ASPEK INTERNASIONAL DARI RUU KUHP Bebera

ASPEK INTERNASIONAL DARI RUU KUHP
Beberapa Catatan Kritis dari aspek Hukum Internasional

Damos Dumoli Agusman1
damos_agusman@yahoo.com
http://perjanjian-internasional.blogspot.com/
RUU KUHP saat ini sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR. RUU KUHP
ini dimaksudkan untuk mengganti KUHP produk kolonial Belanda yang masih
diberlakukan sampai saat ini. Oleh sebab itu RUU KUHP bakal sarat dengan elemenelemen baru yang mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembanganperkembangan pesat pasca kolonial. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar
dari tekanan-tekanan globalisasi yang yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah
hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah
maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini yang tidak
hanya memberikan pembatasan bagi jurisdiksi pidana hukum hukum nasional
melainkan juga mendesak hukum pidana nasional mengadopsi norma-norma hukum
internasional itu. Lahirnya norma-norma hukum pidana internasional melalui berbagai
konvensi-konvensi internasional pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara
menyesuaikan diri. Indonesia dengan RUU KUHP ini tampaknya mulai menggeliat
akibat tekanan globalisasi ini.
Dalam RUU KUHP versi tahun 2012 (yang diunduh dari website
Kemhukham) telah tercermin beberapa elemen baru akibatnya ploriferasi norma
hukum internasional yang sudah meyentuh wilayah pidana nasional. Bab I tentang

Ruang Lingkup berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana telah
memuat beberapa pasal yang mengatur persentuhan antara hukum pidana nasional
dengan hukum internasional.
Pertama adalah tentang pembatasan berlakunya norma pidana. Dalam Pasal 2
(1) RUU, dibuka kemungkinan adanya “hukum yang hidup dalam masyarakat”
sebagai sumber delik pidana diluar peraturan yang ada. Ayat ini tentunya mengundang
kontroversi di kalangan publik dibawah rubrik asas legalitas. Namun yang cukup
menarik adalah Pasal ini selanjutnya diberikan pembatasan yaitu “sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsipprinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Dalam kaitan ini
patut dikritisi penggunaan frasa “prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa”. Frasa ini tidak terlalu dikenal dalam hukum nasional
Indonesia namun sangat difahami dalam rubrik hukum internasional. Frasa ini adalah
konsepi hukum internasional bukan konsepi hukum nasional sehingga dikuatirkan
akan menimbulkan gap dalam penafsirannya di kemudian hari jika pasal ini diuji di
depan pengadilan nasional. RUU ini sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
namun tampaknya istilah ini merupakan terjemahan dari “the general principles of
law recognized by civilized nations” seperti yang dimaksud dalam Pasal 38 (1)(c)
Statuta Mahkamah Internasional, yang dikenal sebagai salah satu sumber hukum
internasional dari empat sumber hukum yang dikenal dalam hukum internasional,

1

Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini
bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt dan sedang menyelesaikan studi S3 di bidang hukum
inernasional di Goethe University of Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.

yakni “treaties”, “international customs”, “the general principles of law recognized by
civilized nations”, dan “judicial decisions and teaching of highly publicists”.
Jika perumus RUU memang mengambil referensi dari Statuta Mahkamah
Internasional dan memilih salah satu dari empat sumber hukum internasional ini maka
pertanyaan kritis akan muncul: bagaimana dengan sumber hukum lainnya yang bisa
saja lebih penting dari sekadar “prinspi-prinsip hukum umum”? Seperti diketahui,
selain prinsip hukum umum, Statuta Mahkamah Internasional menetapkan “Konvensi
Internasional” (treaties) serta “hukum kebiasaan internasional” sebagai sumber
hukum internasional dan kesemuanya mengikat negara sekalipun hukum nasionalnya
menolak untuk terikat. Mahkamah Internasional sendiri lebih berorientasi pada
penggunaan treaties dan hukum kebiasaan internasional dalam menyelesaikan
sengketa antar negara. Bahkan dalam hukum kebiasaan internasional telah lahir
berbagai norma dasar yang tidak mungkin dikesampingkan oleh norma apa pun (ius
cogens) yang berlaku untuk semua orang dan negara (erga omnes). Contoh: dapatkah

sepasang turis asing yang belum menikah dikenakan pidana berdasarkan hukum yang
hidup di suatu daerah di Indonesia karena menginap dalam satu kamar? Apakah
hukum kebiasaan internasional dan konvensi-konvensi HAM tidak bisa memberikan
pembatasan terhadap berlakunya hukum yang hidup ini?
Memilih hanya salah satu sumber hukum internasional namun membisu
terhadap sumber-sumber hukum lainnya dapat memberikan sinyal negatif terhadap
masyarakat internasional. Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi-konvensi
internasional dan dengan demikian telah terikat dengan norma-norma yang tentu saja
seyogianya berfungsi membatasi norma yang hidup dalam masyarakat seperti yang
dimaksud dalam Pasal 2 (2) RUU diatas. Namun RUU ini kelihatannya belum
mengakui konvensi-konvensi internasional dan hukum kebiasaan internasional
sebagai norma pembatas dimaksud
Kedua, tentang perluasan jurisdiksi pidana. Beberapa pasal RUU telah
memperluas ruang lingkup berlakunya hukum pidana ini yang bersifat ekstra
teritorial. Pasal 4 menyatakan bahwa tindak pidana di bidang teknologi informasi atau
tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau
dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Pasal 5 bahkan memperluas ke wilayah
luar Indonesia terhadap setiap orang jika tindak pidana tersebut berkaitan dengan
kepentingan Indonesia, seperti tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Perluasan
ini merupakan konsekuensi dari fenomena kriminal transnasional dampak globalisasi.

Selain perluasan wilayah jurisdiksi, RUU ini juga mulai memperkenalkan prinsip
jurisdiksi universal, yaitu menerapkan delik pidana yang ditetapkan oleh perjanjian
dan hukum internasional namun yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam
hukum Indonesia. Dalam hal ini, jika karakter tindak pidana tersebut diakui sebagai
“delik” dalam hukum internasional maka Indonesia memiliki jurisdiki untuk
mengadili siapa saja serta dimana pun tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang
delik tersebut dirumuskan dalam KUHP Indonesia.
Perluasan jurisdiksi pidana ini tentu merupakan elemen baru yang patut
mendapatkan apresiasi. Namun kembali RUU memperkenalkan istilah yang perlu
mendapat kejalasan akademis yaitu frasa “tindak pidana menurut perjanjian atau
hukum internasional”. Pemisahan antara konsep perjanjian internasional di satu pihak
dengan hukum internasoinal di lain pihak perlu didiskusikan oleh pakar hukum pidana

dan pakar hukum internasional. Perjanjian internasional adalah sumber hukum
internasional sehingga membedakan keduanya mengakibatkan terjadi anomali dan
akan melahirkan kontroversi tafsir di kemudian hari. Mungkin yang dimaksud oleh
perumus RUU adalah “perjanjian atau hukum kebiasaan internasional” bukan
“perjanjian atau hukum internasional”.
RUU KUHP ini juga melahirkan kejutan baru bagi para pemerhati hukum
internasional yaitu dihapuskannya Pasal tentang pembatasan jurisdiksi oleh hukum

internasional dari RUU, yakin Pasal 9 KUHP: “Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7,
dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum
internasional.” Pasal ini tidak lagi dirumuskan dalam RUU versi 2012 dan tidak ada
penjelasan mengapa pasal ini dihapus.
Dalam berbagai literatur, semua ahli hukum pidana sepakat bahwa Pasal 9
KUHP adalah dasar bagi penegak hukum sehingga tidak memberlakukan KUHP
terhadap Kepala Negara dan Pemerintahaan Asing yang melakukan tindak pidana di
Indonesia. Pasal ini pula yang menjadi dasar pengakuan para penegak hukum
terhadap “kekebalan” kantor kedutaan dan kantor konsulat asing di Indonesia,
disamping Konvensi Wina 1961 dan 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan
Konsuler yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal ini pula lah yang membuat
kantor PBB dan kantor Uni Eropa serta kantor-kantor perwakilan organisasi
internasional lainnya memiliki imunitas. Dengan kata lain, Pasal 9 KUHP adalah
pengakuan dan penghormatan Negara Indonesia terhadap pembatasan-pembatasan
yang diterapkan oleh hukum internasional, dan dengan demikian merupakan
perwujudan dari ketaatan Indonesia sebagai anggota masyarakat Indonesia.
Dengan dihapusnya Pasal ini maka kepala negara dan pemerintahan asing,
kantor-kantor perwakilan diplomatik dan konsuler, serta pejabat internasional lainnya
akan diperlakukan sama dengan “setiap orang” dan dengan demikian KUHP akan
diberlakukan terhadap mereka. Akibatnya, akan terjadi dilema hukum yaitu

penegakan hukum pidana di Indonesia terhadap para pejabat internasional ini akan
melahirkan pelanggaran hukum internasional, dan sebaliknya penghormatan hukum
internasional akan berimplikasi pada pelanggaran hukum nasionalnya sendiri. Untuk
itu, penghapusan Pasal 9 KUHP ini sebaiknya ditinjau kembali dan didahulu dengan
pendalaman materi tentang hubungan antara hukum pidana nasional dengan
pembatasan-pembatasan yang hidup dalam hukum internasional.
Dari uraian diatas, aspek hukum internasional dari KUHP dewasa ini sudah
sangat kental. Perumusan RUU KUHP sebaiknya tidak lagi bisa terkotak pada logika
hukum pidana nasional an sich dan seharusnya sudah membuka ruang bagi adanya
norma-norma hukum internasional yang bersentuhan dan beririsan dengan hukum
pidana nasional. Pengabaian terhadap aspek hukum internasional dari RUU ini akan
memberikan implikasi negatif bagi citra Indonesia di mata dunia internasional. Oleh
sebab itu, perumusan pasal-pasal yang beririsan dengan hukum internasional
sebaiknya dirumuskan dengan menggunakan multi disiplin ilmu antara hukum pidana
dan hukum internasional. Para pakar pidana dan pakar hukum internasional perlu
berinterkasi dan berpartisipasi aktif salam perumusan pasal-pasal ini supaya aspek
hukum internasional tidak terabaikan, dan sebaliknya, aspek hukum pidana nasional
tidak dikorbankan demi penegakan hukum internasional.
****