SEJARAH KTT BUMI dan bpupki
KTT BUMI DAN PROTOKOL KYOTO
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengetahuan Lingkungan
Semester V Pada Program Studi Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2015 / 2016
Disusun oleh :
Tubagus Maulana Alam Kusuma
10070110071
PROGRAM STUDI PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1437 H / 2015 M
A.
SEJARAH KTT BUMI
Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18,
baru pada pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang
kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas
usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah
Konferensi Internasional PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human
Environment ) di Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat
bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup.
Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan
lingkungan hidup secara global.
Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan
mengembangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan
yang digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja,
khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta
rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP),
yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini
Indonesia menyampaikan laporan / pandangan tentang lingkungan hidup dan
pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan
Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas
prakarsa Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).
Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang di ikuti
oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup :
Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang
kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam
konferensi Stockholm inilah menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan
hidup melalui kesadaran dengan motto “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One
Earth ) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai
mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto itu sekaligus
menjadi mottokonferensi. Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal 5
Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia
World Environmental Day
(http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )
Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah
surut, bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum
menjalankan kesepakatan, walaupun ikut menandatangani.Masalah lingkungan
hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan
alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan
manusia dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia
dengan mudah dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang
dilaksanakan 10 tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya, justru
menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang
mengemuka dalam dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon,
pemanasan global ( perubahan iklim ), perusakan hutan, pengguguran,
pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-bahan
berbahaya
dan
beracun
serta
limbah,
serta
permasalahan
mengenai
perlindungan lingkungan pada saat konflik bersenjata
Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa
perjanjian internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya
consensus global, yang mencakup “ Viena Convention for the Protection of the
Ozone Layer, Viena 1985 “ dan “Montreal Protocol on Substances that Deplete
the Ozone Layer, Montreal 1987 “, yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi
bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat
khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC (
Chloro Fluoro Carbon ). “The United Nations Convention on the Law og the Sea
(UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan
termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu
disepakati pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements
of Hozardous Wastes and Disposal, Basel 1989, “ The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNICEF) 1992”, dan “ Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”,
tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan
penting lain pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh
Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentuk World Commission on
Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan,
yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri
Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan
laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland. Tema
laporan ini adalah Sustainable Development ( pembengunan berkelanjutan ).
Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya
yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini
menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar
lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan
yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi
Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal
dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.
Jargon “ Think globally, act locally “, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi
popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.
KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan ( multilaterisme )
untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara
upaya-upaya melasanakaqn pembangunan ( oleh developmentalist ) dan upayaupaya melestarikan lingkungan ( oleh environmentalist ). Dari uraian di atas,
maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji dari Konferensi Stockholm
menuju ke pelaksanaan KTT Bumi Rio de Jeneiro , yang berhubungan dengan
isu-isu lingkungan global dan hasil-hasil KTT Bumi, serta pelaksanaannya di
Indonesia.
B.
DARI STOCKHOLM MENUJU KE RIO DE JANEIRO
Konferensi Nairobi dan WCED (World Commission on Environment and
Development). Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB
kembali menggelar konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di
Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah
dalam
Government
Council
UNEP,
pertemuan
tersebut
mengusulkan
pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah
pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di
Nairobi ini dibawa ke sidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk
WCED/ World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan ) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland,
dan ditugaskan untuk mencari dan merumuskan permasalahan global lingkungan
dan pembangunan. Komisi inilah yang melakukan pertemuan diberbagai tempat
di belahan dunia, serta berdialog dengan berbagai kalangan . Komisi ini
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan menerbitkan laporan “Our
Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland (The Brundtland
Report ). Tema laporan ini adalah sustainable development ( pembangunan
berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa
mengorbankan
kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa
mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept
pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti
dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan
United Nations Conference on Environment and Devwelopment (UNCED) atau
Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau lebih
dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit ).
C.
KTT Bumi Rio de Janeiro
Dalam pandangan dan prinsip - prinsip yang tertuang dalam Deklarasi
Stockholm 1972, anata lain ditegaskan bahwa sebagian besar problema
lingkungan di negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan. Sedangkan di
negara-negara maju justru disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan
teknologi. Pemanfaatan lingkungan hidup tetap diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan fisik manusia dan sekaligus untuk berkembangnya nilai - nilai
intelektual, moral, sosial dan spiritual. Seluruh masyarakat dunia, baik di negara
maju maupun di negara berkembang, semua unsur pemerintah dan masyarakat
termasuk dunia usaha, mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama
untuk menjaga dan memelihara lingkungan bagi generasi sekarang sampai
generasi
mendatang,
dengan
mempertahankan
tujuan
mendasar
dari
perdamaian dan pembangunan ekonomi global. Topik yang diangkat dalan
konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan
ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya
penggundulan
hutan,
penggurunan dan
degradasi tanah,
berbahaya serta berkurangnya keanekaragaman hayati.
limbah-limbah
KTT Bumi berupaya manyatukan perhatian dunia tentang masalah
lingkungan yang terjadi. Masalah tersebut sangat berkaitan erat de3ngan kondisi
ekonomi dan masalah keadilan sosial. Kon ferensi ini juga mendeklarasikan
bahwa jika rakyat miskin dan ekonomi nasionalnya lemah, maka lingkungannya
yang menderita. Jika lingkungan hidup disalah gunakan dan sumber daya - nya
dikonsumsi
secara
berlebihan,
akibatnya
rakyat
akan
menderita
dan
perekonomian-pun akan morat-marit.
Tujuan utama KTT Bumi ini adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan,
sebagai sebuah perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu
- isu lingkungan hidup dan pemb angunan. Perencanaan tersebut akan
membantu memberi arahan bagi suatu kerja sama internasional serta
pembuatan kebujakan pembangunan ke depan.
Konferensi Rio kemudian menyepakati bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan
merupakan
tujuan
dari
setiap
manusia.
Bagaimanapun,
menyatukan dan menyeimbangkan perhatian di bidang ekonomi, sosial dan
lingkungan membutuhkan cara pandang baru. Baik mengenai bagaimana kita
menghasilkan dan memakai sumberdaya, bagaimana kita hidup, bagaimana kits
bekerja, bagaimana kita bergaul dengan orang lain, atau bagaimana cara kita
membuat keputusan. Konsep ini menjadi perdebatan panjang, baik dikalangan
pemerintahan, juga antara pemerintah dan masyarakatnya tentang bagaimana
mencapai keberlanjutan tersebut.
Konferensi Rio de Janeiro menghasilkan lima dokumen. Deklarasi Rio de
Janeiro ,tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro
Declaration on Environment and Development ) juga dikenal dengan “Earth
Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama
internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan
lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Deklarasi
ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya
dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam
pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut
menikmati hasil pembangunan itu.
Berikut ini adalah Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pilihan dari Deklarasi Rio
(UNCED,1992 dalam Mitchel Bruce,dkk,2007) :
Prinsip 1 : Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan
berkelanjutan. Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan
alam.
Prinsip 2 : Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter
of the United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa
untuk
mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai dengan
kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka……….
Prinsip 3 : Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna
memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari
generasi sekarang dan yang akan datang.
Prinsip 4
:
Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan,
perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari
proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah
dari proses tersebut.
Prinsip 5
:
memerangi
Semua nagara dan masyarakat harus bekerja sama
kemiskinan
yang
merupakan
hambatan
mencapai
pembangunan berkelanjutan……..
Prinsip 8 :
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi
pola
konsumsi
dan
produksi,
serta
mempromosikan
kebijakan demografi yang sesuai.
Prinsip 9 :
Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk
pembangunan
berlanjut
melalui
peningkatan
pemahaman
secara
keilmuan dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
dengan meningkatkan pembangunan, adaptasi, alih teknologi, termasuk
teknologi baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 10 :
Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan
partisipasi seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari
berbagai tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing individu harus
mempunyai akses terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk
informasi tentang material dan kegiatan berbahaya dalam lingkungan
masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Negara harus memfasilitasi dan mendorong
masyarakat untuk tanggap dan partisipasi melalui pembuatan informasi
yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 15 : Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan
pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai
dengan
kemampuannya.
Apabila
terdapat
ancaman
serius
atau
kerusakan yang tak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan
seharusnya tidak dipakai sebagai alasan penundaan pengukuran biaya
untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.
Prinsip 17 : Penilaian dampak lingkungan sebagai instrument nasional
harus dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin
mempunysai dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan
keputusan di tingkat nasional.
Prinsip 20 : Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan.
Partisipasi penuh mereka perlu untuk
mencapai pembangunan berlanjut.
Prinsip 22 :
Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting
dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman
dan pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan
mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta
menguatkan
partisipasi
mereka
secara
efektif
dalam
mencapai
pembangunan berkelanjutan.
D.
PROTOKOL KYOTO
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1992 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%).Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai ratarataselama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkiasar dari
pengurangan 6% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia.(Sumber Wikipedia)
Target penurunan emisi dikenal dengan nama quantified emission
limitation
and
reducation
commitment (QELROs) merupakan
pokok
permasalahan dalam seluruh urusan Protokol Kyoto dengan memiliki implikasi
serta mengikat secara hukum, adanya periode komitmen, digunakannya rosot
(sink) untuk mencapai target, adanya jatah emisi setiap pihak di Annex I, dan
dimasukannya enam jenis gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC
dan SF6 (basket of gases) dan disertakan dengan CO2.
Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal sebagai UNFCCC. UNFCCC ini
diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Jenerio pada 1992. Semua pihak
dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto,
sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi
ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsabangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework
Convention on Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun
1992 di Rio de Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan
negosiasi-negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam
mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada saat pertemuan otoritas tertinggi
tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 - COP) diadakan di
Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama Protokol Kyoto
diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan
protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negaranegara yang meratifikasi. Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997,
kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan
bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi,
Menurut pengertiannya secara umum (http://untreaty.un.org/), protokol adalah
seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat
secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya
dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi)
menjadi lebih detil dan spesifik. Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada
kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat
dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I
yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan negaranegara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara maju
memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas
dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk
mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol Kyoto
adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam
mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan
lebih tegas dan terikat. Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara
ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari
tingkat emisi tersebut di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol
Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK. Bagi
negara NON ANNEX I Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK,
tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://denyhidayat23.blogspot.co.id/p/protokol-kyoto.html
https://www.scribd.com/doc/184059277/Ktt-Bumi-Rio-de-Jeneiro
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pengetahuan Lingkungan
Semester V Pada Program Studi Pertambangan Fakultas Teknik
Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2015 / 2016
Disusun oleh :
Tubagus Maulana Alam Kusuma
10070110071
PROGRAM STUDI PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1437 H / 2015 M
A.
SEJARAH KTT BUMI
Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18,
baru pada pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang
kepedulian akan gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas
usul Pemerintah Swedia diselenggarakanlah
Konferensi Internasional PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia ( United Nations Conference on the Human
Environment ) di Stockholm, Swedia tahun 1972, adalah konferensi yang sangat
bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup.
Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan
lingkungan hidup secara global.
Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan
mengembangkan kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan
yang digagas PBB ini menghasilkan Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja,
khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia serta
rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental Programme (UNEP),
yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi ini
Indonesia menyampaikan laporan / pandangan tentang lingkungan hidup dan
pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan
Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas
prakarsa Prof. Soemarwoto ( Soerjani,1997 ).
Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang di ikuti
oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup :
Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang
kelembagaan dan keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam
konferensi Stockholm inilah menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan
hidup melalui kesadaran dengan motto “Hanya Ada Satu Bumi” (The Only One
Earth ) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109 rekomendasi dan deklarai
mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto itu sekaligus
menjadi mottokonferensi. Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal 5
Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia
World Environmental Day
(http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm )
Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah
surut, bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum
menjalankan kesepakatan, walaupun ikut menandatangani.Masalah lingkungan
hidup terjadi karena perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan
alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan
manusia dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia
dengan mudah dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang
dilaksanakan 10 tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya, justru
menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang
mengemuka dalam dekade ini mencakup hujan asam, penipisan lapisan ozon,
pemanasan global ( perubahan iklim ), perusakan hutan, pengguguran,
pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-bahan
berbahaya
dan
beracun
serta
limbah,
serta
permasalahan
mengenai
perlindungan lingkungan pada saat konflik bersenjata
Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa
perjanjian internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya
consensus global, yang mencakup “ Viena Convention for the Protection of the
Ozone Layer, Viena 1985 “ dan “Montreal Protocol on Substances that Deplete
the Ozone Layer, Montreal 1987 “, yang bertujuan mereduksi dan mensubsitusi
bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta ketentuan yang mengikat
khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan kimia, CFC (
Chloro Fluoro Carbon ). “The United Nations Convention on the Law og the Sea
(UNCLOS) tahun 1982”,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan
termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu
disepakati pula “Basel Convention on the Control of Transboundary Movements
of Hozardous Wastes and Disposal, Basel 1989, “ The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNICEF) 1992”, dan “ Konvensi
Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity /CBD) 1992”,
tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan
penting lain pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh
Majelis Umum PBB pada tahun 1983 membentuk World Commission on
Environment and Development (WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan,
yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri
Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan
laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland. Tema
laporan ini adalah Sustainable Development ( pembengunan berkelanjutan ).
Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya
yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini
menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar
lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan
yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi
Khusus tentang Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal
dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.
Jargon “ Think globally, act locally “, yang menjadi tema KTT Bumi menjadi
popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.
KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan ( multilaterisme )
untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara
upaya-upaya melasanakaqn pembangunan ( oleh developmentalist ) dan upayaupaya melestarikan lingkungan ( oleh environmentalist ). Dari uraian di atas,
maka dalam makalah ini mencoba untuk mengkaji dari Konferensi Stockholm
menuju ke pelaksanaan KTT Bumi Rio de Jeneiro , yang berhubungan dengan
isu-isu lingkungan global dan hasil-hasil KTT Bumi, serta pelaksanaannya di
Indonesia.
B.
DARI STOCKHOLM MENUJU KE RIO DE JANEIRO
Konferensi Nairobi dan WCED (World Commission on Environment and
Development). Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB
kembali menggelar konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di
Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah
dalam
Government
Council
UNEP,
pertemuan
tersebut
mengusulkan
pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah
pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di
Nairobi ini dibawa ke sidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk
WCED/ World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan ) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland,
dan ditugaskan untuk mencari dan merumuskan permasalahan global lingkungan
dan pembangunan. Komisi inilah yang melakukan pertemuan diberbagai tempat
di belahan dunia, serta berdialog dengan berbagai kalangan . Komisi ini
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan menerbitkan laporan “Our
Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland (The Brundtland
Report ). Tema laporan ini adalah sustainable development ( pembangunan
berkelanjutan ). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa
mengorbankan
kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa
mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah underlying concept
pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang mengikuti
dinamika perubahan.
Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau
lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan
United Nations Conference on Environment and Devwelopment (UNCED) atau
Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau lebih
dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit ).
C.
KTT Bumi Rio de Janeiro
Dalam pandangan dan prinsip - prinsip yang tertuang dalam Deklarasi
Stockholm 1972, anata lain ditegaskan bahwa sebagian besar problema
lingkungan di negara berkembang disebabkan oleh kemiskinan. Sedangkan di
negara-negara maju justru disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan
teknologi. Pemanfaatan lingkungan hidup tetap diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan fisik manusia dan sekaligus untuk berkembangnya nilai - nilai
intelektual, moral, sosial dan spiritual. Seluruh masyarakat dunia, baik di negara
maju maupun di negara berkembang, semua unsur pemerintah dan masyarakat
termasuk dunia usaha, mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama
untuk menjaga dan memelihara lingkungan bagi generasi sekarang sampai
generasi
mendatang,
dengan
mempertahankan
tujuan
mendasar
dari
perdamaian dan pembangunan ekonomi global. Topik yang diangkat dalan
konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan
ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan lautan, meluasnya
penggundulan
hutan,
penggurunan dan
degradasi tanah,
berbahaya serta berkurangnya keanekaragaman hayati.
limbah-limbah
KTT Bumi berupaya manyatukan perhatian dunia tentang masalah
lingkungan yang terjadi. Masalah tersebut sangat berkaitan erat de3ngan kondisi
ekonomi dan masalah keadilan sosial. Kon ferensi ini juga mendeklarasikan
bahwa jika rakyat miskin dan ekonomi nasionalnya lemah, maka lingkungannya
yang menderita. Jika lingkungan hidup disalah gunakan dan sumber daya - nya
dikonsumsi
secara
berlebihan,
akibatnya
rakyat
akan
menderita
dan
perekonomian-pun akan morat-marit.
Tujuan utama KTT Bumi ini adalah untuk menghasilkan agenda lanjutan,
sebagai sebuah perencanaan bagi gerakan internasional dalam menghadapi isu
- isu lingkungan hidup dan pemb angunan. Perencanaan tersebut akan
membantu memberi arahan bagi suatu kerja sama internasional serta
pembuatan kebujakan pembangunan ke depan.
Konferensi Rio kemudian menyepakati bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan
merupakan
tujuan
dari
setiap
manusia.
Bagaimanapun,
menyatukan dan menyeimbangkan perhatian di bidang ekonomi, sosial dan
lingkungan membutuhkan cara pandang baru. Baik mengenai bagaimana kita
menghasilkan dan memakai sumberdaya, bagaimana kita hidup, bagaimana kits
bekerja, bagaimana kita bergaul dengan orang lain, atau bagaimana cara kita
membuat keputusan. Konsep ini menjadi perdebatan panjang, baik dikalangan
pemerintahan, juga antara pemerintah dan masyarakatnya tentang bagaimana
mencapai keberlanjutan tersebut.
Konferensi Rio de Janeiro menghasilkan lima dokumen. Deklarasi Rio de
Janeiro ,tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro
Declaration on Environment and Development ) juga dikenal dengan “Earth
Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama
internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan
lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Deklarasi
ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya
dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam
pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut
menikmati hasil pembangunan itu.
Berikut ini adalah Prinsip Pembangunan Berkelanjutan pilihan dari Deklarasi Rio
(UNCED,1992 dalam Mitchel Bruce,dkk,2007) :
Prinsip 1 : Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan
berkelanjutan. Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan
alam.
Prinsip 2 : Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter
of the United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa
untuk
mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai dengan
kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka……….
Prinsip 3 : Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna
memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari
generasi sekarang dan yang akan datang.
Prinsip 4
:
Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan,
perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari
proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah
dari proses tersebut.
Prinsip 5
:
memerangi
Semua nagara dan masyarakat harus bekerja sama
kemiskinan
yang
merupakan
hambatan
mencapai
pembangunan berkelanjutan……..
Prinsip 8 :
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi
pola
konsumsi
dan
produksi,
serta
mempromosikan
kebijakan demografi yang sesuai.
Prinsip 9 :
Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk
pembangunan
berlanjut
melalui
peningkatan
pemahaman
secara
keilmuan dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
dengan meningkatkan pembangunan, adaptasi, alih teknologi, termasuk
teknologi baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 10 :
Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan
partisipasi seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari
berbagai tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing individu harus
mempunyai akses terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk
informasi tentang material dan kegiatan berbahaya dalam lingkungan
masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Negara harus memfasilitasi dan mendorong
masyarakat untuk tanggap dan partisipasi melalui pembuatan informasi
yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 15 : Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan
pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai
dengan
kemampuannya.
Apabila
terdapat
ancaman
serius
atau
kerusakan yang tak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan
seharusnya tidak dipakai sebagai alasan penundaan pengukuran biaya
untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.
Prinsip 17 : Penilaian dampak lingkungan sebagai instrument nasional
harus dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin
mempunysai dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan
keputusan di tingkat nasional.
Prinsip 20 : Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan.
Partisipasi penuh mereka perlu untuk
mencapai pembangunan berlanjut.
Prinsip 22 :
Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting
dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman
dan pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan
mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta
menguatkan
partisipasi
mereka
secara
efektif
dalam
mencapai
pembangunan berkelanjutan.
D.
PROTOKOL KYOTO
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1992 (namun yang perlu diperhatikan
adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%).Tujuannya adalah untuk
mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai ratarataselama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkiasar dari
pengurangan 6% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk
Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10%
untuk Islandia.(Sumber Wikipedia)
Target penurunan emisi dikenal dengan nama quantified emission
limitation
and
reducation
commitment (QELROs) merupakan
pokok
permasalahan dalam seluruh urusan Protokol Kyoto dengan memiliki implikasi
serta mengikat secara hukum, adanya periode komitmen, digunakannya rosot
(sink) untuk mencapai target, adanya jatah emisi setiap pihak di Annex I, dan
dimasukannya enam jenis gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC
dan SF6 (basket of gases) dan disertakan dengan CO2.
Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal sebagai UNFCCC. UNFCCC ini
diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Jenerio pada 1992. Semua pihak
dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto,
sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi
ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.
Segera setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsabangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework
Convention on Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun
1992 di Rio de Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan
negosiasi-negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam
mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada saat pertemuan otoritas tertinggi
tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference of Parties 3 - COP) diadakan di
Kyoto, Jepang, sebuah perangkat peraturan yang bernama Protokol Kyoto
diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi GRK. Kepentingan
protokol tersebut adalah mengatur pengurangan emisi GRK dari semua negaranegara yang meratifikasi. Protokol Kyoto ditetapkan tanggal 12 Desember 1997,
kurang lebih 3 tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim mulai menegosiasikan
bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi,
Menurut pengertiannya secara umum (http://untreaty.un.org/), protokol adalah
seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah disepakati. Dalam sebuah protokol, para anggota jelas terikat
secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya
dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi)
menjadi lebih detil dan spesifik. Sepanjang COP 1 dan COP 2 hampir tidak ada
kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan emisi GRK. COP 3 dapat
dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I
yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri dengan negaranegara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara maju
memiliki kepentingan bahwa pembangunan di negara mereka tidak dapat lepas
dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Untuk
mengakomodasikan kepentingan antara kedua pihak tersebut Protokol Kyoto
adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam
mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan
lebih tegas dan terikat. Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara
ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari
tingkat emisi tersebut di tahun 1990. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol
Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK. Bagi
negara NON ANNEX I Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK,
tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://denyhidayat23.blogspot.co.id/p/protokol-kyoto.html
https://www.scribd.com/doc/184059277/Ktt-Bumi-Rio-de-Jeneiro