pada tingkatan ini hanya sebatas Fatwa dan
Qadha pada urusan yang berhubungan dengan harta (materi), jikalau ada suatu
keadaan yang mendorong seorang Imam untuk mengeluarkan atau menggunakan
otoritasnya sebagai seorang Imam, seperti adanya kasus pencurian, maka ia hanya
berhak untuk mengurusi bagaimana barang yang di curi itu bisa kembali, ia tidak
mempunyai otoritas hukum untuk mengadili pencuri tersebut, dengan memotong
tangan misalnya, atau dengan memenjarakannya, dan lain sebagainya, ia hanya
mempunyai otoritas untuk mengurusi harta yang di curi saja.
Oleh karena itu tidak ada hak bagi seorang faqih kecuali qadha’ dan memberikan
fatwa, atau ia juga tidak mempunyai otoritas untuk mengambil hak-hak orang
kafir, atau sebaliknya memberikan kemaslahatan bagi orang-orang kafir. Maka
para ulama berpendapat tidak adanya dalil yang qat’i kecuali pada masalah
qadha’, maka tidak bisa menjadikan seorang faqih pada saat ke-ghaib-an sang
imam memberikan wilayah secara mutlak kecuali memberikan fatwa dan qadha’
pada urusan harta saja.
Wilayah Mutlaq
Wlayah disini adalah wilayah secara keseluruhan seorang Faqih mempunyai
otoritas penuh, apabila ia melihat adanya kemaslahatan dalam hal apaun baik
19 | P a g e
pengurusan harta, jiwa manusia dan maslahah dalam daerah orang-orang Islam
maka itu menjadi otoritasnya.
Tetapi dalam permasalahan ini hanya Syeikh an-Nuraqi saja yang berani
mengemban wilayah ini. Dan dia menggunakan beberapa argumen untuk
melandasi dasar pemikirannya tentang wilayah mutlak ini pertama hadist Nabi
SAW yang menyatakan bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. Dari hadist ini
dia mengambil kesimpulan bahwa segala yang dimiliki Nabi baik otoritas untuk
mengatur manusia dalam hal syariat, politik, sosial dan segalanya berarti otoritas
itu juga di miliki oleh para ulama sebagai para pewaris Nabi, orang yang diwarisi
berhak mendapatkan segala hal yang dimiliki pewaris, karena mereka adalah
pengganti Nabi. Hadist yang juga dipakai untuk menguatkan pendapatnya hadist
Nabi yang berbunyi “ sesungguhnya segala sesuatu berjalan diatas tangan para
ulama”
Akan tetapi argumentasi mereka memiliki beberapa kelemahan dalam menetapkan
konsep adanya wilayah mutlak bagi sang Imam apalagi jika otoritas wilayah ini
bisa sampai ketangan seorang Faqih pertama bahwa hadist yang di kemukakan
Syekh an-Nuraqy posisinya adalah doif sanad
Yang kedua bahwa Riwayat atau hadist yang di jadikan landasan oleh syeik anNuraqy banyak terdapat pada bab yang menerangkan tentang keutamaan ilmu
(fadhilah al-ilmi)
Yang ketiga sesungguhnya Nabi yang di dalam hadist tersebut posisinya sebagai
pewaris bukan berarti Nabi mewariskan segala hal, apalagi otoritas untuk
mengatur manusia dalam urusan agama, akan tetapi yang diwarisi Nabi yang
sesuai dalam konteks riwayat ini adalah menyampaikan ajaran agama
menyebarkan petuah-petuah agung Nabi, dan menjelaskannya kepada manusia
guna menyinari problem masyarakat dimana seorang ulama itu berada. Bukan
20 | P a g e
berarti seluruh otoritas Nabi jatuh ketangan seorang Imam yang Ma’shum
(menurut kaum Syiah)
Keempat bahwa adanya wilayah secara mutlak itu tidak menyeluruh bagi para
Nabi, apalagi jika wilayah itu dinisbatkan pada seorang Imam bahkan seorang
Faqih seperti Nabi Nuh, Isa, Ibrahim dan Nabi Musa dengan strata wilayah yang
berbeda-beda. Dan jikalau dikatakan bhwa ulama adalah pewaris para Nabi,
bagaimana lafadh ulama yang bersifat mutlak (umum) mentakwilkannya pada
fuqaha saja, pada zaman ghaibah dan juga tidak adanya indikasi yang mengarah
kearah penafsiran tersebut
Kesimpulan dari paparan diatas bahwa hadist yang digunakan an-Nuraqy dalam
membungkus konsep wilayah secara mutlak bagi seorang Imam dan Faqih itu
rapuh dengan alasan yang telah dikemukakan diatas.
Wilayah Wustho
Para Fuqaha syiah mengatakan bahwa masalah wilayah al-faqih adalah wilayah
wustho itu sendiri bahkan permasalan wilayah wustho sudah menjadi suatu
kesepakatan dan menjadi sebuah keniscayaan dalam mazhab Syiah dalam kurun
waktu yang lama. Yang di maksud dengan wilayah disini menjadikan seorang
faqih memiliki otoritas untuk mengurusi urusan umat sebagai pengganti dari
Imam Ma’shum pada saat ghaibah untuk menegakkan hukum Islam.
Kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menurunkan Rasulnya di muka
bumi ini, untuk menyinari manusia membawanya dari jalan kegelapan menuju
jalan yang diridhoi Allah, mungkin permasalahan yang dihadapi manusia pada
zaman Rasul, tidak sekompleks yang dihadapi manusia saat ini, seiring waktu
berjalan manusia dihadapkan pada permasalahan yang begitu dahsyat, maka
21 | P a g e
seorang pemimpin yang mengatur manusia haruslah orang-orang pilihan, dan
tujuan adanya pemimpin adalah adanya kontuinitas kehidupan manusia dibawah
naungan syariat Islam yang agung maka sorang waliyul muslim harus memiliki
persyaratan, maka seorang wali harus memiliki sifat sebagai berikut :
Pertama : seorang wali harus mengetahu undang-undang Islam dan mengetahui
Fiqh Islam, bagaimana ia bisa menjawab problematika manusia kalau ia tidak
mengetahui Syariat Islam secara mendalam.
Kedua : ia harus memiliki sifat adil, yang dimaksud adil disini adalah seorang
wali harus memiliki sifat takwa dan wara’ yang bisa dilihat dari kepribadiaanya
yang mempunyai semangat untuk menegakkan syariat dan hukum-hukum Allah
dan berpegang teguh atas peraturan dan hukum Islam, maka seorang faqih seperti
yang dikemukakan Khomaini telah memenuhi persyaratan itu, ia bertindak sesuai
apa yang dilakukan Rasul, tidak kurang dan juga tidak lebih, ia harus berlaku
amanah terhadap harta umatnya.
Ketiga : wali muslim memiliki intelektual yang mumpuni untuk mengatur dan
mengurusi umat, karena ia harus menegakkan maslahah manusia.
Keempat seorang wali juga harus peka terhadap perkembangan zaman dan
problematika yang melingkupinya baik dari segi sosial, ekonomi dan
perkembangan di dunia luar, karena hal itu bisa membantu untuk memberikan
sebuah keputusan yang bijak, yang berlandaskan atas kemaslahatan manusia. Dan
juga
mengetahui
kebudayaan
dan
perkembangan
pemikiran
dan
juga
permasalahan fiqh kontemporer, seperti masalah Bank, ekonomi Islam, karena
pada saat ini manusia dihadapkan pada permasalahan yang harus di jawab dalam
perspektif Fiqh Islam .
22 | P a g e
BAB VI
Penutup
23 | P a g e
Dari paparan singkat diatas bahwa konsep wilayah al-faqih, yang di cetuskan
kaum syiah untuk meneruskan estafet perjalanan imamah, yang sudah menjadi
sebuah keniscayaan bagi kaum syiah, karena Imamah adalah sesuatu yang harus
diyakini karena dia termasuk dari rukun iman (menurut Syiah) karena sebuah
komunitas harus dipimpin oleh seorang yang bisa membimbing kita,
menunjukkan jalan kita, oleh sebab itu di pilihlah orang-orang yang ma’shum
karena dialah yang lebih mengetahui kemaslahatan umat ketimbang orang-orang
lain disekitar kita, dia lebih mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia, dan apa
yang buruk bagi manusia yang harus ditinggalkan, karena dia bebas dari
kesalahan-kesalahan. Dan berpegang pada hadist bahwa ulama adalah pewaris
para nabi, berarti dia juga memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia
(wilayah) seperti yang dimiliki nabi, walaupun ulama dalam konteks hadist
tersebut bersifat mutlak, tetapi syiah mentakwilkannya dan mengkhususkannya
hanya fuqaha, karena dia lebih mengetahui hukum Tuhan, lebih mengerti maknamakna yang terselubung dari firman-firman suci Tuhan.
Mungkin konsep wilayah dan Imamah kaum syiah, terlahir dari sebuah
kefanatikan, Imam menurut mereka adalah orang-orang yang ma’shum, maka
dialah yang pantas mendapatkan hak otoritas untuk mengatur manusia.
Sedikit kesimpulan dari paparan diatas bahwa kaum syiah mengatakan bahwa hak
otoritas kepemimpinan dan wilayah telah diberikan Rasul SAW pada Sayyidina
Ali ketika Nabi pulang dari haji wada’ yang disebut dengan hadis al-ghadir,
imamah itu terus berlangsung sampai pada Imam ke12, pada saat Imam ke 12
ghaib, maka kepemimpinan harus terus berlangsung, karena keberlangsungan
agama Allah tergantung seorang Imam, maka munculah konsep wilayah al-Faqih,
dan mereka melandaskan konsepnya itu dengan hadist nabi bahwa, para ulama
adalah pewaris para Nabi, dan berarti mempunyai otoritas sama sepeerti Nabi, dan
nereka (kaum Syiah) mengkhususkan Ulama pada Fuqaha, karena menurut
24 | P a g e
mereka fuqaha lebih mengerti tentang kemaslahatan manusia ketimbang orangorang lain.
Daftar Pustaka
Labbad, Mustafa, Hadaiq al-Ahzan Iran wa wilayah al-Faqih- Darul
Shourouk Kairo cet 11 Tahun 2007
25 | P a g e
Dirasah fi wilayah al-Faqih wa Fiqh ad-Daulah al-Islamiyah juz 1
(Markaz li al-‘alami li ad-Dirasah al-Islamiyah. Qum-Iran)
Imarah, Muhammad, Tayarah al-Fikr al-Islami
Ibn al-Kasir, al-Hafidh Tafsir al-Qur’an al-Karim Darul Hadist Kairo
Khazim, Muhammad Wilayah al-Faqih am syura al-fuqaha nuthaq al-
dhaif ..wa ‘awamil al-quwah
Shobuni, Ali Sofwah at-Tafasir Darul Ashobuni Kairo
26 | P a g e
DAN KONSEP
WILAYATUL FAQIH
Oleh: HUMAIDI HAMBALI
NPM: 1206305272
Dosen Pengampu:
Drs. Afadhal
Tahun Ajaran 2012/2013
Agama dan Ideologi di Timur Tengah
Program Studi: Kajian Wilayah Timur Tengah
Jurusan: Politik dan Hubungan Internasional
Fakultas Pascasarjana
UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I
Pendahuluan
Islam sebagai Agama Monoteisme, mungkin hanya satu-satunya Agama yang
membincangkan sifat sesembahannya secara mendalam, karena agama-agama
1|Page
yang lain, seperti Budha, Hindu dan Kristen seperti kita ketahui tidak repot-repot
untuk
memperdebatkan
sifat
tuhannya
(dengan”t”
kecil)
tetapi
Islam
membincangkan dan memperdebatkan sifat Tuhannya dan tentunya beserta
aksesoris yang melekat pada dzat Tuhan, seperti bagaimana Tuhan itu
bersemayam diatas Arsy, bagaimana kehendak Tuhan, bagaimana Tuhan
mendengar dan seterusnya, bahkan muncul sebuah konsep menisbatan sang
Khalik kepada makluknya (qiyasu al-gaib ala asyahid), pasar raya tafsir dalam
rangka
menguak sebuah esensi dari sifat Agung Tuhan tersebut tak pelak
menimbulkan bermunculannya beberapa sekte teologis dalam Islam, mereka
berlindung dibalik sabda suci Tuhan untuk memperkuat argumen mereka masingmasing.
Terma Teologi sebenarnya pada masa-masa awal Islam bukanlah merupakan
sebuah ilmu yang independen, kita bisa menelisik misalnya pada sebuah buku
karangan Imam Besar Abu Hanifah tentang Tauhid yang diberi nama Fiqh alAkbar, teologi masih disebut sebagai Fiqh namun diberi sisipan al-Akbar, untuk
membedakan ilmu Fiqh yang membahas tentang hukum Islam yang bernama
Fiqh an sich. Dalam fase awal perkembangan Islam kita juga bisa membaca
bahwa memperbincangkan konsep ke-Tuhan-an adalah sebuah hal yang dianggap
tabu, suatu ketika Imam Malik di tanya oleh muridnya tentang bagaimanakah
Tuhan bersemayam diatas Arsy, Malik tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya
berapologi seraya berkata “ bersemayamnya Allah di Arsy adalah maklum dan
mengimaninya adalah wajib, sedangkan menanyakannya adalah aib. Memang
dalam beberapa permasalahan teologi Malik cenderung menghindar.
Nah dalam bentangan sejarah Islam pun kita bisa menelisik bahwa banyak
permasalahan agama ditarik kedalam permasalahan politik, atau sebaliknya.
Mawardi misalkan yang menulis sebuah anggitan dalam bidang politik “al-ahkam
as-Shulthaniyah” di picu karena adanya hubungan politik al-Mawardi sendiri
dengan pemerintah saat itu.
2|Page
BAB II
a. Sejarah dan Definisi Syi’ah
3|Page
Terma "Syi'ah", secara etimologis berarti pengikut dan pendukung. Di dalam Al
Quran, akar kata Syi'ah: syai' atau syuyu' dan derivasinya (penulis juga
memasukkan kata jadian yang dihasilkan oleh proses Isytiqaq akbar a la Ibn
Ginni) terulang sebanyak 13 kali. Namun dari ke 13 penggunaan kata tersebut,
hanya ada satu kata yang digunakan dalam konteks kebaikan, yaitu QS. AshShaffat:83, yang menceritakan keluarga nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati
bersih. Sedangkan 12 kata lainnya digunakan antara lain untuk mengungkapkan
kelompok yang durhaka kepada Allah (QS.19:69), dalam permusuhan dan
perkelahian (QS. 28:15), perpecahan (QS. 6:65), pemecah belah agama (QS.
6:159), kelompok Fir'aun (QS. 28:4), kelompok yang dihancurkan (QS. 54:51),
penyebar keburukan (QS. 24:19) dan seterusnya.
Secara terminologis, Syi'ah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti
Nabi Saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi (dalam hal ini 'Ali KW dan
keturunannya), dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan
Islam mengikuti mazhab Ahlul Bait 16.
Dr. Muhammad 'Imarah menegaskan bahwa sekadar merasa cinta kepada ahli bait
saja tidak cukup untuk menggolongkan seseorang sebagai Syi'ah. Seseorang baru
bisa dikatakan Syi'ah, menurutnya lagi, jika ia telah mengimani bahwa Ali KW.
(23SH-40H/600M-661M) telah ditunjuk sebagai pengganti Rasulullah Saw.
dengan nash dan washiat 17.
Tentang awal kemunculan Syi'ah dalam pentas sejarah dunia Islam, para penulis
dan sejarawan terbagi dalam dua varian:
Varian pertama: Berpendapat bahwa tasyayyu'/syi'ah adalah mazhab pertama yang
tumbuh dalam Islam, dan telah muncul pada masa Rasulullah Saw., dan nama
4|Page
Syi'ah adalah nama sekte pertama yang timbul dalam Islam. Sahabat-sahabat yang
digolongkan Syi'ah adalah: Abu Dzar al Ghifari r.a., Salman Al Farisi r.a, Miqdad
bin Aswad, dan 'Ammar bin Yasir RA. Pendapat seperti itu tampak pada M.H.
Thabathaba'i 19, Muhammah Jawwad al Mughniyah 20, M.H. Al Kasyif al Ghitha
21 dan ulama-ulama Syi'ah lainnya. M.H. Kasyif al Ghitha malah mengatakan
bahwa adalah Rasulullah Saw. sendiri yang telah menanamkan akar Syi'ah 22.
Varian kedua: Berpendapat bahwa jika yang dimaksud adalah Syi'ah dalam
pengertian terminologis, maka ia baru timbul pasca kepemimpinan 'Ali KW.
dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pendapat ini tampak pada penulispenulis non-Syi'ah. Terutama Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Syi'ah yang
dikenal sekarang ini baru timbul pada masa Imam Ja'far Shadiq (80-148H/599M765M) 23. Melihat data-data yang ada, kedua pendapat di atas dapat digabungkan
menjadi satu kesimpulan: Bahwa jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah
sekadar fenomena keinginan sebagian orang untuk mengangkat 'Ali KW. sebagai
khalifah, maka betul ia adalah mazhab pertama yang dikenal dalam sejarah Islam
dan telah tumbuh pada masa akhir hidup Rasulullah Saw. dan awal kekhalifahan
Abu Bakar RA. Namun, jika yang dimaksud dengan terma Syi'ah adalah sebuah
mazhab besar dengan segala teori, pendapat dan perjalanan historisnya, maka ia
baru timbul pada penghujung masa 'Utsman RA, dan awal masa 'Ali KW24.
Dalam masa hidup Ali KW, menurut Abu Nasywan al Himyary 25, Syi'ah yang
mendukung 'Ali KW dalam perang Jamal dan Shiffin dapat diklasifikasikan dalam
tiga varian kecenderungan.
Pertama: Adalah kecenderungan mayoritas Syi'ah saat itu, adalah kelompok yang
mengakui kekhalifahan Abu bakar RA dan 'Umar RA. Mereka juga mengakui
kekhalifahan 'Utsman RA hingga pada masa di mana 'Utsman RA telah
5|Page
melakukan perubahan dan melakukan hal-hal yang mereka anggap telah
menyimpang.
Kedua: Kelompok yang lebih kecil dari kelompok pertama. Mereka berpendapat
bahwa runtutan kekhalifahan setelah Rasulullah Saw. adalah Abu Bakar RA,
'Umar RA dan 'Ali KW. Sedangkah kekhalifahan 'Utsman RA tidak mereka akui.
Oleh karena itu, menurut al Jahidz, pada masa awal Islam, yang dinamakan syi'i
adalah orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA. Sehingga,
menurutnya lagi, saat itu dikenal ada Syi'i dan 'Utsmani. Yang pertama adalah
orang-orang yang mendahulukan 'Ali KW atas 'Utsman RA, sedangkan yang
kedua adalah orang yang mendahulukan 'Utsman atas 'Ali KW.
Ketiga: Kelompok yang paling kecil. Yaitu mereka yang menganggap bahwa
orang yang paling utama memangku kekhalifahan setelah Rasulullah Saw adalah
'Ali KW.
Dari ketiga kecenderungan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
mayoritas pendukung Syi'ah tidak melebihkan 'Ali atas semua sahabat Rasulullah
Saw. Namun mereka hanya melebihkannya atas 'Utsman. Dan, pelebihan mereka
atas 'Utsman itupun bukanlah sebuah konsensus pemikiran yang diamini oleh
semua pendukung Syi'ah, namun mayoritas mereka melebihkannya atas 'Utsman
RA. setelah 'Utsman RA melakukan tindakan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang mereka anggap telah melanggar sunnah Rasulullah Saw. dan dua khalifah
sebelumnya 26. Dan, tentu saja apa yang sedang berlangsung pada masa tersebut
adalah sebuah proses tarik-menarik antar masing-masing kekuatan politik dengan
masing-masing pendukungnya. Sesuatu yang logis terjadi dalam sebuah sistem
masyarakat di manapun berada.
6|Page
Perang Jamal dan Shiffin yang berakhir dengan arbitrase, yang kemudian
mendorong timbulnya Khawarij dan Murji'ah, ditambah dengan pembantaian
Karbala, mendorong mereka untuk mencari akar ideologis mereka sendiri. Sejarah
memang telah mencatat betapa perlakuan dan nasib yang menimpa mereka amat
malang. Pasca perang Shiffin yang merenggut kekuasaan politik mereka,
diteruskan dengan pembantaian Karbala dan terbunuhnya Husein RA, sejarah
memang tampak tidak berpihak kepada mereka. Setelah tragedi-tragedi yang
menyedihkan tersebut, mereka masih terus dihantui pengejaran serta pembantaian
secara massal terhadap Ahli Bait Rasulullah Saw. dan pendukungnya.
Dalam buku Khilafah dan Kerajaan yang ditulis oleh Abu al A'la al Maududi, kita
akan merasakan kesedihan yang dalam (atau malah menangis) ketika membaca
penuturan penulis tentang perlakuan-perlakuan kejam yang telah menimpa
keturunan Rasulullah Saw. Dengan cukup jelas ia menguraikan kejadian demi
kejadian yang menimpa Ahlu Bait Rasulullah Saw.
Dalam masa-masa tersebut, terjadi kristalisasi klasifikasi in group dan out group
dalam Syi'ah. Penentuan siapa kita dan siapa orang luar kita makin mengental,
terutama proses pembentukan konsep ideologis dan metode mempertahankan diri.
Contoh menarik bagi yang terakhir adalah dibentuknya konsep taqiyyah sebagai
upaya untuk mempertahankan diri, kepercayaan, harta benda, dan harga diri.
Syaikh al Anshari mendefinisikan taqiyah sebagai berikut: Menjaga diri dari
perlakuan buruk dari orang lain dengan menyetujui perkataan dan perbuatannya
yang bertentangan dengan kebenaran 27. Sehingga terjadi kemudian transformasi
kekuatan politik menjadi sebuah sistem ideologi (teologi) dalam Syi'ah.
Pada masa 'Ali k.w, pendukung (syi'ah) beliau tidak menggunakan nash-nash al
Qur'an dan Hadist untuk menjustifikasikan keberhakan 'Ali k.w. dan keturunannya
sebagai pemegang kekhalifahan. Hal itu ditunjukkan oleh sikap 'Ali Kw yang
7|Page
membai'at Abu Bakar r.a., 'Umar r.a, dan 'Utsman r.a. Karena jika benar ada nash
yang jelas-jelas menunjuk 'Ali k.w. sebagai pengganti Rasulullah Saw. tentunya
'Ali Kw. tidak akan membai'at orang lain untuk memangku jabatan itu sebanyak
tiga kali, tanpa pernah menyinggung nash-nash itu. Namun, dalam proses
transformasi Syi'ah dari sebuah kekuatan politik menjadi sebuah ideologi
(teologi), kita dapati kemudian semua kecenderungan politis dan teologis Syi'ah
telah mempunyai "mantel" baik dari al Qur'an maupun Hadist.
Tentang al Qur'an, penghampiran teologis Syi'ah dalam al Qur'an tampak dalam
klaim yang sering didengungkan bahwa Syi'ah mempercayai adanya pengurangan
dan penambahan Al Quran 28. Walaupun pendapat itu, saat ini, ditolak oleh
banyak ulama-ulama Syi'ah 29, namun pada dataran realitas, klaim tersebut dapat
menemukan justifikasinya karena ia memang tertulis dalam kitab-kitab yang
mu'tamad dalam Syi'ah 30. Salah satu bentuk pengurangan Al Quran, menurut
Syi'ah adalah penghapusan nama 'Ali k.w. dalam Al Quran. Misalnya adalah
dalam QS. Al Ahzab: 71. Menurut riwayat al Kulayni --dalam kitabnya al Kâfi
31-- seharusnya tertulis: Wa man yuthi'i Allah wa rasûlahu (fî wilâyati 'Aly wa al
aimmah ba'dahu) faqad fâza. Bentuk lain penghampiran teologis Syi'ah pada Al
Quran adalah dengan menafsirkan dan mentakwilkan Al Quran sesuai dengan
konsep-konsep mazhab tersebut. Misalnya dalam tafsir al Mîzân karya M.H.
Thathaba'i, kita dapati: ketika sampai pada QS. Al Imran: 163. firman Allah Swt:
Hum darajâtun 'inda Rabbihim, ia menafsirkan: Dari ash-Shadiq: Orang -orang
yang mengikuti keridlaan Allah Swt. adalah para imam. Mereka, demi Allah!
adalah derajat-derajat di sisi Allah bagi orang mu'minin. Dengan loyalitas dan
kecintaan mereka kepada kami, Allah Swt. akan melipat gandakan ganjaran
pahala mereka dan mengangkat derajat mereka. Sedangkan orang-orang yang
mendapatkan kemurkaan Allah Swt. adalah orang yang mengingkari hak 'Ali dan
hak imam-imam Ahli Bait. Oleh karena itu mereka mendapat murka Allah Swt.
32.
8|Page
Dalam tataran hadist, penghampiran teologis terhadap konsep-konsep Syî'ah
makin mengental. Di sini, kita memang dituntut untuk lebih banyak lagi
mencurahkan perhatian dan energi. Karena konsep-konsep ilmu hadist Syi'ah
berlainan atau malah, dalam beberapa segi, berseberangan dengan konsep hadist
dalam wacana keilmuan Ahlu Sunnah. Oleh karena itu, pada sub-judul yang akan
datang penulis akan memberikan stressing-point pada kajian hadist dalam wacana
keilmuan Syi'ah. Secara sambil lalu, perlu ditekankan bahwa sekte Syî'ah
bukanlah tunggal, namun ia terdiri dari beberapa sekte kecil di dalamnya 33.
b. Nikah Mut’ah dalam pandangan Syi’ah
Ada perbedaan mencolok antara Syi’ah (al-Imamiyah) dan kaum Sunni tentang
permasalahan nikah mut’ah. Nikah Mut’ah adalah nikah dengan batas waktu
tertentu, (an-nikah al-muaqqat) jenis pernikahan seperti ini memang terjadi pada
zaman Nabi disebagian riwayat menyatakan demikian, kemudian Nabi
mengharamkannya, karena memandang adanya beberapa madharat .
Sedangkan kaum Syi’ah terutama Syi’ah Imamiyah berbeda pandangan dalam
masalah ini, mereka memperbolehkan nikah mut’ah ini. Dengan bertendensikan
satu ayat dalam al-Qur’an “mafaistatha’tum bihi min hunna fa atu ujurahunna” .
dan mereka berkata bahwa beberapa Sahabat dan Tabi’in seperti, Abdullah bin
Abbas, Jabir bin Abdullah al-Anshory, Ibn Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab
memperbolehkan nikah mut’ah ini.
Sebenarnya perdebatan tentang masalah ini masih berlangsung hingga saat ini,
bukan saja antara Syi’ah dan Sunni akan tetapi antara kaum Sunni sendiri,
sebagian menyatakan bahwa sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi tidak bisa di
batalkan begitu saja oleh seorang Sahabat yaitu Sayyidina Umar. Karena nikah
mut’ah ini pernah dilakukan pada masa Nabi, Khalifah Abu Bakr, dan sebagian
pada masa Khalifah Umar.
9|Page
Akan tetapi yang jadi permasalahan penting bahwa Syi’ah Imamiyah masih
memperbolehkan konsep nikah mut’ah ini hingga sekarang, bahwa ini adalah
berdasarkan ijma orang-orang Islam pada masa Nabi tanpa adanya keraguan sama
sekali. Konsep nikah mut’ah ini juga kembali digulirkan Oleh seorang pemikir
Mesir Gamal al-Banna, dalam sebuah karyanya ia mengatakan seorang muslim
yang tinggal di negara Eropa dan negara mayoritas Kristen boleh melakukan
nikah mut’ah untuk menghindari dari perzinahan.
BAB III
Konsep Wilayah al-Faqih Menurut Syi’ah Itsna Asyariyah
10 | P a g e
“Wilayah al-Faqih adalah anugerah dari Allah SWT bagi kaum Muslimin”
(Ayatullah Ruhullah Khomaeni)
Orang Syiah berkeyakinan bahwa Imamah adalah sebuah rukun iman yang harus
di yakini, seperti halnya iman kepada Allah, iman kepada para Rasul. Kewajiban
imamah ini di nash oleh Allah SWT atas Sayyida Ali- karamallah wajha- dan di
sampaikan oleh nabi Muhammad SAW pada hari setelah kepulangannya dari haji
wada’ yang kemudian di sebut dengan yaum al-Ghadir. Dan hadist yang
disampaikan Rasulullah di sebut Hadist al-ghadi r, dan kaum Syiah merayakan
hari ini setiap tahun yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah, atas dasar inilah kaum
Syiah meyakini bahwa Rasulullah telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau
sebagai penerus Imamah adalah anak dari pamannya yaitu Sayyidina Ali,
kedudukan imam menurut mereka sama dengan kedudukan Nabi Muhammad
SAW, dan oleh karena itu, kedudukan seorang imam lebih tinggi ketimbang para
nabi yang lainnya, bahkan mereka juga ma’shum (terlepas dari kesalahankesalahan) sebuah doktrin yang agak ganjal bagi kita yang bukan golongan syiah,
tetapi begitu doktrin imamah begitu melekat di tubuh teologi syiah, bahkan
seorang belum bisa di kategorikan seorang syiah hanya dengan mencintai ahlu albait (keturunan-keturunan Nabi) tetapi ia juga harus meyakini bahwa Sayyidina
Ali adalah seorang imam. Seorang imam menurut Syiah adalah seseorang yang
ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur urusan mereka baik perkara
yang menyangkut kepentingan dunia bahkan urusan-urusan yang bersifat akhirat.
Silsilah Imam menurut Syiah Istna Asyariah adalah dari Sayyidina Ali sampai
pada Imam yang ke 12 yaitu Imam Mahdi al-Muntazhar . dan sebagian dari kaum
Syiah Ista Asyariah meyakini bahwa Imam yang ke 12 Muhammad bin Hasan
secara terang-terangan mengakui keimanannya setelah kelahirannya dan sujud
kearah kiblat. Dan Mahdi al-Muntazhar memiliki dua tahapan Gaib . pertama :
Gaib Sughra, yaitu dimulai dari sembunyinya sang Imam di sebuah gua sampai
pada tahun 329 H bertepatan pada tahun 940/941 M. Dan estafet kepemimpinan di
teruskan oleh 4 imam pengganti beliau yaitu : Umar Ustman bin Said Umar, Abu
11 | P a g e
Ja’far Muhammad bin Ustman bin Said, Abu al-Qasim Husain bin Ruh, dan yang
terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary. Sedangkan yang kedua
yaitu Ghaib kubra yaitu dimulai dari mangkatnya seorang Imam yang terakhir
Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary pata tahun 329 H bertepatan dengan
tahun 940/941 Masehi.
Syiah beranggapan bahwa pentingnya sebuah komunitas masyarakat di pimpin
oleh seorang Imam karena keberlangsungan hidup didunia tergantung seorang
pemimpin (Imam) dan kontuinitas Risalah Tuhan tergantung pula oleh seorang
Imam, karena dialah yang ma’shum diantara para manusia oleh sebab itu dialah
tempat kita bertanya tentang masalah Agama, dan juga urusan dunia. Imamah
adalah sesuatu hal yang membuat kita dekat dengan kebaikan dan sebaliknya kita
jauh dari segala keburukan.
Berangkat dari persepsi bahwa Wilayah Ali di berikan dari Rasulullah SAW
melalui hadisnya, dan hal itu pula menurut kaum Syiah bahwa hal itulah yang
menyebabkan turun surah al-Maidah ayat 3:
اليوم اكملت لكم ديناكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم السلم دينا
Wilayatul Faqih selanjutnya adalah sebuah konsep yang di usung orang-orang
syiah untuk meneruskan estafet perjalanan Imamah setelah ke-Ghaib-an seorang
Imam. Dan bagaimana sebuah konsep Wilayah al-Faqih bisa terwujud dibawah
naungan Wilayah seorang Imam, dan bagaimana konsep Wilayah yang bersifat
Tasyri’ bisa jatuh atau turun kepada seorang Imam yang menurut pandangan kaum
Syiah mereka adalah orang-orang pilihan yang Ma’shum. Mungkin elaborasi di
bawah perlu untuk di perhatikan. Tentang apa itu Wilayah, dan siapa yang berhak
memiliki wewenang kekuasaan untuk mengatur manusia dalam hal Agama.
12 | P a g e
BAB IV
A. Sekilas Makna Wilayah
Sebelum kita beranjak lebih jauh tentang wilayah, kita harus mengetahui makna
wilayah, para pakar fiqh lughah mengatakan bahwa wilayah adalah pertolongan,
dan kekuasaan atau adanya sesuatu otoritas pihak pertama pada pihak kedua.
13 | P a g e
Maka dalam praktek wilayah diharuskan adanya sebuah kerelaan (tanpa paksaan)
dan kedekatan agar terjadi tasarruf diantara dua pihak, maka kata wilayah
mengandung pengertian pertolongan, kecintaan dan kedekatan. Oleh karena itu
suatu tindakan pemaksaan tidak termasuk dalam kategori wilayah, karena tidak
menunjukkan adanya kedekatan dan kecintaan, kata wilayah sama sekali tidak
mengandung pengertian sebuah praktek hegemoni, akan tetapi adanya sebuah
sistem kebebasan, dalam artian tidak ada paksaan dalam wilayah . Kita bisa
simpulkan bahwa wilayah ialah terjadinya sesuatu diantara dua pihak tanpa
adanya sebuah paksaan melainkan karena kedekatan, dan kecintaan.
B. Ketetapan Wilayah
Allah SWT telah menciptakan segala hal untuk kita manfaatkan, aset-aset yang
berharga yang berada di dunia semua di ciptakan untuk kita manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini, dan oleh karena itu pula di tangan Allah segala
peraturan, ketetapan dibuat, Allah membimbing kita, mendidik kita menentukan
jalan kita sebagai hambanya, dan tentunya sesuai kemaslahatan, baik dunia
maupun akherat, dengan kata lain Allah mempunyai hak kekuasaan (wilayah)
untuk kita. Allah tidak akan membuat sesuatu konsep hukum kecuali mempunyai
kemaslahatan bagi hambanya, tapi sesungguhnya manusia itu lemah mempunyai
keterbatasan akal untuk mengetahui keseluruhan maslahat dibalik hukum Tuhan
tersebut . Allah berhak untuk memerintahkan hambanya apa-apa yang baik bagi
manusia dan berarti Allah juga berhak untuk melarang hambanya untuk
melakukan sesuatu yang mengandung bahaya dan kerusakan. Dan manusia
sebagai seorang hamba harus tunduk kepada hukum syariat yang telah ditetapkan
oleh Tuhan dengan menerimanya dan menjalankannya dalam lini kehidupannya.
Hukum Tuhan bisa sampai kepada kita dengan perantaraan seorang utusan, Rasul
atau Nabi-Nya melaui wahyu, maka wajib juga bagi manusia untuk taat dan patuh
14 | P a g e
terhadap apa-apa yang di sabdakan para utusan Tuhan tersebut , akan tetapi
ketaatan disini hanya sebagai sebuah petunjuk, Rasul tidak mempunyai kekuasaan
mutlak seperti halnya Tuhan, ia hanya perantara untuk menyampaikan hukumhukum Tuhan, begitu juga seorang Faqih ia hanya sebagai penjelas, penyampai
hukum-hukum Tuhan kepada manusia.
Akal manusia bisa menentukan dan memutuskan hal-hal yang menurutnya baik
untuk dilakukan oleh orang lain, oleh sebab itu akal manusia juga mewajibkan
untuk mentaati orang yang telah membimbing kita dan menunjukkan jalan yang
lurus walaupun ia adalah manusia biasa seperti kita. Dan oleh karena itu, kita juga
wajib mentaati kedua orang tua kita yang telah merawat kita dan mengasuh kita
serta membimbing kita dalam menjalani hidup ini, bahkan hukum Tuhan pun
menyuruh kita untuk itu.
Dan dari paparan diatas bisa di ambil benang merah bahwa pada dasarnya,
seorang manusia adalah bebas, tidak ada paksaan baginya untuk melakukan
apapun yang ia inginkan. Kekuasaan hanya milik Allah, hanya Allah yang
mempunyai wewenang hak prerogatif untuk mengatur ciptaannya, yaitu manusia.
Akan tetapi tidak mungkin hal itu bisa terjadi tanpa adanya seorang perantara
yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan, maka di utuslah seorang
Rasul atau Nabi untuk menjelaskan hukum, ketetapan –ketetapan dari Tuhan. Dan
berarti kita juga wajib mentaati para utusan tersebut karena ialah yang mengetahui
hukum Tuhan tersebut.
Setelah jelas bahwa adanya Wilayah – kekuasaan- pada Allah SWT sebagai
pencipta, baik wilayah berupa takwin ataupun tasyri’. Dan wilayah Allah yang
berupa tasyri’ itu bisa turun kepada para Rasul dan Nabi dan juga kepada para
Imam Ma’shum menurut kaum syiah, sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an
dan Hadist. Oleh sebab itu ketaatan kepada para imam tersebut merupakan suatu
15 | P a g e
kewajiban, kewajiban ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, akan tetapi
bersifat Irsyadiah dengan kata lain karena para Rasul telah membimbing kita,
mengajarkan hukum-hukum sakral Tuhan, maka kita harus taat kepada mereka.
Bukan sebuah ketaatan yang menyaingi ketaatan kita pada Tuhan.
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang secara jelas menyatakan adanya Wilayah bagi
para Rasul dan Nabi, dan juga bagi para Imam menurut kaum Syiah. Untuk
mengukuhkan argumentasi mereka tentang adanya otoritas seorang Imam untuk
mengatur manusia.
Pertama : Surah al-Baqarah ayat 124 tentang adanya Wilayah bagi Nabi Ibrahim
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang lalim (QS: al-Baqarah 124)
Menurut kaum Syiah ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT, menjadikan
Ibrahim sebagai hamba sebelum ia dijadikan seorang Nabi, dan dijadikan seorang
Nabi sebelum dijadikan seorang Rasul, dan dijadikannya Ibrahim seorang Rasul
sebeklum dijadikan al-Khalil (kekasih), dan dijadikan ak-khalil sebelum dijadikan
seorang Imam. Dan dari sini pula Allah mengungkapkan sesengguhnya Imamah
itu dengan nash.
Ayat kedua : Surah as-Shad ayat 26
16 | P a g e
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Maksud dari ayat ini adalah bahwa Allah telah memilih Nabi daud menjadi
memimpin untuk memimpin kaumnya, untuk mengatur manusia sesuai dengan
syariat, dan sebagai seorang Imam ia harus berlaku adil, karena Allah telah
berjanji barang siapa yang tersesat dari jalannya maka ingatlah azab pada hari
akhir
Ayat ketiga : Surah al-Ahzab ayat 6
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di
dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).
Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).
Dari ayat-ayat diatas kaum Syiah Istna asyariah berkesimpulan bahwa adanya
sebuah hak otoritas pada diri Nabi untuk mengatur manusia, pada ayat terakhir
Allah SWt menyatakan bahwa Nabi Muhammad aula bilmukminin dalam artian
bahwa jikalau seorang mukmin melihat adanya sesuatu kecintaan dan
kewibawaan maka Nabi lebih berhak untuk mendapatkan hal itu, dan seorang
mukmin harus mendahulukan kepentingan Nabi daripada kepentingan pribadi,
semisal Nabi diliputi bahaya maka seorang mukmin harus menghilangkan bahaya
yang dihadapi sang Nabi, itu adalah sebuah bentuk ketaatan dan kecintaan
seorabng terhadap Nabinya. Syeikh Ali as-Shobuni ketika menafsiri ayat ini
17 | P a g e
menyatakan bahwa Nabi lebih berhak untuk dicintai dan perintahnya harus kita
laksanakan dan menta’ati Nabi adalah sebuah kewajiban pendapat senada juga
diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, dengan kata lain Nabi memiliki
sebuah otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan jiwa dan harta, maka
otoritas kekuasaan Nabi (wilayah) lebih kuat, seperti seorang bapak yang juga
memiliki wilayah terhadap anak kecilnya untuk mengatur sang anak, begitu juga
Nabi karena dia mengetahui kemaslahatan umatnya. Dan adapun dalam masalah
yang
bersifat
individual
seperti
masalah
seorang
menthalak
isterinya,
mengawinkan anaknya maka itu bukan dari pembahasan konteks ayat tersebut,
artinya seorang mukmin lebih berhak dalam urusan pribadinya .
Sedangkan yang dijadikan landasan bagi kaum syiah untuk mengatakan bahwa
setelah Nabi memiliki otoritas kekuasaan (wilayah) lalu Nabi mempercayakan Ali
sebagai pemimpin setelah Nabi menurut kaum Syiah yang terdapat dalam Hadist
al-Ghadir , hadist inilah yang dijadikan pijakan bagi kaum syiah bahwa estafet
kepemimpinan setelah Rasul yang berhak memimpin adalah sayyidina Ali, bahwa
Rasul telah memilih sendiri Ali sebagai penggantinya. Dan kaum Syiah juga
mengatakan bahwa Ulama juga mempunyai otoritas kekuasaan karena dia adalah
pewaris para Nabi, berarti dia juga memiliki apa-apa yang dimiliki Nabi
Muhammad sebagai orang yang mewarisi.
BAB V
Beberapa Tingkatan Wilayah
Wilayah Shugra
18 | P a g e
Wilayah atau kekuasan disini tidak mutlak dalam artian seorang imam tidak
memiliki otoritas penuh untuk mengatur umatnya dalam segala urusan. Seperti
Wilayah yang di miliki Syeih Muhammad Husain al-Isfahani, Syeih al-Anshary
dan Said Khui’
Otoritas Wilayah yang dimiliki Imam pada tingkatan ini hanya sebatas Fatwa dan
Qadha pada urusan yang berhubungan dengan harta (materi), jikalau ada suatu
keadaan yang mendorong seorang Imam untuk mengeluarkan atau menggunakan
otoritasnya sebagai seorang Imam, seperti adanya kasus pencurian, maka ia hanya
berhak untuk mengurusi bagaimana barang yang di curi itu bisa kembali, ia tidak
mempunyai otoritas hukum untuk mengadili pencuri tersebut, dengan memotong
tangan misalnya, atau dengan memenjarakannya, dan lain sebagainya, ia hanya
mempunyai otoritas untuk mengurusi harta yang di curi saja.
Oleh karena itu tidak ada hak bagi seorang faqih kecuali qadha’ dan memberikan
fatwa, atau ia juga tidak mempunyai otoritas untuk mengambil hak-hak orang
kafir, atau sebaliknya memberikan kemaslahatan bagi orang-orang kafir. Maka
para ulama berpendapat tidak adanya dalil yang qat’i kecuali pada masalah
qadha’, maka tidak bisa menjadikan seorang faqih pada saat ke-ghaib-an sang
imam memberikan wilayah secara mutlak kecuali memberikan fatwa dan qadha’
pada urusan harta saja.
Wilayah Mutlaq
Wlayah disini adalah wilayah secara keseluruhan seorang Faqih mempunyai
otoritas penuh, apabila ia melihat adanya kemaslahatan dalam hal apaun baik
19 | P a g e
pengurusan harta, jiwa manusia dan maslahah dalam daerah orang-orang Islam
maka itu menjadi otoritasnya.
Tetapi dalam permasalahan ini hanya Syeikh an-Nuraqi saja yang berani
mengemban wilayah ini. Dan dia menggunakan beberapa argumen untuk
melandasi dasar pemikirannya tentang wilayah mutlak ini pertama hadist Nabi
SAW yang menyatakan bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. Dari hadist ini
dia mengambil kesimpulan bahwa segala yang dimiliki Nabi baik otoritas untuk
mengatur manusia dalam hal syariat, politik, sosial dan segalanya berarti otoritas
itu juga di miliki oleh para ulama sebagai para pewaris Nabi, orang yang diwarisi
berhak mendapatkan segala hal yang dimiliki pewaris, karena mereka adalah
pengganti Nabi. Hadist yang juga dipakai untuk menguatkan pendapatnya hadist
Nabi yang berbunyi “ sesungguhnya segala sesuatu berjalan diatas tangan para
ulama”
Akan tetapi argumentasi mereka memiliki beberapa kelemahan dalam menetapkan
konsep adanya wilayah mutlak bagi sang Imam apalagi jika otoritas wilayah ini
bisa sampai ketangan seorang Faqih pertama bahwa hadist yang di kemukakan
Syekh an-Nuraqy posisinya adalah doif sanad
Yang kedua bahwa Riwayat atau hadist yang di jadikan landasan oleh syeik anNuraqy banyak terdapat pada bab yang menerangkan tentang keutamaan ilmu
(fadhilah al-ilmi)
Yang ketiga sesungguhnya Nabi yang di dalam hadist tersebut posisinya sebagai
pewaris bukan berarti Nabi mewariskan segala hal, apalagi otoritas untuk
mengatur manusia dalam urusan agama, akan tetapi yang diwarisi Nabi yang
sesuai dalam konteks riwayat ini adalah menyampaikan ajaran agama
menyebarkan petuah-petuah agung Nabi, dan menjelaskannya kepada manusia
guna menyinari problem masyarakat dimana seorang ulama itu berada. Bukan
20 | P a g e
berarti seluruh otoritas Nabi jatuh ketangan seorang Imam yang Ma’shum
(menurut kaum Syiah)
Keempat bahwa adanya wilayah secara mutlak itu tidak menyeluruh bagi para
Nabi, apalagi jika wilayah itu dinisbatkan pada seorang Imam bahkan seorang
Faqih seperti Nabi Nuh, Isa, Ibrahim dan Nabi Musa dengan strata wilayah yang
berbeda-beda. Dan jikalau dikatakan bhwa ulama adalah pewaris para Nabi,
bagaimana lafadh ulama yang bersifat mutlak (umum) mentakwilkannya pada
fuqaha saja, pada zaman ghaibah dan juga tidak adanya indikasi yang mengarah
kearah penafsiran tersebut
Kesimpulan dari paparan diatas bahwa hadist yang digunakan an-Nuraqy dalam
membungkus konsep wilayah secara mutlak bagi seorang Imam dan Faqih itu
rapuh dengan alasan yang telah dikemukakan diatas.
Wilayah Wustho
Para Fuqaha syiah mengatakan bahwa masalah wilayah al-faqih adalah wilayah
wustho itu sendiri bahkan permasalan wilayah wustho sudah menjadi suatu
kesepakatan dan menjadi sebuah keniscayaan dalam mazhab Syiah dalam kurun
waktu yang lama. Yang di maksud dengan wilayah disini menjadikan seorang
faqih memiliki otoritas untuk mengurusi urusan umat sebagai pengganti dari
Imam Ma’shum pada saat ghaibah untuk menegakkan hukum Islam.
Kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menurunkan Rasulnya di muka
bumi ini, untuk menyinari manusia membawanya dari jalan kegelapan menuju
jalan yang diridhoi Allah, mungkin permasalahan yang dihadapi manusia pada
zaman Rasul, tidak sekompleks yang dihadapi manusia saat ini, seiring waktu
berjalan manusia dihadapkan pada permasalahan yang begitu dahsyat, maka
21 | P a g e
seorang pemimpin yang mengatur manusia haruslah orang-orang pilihan, dan
tujuan adanya pemimpin adalah adanya kontuinitas kehidupan manusia dibawah
naungan syariat Islam yang agung maka sorang waliyul muslim harus memiliki
persyaratan, maka seorang wali harus memiliki sifat sebagai berikut :
Pertama : seorang wali harus mengetahu undang-undang Islam dan mengetahui
Fiqh Islam, bagaimana ia bisa menjawab problematika manusia kalau ia tidak
mengetahui Syariat Islam secara mendalam.
Kedua : ia harus memiliki sifat adil, yang dimaksud adil disini adalah seorang
wali harus memiliki sifat takwa dan wara’ yang bisa dilihat dari kepribadiaanya
yang mempunyai semangat untuk menegakkan syariat dan hukum-hukum Allah
dan berpegang teguh atas peraturan dan hukum Islam, maka seorang faqih seperti
yang dikemukakan Khomaini telah memenuhi persyaratan itu, ia bertindak sesuai
apa yang dilakukan Rasul, tidak kurang dan juga tidak lebih, ia harus berlaku
amanah terhadap harta umatnya.
Ketiga : wali muslim memiliki intelektual yang mumpuni untuk mengatur dan
mengurusi umat, karena ia harus menegakkan maslahah manusia.
Keempat seorang wali juga harus peka terhadap perkembangan zaman dan
problematika yang melingkupinya baik dari segi sosial, ekonomi dan
perkembangan di dunia luar, karena hal itu bisa membantu untuk memberikan
sebuah keputusan yang bijak, yang berlandaskan atas kemaslahatan manusia. Dan
juga
mengetahui
kebudayaan
dan
perkembangan
pemikiran
dan
juga
permasalahan fiqh kontemporer, seperti masalah Bank, ekonomi Islam, karena
pada saat ini manusia dihadapkan pada permasalahan yang harus di jawab dalam
perspektif Fiqh Islam .
22 | P a g e
BAB VI
Penutup
23 | P a g e
Dari paparan singkat diatas bahwa konsep wilayah al-faqih, yang di cetuskan
kaum syiah untuk meneruskan estafet perjalanan imamah, yang sudah menjadi
sebuah keniscayaan bagi kaum syiah, karena Imamah adalah sesuatu yang harus
diyakini karena dia termasuk dari rukun iman (menurut Syiah) karena sebuah
komunitas harus dipimpin oleh seorang yang bisa membimbing kita,
menunjukkan jalan kita, oleh sebab itu di pilihlah orang-orang yang ma’shum
karena dialah yang lebih mengetahui kemaslahatan umat ketimbang orang-orang
lain disekitar kita, dia lebih mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia, dan apa
yang buruk bagi manusia yang harus ditinggalkan, karena dia bebas dari
kesalahan-kesalahan. Dan berpegang pada hadist bahwa ulama adalah pewaris
para nabi, berarti dia juga memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia
(wilayah) seperti yang dimiliki nabi, walaupun ulama dalam konteks hadist
tersebut bersifat mutlak, tetapi syiah mentakwilkannya dan mengkhususkannya
hanya fuqaha, karena dia lebih mengetahui hukum Tuhan, lebih mengerti maknamakna yang terselubung dari firman-firman suci Tuhan.
Mungkin konsep wilayah dan Imamah kaum syiah, terlahir dari sebuah
kefanatikan, Imam menurut mereka adalah orang-orang yang ma’shum, maka
dialah yang pantas mendapatkan hak otoritas untuk mengatur manusia.
Sedikit kesimpulan dari paparan diatas bahwa kaum syiah mengatakan bahwa hak
otoritas kepemimpinan dan wilayah telah diberikan Rasul SAW pada Sayyidina
Ali ketika Nabi pulang dari haji wada’ yang disebut dengan hadis al-ghadir,
imamah itu terus berlangsung sampai pada Imam ke12, pada saat Imam ke 12
ghaib, maka kepemimpinan harus terus berlangsung, karena keberlangsungan
agama Allah tergantung seorang Imam, maka munculah konsep wilayah al-Faqih,
dan mereka melandaskan konsepnya itu dengan hadist nabi bahwa, para ulama
adalah pewaris para Nabi, dan berarti mempunyai otoritas sama sepeerti Nabi, dan
nereka (kaum Syiah) mengkhususkan Ulama pada Fuqaha, karena menurut
24 | P a g e
mereka fuqaha lebih mengerti tentang kemaslahatan manusia ketimbang orangorang lain.
Daftar Pustaka
Labbad, Mustafa, Hadaiq al-Ahzan Iran wa wilayah al-Faqih- Darul
Shourouk Kairo cet 11 Tahun 2007
25 | P a g e
Dirasah fi wilayah al-Faqih wa Fiqh ad-Daulah al-Islamiyah juz 1
(Markaz li al-‘alami li ad-Dirasah al-Islamiyah. Qum-Iran)
Imarah, Muhammad, Tayarah al-Fikr al-Islami
Ibn al-Kasir, al-Hafidh Tafsir al-Qur’an al-Karim Darul Hadist Kairo
Khazim, Muhammad Wilayah al-Faqih am syura al-fuqaha nuthaq al-
dhaif ..wa ‘awamil al-quwah
Shobuni, Ali Sofwah at-Tafasir Darul Ashobuni Kairo
26 | P a g e