Islam dan globalisasi suradi wahana

“Islam dan globalisasi”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Mata Kuliah : METODE STUDI ISLAM
Dosen : AHMAD PUADI, M.Pd.I
DISUSUN
O
L
E
H

Kelompok 10
SEMESTER III PAI-A
1. DEVI ADILA PUTRI
2. HAJIAH ULFA
3. UMI AISYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TAHUN
2017


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
Semesta Alam karena atas izin dan kehendaknya jualah makalah
sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya
dengan Judul “Islam dan Globalisasi”
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Metode studi Islam
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai
hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami
mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Oleh
karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen
pembimbing kami yakni AHMAD PUADI, M.Pd.I yang telah
memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih
amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal
mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan
disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga
kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harap kami, makalah ini dapat menjadi track record dan
menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan.

Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang
lain yang membacanya.

Tanjung Pura,

Oktober 2017

Penyusun
(Kelompok x)

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Permasalahan.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Response Agama Islam Terhadap Globalisasi.................................................2
B. Modernisme dan Reformisme Islam................................................................3
C. Fundamentalisme dan Radikalisme Islam.......................................................5
BAB III PENUTUP..............................................................................................10
A. Kesimpulan....................................................................................................10
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................11

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi berasal dari kata “Globe” yang berarti bola bumi karena
akselariasi penyebaran informasi yang luar biasa dan cepat bahkan kita tidak
membutuhkan waktu yang lama dan uang yang cukup banyak untuk menjelajahi
dunia, kita hanya cukup klik Google Earth, disana kita akan mendapatkan
informasi yang lengkap tentang bumi dan isinya. Bersamaan dengan derasnya arus
globalisasi yang tidak bisa dikendalikan sehingga kemajuan-kemajuan tersebut
mengubah dan mengarahkan kebudayaan kita dan bahkan melebihi angan-angan
kita, kemajuan teknologi telah menguasai seluruh dunia sehingga sangat mudah

untuk mendapatkan informasi bahkan tidak sedikit budaya-budaya barat
mempengaruhi budaya timur. Ini semua karena tidak ada lagi pembatas, coba kita
lihat gaya hidup umat islam pra-globalisasi, dulu banyak umat islam yang bergaya
ala islami dengan memakai jilbab dan busana muslimah. Akan tetapi dijaman
yang katanya penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknlogi, sangat jarang sekali
kita jumpai wanita mengenakan pakaian muslimah. Semua ini karena pengaruh
derasnya dunia luar. Cuciam W. Ye, mengatakan bahwa modernitas adalah budaya
dunia, karena semua negara ini membutuhkan perkembangan dan perubahan
untuk mencapai tujuan-tujuan dengan mudah dan fleksibel. Terciptanya budaya
modern didasarkan pada teknolgi yang maju dan semangat dunia ilmiah dan
pandangan hidup yang rasional dikalangan manusia

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Response Agama Islam Terhadap Globalisasi ?
b. Bagaimana Modernisme dan Reformisme Islam ?
c. Bagaimana Fundamentalisme dan Radikalisme Islam ?

C. Tujuan Permasalahan
a. Memahami Response Agama Islam Terhadap Globalisasi
b. Memahami Modernisme dan Reformisme Islam

c. Memahami Fundamentalisme dan Radikalisme Islam

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Response Agama Islam Terhadap Globalisasi
Perubahan sosial yang berlangsung amat cepat sebagai dampak dari
globalisasi, melahirkan berbagai persoalan, baik secara sosial, ekonomi, politik
dan agama. Pada satu sisi, era globalisasi memberi peluang lebar bagi semua
komunitas untuk ”berbaur” dengan komunitas lain. Disisi lain, globalisasi justru
menebar ancaman bagi komunitas yang tidak siap menahan derasnya arus
globalisasi yang sedang berlangsung pada saat ini. Berbagai komunitas agama
baik di Indonesia maupun di negara-negara lain memiliki keprihatinan bersama
menyangkut globalisasi. Pada sebuah konferensi internasional tentang agama dan
globalisasi, yang diselenggarakan oleh Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS) Gadjah Mada University & Indonesian Consortium for Religious
Studies (ICRS-Yogya), 30 Juni-3 Juli 2008 di Pasca Sarjana UGM, problem
globalisasi agaknya perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan,
terutama komunitas beragama. Sebab, dampak negatif yang ditimbulkan

globalisasi bila ditinjau dari berbagai sisi, baik sosial, budaya, ekonomi, politik
maupun media telah melahirkan perilaku negatif pula dalam kehidupan manusia.
Demikian pandangan umum yang disampaikan sejumlah panelis yang hadir dalam
kegiatan tersebut.1
Agama akan terus dihadapkan pada posisi krusial dan akan sulit menjadi
rujukan bagi pemeluknya dalam menyikapi perubahan kehidupan yang semakin
cepat,” jelasnya. Agar agama dapat kontekstual terhadap perkembangan zaman,
perlu dikembangkan sikap kritis terhadap segala tafsir agama yang telah
kehilangan konteks zaman. Melalui kritik yang proporsional, agama diharapkan
dapat berfungsi kembali sebagai jawaban atas persoalan umat manusia, jelasnya.
Pandangan Dalam konteks agama, misalnya, merujuk pada pandangan sejumlah
pemikir keagamaan. Pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat
dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Respon
pertama, komunitas agama bisa atau mampu merambah dunia global. Artinya,
1 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Pranada Media Group, 2011),
hlm. 71

2

mereka ‘menerima’ globalisasi sebagai bagian dari proses hidup yang sudah

digariskan Tuhan. Dan manusia, sebagai khalifah, ditugaskan untuk “mengawal”nya. Ada pandangan kultural yang menjadi alasan kelompok ini. Bahwa sejatinya
semua umat manusia dengan beragam jenisnya ada dalam kebersamaan. Mereka
dapat belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama sehingga pada
akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu
keluarga.
Adapun

respon

kecenderungan

sebaliknya.

Yakni

kecenderungan

komunitas agama tertentu merespons globalisasi dengan menolak, mengasingkan
diri sembari menekankan keberbedaan. Fenomena ini, dapat kita lihat dan rasakan
dari muncul dan menguatnya fundamentalisme agama, baik di komunitas Islam,

Kristen, Hindu, dan agama lainnya serta beragam “fundamentalis” nasionalisme
disejumlah tempat. Hal itu menjadi fakta yang tak terbantahkan. Selain itu, lahir
pula animo untuk mengglobalkan komunitas agama tertentu, seperti penyebaran
idiologi “khilafah” dan juga kristenisasi.
Dari kedua pandangan di atas, tentu saja para pemuka agama harus cermat
menghadapi permasalahan tersebut. Bila mereka tidak cermat melihat fenomena
ini, bukan tidak mungkin yang terjadi justru benturan antar komunitas agama.
Alih-alih agama dapat menjadi benteng yang kokoh guna membendung arus
globalisasi, yang terjadi mereka justru terjebak dalam pertikaian.2

B. Modernisme dan Reformisme Islam
a. Modernisme
Modernisme dalam khasanah masyarakat Barat mengandung makna
pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Modern.
Pembaharuan dalam Islam merupakan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi
masalah-masalah baru. Pembaharuan dalam Islam muncul berawal dari kesadaran
pemimpin-pemimpin dan intelektual Muslim yang selama ini berada dalam
kemunduran sedangkan dunia Barat semakin maju. Hal ini dirasakan ketika

Napoleon menguasai mesin yang merupakan Kota terpenting dalam Islam. Hal ini
2 Ibid h. 89

3

juga terpicu dengan runtuhnya tiga kerajaan Islam yang besar, yaitu kerajaan
Usmani di Turki, kerajaan Mughal di India dan kerajaan Safawi di Persia.
Sehingga lahirlah peradaban modern dalam Islam.
Modernisme Islam adalah sebuah ideologi politik yang dirumuskan oleh
kaum modernis untuk menjadi basis bagi sebuah gerakan politik. Kaum modernis
meyakini dan menerima Islam sebagai ajaran yang bersifat universal, berlaku
sebagai petunjuk bagi umat manusia sepanjang zaman. Sebagai ajaran universal,
maka dalam penataan kehidupan masyarakat, ajaran Islam memberikan petunjukpetunjuk yang bersifat umum, tidak detil. Hal itu diyakini sebagai kebijaksanaan
ilahi, agar Islam mampu menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Dalam menghadapkan Islam dengan tantangan zaman itu, kaum modernis
menggalakkan ijtihad, mendorong tumbuhnya pemikiran baru. Tiap zaman akan
memiliki tantangan yang berbeda, karena itu pemikiran harus tetap terbuka, tidak
terkungkung oleh warisan tradisi masa lalu. Karena itu kaum modernis bersikap
lebih fleksibel untuk melakukan dialog antar pemikiran dengan berbagai
peradaban yang berbeda. Kaum modernis tegas menolak sekularisme, agama

dengan kehidupan sosial dan politik tidak mungkin dipisahkan. Islam mencakup
segalanya. Islam tidak hanya berurusan dengan akhirat, tetapi juga berurusan
dengan kehidupan duniawi, yang tak mungkin dipisahkan satu dengan yang
lainnya.3
Modernisme Islam menganggap Islam tidaklah membentuk sistem dalam
bidang apapun. Islam memberi petunjuk, manusia berijtihad membangun sistem.
Sistem dianggap sebagai sesuatu yang fleksibel, tergantung pada kebutuhan
zaman. Islam mengajarkan prinsip, penerapan diserahkan kepada ijtihad. Karena
itu kaum modernis berpendapat bahwa tidak ada satu model negara yang diajarkan
Islam. Model bisa beda, sepanjang prinsip diterapkan. Prinsip-prinsip itu antara
adalah keadilan, hukum harus ditegakkan, syura dilaksanakan dan kepentingan
umum wajib diutamakan.
b. Reformisme Islam

3 Muhammad Said Ramadan Al-Buti Tayyib Tizini. Finding Islam Dialog
Tradisionalisme-Liberalisme Islam. Terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi Misrawi (Jakarta: Erlangga,
2002), hlm. 9-12

4


Reformisme dapat diartikan dengan suatu golongan yang berpaham
tentang pemikiran yang menitik beratkan pada arti pengembalian orisinialitas
pemahaman dan praktek Islam kepada kajian literal Al-Qur'an dan Sunnah. Salah
seorang tokohnya yaitu Ibn-Taimiyah (728 H / 1328 M). Hal ini tergambar dalam
hadits Rasulullah SAW disaat "Khutbatul Wada" yang artinya: "Aku Tinggalkan
kepadamu dua perkara, jika kamu mau berpegang teguh kepada keduanya, maka
kamu tidak akan sesat selamanya, kedua hal tersebut adalah Al-Qur'an dan
Sunnahku." Umat Islam sekarang ini menghadapi tantangan, yaitu:


Tekanan (pressure) dari dunia modern, di mana kita harus tetap tegak di
atass akidah dan syariat Islam.



Adanya kerapuhan masyarakat Islam yang mengalami kemunduran dalam
segala bidang (iptek, akhlak dan terjadinya perpecahan yang merongrong
ukhuwah Islamiyah).4

C. Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
a. Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen
di Amerika Serikat. Isilah ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno
kalangan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang
berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah.
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental”
sebagai kata sifat yang memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok);
mendasar”, diambil dari kata “fundament” yang berarti dasar, asas, alas, fondasi,
(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan demikian fundamentalisme dapat
diartikan dengan paham yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan
apa yang dianggap mendasar.
Secara makro, faktor yang melatar belakangi lahirnya gerakan
fundamentalis adalah situasi politik baik tingkat domestik maupun di tingkat
internasional. Ini dapat dibuktikan dengan munculnya gerakan fundamentalis pada
masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana situasi dan kondisi sosial politik
tidak kondusif. Pada masa khalifah Ali, perang saudara berkecamuk hebat antara
kelompok Ali dan Muawiyah karena masalah pembunuhan Utsman.
4Ibid h. 15.

5

Dari sekelumit paparan deskriptif historis kemunculan fundamentalisme
Islam, dapat dinyatakan bahwa memang ada beberapa karakter / ciri khas yang
bisa dilekatkan kepada kaum fundamentalis. Karakteristik fundamentalisme
secara umum adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci
yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan
itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa suatu agama
tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi,
pelunakan, reinterpretasi, dan pengurangan.
Dalam beberapa kelompok Islam, di dalamnya terdapat karakteristik gerakan
Islam fundamentalis, diantaranya :
Pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teksteks suci agama dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena
pemahaman seperti itu dianggap mereduksi kesucian agama.
Kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka,
kebenaran hanya ada di dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks bahkan
kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka terhadap apa yang dianggap
sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak memberi ruang kepada pemahaman
dan penafsiran selain mereka. Sikap yang demikian ini adalah sikap otoriter.
Kedua, mereka menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum
fundamentalis, pluralism merupakan produk yang keliru dari pemahaman
terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap yang tidak selaras dengan pandangan
kaum fndamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama
muncul tidak hanya karena intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga
karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali
agama.5
Ketiga, mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum
fundamentalis cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling benar
sehingga memandang sesat aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Di dalam
khasanah Islam perbedaan tafsir merupakan suatu yang biasa, sehingga dikenal
banyak mazhab. 4 mahzab terbesar di Indonesia adalah Ikhwanul Muslimin, Salafi
atau Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Habib.
5 Azyumardi Azra. Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 193

6

Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan.
Dengan dalih atas nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan
mereka melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan
sampai pembunuhan.
Keempat,

setiap

gerakan

fundamentalisme

hampir

selalu

dapat

dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan
militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang
sering bersifat radikal teradap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi
agama.
Beberapa karakteristik lain dari gerakan fundamentalisme Islam, yaitu :


Mempunyai prinsip interpretasi ajaran agama yang berbeda atau
berseberangan dengan tradisi yang berlaku. Kemudian secara aktif,
kelompok ini akan bergerak untuk memperjuangkan hasil penafsirannya
tersebut dengan pelbagai cara; dari kritik persuasif hingga tindakan
tegas yang menjurus anarkhisme. Pada titik inilah fundamentalisme
kerap dipersepsikan sebagai gerakan negatif.



Lazimnya kelompok ini memiliki perilaku yang eksklusif, tertutup, dan
mencurigai kelompok lain. Kendati dalam sebuah kesempatan bisa
sangat terbuka untuk berdialog dengan kelompok lain tetapi tujuannya
sekadar membantah argumentasi mereka.



Berkat keyakinan akan kebenaran pemahamannya tentang ajaran
agama, kelompok fundamentalis selalu aktif menyebarkan pahamnya,
agresif dalam merekrut pengikut baru, dan sebagainya.6



Keyakinan akan perlunya upaya yang sungguh-sungguh (jihad) dalam
mencapai keselamatan hidup baik di dunia ataupun di akhirat
menjadikan kelompok fundamentalis senantiasa giat dan militan
melakukan segala aktifitasnya.

b. Radikalisme
Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan.
Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial
6 Ibid hal. 195

7

dan politik dengan cara drastis dan kekerasan. Dalam perkembangannya bahwa
radikalisme kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan
perubahan besar.
Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan
umum.
Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang
berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau
bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide,
lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
keadaan yang ditolak.7
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus
berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam
radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view)
tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran
program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis
memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional
yang menjurus pada kekerasan.
Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik
atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme
agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni
kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam
saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling
bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di
Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering
kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.
Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan
semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis,
radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari
7 Ribut Karyono, Fundamentalisme Dalam Kristen – Islam (Yogyakarta: Kalika Press,
2003), h. 25

8

komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai dengan doktrin
agamanya.
Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh
sebagian umat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan
bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua untuk membangun bangsa
yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai.
Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk.
Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai
sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama sangat
diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk
ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang
damai. Kalau kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk
kekerasan maka ini merupakan ancaman besar bagi pluralisme.8

8 Ibih hal. 27

9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan sosial yang berlangsung amat cepat sebagai dampak dari
globalisasi, melahirkan berbagai persoalan, baik secara sosial, ekonomi, politik
dan agama. Pada satu sisi, era globalisasi memberi peluang lebar bagi semua
komunitas untuk ”berbaur” dengan komunitas lain
Modernisme dalam khasanah masyarakat Barat mengandung makna
pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Modern
Reformisme dapat diartikan dengan suatu golongan yang berpaham
tentang pemikiran yang menitik beratkan pada arti pengembalian orisinialitas
pemahaman dan praktek Islam kepada kajian literal Al-Qur'an dan Sunnah
Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental”
sebagai kata sifat yang memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok);
mendasar”, diambil dari kata “fundament” yang berarti dasar, asas, alas, fondasi,
Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan.
Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial
dan politik dengan cara drastis dan kekerasan. Dalam perkembangannya bahwa
radikalisme kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan
perubahan besar.

10

DAFTAR PUSAKA
Abuddin Nata. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Pranada Media Group
Muhammad Said Ramadan Al-Buti Tayyib Tizini. 2002. Finding Islam Dialog
Tradisionalisme-Liberalisme Islam. Terj. Ahmad Mulyadi dan Zuhairi
Misrawi. Jakarta Erlangga
Azyumardi Azra. 2002. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta Gramedia
Pustaka Utama
Ribut Karyono. 2003. Fundamentalisme Dalam Kristen – Islam. Yogyakarta
Kalika Press.

11