Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Gandum Tri
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Gandum (Triticum aestivum) yang Diadaptasikan
di Dataran Rendah Pulau Lombok sebagai Alternatif Penganekaragaman
Tanaman Pangan Lahan Kering*)
Growth and yield of wheat (Triticum aestivum) adapted to lowland
Lombok Island as an Alternative Food Crop for Dryland
Akhmad Zubaidi**), VF Aris Budianto, Astam Wiresyamsi, dan Hanafi Abdurrahman
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Jalan Majapahit 62, Mataram – Lombok 83124
*) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terdegradasi,
Mataram 5 Maret 2014
**)
Penulis untuk korespondensi; email: [email protected]
ABSTRAK
Gandum saat ini tidak ditanam sebagai tanaman komersial di Indonesia, namun
karena konsumsi gandum terus meningkat dan alternatif tanaman musim kemarau
diperlukan untuk diversifikasi budidaya pertanian, maka gandum penting untuk
diadaptasikan. Pulau Lombok memiliki peluang untuk penanaman gandum dan gandum
merupakan tanaman pangan alternatif di lahan kering. Penelitian ini bertujuan untuk
mengadaptasikan dan menapis varietas-varietas gandum Nasional dan gandum introduksi
dari Australia di dataran rendah Pulau Lombok. Tanaman gandum ini nantinya
diharapkan dapat menjadi alternatif penganekaragaman tanaman pangan bagi lahan-lahan
terdegradasi. Metode eksperimental digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan
hasil 10 varietas gandum guna melihat daya adaptasinya pada dataran dengan ketinggian
200 m dpl (Pringgarata) dan 400 m dpl (Aik Bukak). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pada tempat yang lebih rendah (Pringgarata), pertumbuhan tanaman gandum lebih
lambat dari pada di Aik Bukak, yang dapat disebabkan oleh suhu di dataran 200 m dpl
telah melampau batas toleransi pertumbuhan gandum (supra optimal temperature).
Gandum dapat memberikan hasil panenan yang baik pada dataran dengan ketinggian 400
m dpl, tetapi hasil sangat menurun pada 200 m dpl (rata-rata hasil 1.68 t/ha vs. 0.82 t/ha).
Hasil rendah ini terutama disebabkan oleh sterilitas bunga yang menyebabkan kegagalan
pada proses pembuahan yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah biji/spikelet (2 t/ha), lebih tinggi dibanding varietas-varietas lainnya.
Kata kunci: adaptasi, dataran rendah, gandum Australia, gandum Nasional, lahan kering,
Pulau Lombok
ABSTRACT
Wheat is not currently grown as a commercial crop in Indonesia, however since
consumption of wheat is steadily increasing and alternative dry season crops are
required for farming system diversification, wheat is important to be adapted. Lombok
Island has an opportunity for wheat growing and wheat is an alternative crop in
drylands. The aims of this experiment is to adapt and screen wheat varieties including
national and introduced Australian varieties in lowland Lombok Island. In future, wheat
is expected to be an alternative crop for degraded lands. The experimental method used
1
to evaluate growth and yield of 10 wheat varieties to look at the adaptability on the
lowland of 200 m asl (Pringgarata) and on higher land of 400 m asl (Aik Bukak). The
results showed that at a lower altitude (Pringgarata), wheat growth is slower than in Aik
Bukak, which can be caused by the temperature at 200 m asl has exceeded the tolerance
limit for grain growth (supra optimal temperature) . Wheat can give good yields on 400 m
asl, but the yield is decreased at 200 m asl (average 1.68 t/ha vs 0.82 t/ha). This low yield
is mainly due to sterility indicated by the low number of grain/spikelet ( 2 t/ha ), higher than other
varieties .
Keywords: adaptation, Australian wheat, Lombok Island, lowland, National wheat,
dryland.
PENDAHULUAN
Gandum (Triticum aestivum) adalah sereal sub-tropis ditanam umumnya pada
lintang 25°LU/LS sampai 50°LU/LS, akan tetapi usaha budidaya gandum ke daerah
tropis telah mulai dilakukan sampai dengan lintang 15°LU/LS (Music dan Porter, 1990).
Di Indonesia, konsusmsi gandum telah meningkat pesat akhir-akhir ini sehingga impor
gandum pada tahun 2012 tercatat mencapai 7.4 juta ton (Siregar, 2012). Perkembangan
industri mie instan, roti dan jajanan yang sangat pesat terutama untuk daerah perkotaan
mendorong konsumsi tepung terigu di Indonesia semakin tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhan tepung terigu tersebut dilakukan dengan
mendatangkan dari negara-negara produsen gandum, seperti Australia. Mengingat
tingginya jumlah penduduk, meningkatnya konsumsi tepung terigu dan anjuran
pemerintah untuk menggalakkan diversifikasi sumber karbohidrat, maka perlu dilakukan
penggalian potensi tanaman gandum di Indonesia, termasuk diantaranya upaya adaptasi
tanaman gandum di daerah yang mempunyai potensi untuk pengembangannya, seperti di
Pulau Lombok.
Pulau Lombok (8.5ºS, 116ºE) cukup potensial untuk pengembangan tanaman
gandum (Gusmayanti et al, 2006) meskipun sebagian wilayah ini merupakan daerah tadah
hujan, akan tetapi gandum dapat beradaptasi baik pada lahan kering yang tidak dapat
ditumbuhi dengan baik oleh padi. Topografi pulau Lombok bervariasi dengan dataran
rendah pada tepi sekeliling pulau dan dataran tinggi pada bagian tengah-utara dengan G.
Rinjani sebagai puncak tertinggi. Tanaman gandum dapat dipergunakan sebagai pilihan
untuk memperkaya keanekaragaman tanaman pangan pada lahan-lahan kurang
berpengairan dan nantinya diharapkan sebagai alternatif tanaman pangan di lahan-lahan
terdegradasi.
Percobaan sebelumnya tahun 2010 dan 2011 menunjukkan bahwa tanaman
gandum Australia dapat berproduksi dengan baik dengan hasil sekitar 3 t/ha ketika
ditanam pada ketinggian sekitar 1000 m diatas permukaan laut (m dpl) (Zubaidi et al.,
2011). Usaha ekstensifikasi melalui perluasan areal tanam gandum ke dataran yang lebih
rendah perlu dilakukan, mengingat dataran tinggi yang seharusnya lebih sesuai untuk
penanaman gandum merupakan areal yang sudah lama dimanfaatkan untuk penanaman
sayuran dan tanaman hortikultura lainnya. Untuk itu juga perlu dilakukan uji coba
varietas gandum yang sesuai di dataran rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasikan dan menapis varietas/galur
gandum pada agroekologi Lombok dalam rangka pengembangan dan produksi gandum
yang optimal. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditetapkan letak ketinggian tempat
2
minimal bagi penanaman gandum dengan hasil yang memadai serta pemilihan varietas
yang sesuai.
METODE PENELITIAN
Penetapan lokasi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
ketinggian tempat dari permukaan laut yaitu: ±200 m dpl (Pringgarata, Kecamatan
Pringgarata Lombok Tengah) dan ≥400 m dpl (Aik Bukak, Kecamatan Batukliang Utara
Lombok Tengah). Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok. Pada masingmasing lokasi penelitian ditanam 10 varietas gandum sebagai perlakuan dan diulang 3
kali, sehingga terdapat 30 petak percobaan pada setiap lokasi.
Benih yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih dari 10 varietas gandum
yaitu Nias, Dewata (var. Indonesia), dan 8 varietas Australia, yaitu: Axe, Gladius, Correl,
Estoc, Espada, Mace, Scout dan Cobra. Semua varietas gandum dari Australia adalah dari
type spring yang tidak menghendaki perlakuan dingin (vernalisation) untuk
pembungaannya.
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara membajak dan menggaru sebanyak dua
kali kemudian diratakan lalu dibuatkan blok-blok percobaan yang terdiri dari 30 petak
percobaan pada masing-masing lokasi percobaan dengan ukuran tiap petak adalah 1.5 x 4
m. Benih ditanam pada petak-petak percobaan dengan cara larikan, berjarak 30 cm antar
larikan sehingga terdapat 5 larikan dalam dalam satu petak. Pada setiap petak ditanam
1000 biji, atau 250 biji per larikan. Penanaman dilakukan tanggal 2 dan 4 Juli 2013 di
Pringgarata dan Aik Bukak secara berturutan.
Pemeliharaan tanaman meliputi
pemupukan, pengendalian gulma, pengendaliah hama. Pengendalian penyakit tidak
dilakukan. Pemanenan dilakukan pada saat 80% dari populasi tanaman pada petak
percobaan mencapai kriteria panen, yang ditandai dengan malai telah masak fisiologis,
batang dan daun sudah menguning serta gabah sudah berwarna kuning dan keras.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan dan hasil serta komponenkomponen hasil, meliputi fase pertumbuhan dengan Skala Zadoks (Zadoks et al, 1974),
jumlah daun dengan skala Haun (Haun, 1973), laju pertumbuhan daun & Phylochron,
tinggi tanaman (cm), jumlah anakan total (batang), jumlah anakan produktif (batang),
umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah malai (head), jumlah spikelet per malai,
jumlah biji, jumlah biji/spikelet, berat seribu butir gabah (g), berat gabah per m2 (g), hasil
(t/ha), Index Panen dan Indek Kerentanan (Susceptibility Index). Indeks Panen dihitung
dengan membandingkan hasil ekonomis tanaman (biji) dengan hasil biologis (berat
brangkasan kering) sedangkan Susceptibility index menunjukkan besarnya kehilangan
hasil yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak ideal (letak ketinggian, misalnya) dari
suatu genotype secara relatif dibandingkan dengan semua genotype yang diuji pada
indeks stress yang sama (Fischer dan Maurer, 1978).
Analisis Data
Percobaan ini dilakukan pada 2 tempat terpisah yang independen, tidak berkaitan
yang satu dengan lainnya, maka data pada masing-masing tempat dianalisis secara
terpisah. Data dianalisis dengan menggunakan GenStat Statistical Package (VSN
International Ltd. United Kingdom). Untuk membedakan rata-rata varietas dilakukan
dengan LSD, Least Significant Difference. Perbandingan respons tanaman antar dua
tempat percobaan ditunjukkan dengan menghitung rata-rata varietas dan standard error of
means (s.e.m).
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
Pengamatan pertumbuhan daun dilakukan dengan Skala Haun (Haun et al, 1973).
Dalam percobaan ini, pertumbuhan daun gandum di Pringgarata diketahui lebih lambat
dibandingkan dengan di Aik Bukak; dalam sehari rata rata 0,15 bagian daun tumbuh di
Pringgarata, sedangkan di Aik Bukak berkisar 0,16 daun. Atau sebaliknya waktu yg
dibutuhkan untuk menumbuhkan satu daun (Phylochron) adalah dalam waktu 6,6 (±0,11)
hari di Pringgarata dan di Aik Bukak selama 6,2 (±0,11) hari. Semua varietas
menunjukkan kecenderungan pertumbuhan daun yang lebih lambat di Pringgarata dari
pada di Aik Bukak, dan penurunan pertumbuhan daun ini menunjukkan adanya stress
suhu tinggi (Midmore et al., 1984). Meskipun demikian jumlah daun pada ke dua tempat
percobaan tidak berbeda nyata (Table 1) (Slafer and Rawson, 1994b). Pada umumnya
pertumbuhan tanaman gandum akan dipacu dengan peningkatan suhu udara sekitar, akan
tetapi suhu yang lebih tinggi di Pringgarata tampaknya sudah melampau batas toleransi
adaptasi varietas gandum yang diamati, sehingga pertumbuhan menjadi lebih lambat
(Summerfield et al., 1991).
Table 1: Jumlah daun, pertumbuhan daun dan Phylochron di Pringgarata (PR) dan Aik
Bukak (AB) dari sepuluh varietas gandum yang diamati
Var
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
s.e.m.
Jumlah daun
(helai)
AB
PR
6.3
6.2
7.3
7.4
7.2
7.0
7.4
7.2
7.1
7.3
7.7
7.3
7.4
7.4
7.3
7.2
7.8
7.4
7.6
7.6
7.3
7.2
0.13
0.12
Pertumbuhan daun
(daun/hari)
AB
PR
0.188
0.174
0.157
0.152
0.153
0.149
0.156
0.146
0.153
0.142
0.163
0.147
0.158
0.153
0.156
0.149
0.162
0.152
0.161
0.156
0.161
0.152
0.0032
0.0027
Phylochron
(hari/daun)
AB
PR
5.3
5.7
6.4
6.6
6.5
6.7
6.4
6.8
6.5
7.0
6.1
6.8
6.3
6.5
6.4
6.7
6.2
6.6
6.2
6.4
6.2
6.6
0.11
0.11
Pertumbuhan tinggi tanaman di Aik Bukak dan Pringgarata tidak berbeda.
Perbedaan pertumbuhan terjadi antar varietas, yang menunjukkan bahwa faktor genetis
lebih berpengaruh dari pada faktor lingkungan.
Perkembangan fase pertumbuhan tanaman dilakukan dengan Skala Zadoks
(Zadoks et al, 1974). Tidak terdapat perbedaan perkembangan tanaman gandum di Aik
Bukak dan Pringgarata, kecuali untuk varietas dengan perkembangan yang lambat (Scout,
Cobra dan Estoc) yang menunjukkan perkembangan lebih lambat di Pringgarata
dibanding di Aik Bukak (Gambar 1). Perkembangan tanaman gandum di Mataram pada
elevasi yang lebih rendah lagi (±10 m dpl), lebih lambat lagi dibandingkan Pringgarata
(Anugrahwati dan Zubaidi, 2012).
4
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Skala Zadoks
Skala Zadoks
Perkembangan setiap varietas yang diamati menunjukkan trend yang sama antara
Pringgarata dan Aik Bukak, artinya varietas dengan perkembangan fase pertumbuhan
cepat di Aik Bukak juga menunjukkan perkembangan yang cepat di Pringgarata, kecuali
bahwa varietas varietas dengan perkembangan lambat di Aik Bukak menjadi lebih lambat
lagi di Pringgarata. Pada minggu ke dua perkembangan tanaman hampir sama yaitu pada
fase pertumbuhan bibit (Skala Zadoks/SZ belasan). Barulah pada minggu ke empat atau
28 hari, tampak perkembangan Axe melampaui varietas-varietas yang lain, ketika Axe
telah mencapai fase pemanjangan batang (SZ 30an) baik di Aik Bukak maupun di
Pringgarata, varietas lain masih pada fase pertumbuhan anakan (tillering/SZ 20an). Pada
minggu ke enam perkembangan tanaman mulai semakin bervariasi sehingga dapat
dikelompokkan berdasar kecepatan perkembangannya.
0
10
20
30
40
50
60
Hari setelah tanam (HST)
di Aik Bukak
70
80
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Hari setelah tanam (HST)
di Pringgarata
Gambar 1: Laju perkembangan tanaman gandum (dalam Skala Zadoks) di Aik Bukak
(400 m dpl) dan Pringgarata (200 m dpl). Trend line untuk Axe (♦), Dewata
(○) dan Cobra (∆) ditunjukkan untuk mewakili laju kecepatan pertumbuhan.
Slope line Cobra lebih datar di Pringgarata dibanding Aik Bukak
menunjukkan kecepatan perkembangan Cobra di Pringgarata lebih lambat.
Tidak ada perbedaan untuk Axe dan Dewata.
Sepuluh vatietas yang dicoba dirangkum dalam 3 kelompok perkembangan,
yaitu cepat (Axe dan Nias), sedang (Gladius, Mace, Espada, Dewata, Correll), dan lambat
(Scout, Cobra, Estoc). Perlu dicatat bahwa Cobra menurut diskripsinya memiliki
perkembangan yang cepat sampai sedang (short to mid-season), tetapi di lapangan pada
percobaan ini, Cobra menunjukkan perkembangan pertumbuhan yang lambat. Hal ini
menunjukkan adanya variasi genetik tanggapan tanaman terhadap stress suhu tinggi di
Lombok. Summerfield et al.(1991) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman
gandum apabila ditumbuhkan pada daerah dengan suhu diatas ambang batas toleransi
(supra optimal temperature) akan menunjukkan penurunan kecepatan pertumbuhannya.
Hal ini juga ditemukan pada varitas-varitas berumur panjang (Cobra dan Scout).
Fenologi
Fenologi merupakan karakter yang penting dalam adaptasi suatu tanaman terhadap
perubahan lingkungan tumbuh yang dapat terjadi secara alami atau dikondisikan pada
lingkungan tertentu. Fenologi terkait dengan terjadinya perubahan fase-fase pertumbuhan
(perkembangan), pembungaan, dan panen. Tiga karakter utama yang mempengaruhi
tanggapan tanaman terhadap lingkungan ini yaitu vernalisasi, fotoperiode, dan kebutuhan
5
akan masa vegetatif (Earlyness atau Basic Vegetatif Phase/BVP) (Kosner and Pankova,
1998; Slafer and Rawson, 1994; Snape et al., 2001).
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan antara umur berbunga antara Pringgarata
dan Aik Bukak kecuali untuk varietas-varietas dengan laju perkembangan yang lambat
yaitu Estoc, Scout dan Cobra yang berbunga sekitar 5 hari lebih lambat di Pringgarata
daripada di Aik Bukak (Tabel 2). Terlihat perbedaan antar varietas, Axe dan Nias
merupakan varietas dengan umur berbunga yang cepat, sebaliknya Estoc, Scout dan
Cobra merupakan varietas varietas dengan umur bunga yang lama, dan varietas-varietas
lainya berada diantara keduanya. Meskipun adanya perbedaan umur bunga pada sebagian
varietas, masa pengisian biji dari vareitas yang diuji juga tidak menunjukkan perbedaan
pada 2 tempat percobaan, dan masa pengisian biji ini tidak berkorelasi dengan hasil akhir.
Table 2: Umur berbunga, umur panen dan masa pengisian biji (dalam hari) tanaman
gandum di Pringgarata (PR) dan Aik Bukak (AB)
Varietas
Axe
NIAS
Gladius
Mace
COBRA
CORRELL
DEWATA
ESPADA
SCOUT
ESTOC
Rerata
s.e.m
Umur berbunga
(hari)
AB
PR
42
42
45
44
56
59
63
68
67
72
57
59
51
51
57
61
70
75
63
68
57
60
2.9
3.6
Umur Panen
Masa pengisian biji
(hari)
(hari)
AB
PR
AB
PR
77
78
35
36
77
78
32
34
92
91
36
32
92
91
29
23
110
108
43
36
92
91
35
32
92
91
41
40
92
91
35
30
110
108
40
33
110
108
47
40
94
94
37
34
3.9
3.6
1.7
1.6
Hasil dan komponen-komponen hasil
Tanaman gandum di Aik Bukak secara keseluruhan memberikan hasil yang lebih
tinggi daripada tanaman yang di Pringgarata; 1.68 t/ha di Aik Bukak dibanding 0.82 t/ha
di Pringgarata. Hasil yang lebih tinggi di Aik Bukak didukung oleh semua komponen
hasil yang diamati seperti jumlah batang (anakan), berat brangkasan kering, jumlah biji,
jumlah biji/spikelet, berat invidual biji maupun Indeks Panen. Meskipun tanaman di
Pringgarata secara umum memiliki panjang malai lebih panjang yang ditunjukkan oleh
jumlah spikelet per malai yang lebih banyak, namun tidak dapat mendukung hasil yang
lebih tinggi (Table 3), hal ini karena rendahnya jumlah biji/spikelet.
6
Table 3: Perbandingan rata-rata hasil dan komponen hasil di Pringgarata (PR) dan Aik
Bukak (AB), Nilai di dalam tanda kurung menunjukkan Standard Error of
Means (s.e.m.)
Tempat
PR
AB
Jml
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
(batang)
0.83
254.0
369.4
12.8
(±0.085) (±18.82) (±26.28) (±0.97)
1.68
340.0
500.3
10.8
(±0.083) (±15.44) (±23.36) (±0.41)
Hasil
(t/ha)
Jml
Biji
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
3988
(±428)
5780
(±336)
1.5
(±0.1)
1.9
(±0.08)
33.2
(±2.43)
39.56
(±1.45)
Berat
1000
(g)
31.4
(±1.27)
34.6
(±1.04)
Varietas introduksi, Estoc, mampu berproduksi menyamai varietas Nasional ‘
Dewata, dan berproduksi tertinggi di Aik Bukak (2.17 t/ha). Hasil yang ditunjukkan oleh
Estoc pada percobaan ini cukup tinggi dan menyamai hasil di tempat aslinya, Australia.
Tingginya hasil Estoc di Aik Bukak merupakan kombinasi dua komponen yaitu jumlah
biji/m2 yang tinggi dan didukung oleh jumlah biji/spikelet yang tinggi pula. Dewata
merupakan varietas dengan panjang malai terpanjang atau memiliki jumlah spikelet per
malai tertinggi, karakter ini yang menunjang Dewata memiliki hasil yang tinggi. Nias,
Gladius dan Mace juga dapat berproduksi cukup baik dan mendekati hasil Dewata. Axe
meskipun memiliki anakan yang banyak dan juga jumlah malai yang banyak, tetapi tidak
menyebabkan Axe berproduksi dg baik, hal ini dapat disebabkan karena Axe memiliki
malai yang pendek dan jumlah biji/spikelet yang rendah pula (Table 4).
Table 4: Rata rata hasil dan komponen hasil 10 varietas yang diuji di Aik Bukak
(ketinggian 400 m dpl)
Varietas
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
lsd.
Hasil
(t/ha)
0.91
1.86
1.85
1.89
1.06
1.29
2.13
1.74
1.89
2.17
1.68
0.213
Jmh
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
405
356
407
322
233
364
265
369
293
384
340
ns
361.3
565.6
582.4
532.9
321.8
507.9
605.7
558.6
484.1
482.8
500.3
ns
Jml
Biji
10.3
5311
11.2
7567
9.1
6494
12.7
6482
11.0
3523
7.7
3059
13.7
6804
11.6
5677
11.0
5491
9.7
7387
10.8
5780
3.17 2366.7
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
1.6
2.3
1.9
1.8
1.7
1.3
2.0
1.7
2.0
2.2
1.9
ns
43.51
44.58
44.25
45.66
29.12
28.57
41.36
40.32
36.13
42.09
39.56
10.39
Berat
1000
(g)
29.9
33.0
39.4
37.7
27.1
41.7
36.6
39.9
32.7
27.4
34.6
5.36
7
Table 5: Rata rata hasil dan komponen hasil 10 varietas yang diuji di Pringgarata
(ketinggian 200 m dpl)
Varietas
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
l.s.d.
Hasil
(t/ha)
0.35
1.20
0.75
1.12
0.24
0.66
1.12
0.69
0.79
1.42
0.83
0.318
Jmh
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
126.5
217.7
236.0
231.0
169.8
330.8
252.0
313.0
246.0
417.4
254.0
72.83
220.8
442.5
241.0
286.8
257.6
372.9
553.9
373.7
437.6
507.3
369.4
133.48
Jml
Biji
7.8
1747
14.6
6240
11.2
2687
11.7
3767
10.9
1261
10.8
2819
15.1
5831
20.0
4303
16.1
3897
9.9
7332
12.8
3988
ns
1927.1
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
0.9
1.9
1.5
1.7
1.3
1.0
1.8
1.2
1.4
2.1
1.5
0.59
24.8
42.0
38.7
42.7
14.4
28.3
38.5
40.8
29.4
32.5
33.2
ns
Berat
1000
(g)
30.1
29.0
32.7
30.5
29.4
38.7
36.2
32.9
32.0
22.6
31.4
ns
Hasil biji gandum di Pringgarata lebih rendah daripada di Aik Bukak. Meskipun
memiliki hasil yang lebih rendah dibanding di Aik Bukak, Estoc juga memiliki hasil
tertinggi di Pringgarata yaitu 1.42 t/ha (Table 5). Hasil Estoc yang tinggi didukung oleh
jumlah biji yang dihasilkan terbanyak serta jumlah biji dalam satu spikelet juga tinggi
(2.1 biji/spikelet). Sebaliknya hasil terendah ditunjukkan oleh Axe (0.35 t/ha) karena Axe
memiliki malai pendek (7.8 spikelet/malai) serta rendahnya keberhasilan pembentukan
biji (0.9 biji/spikelet) (Table 5).
Hasil panen gandum pada penelitian ini tergolong cukup baik di Aik Bukak (400
m dpl) yaitu 1.68 t/ha (kisaran 0.9-2.17 t/ha) dan rendah di Pringgarata (200 m dpl), 0.83
t/ha (kisaran 0.35-1.42 t/ha). Sebagai pembanding, Zubaidi et al (2011) menyampaikan
hasil sebesar 1 t/ha pada penanaman gandum dibawah 200 m dpl dan sekitar 2 t/ha pada
pertanaman sekitar 500 m dpl. Handoko (2007) juga menyatakan hasil 2 t/ha dapat
diperoleh dari pertanaman pada ketinggian tempat 500 m dpl. Dengan berasumsi dataran
lebih rendah memilki suhu lebih tinggi, maka dikemukakan rendahnya hasil pada 200 m
dpl disebabkan oleh suhu yang diatas batas toleransi pertumbuhan dan produksi gandum
(Summerfield et al. 1991).
Pada Tabel 6 ditunjukkan bukti bahwa terdapat variasi genetik tanggapan
tanaman terhadap stress suhu tinggi. Perhitungan Susceptibility Index (S) (Fischer dan
Maurer, 1978) menunjukkan bahwa Nias, Dewata, Mace, dan Estoc memiliki Nilai 0.5
di Dataran Rendah Pulau Lombok sebagai Alternatif Penganekaragaman
Tanaman Pangan Lahan Kering*)
Growth and yield of wheat (Triticum aestivum) adapted to lowland
Lombok Island as an Alternative Food Crop for Dryland
Akhmad Zubaidi**), VF Aris Budianto, Astam Wiresyamsi, dan Hanafi Abdurrahman
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram
Jalan Majapahit 62, Mataram – Lombok 83124
*) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terdegradasi,
Mataram 5 Maret 2014
**)
Penulis untuk korespondensi; email: [email protected]
ABSTRAK
Gandum saat ini tidak ditanam sebagai tanaman komersial di Indonesia, namun
karena konsumsi gandum terus meningkat dan alternatif tanaman musim kemarau
diperlukan untuk diversifikasi budidaya pertanian, maka gandum penting untuk
diadaptasikan. Pulau Lombok memiliki peluang untuk penanaman gandum dan gandum
merupakan tanaman pangan alternatif di lahan kering. Penelitian ini bertujuan untuk
mengadaptasikan dan menapis varietas-varietas gandum Nasional dan gandum introduksi
dari Australia di dataran rendah Pulau Lombok. Tanaman gandum ini nantinya
diharapkan dapat menjadi alternatif penganekaragaman tanaman pangan bagi lahan-lahan
terdegradasi. Metode eksperimental digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan
hasil 10 varietas gandum guna melihat daya adaptasinya pada dataran dengan ketinggian
200 m dpl (Pringgarata) dan 400 m dpl (Aik Bukak). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pada tempat yang lebih rendah (Pringgarata), pertumbuhan tanaman gandum lebih
lambat dari pada di Aik Bukak, yang dapat disebabkan oleh suhu di dataran 200 m dpl
telah melampau batas toleransi pertumbuhan gandum (supra optimal temperature).
Gandum dapat memberikan hasil panenan yang baik pada dataran dengan ketinggian 400
m dpl, tetapi hasil sangat menurun pada 200 m dpl (rata-rata hasil 1.68 t/ha vs. 0.82 t/ha).
Hasil rendah ini terutama disebabkan oleh sterilitas bunga yang menyebabkan kegagalan
pada proses pembuahan yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah biji/spikelet (2 t/ha), lebih tinggi dibanding varietas-varietas lainnya.
Kata kunci: adaptasi, dataran rendah, gandum Australia, gandum Nasional, lahan kering,
Pulau Lombok
ABSTRACT
Wheat is not currently grown as a commercial crop in Indonesia, however since
consumption of wheat is steadily increasing and alternative dry season crops are
required for farming system diversification, wheat is important to be adapted. Lombok
Island has an opportunity for wheat growing and wheat is an alternative crop in
drylands. The aims of this experiment is to adapt and screen wheat varieties including
national and introduced Australian varieties in lowland Lombok Island. In future, wheat
is expected to be an alternative crop for degraded lands. The experimental method used
1
to evaluate growth and yield of 10 wheat varieties to look at the adaptability on the
lowland of 200 m asl (Pringgarata) and on higher land of 400 m asl (Aik Bukak). The
results showed that at a lower altitude (Pringgarata), wheat growth is slower than in Aik
Bukak, which can be caused by the temperature at 200 m asl has exceeded the tolerance
limit for grain growth (supra optimal temperature) . Wheat can give good yields on 400 m
asl, but the yield is decreased at 200 m asl (average 1.68 t/ha vs 0.82 t/ha). This low yield
is mainly due to sterility indicated by the low number of grain/spikelet ( 2 t/ha ), higher than other
varieties .
Keywords: adaptation, Australian wheat, Lombok Island, lowland, National wheat,
dryland.
PENDAHULUAN
Gandum (Triticum aestivum) adalah sereal sub-tropis ditanam umumnya pada
lintang 25°LU/LS sampai 50°LU/LS, akan tetapi usaha budidaya gandum ke daerah
tropis telah mulai dilakukan sampai dengan lintang 15°LU/LS (Music dan Porter, 1990).
Di Indonesia, konsusmsi gandum telah meningkat pesat akhir-akhir ini sehingga impor
gandum pada tahun 2012 tercatat mencapai 7.4 juta ton (Siregar, 2012). Perkembangan
industri mie instan, roti dan jajanan yang sangat pesat terutama untuk daerah perkotaan
mendorong konsumsi tepung terigu di Indonesia semakin tinggi.
Untuk memenuhi kebutuhan tepung terigu tersebut dilakukan dengan
mendatangkan dari negara-negara produsen gandum, seperti Australia. Mengingat
tingginya jumlah penduduk, meningkatnya konsumsi tepung terigu dan anjuran
pemerintah untuk menggalakkan diversifikasi sumber karbohidrat, maka perlu dilakukan
penggalian potensi tanaman gandum di Indonesia, termasuk diantaranya upaya adaptasi
tanaman gandum di daerah yang mempunyai potensi untuk pengembangannya, seperti di
Pulau Lombok.
Pulau Lombok (8.5ºS, 116ºE) cukup potensial untuk pengembangan tanaman
gandum (Gusmayanti et al, 2006) meskipun sebagian wilayah ini merupakan daerah tadah
hujan, akan tetapi gandum dapat beradaptasi baik pada lahan kering yang tidak dapat
ditumbuhi dengan baik oleh padi. Topografi pulau Lombok bervariasi dengan dataran
rendah pada tepi sekeliling pulau dan dataran tinggi pada bagian tengah-utara dengan G.
Rinjani sebagai puncak tertinggi. Tanaman gandum dapat dipergunakan sebagai pilihan
untuk memperkaya keanekaragaman tanaman pangan pada lahan-lahan kurang
berpengairan dan nantinya diharapkan sebagai alternatif tanaman pangan di lahan-lahan
terdegradasi.
Percobaan sebelumnya tahun 2010 dan 2011 menunjukkan bahwa tanaman
gandum Australia dapat berproduksi dengan baik dengan hasil sekitar 3 t/ha ketika
ditanam pada ketinggian sekitar 1000 m diatas permukaan laut (m dpl) (Zubaidi et al.,
2011). Usaha ekstensifikasi melalui perluasan areal tanam gandum ke dataran yang lebih
rendah perlu dilakukan, mengingat dataran tinggi yang seharusnya lebih sesuai untuk
penanaman gandum merupakan areal yang sudah lama dimanfaatkan untuk penanaman
sayuran dan tanaman hortikultura lainnya. Untuk itu juga perlu dilakukan uji coba
varietas gandum yang sesuai di dataran rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasikan dan menapis varietas/galur
gandum pada agroekologi Lombok dalam rangka pengembangan dan produksi gandum
yang optimal. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditetapkan letak ketinggian tempat
2
minimal bagi penanaman gandum dengan hasil yang memadai serta pemilihan varietas
yang sesuai.
METODE PENELITIAN
Penetapan lokasi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
ketinggian tempat dari permukaan laut yaitu: ±200 m dpl (Pringgarata, Kecamatan
Pringgarata Lombok Tengah) dan ≥400 m dpl (Aik Bukak, Kecamatan Batukliang Utara
Lombok Tengah). Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok. Pada masingmasing lokasi penelitian ditanam 10 varietas gandum sebagai perlakuan dan diulang 3
kali, sehingga terdapat 30 petak percobaan pada setiap lokasi.
Benih yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih dari 10 varietas gandum
yaitu Nias, Dewata (var. Indonesia), dan 8 varietas Australia, yaitu: Axe, Gladius, Correl,
Estoc, Espada, Mace, Scout dan Cobra. Semua varietas gandum dari Australia adalah dari
type spring yang tidak menghendaki perlakuan dingin (vernalisation) untuk
pembungaannya.
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara membajak dan menggaru sebanyak dua
kali kemudian diratakan lalu dibuatkan blok-blok percobaan yang terdiri dari 30 petak
percobaan pada masing-masing lokasi percobaan dengan ukuran tiap petak adalah 1.5 x 4
m. Benih ditanam pada petak-petak percobaan dengan cara larikan, berjarak 30 cm antar
larikan sehingga terdapat 5 larikan dalam dalam satu petak. Pada setiap petak ditanam
1000 biji, atau 250 biji per larikan. Penanaman dilakukan tanggal 2 dan 4 Juli 2013 di
Pringgarata dan Aik Bukak secara berturutan.
Pemeliharaan tanaman meliputi
pemupukan, pengendalian gulma, pengendaliah hama. Pengendalian penyakit tidak
dilakukan. Pemanenan dilakukan pada saat 80% dari populasi tanaman pada petak
percobaan mencapai kriteria panen, yang ditandai dengan malai telah masak fisiologis,
batang dan daun sudah menguning serta gabah sudah berwarna kuning dan keras.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan dan hasil serta komponenkomponen hasil, meliputi fase pertumbuhan dengan Skala Zadoks (Zadoks et al, 1974),
jumlah daun dengan skala Haun (Haun, 1973), laju pertumbuhan daun & Phylochron,
tinggi tanaman (cm), jumlah anakan total (batang), jumlah anakan produktif (batang),
umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah malai (head), jumlah spikelet per malai,
jumlah biji, jumlah biji/spikelet, berat seribu butir gabah (g), berat gabah per m2 (g), hasil
(t/ha), Index Panen dan Indek Kerentanan (Susceptibility Index). Indeks Panen dihitung
dengan membandingkan hasil ekonomis tanaman (biji) dengan hasil biologis (berat
brangkasan kering) sedangkan Susceptibility index menunjukkan besarnya kehilangan
hasil yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak ideal (letak ketinggian, misalnya) dari
suatu genotype secara relatif dibandingkan dengan semua genotype yang diuji pada
indeks stress yang sama (Fischer dan Maurer, 1978).
Analisis Data
Percobaan ini dilakukan pada 2 tempat terpisah yang independen, tidak berkaitan
yang satu dengan lainnya, maka data pada masing-masing tempat dianalisis secara
terpisah. Data dianalisis dengan menggunakan GenStat Statistical Package (VSN
International Ltd. United Kingdom). Untuk membedakan rata-rata varietas dilakukan
dengan LSD, Least Significant Difference. Perbandingan respons tanaman antar dua
tempat percobaan ditunjukkan dengan menghitung rata-rata varietas dan standard error of
means (s.e.m).
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
Pengamatan pertumbuhan daun dilakukan dengan Skala Haun (Haun et al, 1973).
Dalam percobaan ini, pertumbuhan daun gandum di Pringgarata diketahui lebih lambat
dibandingkan dengan di Aik Bukak; dalam sehari rata rata 0,15 bagian daun tumbuh di
Pringgarata, sedangkan di Aik Bukak berkisar 0,16 daun. Atau sebaliknya waktu yg
dibutuhkan untuk menumbuhkan satu daun (Phylochron) adalah dalam waktu 6,6 (±0,11)
hari di Pringgarata dan di Aik Bukak selama 6,2 (±0,11) hari. Semua varietas
menunjukkan kecenderungan pertumbuhan daun yang lebih lambat di Pringgarata dari
pada di Aik Bukak, dan penurunan pertumbuhan daun ini menunjukkan adanya stress
suhu tinggi (Midmore et al., 1984). Meskipun demikian jumlah daun pada ke dua tempat
percobaan tidak berbeda nyata (Table 1) (Slafer and Rawson, 1994b). Pada umumnya
pertumbuhan tanaman gandum akan dipacu dengan peningkatan suhu udara sekitar, akan
tetapi suhu yang lebih tinggi di Pringgarata tampaknya sudah melampau batas toleransi
adaptasi varietas gandum yang diamati, sehingga pertumbuhan menjadi lebih lambat
(Summerfield et al., 1991).
Table 1: Jumlah daun, pertumbuhan daun dan Phylochron di Pringgarata (PR) dan Aik
Bukak (AB) dari sepuluh varietas gandum yang diamati
Var
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
s.e.m.
Jumlah daun
(helai)
AB
PR
6.3
6.2
7.3
7.4
7.2
7.0
7.4
7.2
7.1
7.3
7.7
7.3
7.4
7.4
7.3
7.2
7.8
7.4
7.6
7.6
7.3
7.2
0.13
0.12
Pertumbuhan daun
(daun/hari)
AB
PR
0.188
0.174
0.157
0.152
0.153
0.149
0.156
0.146
0.153
0.142
0.163
0.147
0.158
0.153
0.156
0.149
0.162
0.152
0.161
0.156
0.161
0.152
0.0032
0.0027
Phylochron
(hari/daun)
AB
PR
5.3
5.7
6.4
6.6
6.5
6.7
6.4
6.8
6.5
7.0
6.1
6.8
6.3
6.5
6.4
6.7
6.2
6.6
6.2
6.4
6.2
6.6
0.11
0.11
Pertumbuhan tinggi tanaman di Aik Bukak dan Pringgarata tidak berbeda.
Perbedaan pertumbuhan terjadi antar varietas, yang menunjukkan bahwa faktor genetis
lebih berpengaruh dari pada faktor lingkungan.
Perkembangan fase pertumbuhan tanaman dilakukan dengan Skala Zadoks
(Zadoks et al, 1974). Tidak terdapat perbedaan perkembangan tanaman gandum di Aik
Bukak dan Pringgarata, kecuali untuk varietas dengan perkembangan yang lambat (Scout,
Cobra dan Estoc) yang menunjukkan perkembangan lebih lambat di Pringgarata
dibanding di Aik Bukak (Gambar 1). Perkembangan tanaman gandum di Mataram pada
elevasi yang lebih rendah lagi (±10 m dpl), lebih lambat lagi dibandingkan Pringgarata
(Anugrahwati dan Zubaidi, 2012).
4
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Skala Zadoks
Skala Zadoks
Perkembangan setiap varietas yang diamati menunjukkan trend yang sama antara
Pringgarata dan Aik Bukak, artinya varietas dengan perkembangan fase pertumbuhan
cepat di Aik Bukak juga menunjukkan perkembangan yang cepat di Pringgarata, kecuali
bahwa varietas varietas dengan perkembangan lambat di Aik Bukak menjadi lebih lambat
lagi di Pringgarata. Pada minggu ke dua perkembangan tanaman hampir sama yaitu pada
fase pertumbuhan bibit (Skala Zadoks/SZ belasan). Barulah pada minggu ke empat atau
28 hari, tampak perkembangan Axe melampaui varietas-varietas yang lain, ketika Axe
telah mencapai fase pemanjangan batang (SZ 30an) baik di Aik Bukak maupun di
Pringgarata, varietas lain masih pada fase pertumbuhan anakan (tillering/SZ 20an). Pada
minggu ke enam perkembangan tanaman mulai semakin bervariasi sehingga dapat
dikelompokkan berdasar kecepatan perkembangannya.
0
10
20
30
40
50
60
Hari setelah tanam (HST)
di Aik Bukak
70
80
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Hari setelah tanam (HST)
di Pringgarata
Gambar 1: Laju perkembangan tanaman gandum (dalam Skala Zadoks) di Aik Bukak
(400 m dpl) dan Pringgarata (200 m dpl). Trend line untuk Axe (♦), Dewata
(○) dan Cobra (∆) ditunjukkan untuk mewakili laju kecepatan pertumbuhan.
Slope line Cobra lebih datar di Pringgarata dibanding Aik Bukak
menunjukkan kecepatan perkembangan Cobra di Pringgarata lebih lambat.
Tidak ada perbedaan untuk Axe dan Dewata.
Sepuluh vatietas yang dicoba dirangkum dalam 3 kelompok perkembangan,
yaitu cepat (Axe dan Nias), sedang (Gladius, Mace, Espada, Dewata, Correll), dan lambat
(Scout, Cobra, Estoc). Perlu dicatat bahwa Cobra menurut diskripsinya memiliki
perkembangan yang cepat sampai sedang (short to mid-season), tetapi di lapangan pada
percobaan ini, Cobra menunjukkan perkembangan pertumbuhan yang lambat. Hal ini
menunjukkan adanya variasi genetik tanggapan tanaman terhadap stress suhu tinggi di
Lombok. Summerfield et al.(1991) mengemukakan bahwa pertumbuhan tanaman
gandum apabila ditumbuhkan pada daerah dengan suhu diatas ambang batas toleransi
(supra optimal temperature) akan menunjukkan penurunan kecepatan pertumbuhannya.
Hal ini juga ditemukan pada varitas-varitas berumur panjang (Cobra dan Scout).
Fenologi
Fenologi merupakan karakter yang penting dalam adaptasi suatu tanaman terhadap
perubahan lingkungan tumbuh yang dapat terjadi secara alami atau dikondisikan pada
lingkungan tertentu. Fenologi terkait dengan terjadinya perubahan fase-fase pertumbuhan
(perkembangan), pembungaan, dan panen. Tiga karakter utama yang mempengaruhi
tanggapan tanaman terhadap lingkungan ini yaitu vernalisasi, fotoperiode, dan kebutuhan
5
akan masa vegetatif (Earlyness atau Basic Vegetatif Phase/BVP) (Kosner and Pankova,
1998; Slafer and Rawson, 1994; Snape et al., 2001).
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan antara umur berbunga antara Pringgarata
dan Aik Bukak kecuali untuk varietas-varietas dengan laju perkembangan yang lambat
yaitu Estoc, Scout dan Cobra yang berbunga sekitar 5 hari lebih lambat di Pringgarata
daripada di Aik Bukak (Tabel 2). Terlihat perbedaan antar varietas, Axe dan Nias
merupakan varietas dengan umur berbunga yang cepat, sebaliknya Estoc, Scout dan
Cobra merupakan varietas varietas dengan umur bunga yang lama, dan varietas-varietas
lainya berada diantara keduanya. Meskipun adanya perbedaan umur bunga pada sebagian
varietas, masa pengisian biji dari vareitas yang diuji juga tidak menunjukkan perbedaan
pada 2 tempat percobaan, dan masa pengisian biji ini tidak berkorelasi dengan hasil akhir.
Table 2: Umur berbunga, umur panen dan masa pengisian biji (dalam hari) tanaman
gandum di Pringgarata (PR) dan Aik Bukak (AB)
Varietas
Axe
NIAS
Gladius
Mace
COBRA
CORRELL
DEWATA
ESPADA
SCOUT
ESTOC
Rerata
s.e.m
Umur berbunga
(hari)
AB
PR
42
42
45
44
56
59
63
68
67
72
57
59
51
51
57
61
70
75
63
68
57
60
2.9
3.6
Umur Panen
Masa pengisian biji
(hari)
(hari)
AB
PR
AB
PR
77
78
35
36
77
78
32
34
92
91
36
32
92
91
29
23
110
108
43
36
92
91
35
32
92
91
41
40
92
91
35
30
110
108
40
33
110
108
47
40
94
94
37
34
3.9
3.6
1.7
1.6
Hasil dan komponen-komponen hasil
Tanaman gandum di Aik Bukak secara keseluruhan memberikan hasil yang lebih
tinggi daripada tanaman yang di Pringgarata; 1.68 t/ha di Aik Bukak dibanding 0.82 t/ha
di Pringgarata. Hasil yang lebih tinggi di Aik Bukak didukung oleh semua komponen
hasil yang diamati seperti jumlah batang (anakan), berat brangkasan kering, jumlah biji,
jumlah biji/spikelet, berat invidual biji maupun Indeks Panen. Meskipun tanaman di
Pringgarata secara umum memiliki panjang malai lebih panjang yang ditunjukkan oleh
jumlah spikelet per malai yang lebih banyak, namun tidak dapat mendukung hasil yang
lebih tinggi (Table 3), hal ini karena rendahnya jumlah biji/spikelet.
6
Table 3: Perbandingan rata-rata hasil dan komponen hasil di Pringgarata (PR) dan Aik
Bukak (AB), Nilai di dalam tanda kurung menunjukkan Standard Error of
Means (s.e.m.)
Tempat
PR
AB
Jml
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
(batang)
0.83
254.0
369.4
12.8
(±0.085) (±18.82) (±26.28) (±0.97)
1.68
340.0
500.3
10.8
(±0.083) (±15.44) (±23.36) (±0.41)
Hasil
(t/ha)
Jml
Biji
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
3988
(±428)
5780
(±336)
1.5
(±0.1)
1.9
(±0.08)
33.2
(±2.43)
39.56
(±1.45)
Berat
1000
(g)
31.4
(±1.27)
34.6
(±1.04)
Varietas introduksi, Estoc, mampu berproduksi menyamai varietas Nasional ‘
Dewata, dan berproduksi tertinggi di Aik Bukak (2.17 t/ha). Hasil yang ditunjukkan oleh
Estoc pada percobaan ini cukup tinggi dan menyamai hasil di tempat aslinya, Australia.
Tingginya hasil Estoc di Aik Bukak merupakan kombinasi dua komponen yaitu jumlah
biji/m2 yang tinggi dan didukung oleh jumlah biji/spikelet yang tinggi pula. Dewata
merupakan varietas dengan panjang malai terpanjang atau memiliki jumlah spikelet per
malai tertinggi, karakter ini yang menunjang Dewata memiliki hasil yang tinggi. Nias,
Gladius dan Mace juga dapat berproduksi cukup baik dan mendekati hasil Dewata. Axe
meskipun memiliki anakan yang banyak dan juga jumlah malai yang banyak, tetapi tidak
menyebabkan Axe berproduksi dg baik, hal ini dapat disebabkan karena Axe memiliki
malai yang pendek dan jumlah biji/spikelet yang rendah pula (Table 4).
Table 4: Rata rata hasil dan komponen hasil 10 varietas yang diuji di Aik Bukak
(ketinggian 400 m dpl)
Varietas
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
lsd.
Hasil
(t/ha)
0.91
1.86
1.85
1.89
1.06
1.29
2.13
1.74
1.89
2.17
1.68
0.213
Jmh
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
405
356
407
322
233
364
265
369
293
384
340
ns
361.3
565.6
582.4
532.9
321.8
507.9
605.7
558.6
484.1
482.8
500.3
ns
Jml
Biji
10.3
5311
11.2
7567
9.1
6494
12.7
6482
11.0
3523
7.7
3059
13.7
6804
11.6
5677
11.0
5491
9.7
7387
10.8
5780
3.17 2366.7
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
1.6
2.3
1.9
1.8
1.7
1.3
2.0
1.7
2.0
2.2
1.9
ns
43.51
44.58
44.25
45.66
29.12
28.57
41.36
40.32
36.13
42.09
39.56
10.39
Berat
1000
(g)
29.9
33.0
39.4
37.7
27.1
41.7
36.6
39.9
32.7
27.4
34.6
5.36
7
Table 5: Rata rata hasil dan komponen hasil 10 varietas yang diuji di Pringgarata
(ketinggian 200 m dpl)
Varietas
Axe
Nias
Gladius
Mace
Cobra
Correll
Dewata
Espada
Scout
Estoc
Rerata
l.s.d.
Hasil
(t/ha)
0.35
1.20
0.75
1.12
0.24
0.66
1.12
0.69
0.79
1.42
0.83
0.318
Jmh
Biomassa Spikelet
Anakan
(g/m2)
/ malai
126.5
217.7
236.0
231.0
169.8
330.8
252.0
313.0
246.0
417.4
254.0
72.83
220.8
442.5
241.0
286.8
257.6
372.9
553.9
373.7
437.6
507.3
369.4
133.48
Jml
Biji
7.8
1747
14.6
6240
11.2
2687
11.7
3767
10.9
1261
10.8
2819
15.1
5831
20.0
4303
16.1
3897
9.9
7332
12.8
3988
ns
1927.1
Biji /
spikelet
Indeks
Panen
0.9
1.9
1.5
1.7
1.3
1.0
1.8
1.2
1.4
2.1
1.5
0.59
24.8
42.0
38.7
42.7
14.4
28.3
38.5
40.8
29.4
32.5
33.2
ns
Berat
1000
(g)
30.1
29.0
32.7
30.5
29.4
38.7
36.2
32.9
32.0
22.6
31.4
ns
Hasil biji gandum di Pringgarata lebih rendah daripada di Aik Bukak. Meskipun
memiliki hasil yang lebih rendah dibanding di Aik Bukak, Estoc juga memiliki hasil
tertinggi di Pringgarata yaitu 1.42 t/ha (Table 5). Hasil Estoc yang tinggi didukung oleh
jumlah biji yang dihasilkan terbanyak serta jumlah biji dalam satu spikelet juga tinggi
(2.1 biji/spikelet). Sebaliknya hasil terendah ditunjukkan oleh Axe (0.35 t/ha) karena Axe
memiliki malai pendek (7.8 spikelet/malai) serta rendahnya keberhasilan pembentukan
biji (0.9 biji/spikelet) (Table 5).
Hasil panen gandum pada penelitian ini tergolong cukup baik di Aik Bukak (400
m dpl) yaitu 1.68 t/ha (kisaran 0.9-2.17 t/ha) dan rendah di Pringgarata (200 m dpl), 0.83
t/ha (kisaran 0.35-1.42 t/ha). Sebagai pembanding, Zubaidi et al (2011) menyampaikan
hasil sebesar 1 t/ha pada penanaman gandum dibawah 200 m dpl dan sekitar 2 t/ha pada
pertanaman sekitar 500 m dpl. Handoko (2007) juga menyatakan hasil 2 t/ha dapat
diperoleh dari pertanaman pada ketinggian tempat 500 m dpl. Dengan berasumsi dataran
lebih rendah memilki suhu lebih tinggi, maka dikemukakan rendahnya hasil pada 200 m
dpl disebabkan oleh suhu yang diatas batas toleransi pertumbuhan dan produksi gandum
(Summerfield et al. 1991).
Pada Tabel 6 ditunjukkan bukti bahwa terdapat variasi genetik tanggapan
tanaman terhadap stress suhu tinggi. Perhitungan Susceptibility Index (S) (Fischer dan
Maurer, 1978) menunjukkan bahwa Nias, Dewata, Mace, dan Estoc memiliki Nilai 0.5