Position Paper Diskusi Publik Pro dan Ko

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

RUU Pendidikan Tinggi, Bentuk Liberalisasi
Pendidikan Gaya Baru?*
Analisis BEM KM UGM tentang Draft RUU Pendidikan Tinggi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Kepala Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM KM UGM 2012
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Bulan Maret 2012, DPR-RI akan melakukan pembahasan intens (terakhir) mengenai
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Pembahasan ini merupakan
pembahasan terakhir, sebab pembahasan RUU PT sudah masuk pada masa persidangan
ketiga dan harus berakhir di akhir masa persidangan ini.
Oleh sebab itu, pembahasan RUU PT ini sangat penting untuk dicermati. Setelah UU BHP diJudicial Review oleh Mahkamah Konstitusi pada 2010 silam, publik menaru harapan besar
pada rancangan undang-undang yang akan menjadi payung hukum baru pelaksanaan
pendidikan tinggi di Indonesia.
Namun, kendati telah mengalami masa pembahasan yang panjang, substansi yang diberikan
pada draft terbaru RUU PT ini masih sangat mengecewakan. Dari draft yang dihasilkan per
22 Februari 2012 silam, masih banyak pasal yang substansi dan semangatnya justru tidak

jauh berbeda dari UU BHP yang sudah dibatalkan. Semangat liberalisasi pendidikan masih
berada dalam substansi RUU tersebut, walau dikemas dalam redaksi kata yang berbeda.
Artinya, jika tidak ada kritik yang signifikan atas RUU Pendidikan Tinggi saat ini, bisa
dipastikan episode “kelam” UU BHP akan terulang kembali. Oleh sebab itu, sebelum kritik
dan penolakan tersebut disampaikan secara terbuka, substansi dari RUU PT saat ini perlu
dibedah secara lebih komprehensif.
Liberalisasi Pendidikan?
Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya
General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade
Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi,
salah satunya sektor pendidikan tinggi.

*

Makalah disampaikan dalam diskusi publik di Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Semarang (Unnes), 13 April 2012. Versi lebih lengkap dari tulisan ini dimuat di Harian Indoprogress,
18 Maret 2013. Bisa dilihat di http://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut –termasuk sektor pendidikan tinggi— arus
globalisasi menjadi kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses
internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan
pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.
Masuknya proses globalisasi itu sendiri tak serta merta berdampak positif. Liberalisasi
pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”.
Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara.
Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi komoditas, proses pendidikan tinggi juga harus
masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada
subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai
pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk
memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan.
Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain
kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas
pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP yang telah
dibatalkan.

Konsep Pendidikan Tinggi
Jika kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 telah menegaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujdkan suasana belajar dan
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Artinya, dari definisi tersebut, pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara
untuk memastikan dirinya –secara individual— dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih
baik, melainkan juga ada dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya.
Dimensi etik itu diwujudkan ke dalam pendidikan karakter dan kepribadian, sementara
transformasi sosial diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat. Hal ini telah
ditegaskan dalam cita-cita UGM yang termaktub dalam Statuta 1950, yang merupakan
dokumen filosofis pertama bagi pendidikan tinggi negeri di Indonesia.
Cita-Cita UGM, sebagai contoh, memiliki tiga dimensi besar: pertama, membentuk manusia
susila yang cakap dan punya tanggung jawab mengembangkan kesejahteraan masyarakat;
kedua, memajukan pengetahuan; dan ketiga, menyelenggarakan usaha memelihara
kebudayaan dan kemasyarakatan.

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Artinya, nilai-nilai etika dan transformasi sosial tersebut akan berlawanan dengan semangat
liberalisasi pendidikan yang dibawa oleh GATS. Dengan demikian, usaha-usaha
memasukkan unsur liberalisasi pendidikan tinggi dalam RUU yang akan disahkan harus
dilawan agar tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan tinggi.
Liberalisasi dalam RUU PT
Dalam Rancangan UU Pendidikan Tinggi kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan ternyata
masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih saja memuat
beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan.
Sebagai contoh, di pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi tiga
jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep otonomisasi perguruan
tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat “liberalisasi” dalam pembiayaan.
Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi
dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan
usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h).
Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa (pasal 90), pemerintah memiliki opsi yang cukup aneh,
yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2 huruf c).
Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan bunga (ayat 3) dan

dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan.
Jelas, klausul ini melegitimasi kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan
sebagai tanggung jawab negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini
mengajarkan warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2),
pendidikan adalah hak rakyat.
Secara sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya
mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek pendidikan
agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana dikehendaki
UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru membuat warga negara
“berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga negara.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi dalam konteks semangat
kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan tinggi. Bagi BEM KM UGM yang
mengemban semangat kampus kerakyatan, RUU PT menjadi “wajib” untuk ditolak.
Korporatisme Menteri?
Hal lain yang perlu dikritisi dari RUU Pendidikan Tinggi adalah kewenangan menteri yang
terlalu besar. Hampir seluruh BAB di RUU PT diakhiri dengan “ketentuan lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Menteri”, termasuk mengenai mahasiswa, pelaksanaan tridharma, dan lainlain.

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Ada 3 pasal yang mengatur spesifik mengenai mahasiswa, yaitu pasal 14 tentang posisi
mahasiswa sebagai sivitas akademika, pasal 15 tentang kegiatan kokurikuler dan
ekstrakurikuler, serta pasal 91 tentang organisasi kemahasiswaan.
Pasal 15 menyebutkan bahwa kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui
organisasi kemahasiswaan (penjelas, ayat 2), sementara peraturan mengenai kegiatan tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan diatur lebih lanjut
dalam AD/ART Organisasi (pasal 91 ayat 6)
Tiga pasal di sini tumpang tindih satu sama lain. Mana yang bisa dijadikan acuan, Peraturan
Menteri yang baru atau AD/ART Ormawa? Jika yang diacu adalah peraturan menteri,
bagaimana cara melakukan penyeragaman di semua organisasi kemahasiswaan di Indonesia?
Artinya, klausul mengenai peraturan menteri di Pasal 15 akan memberi kerumitan sendiri
dalam pelaksanaannya.
Kritik utama dari RUU PT adalah kewenangan menteri yang terlalu besar. Semua urusan,
termasuk dalam hal kemahasiswaan, diserahkan kepada menteri. Adanya peraturan menteri
yang mengatur posisi mahasiswa bisa menjadi bentuk “korporatisme” negara atas posisi
kemahasiswaan.
Adanya peraturan menteri mengenai mahasiswa bisa dibaca sebagai bentuk “korporatisme

baru” atas aktivitas mahasiswa. Ini mengingatkan kita pada bentuk “korporatisme lama”
dalam bentuk NKK/BKK. Korporatisme berpotensi melahirkan represi negara atas warganya,
yang mana akan sangat bertentangan dengan kebebasan sipil dan politik mahasiswa.
Seluruh elemen kemahasiswaan, tak terkecuali BEM, Pers Mahasiswa, UKM, maupun
gerakan mahasiswa ekstrakampus harus mewaspadai hal ini. Jika RUU PT lolos di parlemen,
dampaknya akan fatal bagi aktivitas kemahasiswaan Indonesia.
Perihal Internasionalisasi
Bab berikutnya yang cukup bermasalah adalah internasionalisasi pendidikan tinggi yang
diatur dalam dua pasal: Pasal 58 dan 59. Pasal 58 mengatur tentang internasionalisasi yang
berisi peningkatan peranan pendidikan tinggi Indonesia di kancah internasional, sementara
pasal 59 mengatur kerjasama internasional.
Di pasal 58 ayat (2), internasionalisasi dilakukan dengan integrasi dimensi internasional dan
lintas budaya dalam kegiatan akademik. Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi akan
diatur dalam peraturan menteri (ayat 4). Sementara itu, arahan kebijakan nasional tersebut
akan setidaknya memuat beberapa hal, antara lain pembentukan komunitas ilmiah, pemberian
wawasan internasional, dan pemajuan nilai-nilai budaya bangsa (ayat 6).
Adapun pasal 59 menjelaskan bahwa kerjasama internasional dalam bidang pendidikan
dilakukan melalui pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pengembangan pendidikan
tinggi, dan bidang lain yang menjadi kepentingan nasional (ayat 3). Kerjasama tersebut dapat


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

mencakup kegiatan pendidikan bergelar atau non-gelar (ayat 4), dan dilakukan bersama-sama
perwakilan Indonesia di luar dan dalam negeri.
Perspektif mengenai kerjasama internasional bisa dilihat secara positif sebagai
pengembangan mutu pendidikan dalam negeri. Mobilitas mahasiswa Indonesia ke luar negeri
menjadi lebih mudah, seperti dalam hal beasiswa atau pembiayaan riset.
Akan tetapi, ada satu hal yang perlu dikritisi: internasionalisasi harus dibaca sebagai alat
untuk encountering globalization. Perspektif mengenai globalisasi harus diulas. Dalam
perspektif transformasionalis, internasionalisasi harus dibaca sebagai alat untuk menghadapi
globalisasi dengan memajukan budaya lokal dan nasional.
Sementara itu, dalam perspektif hiperglobalis, internasionalisasi justru dimaknai sebagai
upaya memproteksi budaya lokal dan nasional agar tahan menghadapi gempuran budaya
asing. Perspektif ini mengimplikasikan adanya kebijakan pendidikan yang menitikberatkan
pada pemeliharaan budaya lokal dan nasional untuk menghadapi globalisasi.
Artinya, dalam melihat kebijakan internasionalisasi sebagaimana diatur dalam pasal 58 dan
59 ini, perlu ada tools yang jelas ke arah mana RUU ini akan bergulir. Sayangnya,

internasionalisasi hingga saat ini belum dibaca sebagai alat dalam meng-encounter
globalization.
Jika dilihat lagi secara lebih seksama, ada satu pasal lagi yang sangat gamblang menjelaskan
posisi internasionalisasi dalam RUU PT ini: pasal 114. Di pasal ini, perguruan tinggi negara
lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (ayat 1). Prosesnya dilakukan melalui
kerjasama dengan perguruan tinggi Indonsia dan mengangkat dosen serta tenaga
kependidikan dari warga negara Indonesia (ayat 2),
Pasal ini terkesan “menipu” sebab berada terpisah dari pasal lain mengenai internasionalisasi.
Padahal, justru substansi dari internasionalisasi terdapat pada pasal ini. Dengan “boleh”-nya
perguruan tinggi negara lain masuk ke Indonesia tanpa ada “filter kultural”, internasionalisasi
menjadi unsteerable juggernaut travelling through space –seperti kata Anthony Giddens.
Pendidikan akan menjadi tak terkontrol –dari segi etik dan budaya.
Kerjasama internasional menjadi tidak bermasalah jika ada “filter budaya” berupa
pengarusutamaan nilai-nilai kejindonesiaan. Namun, jika perguruan tinggi asing bisa dengan
mudah masuk ke Indonesia, mekanisme untuk menyaring transfer budaya asing ke Indonesia
menjadi lemah. Sehingga, klausul pasal 114 menjadi patut untuk ditolak dalam konteks
kebudayaan Indonesia.
Jadi, konstruksi UU mengamini globalisasi secara utuh tanpa cara pandang yang jelas. Hal ini
terlihat dari tidak jelasnya upaya memproteksi budaya bangsa dalam pendidikan tinggi. Dan
ini merupakan satu kesatuan besar dalam ranah diskursus liberalisasi pendidikan tinggi,

GATS, dan upaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas.

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Gelanggang Mahasiswa UGM Sayap Barat, Bulaksumur ,Yogyakarta
E-mail : bemkm_ugm@yahoo.co.id Web : www.bemkmugm.org

Tolak Draft RUU PT versi DPR!
Dari pembacaan beberapa pasal krusial di atas, BEM KM UGM dengan ini menyatakan sikap
untuk menolak draft RUU Pendidikan Tinggi yang akan disahkan oleh DPR-RI per 22
Februari 2012. Draft RUU Pendidikan Tinggi ini masih sangat bernuansa liberalisasi
pendidikan, dan oleh sebab itu harus direvisi segera.
Untuk menindaklanjuti sikap tersebut, BEM KM UGM memberikan dua rekomendasi
langkah bagi Komisi X DPR-RI.
Pertama, segera melakukan perubahan atas beberapa pasal yang bermasalah di draft RUU
Pendidikan Tinggi, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan (3), Pasal 58 ayat (2) dan (4), pasal 59 ayat
(3). Pasal 77 ayat(1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 90 ayat (2)
huruf c, ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 91 ayat (1) dan (2),Pasal 107 ayat (1), (2), (3), (4),
(5), dan (6), Pasal 111 ayat (1) huruf c dan ayat (2), Pasal 114 ayat (1), (2), (3), (4), dan
(5). Perubahan tersebut bisa dilakukan dengan penghapusan atau penggantian substansi

dengan mengedepankan semangat pendidikan untuk rakyat dan hak rakyat atas pendidikan
tinggi.
Kedua, melakukan penundaan pembahasan RUU Pendidikan Tinggi agar kajian dan masukan
masyarakat bisa diterima secara lebih serius. Penundaan ini penting untuk dilakukan agar
pengesahan tidak dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR selaku pemangku kepentingan
rakyat.
RUU Pendidikan Tinggi adalah payung hukum paling penting guna mewujudkan masa depan
yang lebih baik. Perancangan UU secara sembrono hanya akan menghasilkan generasi masa
depan yang liberal, tanpa etika dan nilai-nilai Pancasila.
Universitas Gadjah Mada mengemban peran sejarah sebagai kampus kerakyatan. Untuk itu,
BEM KM UGM sebagai generasi muda Universitas Gadjah Mada akan tetap setia
mempertahankan nilai-nilai kerakyatan sebagaimana termaktub dalam Statuta UGM 1950
yang telah secara gamblang menjelaskan cita-cita filosofis pendidikan tinggi.
Oleh sebab itu, BEM KM UGM menyerukan kepada segenap elemen mahasiswa: Tolak
Unsur Liberalisasi Pendidikan dalam RUU Pendidikan Tinggi. Maka, mari bersamasama mengkritisi Draft RUU PT yang diberikan oleh Komisi X DPR-RI.
Salam Cinta, Cita dan Karya untuk Mahasiswa Indonesia!