Peluang dan Tekanan untuk Berinovasi dal

Peluang dan Tekanan untuk Berinovasi dalam Industri Jamu
Opportunities and Pressures to Innovate in Herbal Medicine Industry
Ikbal Maulana
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPIPTEK – LIPI)
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10
Telp. 021- 5225206, Fax: 021-5201602
Email: [email protected]

Keyword
Indonesian jamu industries,
testing, innovation,
traditional claim

Kata Kunci
industri jamu Indonesia, klaim
turun-temurun, pengujian,
inovasi.

ABSTRACT
Industry of herbal medicines has high growth potential in Indonesia,
because Indonesian biodiversity provides a huge amount of raw materials

for the industry, and a large market which believe in the efficacy and safety
of herbal medicine. The lack of requirement of proving the efficacy of herbal
medicine, simply relying on the claims of the community, eases the industry
to generate new products. But on the other hand, it is also easier for
competitors from other industries (e.g. industry of conventional medicine) to
enter herbal medicine industry, and in the long run unproven claims will
reduce public confidence in the herbal medicine industry. New regulations
have been enacted to increase public confidence in herbal medicine. The
first regulation expects herbal medicine companies to implement good
manufacturing practice. The second one introduces additional categories of
preclinically and clinically tested herbal medicines: standardized herbal
medicine and phytopharmaca. However, most of herbal medicine companies
cannot implement good manufacturing practice. Even producers of
conventional medicines are more ready to take advantages of both
regulations due to their long experience in fulfilling the requirements of
standardized production and testing. While the government's initiative of
scientification of herbal medicine, which is expected to improve the
reputation of herbal medicine among health practitioners does not attract
herbal medicine industry because it only promote herbal medicines in the
form of dried plant (simplisia)


SARI KARANGAN
Industri jamu memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi di Indonesia,
karena keanekaragaman hayati Indonesia menyediakan sumber bahan baku
yang berlimpah bagi industri, serta besarnya pasar yang mempercayai
khasiat dan keamanan jamu. Tiadanya persyaratan bagi pembuktian khasiat
jamu, cukup hanya mengandalkan klaim dari masyarakat, memudahkan
industri menghasilkan produk-produk baru. Namun di pihak lain, hal ini
juga memudahkan pesaing dari industri lain (industri obat konvensional)
untuk memasuki industri jamu, dan dalam jangka panjang klaim yang tidak
terbukti akan menurunkan kepercayaan masyarakat pada industri jamu.
Regulasi-regulasi baru sudah ditetapkan untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat pada jamu. Regulasi pertama menghendaki perusahaan jamu
untuk menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB).
Regulasi kedua memperkenalkan kategori baru dari obat herbal yang sudah
diuji secara praklinis dan klinis, yakni obat herbal terstandar (OHT) dan
fitofarmaka. Namun, mayoritas industri jamu tidak bisa menerapkan
CPOTB. Bahkan produsen obat konvensional lebih siap mengambil manfaat
dari kedua regulasi tersebut dikarenakan pengalaman panjang mereka
dalam memenuhi persyaratan produksi baku dan pengujian. Sementara

inisiatif pemerintah dalam saintifikasi jamu, yang diharapkan bisa
menaikkan citra jamu di kalangan praktisi kesehatan, tidak menarik industri
jamu karena ini hanya mempromosikan jamu dalam bentuk bahan tanaman
yang dikeringkan (simplisia).
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

198

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

1. PENDAHULUAN
Berbagai jenis tanaman telah dimanfaatkan
masyarakat di berbagai belahan dunia untuk
pengobatan jauh sebelum obat kimia dikenal.
Menurut Ramawat et al. (2009), sistem
pengobatan Ayurveda dari India diduga
dikembangkan antara 2500 dan 500 SM.
Sementara sistem pengobatan tradisional Cina
seperti Yellow Emperor’s Inner Classic (Hung Di
Nei Jing) dikembangkan antara 200 SM sampai

100 M; sedangkan Divine Husband-man’s
Classic of Materia Medica (Shen Nong Ben Cao
Jing) dikembangkan antara 25-220 M. Di
Indonesia sendiri, obat herbal yang kini lebih
dikenal sebagai jamu telah digunakan secara luas
oleh berbagai suku di Indonesia. Meskipun
pendokumentasiannya masih lemah, sehingga
asal-usulnya sulit dilacak secara pasti, tapi sudah
dikenal naskah-naskah kuno mengenai jamu,
antara lain di Jawa disebut husodo, dan di Bali
disebut Usada.
Selain pasar dalam negeri yang besar, dan relatif
tidak terganggu persaingan dari pemain asing,
ekspor industri jamu juga meningkat. Pada tahun
2002 ekspor jamu Indonesia telah mencapai AS$
29 juta (Indonesian Commercial Newsletter;
November 5, 2002 dikutip dalam ITC, 2005).
Sedangkan
menurut
Sampurno

(2007)
pertumbuhan obat herbal selama 5 tahun terakhir
rata-rata 15 persen dan sebagian besar dipasarkan
di dalam negeri. Ini dikarenakan ketersediaan
bahan baku lokal yang melimpah. Secara
internasional peningkatan ekspor jamu atau obat
herbal makin terbuka seiring dengan makin
populernya di banyak masyarakat, termasuk di
negara maju, untuk “kembali ke alam”. Ini bisa
dibandingkan dengan ekspor obat moderen yang
juga sudah lama dilakukan Indonesia, namun
karena persaingan dengan Cina yang merupakan
pemasok penting bahan baku obat, dan India
yang unggul dalam produksi obat generik, ekspor
obat dari Indonesia tidak begitu berarti sehingga
BPS memasukkannya ke dalam lain-lain (others)
dalam data statistik nasional (ITC, 2005).
Persyaratan
yang lebih
longgar

untuk
mendapatkan ijin edar bagi jamu atau obat herbal
membuat pengembangan obat herbal lebih mudah
dilakukan. Ini bisa dilihat dari jumlah obat herbal

yang sudah diregistrasi di BPOM pada 23 April
2012 sebesar 10.526 yang jauh melampaui obat
konvensional yang berjumlah 1.663 (Laporan
Tahunan Badan POM 2011), walaupun pada
tahun 2013 jumlah obat yang teregistrasi sebesar
2596 melebihi obat herbal yang berjumlah 1756 2.
Dilihat dari pertimbangan ekonomi, obat
konvensional merupakan tiruan dari obat Barat
yang patennya sudah kadaluarsa namun masih
menggantungkan bahan baku impor. Sementara
obat obat herbal lebih mengandalkan pada bahan
baku lokal.
Pertumbuhan pasar internasional dari obat herbal
tidak diimbangi dengan pengembangan standar
yang diterima secara internasional dan metoda

yang sesuai untuk mengevaluasinya, padahal isu
keamanan dan manfaat obat herbal, termasuk
masalah pengendalian kualitas menjadi perhatian
baik otoritas kesehatan maupun masyarakat
(WHO, 2005, hal. iii).
Tidak adanya standar yang diterima secara
internasional, membuat pasar obat herbal lebih
mengandalkan pertumbuhannya di negara
asalnya masing-masing. Di satu sisi, pasar
masing-masing jadi terlindungi dari persaingan
dengan obat tradisional pihak luar. Namun, di sisi
lain perluasan pasar juga sulit dilakukan. Tanpa
standar internasional dan metoda pengujian obat
herbal, persaingan terbesar bukan antar-obat
herbal, tetapi antara obat herbal dengan obat
konvensional atau kimia. Jika masalah standar
dan metoda evaluasi ini tidak diselesaikan, cepat
atau lambat masalah ini akan merugikan industri
obat herbal, karena ketiadaan legitimasi dan
pembuktian ilmiahnya.

Setiap industri harus bisa bertahan, dan satu cara
terpenting dalam bertahan adalah dengan
melakukan inovasi. Industri jamu memiliki
tantangan besar, yakni belum diterima oleh
sistem pelayanan kesehatan nasional. Selain itu,
industri jamu tidak akan bisa terus-menerus
tumbuh jika hanya mengandalkan formulasi
lama. Karena itu inovasi di berbagai aspek
industri perlu dilakukan dalam industri ini.
Tekanan terhadap industri jamu untuk melakukan

2
Dilihat dari yang ditayangkan di situs Badan POM
(www.pom.go.id) pada 11 Desember 2013.

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

199

inovasi datang dari pasar, pesaing, baik intramaupun antar-industri, serta regulator.

Makalah ini akan mengupas peluang serta
tekanan terhadap industri jamu untuk melakukan
inovasi. Kondisi industri, persaingan di dalam
maupun antar-industri, dan regulasi bisa memberi
ruang sekaligus ancaman bagi pelaku-pelaku
industri jamu. Peluang bagi satu perusahaan, bisa
menjadi ancaman bagi perusahaan lain. Peluang
yang terjadi saat ini bisa menjadi ancaman di
masa mendatang.

2. STUDI PUSTAKA
2.1 Perkembangan Jamu di Beberapa Negara
Jamu telah digunakan cukup lama oleh
masyarakat. Cara pembuatan dan apa khasiatnya
umumnya diajarkan secara lisan dari generasi ke
generasi.
Banyak
masyarakat
yang
menyimpulkan dari sepanjang pengalaman

mereka menggunakannya, jamu tidak memiliki
efek samping. Kepercayaan ini lebih kuat lagi
pada obat herbal yang pendokumentasiannya
lengkap, seperti sistem pengobatan herbal India
dan Cina, yang sudah dikembangkan dan
dimanfaatkan sejak sebelum Masehi. Ciri utama
dari obat herbal ini dibandingkan dengan obat
konvensional Barat adalah efek multi-sasaran
dari obat herbal ini (pendekatan holistik) yang
merupakan basis mendasar dari penggunaannya
(Ramawat, 2009, hal. vii). Hal ini dikarenakan
“Satu tanaman obat bisa mengandung ratusan
penyusun alami, dan produk obat herbal
campuran bisa mengandung beberapa kali dari
jumlah tersebut. Jika setiap kandungan aktif
harus diisolasi dari setiap bahan tanaman, waktu
dan sumberdaya yang dibutuhkannya akan sangat
besar. Analisis seperti itu dalam praktik adalah
tidak mungkin, terutama dalam hal obat herbal
campuran” 3 (WHO, 2005, hal. iii).

Pengobatan obat herbal yang multi-sasaran
menuntut metoda evaluasi yang berbeda dari obat

3
“A single medicinal plant may contain hundreds of
natural constituents, and a mixed herbal medicinal product
may contain several times that number. If every active
ingredient were to be isolated from every herb, the time and
resources required would be tremendous. Such an analysis
may actually be impossible in practice, particularly in the
case of mixed herbal medicines.”

200

konvensional
yang
bersasaran
tunggal.
Pendekatan obat herbal yang holistik ini di mata
pendukungnya dianggap tepat karena sistem
biologi dari tubuh manusia juga bersifat holistik.
Karena itu pendekatan yang tepat adalah dengan
melakukan pengamatan, pengukuran sebanyak
mungkin parameter dalam sistem biologi dan
sesudah itu menggunakan chemometrics untuk
mengungkapkan makna dari data. Pendekatan ini
telah berhasil digunakan untuk mempelajari
tanaman obat-obatan dan obat-obatan berbasis
alam klasik (Verpoorte , 2009).
Pendekatan yang multi-sasaran inilah yang
membuat sistem pengobatan Ayurveda menarik
perhatian untuk mengobati penyakit yang tidak
ada obat moderen yang memadai untuk
mengatasinya seperti penyakit yang disebabkan
penyimpangan
metabolik
atau
penyakit
degeneratif. Penyakit-penyakit seperti ini
memiliki penyebab multi-faktor. Dalam kondisi
seperti ini kombinasi dari sejumlah obat yang
bereaksi secara serentak dianggap lebih efektif
daripada obat yang hanya mengarah pada satu
sasaran (Ramawat dkk, 2009, hal. 10). Obat
tradisional baik Ayurveda, TCM maupun jamu
menggunakan pendekatan multi-sasaran, karena
setiap tanaman obat memiliki kandungan yang
beragam.
Selain karena filosofinya yang berbeda, cara
evaluasi yang reduksionis dari metoda
pengobatan Barat jika diterapkan pada jamu
akan memakan waktu dan biaya yang sangat
besar, karena cara pengobatan moderen ini
dilakukan dengan mengisolasi senyawa dalam
keadaan paling murni dan mengevaluasi sifatsifat farmakologinya. Cara ini sudah diterapkan
pada penemuan obat moderen dari bahan alami,
termasuk herbal, yang diperkirakan bisa
membutuhkan biaya sampai AS$500 juta, dan
sangat memakan waktu 5 sampai 6 tahun pada
tahun 1980-an dan menjadi 15 sampai 22 tahun
di abad 21 ini (Ramawat et al., 2009, hal. 13).
Ketiadaan standar pengujian internasional
membuat obat herbal memiliki beragam status
regulatory dan istilah. Ada negara yang bersedia
menganggapnya sebagai obat untuk diresepkan
(prescriptive medicine), ataupun obat yang dijual
bebas atau over-the-counter (OTC), namun ada

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

yang hanya menganggapnya sebagai makanan
pelengkap (supplement), makanan kesehatan,
makanan fungsional, phytoprotectant, atau istilah
lain. Tidak ada konsistensi dalam penggunaan
istilah ini dari satu negara ke negara lain
(Robinson & Zhang, 2011, hal. 1). Beragamnya
pengistilahan ini, menunjukkan beragamnya
penerimaan obat herbal oleh otoritas kesehatan di
berbagai negara (WHO, 2002):
(1) Ada negara yang memberlakukan sistem
integratif, di mana obat herbal dan obat
tradisional lainnya, terintegrasi dalam sistem
pelayanan kesehatan nasional, yang tersedia
di rumah sakit dan bisa dibiayai perusahaan
asuransi. Juga ada kegiatan litbang maupun
pendidikan formal di bidang pengobatan
tradisional ini. Negara yang menganut
sistem ini adalah Cina, Korsel, Korut dan
Vietnam.
(2) Ada negara yang memberlakukan sistem
inklusif, yakni mengakui sistem pengobatan
tradisional,
namun
belum
mengintegrasikannya secara penuh ke dalam
semua
aspek
pelayanan
kesehatan,
pendidikan maupun pelatihan. Asuransi
kesehatan
masih
belum
mengganti
perawatan dengan pengobatan tradisional,
pendidikan pengobatan tradisional juga
belum tersedia sampai tingkat universitas,
dan tidak ada regulasi ataupun regulasinya
masih parsial. Jadi, berbagai aspek ini masih
dalam fase transisi, dan bisa mengarah
menjadi
sistem
integratif.
Negara
berkembang yang menganut sistem inklusif
adalah Equatorial Guinea, Nigeria dan Mali
yang memiliki kebijakan pengobatan
tradisional nasional namun tidak atau sedikit
memiliki regulasinya. Sedangkan negara
maju seperti Kanda dan Inggris tidak
memiliki pendidikan tingkat universitas di
bidang ini, namun membuat upaya terpadu
untuk menjamin kualitas dan keamanan
pengobatan tradisional.
(3) Ada negara yang menganut sistem toleran,
yang sistem pelayanan kesehatannya
didasarkan sistem kedokteran moderen,
namun tidak melarang penggunaan obat
tradisional di masyarakat.

2.2 Perkembangan Jamu di Indonesia
Jamu memiliki sejarah panjang di Indonesia. Di
Bali penulisan tentang jamu di daun lontar sudah
dilakukan sejak abad 11, dan pada abad 14 dan
15 sudah tersebar luas di masyarakat (Connor,
2008). Penulisan di daun lontar in rentan
termakan waktu, karena itu setiap 30 tahun sekali
dilakukan penulisan ulang di daun lontar yang
baru. Di Jawa, buku yang berisi racikan jamu
pertama kali muncul pada tahun 1831, yakni
Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi. Buku ini
memuat 1700 jenis ramuan pengobatan
(Jumarani, 2009). Namun, masyarakat Jawa
sudah mengenal jamu jauh sebelum ditulisnya
buku ini. Namun, meskipun masyarakat telah
terlebih dahulu mengenal jamu, reputasinya
sebagai sesuatu yang bisa diandalkan untuk
mengatasi
masalah
kesehatan,
akhirnya
dilampaui oleh cara pengobatan barat yang
diperkenalkan Belanda yang mengandalkan obat
kimia.
Indonesia awalnya adalah negara yang menganut
sistem toleran, namun kini mulai mengupayakan
untuk menggunakan sistem inklusif. Ini
ditunjukkan dengan diakomodasinya fitofarmaka
dalam sistem kesehatan moderen, serta adanya
upaya saintifikasi jamu. Dari segi bahan baku
obat herbal, Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati yang lebih kaya dari Cina atau India;
secara tradisi penggunaan jamu sudah meluas di
masyarakat, sehingga pasar dan industrinya tidak
bisa diabaikan oleh pemerintah. Karena itulah,
baik dari perspektif pelayanan kesehatan maupun
ekonomi, Indonesia harus mengembangkan
kebijakan dan strategi untuk mengoptimalkan
pemanfaatan jamu. Dari 191 negara anggota
WHO hanya 25 anggota yang mengembangkan
kebijakan mengenai pengobatan tradisional
(WHO, 2002).
Manfaat dari kebijakan ini
adalah:
“... memberikan dasar yang kuat untuk
mendefinisikan peran pengobatan tradisional
dalam pelayanan perawatan kesehatan
nasional, memastikan agar mekanisme
peraturan dan legal diciptakan untuk
mempromosikan dan memelihara praktik
baik, bahwa akses diperoleh dengan cara
yang sama/adil, dan keotentikan, keamanan

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

201

dan manfaat dari terapi bisa dipastikan. Ini
juga bisa membantu meyakinkan penyediaan
sumberdaya finansial yang cukup bagi
penelitian, pendidikan dan pelatihan”
(WHO, 2002, hal.3).
Hal lain yang lebih menekan industri jamu
dibandingkan pada industri obat konvensional
adalah persoalan kelembagaan. Industri jamu dan
obat konvensional ada di dalam lingkup
Kementerian Kesehatan, bukan Kementerian
Perindustrian. Kementerian Kesehatan lebih
berfokus pada penyediaan sistem pelayanan
kesehatan – termasuk di dalamnya adalah obatobatan – yang bisa diandalkan sekaligus
terjangkau, bukan pada menumbuhkan industri.
Pernyataan “bisa diandalkan” mengimplikasikan
adanya cara pengujian yang dianggap sahih,
ataupun diterima secara internasional. Cara
pengujian seperti ini tidak dimiliki industri jamu,
oleh karena itu industri jamu saat ini masih
belum menjadi bagian dari sistem pelayanan
kesehatan yang menjadi bagian dari kebijakan
pemerintah.

2.3 Masalah-Masalah dalam Pengembangan
Jamu
Ulasan pustaka menunjukkan bahwa dalam
pengembangan industri jamu terdapat masalahmasalah sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya standar internasional
menyebabkan pengembangan obat tradisional
sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi dan bukti
empiris yang dikenali masyarakat pengguna,
sementara untuk menjadikannya bagian dari
sistem
pengobatan
moderen
diperlukan
eksperimen dan studi klinis. Sejauh ini obat
moderen menjadi fokus utama kebijakan dan
regulasi yang menuntut pengembangannya
didasarkan pada metoda evidence-based medicine
(EBM) (Melzer & Saller, 2009, hal. 116). Bagi
negara berkembang fokus pada pengobatan
moderen ini tidak menjadi masalah karena obat
moderen telah banyak diteliti dan dikembangkan
di negara-negara maju dan sebagian besar obat
konvensional yang dibutuhkan telah habis masa
patennya sehingga negara berkembang tinggal
menirunya. Namun, hal ini akan menyisihkan
industri obat tradisional atau herbal di negara

202

berkembang untuk tumbuh menjadi industri yang
penting.
Kedua, perlindungan hak kekayaan intelektual
dalam pengembangan jamu. Upaya untuk
meningkatkan legitimasi ilmiah jamu dilakukan
dengan upaya uji pra-klinis, sehingga jamu bisa
mendapatkan status sebagai obat herbal
terstandar (OHT), dan bisa ditingkatkan lagi
dengan uji klinis, sehingga meningkat menjadi
fitofarmaka. Namun, biaya uji pra-klinis dan
klinis ini cukup mahal, sementara bentuk
perlindungan intelektual hanya berupa pemberian
label OHT atau fitofarmaka pada kemasan.
Padahal pengujian ini memberikan bukti pada
ramuan jamu yang ada, sehingga menguntungkan
perusahaan lain yang memproduksi jamu yang
sama walaupun tidak mendapatkan label OHT
atau fitofarmaka. Bahkan, kalaupun perusahaan
lain melakukan pengujian pada ramuan jamu
sejenis, maka ia bisa melakukannya dengan
mudah, dengan hasil yang bisa diduga, karena
ramuan ini sudah terbukti berhasil diuji oleh
perusahaan sebelumnya. Persoalan ini terjadi
dikarenakan “UU paten saat ini menuntut
penemuan yang inovatif dan tak terduga,
pengembangan
pengetahuan
lama
tidak
memenuhi tuntutan ini. Oleh karena itu, untuk
mendukung pengembangan obat tradisional
berbasis-bukti, akan sangat menarik jika
perlindungan bisa didapat perusahaan yang
mengembangkan obat-obatan tersebut sehingga
mereka bisa mendapatkan keuntungan dari
investasi litbang yang besar yang telah mereka
keluarkan” 4 (Verpoorte, 2009, hal. 1).
Ketiga, tingginya biaya, keahlian dan teknologi
yang dibutuhkan. Saat ini industri jamu lebih
mengandalkan pada formula yang sudah dikenali
khasiatnya sejak lama secara turun-temurun.
Keanekaragaman hayati di Indonesia mestinya
memungkinkan penemuan jamu yang baru,
namun ini membutuhkan kombinasi upaya dari
banyak ilmuwan dengan berbagai latar belakang,
seperti biologi, biologi molekuler, farmasi, kimia,
dan lainnya untuk men-screening produk.
4
...present-day patent laws require innovative and
unexpected findings, the development of old knowledge does not fit
this requirement. Therefore, to support the development of
evidence-based traditional medicines, it would be of great interest if
some sort of protection could be obtained for companies developing
such medicines so that they could earn back their huge R&D
investments.

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

Teknik-teknik yang perlu dikembangkan adalah
teknik isolasi untuk analisa farmakologi,
bagaimana menghasilkan sampel yang cukup
banyak dari tanaman yang diidentifikasi secara
benar untuk keperluan high-throughput screening
(HTS), pengaturan untuk uji pra-klinis
(farmakologi, toksikologi, pharmacokinectics dan
drug delivery) dan, terakhir, pengaturan untuk uji
klinis, dan keseluruhan proses ini bisa
membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun
(Ramawat et al., 2009, hal. 13). Lamanya waktu
dan juga prosesnya yang lebih rumit dari metoda
penemuan obat lainnya membuat banyak
perusahaan farmasi yang menurunkan upaya dan
pendanaan mereka untuk kegiatan penelitian
produk alami.
Keempat, pengembangan industri jamu tidak bisa
dilakukan oleh industri jamu sendiri yang
kebanyakan industri kecil dan menengah. Apa
lagi banyak teknologi canggih yang diperlukan,
antara lain teknologi untuk mengisolasi senyawa
aktif secara cepat dalam jumlah besar untuk
keperluan evaluasi ilmiah serta pengetahuan
untuk mempertahankan keanekaragaman hayati
(Ramawat dkk., 2009, hal. 30). Karena hal ini
tidak bisa dipenuhi oleh industri maka Ramawat
dkk. menyarankan untuk membentuk kerja sama
dengan kesepakatan bagi-keuntungan (profitsharing agreements) antara lembaga utama
(leading institute), perusahaan farmasi di negara
maju, organisasi di negara berkembang di mana
banyak tanaman obatnya masih belum
dieksplorasi.
Masalah-masalah di atas membuat banyak negara
kesulitan mendorong pengembangan jamu atau
obat tradisionalnya. Walaupun jamu atau obat
tradisionalnya telah digunakan secara luas di
masyarakatnya masing-masing, sifatnya yang
khas, membuatnya membutuhkan sistem
pengujian sendiri yang sekaligus tidak
melemahkan basis industri tradisionalnya yang
umumnya UKM. Rumitnya pengembangan
maupun evaluasi jamu membuat perhatian
kemudian dialihkan pada pengendalian kualitas
di rantai pasoknya. Namun, karena banyak
penggiat jamu adalah industri kecil dan
tradisional, pengendalian kualitas, keamanan dan
manfaat dalam produksi ini cukup sulit dilakukan
juga. Untuk itu “... WHO, bekerja sama dengan

WHO Regional Office dan negara-negara
anggota, telah menghasilkan seri dokumen teknis
dalam bidang ini, termasuk penerbitan Good
Agricultural and Collection Practices (GACP)
dan Good Manufacturing Practices (GMP),
bersama dengan dukungan teknis lainnya, untuk
membantu dengan penetapan standar dan
penciptaan produk berkualitas tinggi” (Robinson
& Zhang, 2011, hal. 1)

3. METODE PENELITIAN
Penelitian tentang kegiatan inovasi di industri
jamu masih jarang dilakukan. Tulisan berkenaan
dengan jamu kebanyakan membahas jamu dari
segi teknis, seperti mengenai khasiat atau
berbagai pengujian lainnya. Ini yang, antara lain,
terlihat pada tulisan-tulisan di Majalah Obat
Tradisional yang diterbitkan Fakultas Farmasi
UGM. Kalaupun ada yang membahas aspek
bisnis dari industri jamu, yang dibahas adalah
mengenai daya saing bisnis dan kegiatan
pemasaran jamu. Ini bisa dimaklumi, karena di
Indonesia kajian mengenai inovasi – tidak hanya
di industri jamu, tetapi juga industri lainnya –
relatif jarang dilakukan.
Unit analisis dari kajian ini adalah industri jamu,
bukan perusahaan jamu. Topik yang hendak
dieksplorasi adalah peluang dan tekanan untuk
berinovasi yang harus dihadapi keseluruhan
industri yang disebabkan oleh kondisi pasar,
internal ataupun antar-industri, dan regulasi.
Terbatasnya pustaka dan data yang bisa diakses
publik membuat studi ini harus mengandalkan
informasi melalui wawancara dengan para pelaku
industri maupun pihak lain – akademisi atau
peneliti

yang
berhubungan
dengan
jamu/farmasi, yakni satu pengusaha jamu, dua
manajer litbang dari dua perusahaan jamu yang
berbeda, dua pengajar dari UGM di mana salah
satunya banyak terlibat dalam proses harmonisasi
peraturan jamu tingkat ASEAN.
Pengumpulan data dan analisis dilakukan secara
iteratif. Isu penting yang diangkat satu
narasumber akan digali lebih lanjut dari
narasumber lainnya, sehingga bisa dibandingkan
dengan konfirmasi dan kontra-argumennya.
Dalam melakukan analisa akan dilihat peluang

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

203

dan tekanan terhadap industri, dan bagaimana
para pelaku industri merespon peluang dan
tekanan tersebut melalui inovasi.

4. DATA DAN ANALISIS
4.1 Inovasi Produk
Secara tradisional jamu dijual dalam bentuk
simplisia, yakni bahan tanaman yang telah
dikeringkan, ataupun dijual dalam bentuk cair
oleh bakul jamu gendong. Cara pengolahan yang
sederhana ini membatasi ekspansi bisnis jamu,
karena jamu menjadi cepat kadaluarsa ataupun
ataupun
mudah
rusak
pada
saat
pendistribusiannya. Bisnis jamu bisa tumbuh
besar setelah jamu bisa diolah dalam bentuk
serbuk dan dijual dalam kemasan-kemasan kecil.
Di sebagian masyarakatnya awalnya jamu lebih
dikenal dibandingkan dengan obat konvensional
(kimia), namun dalam perkembangannya, karena
program kesehatan dari pemerintah hanya
mengandalkan pada obat konvensional ini,
penggunaan obat menjadi lebih dominan
dibandingkan jamu. Ini yang kemudian
mendorong industri untuk melakukan inovasi
untuk menghasilkan jamu dalam berbagai bentuk
sediaan, sebagaimana bentuk sediaan obat
konvensional, seperti tablet, kapsul dan sirup.
Selain itu, jamu yang awalnya dikenal memiliki
rasa pahit, oleh industri juga telah diubah
menjadi memiliki berbagai rasa, terutama untuk
produk anak-anak. Dalam perkembangannya,
pelaku-pelaku industri obat konvensional yang
telah memiliki kemampuan teknologinya, lebih
bisa memanfaatkan peluang inovasi produk ini
dibandingkan dengan pelaku industri jamu.
Misalnya produk andalan Soho Group berasal
dari temulawak yang diturunkan menjadi
beberapa produk, yaitu Curcuma® & Curvit®
(untuk penambah nafsu makan), Curcuma® plus
Emulsion & Curvit® CL Emulsion® (untuk
pertumbuhan anak), Curmax® & Curliv®
(hepato protector), Curcuma Plus Milk (produk
susu untuk anak-anak), dan Curcuma plus Imuns
(untuk meningkatkan imunitas tubuh).
Persyaratan regulatori yang rendah dalam industri
jamu, membuat peluang untuk melakukan inovasi
produk lebih terbuka. Kesempatan ini juga dilihat

204

oleh perusahaan-perusahaan yang sebelumnya
dikenal sebagai produsen obat konvensional.
Misalnya Soho Group, Kalbe, Dexa Medica yang
bisnis utamanya adalah obat konvensional, juga
masuk dalam sektor industri jamu dan ternyata
sukses dalam memasarkan produk mereka.
Peraturan
Kepala
BPOM
Nomor:
HK.00.05.41.1384 memungkinkan industri untuk
mendaftarkan jamu dengan klaim baru dengan
cara menyerahkan “dokumen yang mendukung
klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat
pembuktian” (Pasal 16 Ayat (1) hurud b). Karena
persyaratan pembuktian ini tidak ketat, maka
jamu dengan khasiat baru tetap bermunculan.
Menurut Bapak Dr. L.B. Kardono dari LIPI,
terjadi siklus 5 tahunan untuk jamu/obat herbal
baru. Misalnya di masyarakatnya kita pernah
populer virgin coconut oil (VCO), jamu dari buah
mengkudu yang diubah dalam berbagai bentuk
sediaan, lalu buah merah, dan lain-lain. Apa yang
sempat dianggap berkhasiat dan memberikan
harapan oleh masyarakatnya setelah sekian
periode kehilangan daya tariknya lagi. Namun,
kemudian muncul obat herbal baru lagi yang
walaupun pembuktiannya belum jelas, tetapi
disambut pasar dengan penuh antusias. Misalnya,
saat ini berbagai produk herbal yang berasal dari
kulit buah manggis beredar di pasaran. Hal ini
merupakan mitos yang untuk sementara bisa
dianggap sebagai peluang, namun dalam jangka
panjang mitos-mitos yang tak terbukti ini bisa
menggerus reputasi industri jamu itu sendiri.

4.2 Dari Jamu ke OHT ke Fitofarmaka
Khasiat jamu didasarkan atas klaim masyarakat
luas secara turun-temurun yang oleh pelaku
industri jamu disebut sebagai bukti empiris.
Karena itulah pelaku industri tidak merasa perlu
untuk melakukan pengujian pada jamu yang
khasiatnya sudah dipercaya masyarakat sejak
lama. Namun, dalam praktiknya industri juga
menghasilkan jamu-jamu baru dengan klaimklaim manfaat yang baru, yang sebelumnya tidak
dikenal masyarakat. Ini berarti masyarakat secara
turun-temurun belum membuktikannya. Tiadanya
keharus pembuktian terhadap jamu yang baru ini
bisa merugikan masyarakat, walaupun tidak
pernah ada gugatan dari masyarakat terhadap

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

industri jamu. Dalam jangka panjang, hal ini juga
bisa menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap industri jamu.
Untuk mengakomodasi kedua kepentingan, yakni
masyarakat dan industri jamu, telah ditetapkan
Peraturan
Kepala
BPOM
Nomor:
Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Masyarakat
bisa mengetahui obat herbal dengan berbagai
tingkat pengujiannya, mulai dari jamu yang
berdasarkan klaim, dan OHT dan fitofarmaka
yang sudah dilakukan pengujian. Bagi pelaku
industri jamu, hal ini relatif meringankan, jika
mereka mampu melakukan pengujian mereka
bisa memproduksi OHT dan fitofarmaka, namun,
jika tidak, mereka bisa memproduksi jamu yang
berdasarkan klaim masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Kepala BPOM
tersebut dinyatakan ”Jamu adalah obat tradisional
Indonesia”. Sedangkan “Obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman” (ayat 1). Sementara “Obat herbal
terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi” (ayat 3), dan “Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan
baku dan produk jadinya telah di standarisasi”
(ayat 4).
Saat ini telah ada 6 produk fitofarmaka.
Sedangkan jumlah obat herbal terstandar (OHT),
menurut Direktur Bina Pelayanan Kesehatan
Tradisional, Alternatif, dan Komplementer
Kementerian Kesehatan, Abidinsyah Siregar, ada
38 dari sekitar 19.736 jamu 5. Masyarakat
memang belum banyak mengetahui perbedaan
antara jamu, OHT dan fitofarmaka. Namun,
penghargaan Top Brand for Kids 2010 dari

5
http://health.kompas.com/read/2012/07/31/205253
18/Obat.Herbal.Terstandar.Masih.Sangat.Minim.

Frontier Consulting Group pada Stimuno,
fitofarmaka yang diproduksi Dexa Medica,
menunjukkan obat tradisional yang teruji bisa
lebih
mudah
mendapatkan
kepercayaan
6
masyarakat . Stimuno ini bahkan telah diekspor
ke sejumlah negara di Asia.
Namun, kemampuan mengakses pasar bisa lebih
penting dari pada khasiat suatu obat tradisional.
PT Nyonya Meneer sudah mengembangkan
fitofarmaka,
yakni
Rheumaneer,
yang
mendapatkan izin edar pada Februari 1999.
Menurut Dr. Charles Saerang, CEO dari PT Jamu
Nyonya Meneer, perusahaannya membutuhkan
biaya sampai 2 miliar untuk menghasilkan
fitofarmaka ini. Biaya besar ini diperlukan untuk
membiayai uji klinis yang harus dilakukan
dokter/rumah sakit terhadap pasien. Yang
menjadi masalah, pada akhirnya, adalah
pasarnya. “Belum tentu pasarnya ada,” kata
Saerang. Dan apa yang diinvestasikannya belum
kembali modalnya.
Menurut Saerang, PT Nyonya Meneer satusatunya perusahaan jamu yang membuat
fitofarmaka, lainnya adalah perusahaan obat. Ini
bukan karena secara teknologi lainnya tidak
mampu, tetapi karena pasarnya tidak ada. Dokter
juga tidak meresepkan fitofarmakanya meskipun
sudah lulus uji klinis.
Jadi, pertama, perlu dilihat apakah produk
tersebut memiliki potensi pasar yang besar,
misalnya potensi pasar Rheumaneer yang
digunakan untuk mengobat rematik adalah di
bawah potensi pasar dari Stimuno yang
digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
khususnya anak-anak. Kedua, pemasaran sangat
penting
untuk
mempromosikan
bahwa
fitofarmaka ini telah teruji secara klinis, tidak
semata-mata berdasarkan klaim sekelompok
masyarakat. Jaringan pemasaran, lebih-lebih
untuk masuk ke lingkungan medis, sangat
berperanan penting. Dexa Medica yang sudah
berpengalaman
memproduksi
dan
mendistribusikan obat konvensional relatif cukup
mudah
dalam
mengupayakan
agar
fitofarmakanya diresepkan dokter.

6
http://health.kompas.com/read/2010/04/29/18362196/Fitofarmaka.
Semakin.Diakui

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

205

Ketiadaan jaringan pemasaran yang menjangkau
para dokter ini yang membuat Rheumaneer tidak
pernah diresepkan dokter. Secara bisnis tidak
akan menguntungkan bagi PT Nyonya Meneer
untuk membangun jaringan pemasaran tersebut
karena perusahaan ini hanya memiliki satu
produk fitofarmaka, sedangkan yang lainnya
adalah jamu. Ini berbeda dengan Dexa Medica
yang memang memiliki banyak obat yang bisa
diresepkan dokter.

4.3 Saintifikasi Jamu
Secara resmi Indonesia masih belum meregulasi
pengintegrasian jamu dalam sistem pelayanan
kesehatan nasional. Namun, dalam skala terbatas
program saintifikasi jamu yang dilakukan
Kementerian Kesehatan bisa dilihat sebagai
upaya ke arah tersebut. Sebagaimana disebutkan
dalam
Permenkes
Nomor:
003/MENKES/PER/I/2010 Tentang Saintifikasi
Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan Pasal 2, saintifikasi jamu ini ditujukan
untuk “Memberikan landasan ilmiah (evidence
based) penggunaan jamu secara empiris melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan” dan
“Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau
dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai
peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif,
rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan
jamu”.
Namun, upaya ini tidak melibatkan industri jamu
karena yang digunakan adalah simplisia. Pelaku
utama dalam kegiatan ini adalah Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT) yang ada di
Tawang Mangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Dr.
Charles Saerang menginginkan agar yang
digunakan produk dari industri jamu, walaupun
tetap harus melalui proses pengujian. Jika
saintifikasi jamu tidak melibatkan industri jamu,
maka upaya ini tidak akan berkontribusi
mendorong pertumbuhan industri jamu. Jika
simplisia yang digunakan, maka – menurut
Prof.Dr. Suwidjiyo Pramono dari Fakultas
Farmasi UGM – marjin keuntungan sangat
rendah, sehingga tidak menarik bagi industri
jamu.

206

Kalangan dokter sudah dilibatkan dalam program
saintifikasi jamu ini, dan mereka telah
membentuk Perhimpunan Dokter Herbal Medik
Indonesia (PDHMI) yang dideklarasikan pada
tanggal 10 Juni 2009 dan bernaung di bawah
Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

4.4 Inovasi Proses
Inovasi proses perlu dilakukan karena
pengolahan bahan herbal menuntut perlakuan
yang lebih rumit daripada bahan obat kimia.
Bahan herbal gampang sekali tercemari mikroba.
Jika pengendalian mutu pada proses pembuatan
jamu ini lemah, maka dampaknya tidak hanya
merugikan perusahaan tersebut, tetapi juga
industri secara keseluruhan yang diakibatkan oleh
menurunnya kepercayaan masyarakat pada
industri.
Untuk
melindungi
kepentingan
masyarakat inilah industri jamu diwajibkan
melaksanakan cara pembuatan obat tradisional
yang baik (CPOTB) sebagaimana tertera dalam
Peraturan
Kepala
BPOM
Nomor:
HK.00.05.41.1384. Menurut Dr. Charles Saerang,
kewajiban penerapan CPOTB ini diturunkan dari
CPOB untuk industri farmasi. Ini sangat
memberatkan industri jamu yang mayoritas
adalah industri kecil. CPOTB ini memaksa
industri memperbaiki fasilitas produksi mereka.
Sementara ini bentuk keringanan terhadap
industri jamu hanya berupa penundaan penerapan
CPOTB. Namun, cepat atau lambat industri jamu
harus menerapkannya, karena ini demi
kelangsungan hidup mereka sendiri juga.
Menurut R&D Manager PT Sidomuncul Wahyu
Widayani industri farmasi konvensional lebih
mampu menerapkan CPOTB. Ini dikarenakan
CPOTB memang diturunkan dari CPOB. Namun,
saat ini Sidomuncul sudah menerapkan CPOB,
dan menjadi satu-satunya perusahaan jamu yang
mendapatkan sertifikat CPOB.

5. SIMPULAN
Peluang inovasi pada jamu cukup tinggi, karena
tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, dan
masih banyak obat tradisional dari suku-suku
terpencil yang belum dipopulerkan secara
nasional. Dari pembahasan sebelumnya bisa

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

disimpulkan beberapa hal yang menjadi peluang
sekaligus tekanan untuk berinovasi bagi industri
jamu, namun juga bisa menjadi ancaman bagi
kelangsungan bisnis industri ini jika mereka tidak
bisa memenuhinya.
Pertama, rendahnya atau tiadanya persyaratan
bagi pembuktian khasiat jamu. Di satu pihak hal
ini memberi peluang bagi industri jamu untuk
menghasilkan produk-produk baru hanya
berdasarkan klaim masyarakat saja, ataupun
klaimnya sendiri tanpa bukti yang kuat. Namun
di sisi lain, hal ini juga menjadikan rintangan
memasuki (barrier to entry) industri jamu
menjadi rendah, sehingga bisa dengan mudah
dimasuki oleh produsen obat konvensional yang
memiliki
kemampuan
produksi
maupun
pemasaran yang lebih unggul dibandingkan
perusahaan-perusahaan yang bisnis intinya
adalah jamu. Kerugian lain dari rendahnya
persyaratan ini adalah kepercayaan masyarakat
yang semakin kritis juga menjadi rendah,
khususnya terhadap jamu baru dengan klaim
yang baru.
Kedua, dalam rangka meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap obat herbal pemerintah
membuat dua kebijakan utama: (i) penerapan
CPOTB, dan (ii) pengklasifikasian obat herbal
menjadi jamu, OHT dan fitofarmaka. Serta
inisiatif saintifikasi jamu yang masih belum
dilakukan dalam skala luas. Dengan penerapan
CPOTB maka masyarakat bisa mendapatkan
produk yang kualitas produksinya terjaga,
walaupun khasiatnya belum bisa dibuktikan.
Namun, saat ini peraturan yang mengharuskan
CPOTB belum dilakukan dengan tegas ke
seluruh industri jamu, karena sebagian besar
industri jamu berbentuk UKM yang tidak mampu
mengadakan fasilitas produksi yang memenuhi
persyaratan CPOTB.
Pengklasifikasian
dengan
peningkatan
persyaratan dari jamu ke OHT kemudian
meningkat
ke
fitofarmaka
diakui
bisa
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
obat herbal. Fitofarmaka, obat herbal yang sudah
menjalani uji praklinis dan uji klinis, bahkan bisa
diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional. Namun, peluang dari peningkatan citra
obat herbal ini lebih bisa diambil oleh produsen

obat konvensional daripada produsen jamu. Ini
dikarenakan produsen obat konvensional lebih
memiliki kemampuan produksi dan pengujian
dibandingkan produsen jamu. Selain itu
pengklasifikasian ini juga menempatkan "jamu"
pada ketegori paling rendah - yakni di bawah
OHT dan fitofarmaka - dari pengklasifikasian ini.
Selain itu yang membuat produsen jamu kurang
terdorong untuk meningkatkan produk jamunya
menjadi OHT dan fitofarmaka adalah karena
kebanyakan masyarakat masih belum mengetahui
perbedaan pembuktian dari ketiga jenis produk
herbal tersebut. Pengujian yang dipersyaratkan
untuk membuat OHT dan fitofarmaka juga tidak
bisa dilakukan oleh kebanyakan produsen jamu.
Selain itu, meskipun fitofarmaka bisa diresepkan
oleh dokter dan telah masuk dalam cakupan
asuransi namun untuk mendorong dokter
meresepkannya bukanlah hal mudah bagi industri
jamu. Hal ini lebih bisa dilakukan oleh produsen
obat konvensional yang sudah memiliki jaringan
luas dan hubungan yang dekat dengan para
dokter.
Kebijakan lain berkenaan dengan peningkatan
kepercayaan terhadap jamu namun belum
diimplementasi secara luas adalah saintifikasi
jamu. Namun, karena sediaan yang digunakan
dalam saintifikasi jamu adalah simplisia, maka
hal ini tidak menarik bagi industri jamu karena
keuntungan dari simplisia adalah sangat kecil,
dan simplisia bukanlah produk andalah dari
industri jamu, tetapi merupakan bahan baku yang
dipasok oleh perusahaan lain.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Trina Fizzanty yang telah menyampaikan
koreksi, memberi masukan dan saran yang sangat
berarti bagi perbaikan makalah ini. Makalah ini
didasarkan atas penelitian yang mendapatkan
dana DIPA Pappiptek - LIPI.

PUSTAKA
Connor, N., 2008. Shamans of the World:
Extraordinary First-Person Accounts of

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

207

Healings, Mysteries, and Miracles. Boulder,
CO: Sounds True, Inc.
ITC, 2005. Indonesia - Supply And Demand
Survey On Pharmaceuticals And Natural
Products. International Trade Center,
UNCTAD/WTO.

edicine and regulation of herbal medicines:
Report of a WHO global survey. Geneva:
World Health Organization.

Jumarani, L., 2009. The Essence of Indonesian
Spa: Spa Indonesia Gaya Jawa dan Bali.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Melzer, J. & Saller, R., 2009. Proprietary Herbal
Medicines in
Circulatory Disorders:
Hawthorn, Ginkgo, Padma 28. Dalam K.G.
Ramawat
(Ed.),
Herbal
Drugs:
Ethnomedicine to Modern Medicine.
Heidelberg: Springer.
Ramawat,
K.G.
(Ed.),
Herbal
Drugs:
Ethnomedicine to Modern Medicine .
Heidelberg : Springer.
Ramawat, K.G. & Goyal, S., 2009. Natural
Products in Cancer Chemoprevention and
Chemotherapy. Dalam K.G. Ramawat (Ed.),
Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern
Medicine. Heidelberg: Springer.
Ramawat, K.G., Dass, S. & Mathur, M., 2009.
The Chemical Diversity of Bioactive
Molecules and Therapeutic Potential of
Medicinal Plants. Dalam K.G. Ramawat
(Ed.), Herbal Drugs: Ethnomedicine to
Modern Medicine. Heidelberg : Springer.
Robinson, M.M. & Zhang, X., 2011. The World
Medicines Situation 2011 Traditional
Medicines: Global Situation, Issues And
Challenges.
Geneva:
World
Health
Organization.
Sampurno, 2007. Obat Herbal Dalam Prespektif
Medik Dan Bisnis. MOT, Vol 12, No. 42.
Verpoorte, R., 2009. Medicinal Plants: A
Renewable Resource for Novel Leads and
Drugs . Dalam K.G. Ramawat (Ed.), Herbal
Drugs: Ethnomedicine
to Modern
Medicine . Heidelberg : Springer.
WHO, 2002. WHO Traditional Medicine Strategy
2002 – 2005. Geneva:
World Health
Organization.
WHO, 2005. National policy on traditional m

208

Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016