KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN GUGATAN KONS

KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
GUGATAN KONSUMEN PADA MASKAPAI PENERBANGAN WINGS AIR
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan
Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang
advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali
menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat
Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh
menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya,
pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di
tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia
merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu
di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan
untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku
yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh
Undang-Undang

Nomor


8

Tahun

1999

tentang

Perlindungan

Konsumen.

Sebagai maskapai penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air bolak-balik
mendapat komplain dari penumpang. Bahkan tidak sedikit komplain ini masuk hingga ke
pengadilan. Dalam catatan detikcom, Selasa (4/9/2012), perusahaan berlogo kepala singa ini
pernah digugat Rp 10 miliar oleh pengusaha De Neve Mizan Allan. Pengusaha di bidang
otomotif ini menuduh Lion Air telah melakukan refund tiket pesawat miliknya tanpa
persetujuannya.
Tidak terima, lalu Lion Air menggugat balik penumpang tersebut. Lion Air menuding
penggugat sebagai penyebab keterlambatan penerbangan dari Bandara Ngurah Rai menuju

Soekarno-Hatta. Lion Air menuntut penggugat membayar biaya avtur selama 20 menit
sebesar Rp 11,6 juta, pemeliharaan pesawat sebesar US$ 36,6 dan menuntut ganti rugi gaji
pilot senilai US$ 73,3 dan biaya extend bandara Rp 1 juta.
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi
maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana
ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana
Ekonomi dalam arti luas, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi

sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang
mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk
meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat. Dalam
Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik
atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi
dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah
tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak
pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain
yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings
Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan

tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya
dapat

diklasifikasikan

sebagai

tindak

pidana

ekonomi

dalam

arti

luas.

Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan

tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan
dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam
perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan
dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang
menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih
amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara intigrative dan komprehensif
dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari
perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah
konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali

atau reseller consumer.
http://erikababan.blogspot.com/2013/02/kasus-tentang-perlindungan-konsumen.html

CONTOH KASUS SENGKETA EKONOMI
SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Dualisme penyelesaian secara hukum (litigasi) dalam sengketa ekonomi syariah yang
bisa ditangani Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum dikhawatirkan membuat
kegamangan bagi kepastian hukum ekonomi syariah di masa mendatang. Demikian
diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) Dr. H. A. Riawan Amin,
M.Sc. usai seminar “Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, yang
diselenggarakan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Jakarta, Sabtu
(18/6).
Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase
Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi
alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia
mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan
Agamalah yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No.
50/2009yang menyempurnakan UU No. 3/2006.
Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyak
menginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta

mengirimkan sejumlah hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang
menyangkut ekonomi syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau
agar Bank-bank Syariah ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan
dengan ekonomi syariah ke peradilan agama bukan peradilan umum.
Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta
agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang
dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah
keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah
dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga

tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. “Proporsional saja,
mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?” ujar Riawan.
Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA,
berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama
jika menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan,
hakim dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani
pengadilan agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga
masalah ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan
masyarakat.
Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH.

berpendapat keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi
bagi Peradilan Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun
sistemnya lebih baik lagi ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan
penyelesaian sengketa memang bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan,
melalui Basyarnas dan a/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat jika ingin mengajukan keberatan atas
keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang tindih.
Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari
solusi terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi
syariah. Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena
seminar yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan
berbagai kalangan dalam forum.(YUS)
http://farahindahlestari.blogspot.com/2013/06/kasus-bab-11-penyelesaian-sengketa.html

KASUS ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN
PT CARREFOUR INDONESIA

Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi
perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU
No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil

alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.

Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau take over .
pengertian acquisition atau take over

adalah pengambilalihan suatu kepentingan

pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2
ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat
“mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari
perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan
menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang
harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau
orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi
harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan
pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului
dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan

dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap
memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan
kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu
Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya
dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan
Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf
a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal
17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk
melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan
terkait dengan posisi dominan.
Majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama
pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99%
(2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar

46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai
posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi
dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan

potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms.
Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok
meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya
menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.
http://putrifebriwulandariblog.wordpress.com/2013/05/20/anti-monopoli-dan-persainganusaha-tidak-sehat-dan-contoh-kasus/
KASUS KEPAILITAN
KASUS KEPAILITAN TPI
Kronologi Kasus Kepailitan TPI
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.0021.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI
Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir
1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden
Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki
oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen
menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika
TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik
dangdut pada pertengahan 1990-an.
Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian
menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang
sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha
besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI

juga terancam tak terbayar. Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada
Hary Tanoe untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe

saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang
berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan
perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan
kawan-kawan.
Akhirnya BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$
55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah
pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama
(BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya
adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.
Crown Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI.
Tuduhan pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT. Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai banyak protes oleh
para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja TPI, dan semua konsumen
siaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya campur tangan Markus (Makelar Kasus),
sehingga kasus ini aneh sekali jika dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga.
Menurut Sang Nyoman, Direktur Utama TPI, keberadaan makelar kasus dalam
perkara ini disinyalir sangat kuat mengingat sejumlah fakta hukum yang diajukan ke
persidangan tidak menjadi pertimbangan majelis hakim saat memutus perkara ini. Ketika
didesak siapa makelar kasus yang dimaksud, Nyoman mengatakan bahwa ada pihak yang
disebut-sebut mendapat tugas pemberesan sengketa ini dan mengakui sebagai pengusaha batu
bara berinisial RB. Inisial ini pernah terungkap ketika diadakan rapat pertemuan antara hakim
pengawas, tim kurator, dan direksi TPI di Jakarta Pusat pada Rabu tanggal 4 November 2009.
Hal tersebut dirasa aneh oleh pihak TPI sendiri karena pihak TPI tidak merasa memiliki utang
yang belum terbayar kepada CCGL.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan
pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang
obligasi jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital
Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :

1. Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias
Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang
dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
2. Dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx
menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine
Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang
sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke
rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh
manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik
lama yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat
ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan
promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran.
Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond
berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas
illegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus
yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup
menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini,
kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum PT. TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan
bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI
46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada
tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment
Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak
ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub
Bond senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan di
kantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak
tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL.

Hasil Putusan Kasus Kepailitan TPI
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar
Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI
melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah
Agung. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum
teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak, seperti bukti pembayaran tagihan utang
oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI
sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar.
Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat
utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum.
Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan
berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI.
Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa
punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan diakatakan bahwa
harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke
pengadilan. Melihat dua kekeliruan di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini
yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota
Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember 2009 diputuskan
bahwa TPI tidak pailit. Akibat berita baik ini, keluarga besar PT. TPI yang sahamnya 75%
dimiliki oleh PT. Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan
syukuran dan memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
Alasan Perubahan Nama Menjadi MNCTV
Sejak Juli 2006, 75% saham TPI dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok
perusahaan media yang juga memiliki RCTI dan Global TV. Lalu pada tanggal 20 Oktober
2010 atau 20.10.2010 tepat pukul 20.10 WIB menjadi momen bersejarah pergantian nama
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Logo dan merek baru MNCTV resmi menggantikan
TPI. Perubahan nama tersebut hanyalah rebranding untuk kepentingan bisnis. Nama PT-nya
tetap CTPI, tetapi brand usahanya berganti menjadi MNC TV. Karena dengan rating nomor 4
yang dimiliki TPI tetapi penjualan iklan tidak bagus diharapkan dengan bergantinya nama
tersebut penjualan iklan semakin meningkat.

Alasan pemilihan nama menggunakan MNC TV, dikarenakan MNC sendiri sudah
kuat di market dan dapat menghemat waktu dan biaya dengan mengadakan riset. Selain itu,
perlu diketahui bahwa program dangdut yang sudah menjadi program utama, tetap akan
dipertahankan oleh MNCTV, tetapi selain mempertahankan itu, MNCTV juga akan
menambahkan program-program yang lainnya juga.
http://marieffauzi.wordpress.com/2013/04/06/analisis-kasus-kepailitan-pt-cipta-televisipendidikan-indonesia-tpi-dan-pergantian-nama-menjadi-mnctv/