Mengetahui dan Memahami Konsepsi Negara

1

MENGETAHUI DAN MEMAHAMI KONSEPSI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
(Pandangan Negara Integralistik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945)
Laga Sugiarto1, Moh. Ridwan2, M. Ali Safa’at3.
Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum
Universitas Brawijawa Malang
ABSTRACT
This paper discusses the integrative view of the state as contained in the Preamble to the
Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 (Preamble of the 1945 NRI).
Integrative view of the country stems from the idea Supomo speech he delivered on the
formulation of the basic law (constitution) of Indonesia, especially on May 31, 1945 in
the trial Investigation Agency Efforts Preparation of Indonesian Independence
(BPUPKI). School of thought (staatsidee) integralistic state stemming from the Western
philosophy of Spinoza, Hegel and Adam Muller is a state of mind that flows over all the
classes that exist in the country, not side to group the biggest and the strongest, but the
state as the embodiment of a living the nation as a whole.
Key Words:
State Integralistic Idea, Manunggaling Kawula-Gusti, Preamble to the Constitution of the Republic of

Indonesia Year 1945, National Socialists / National Socialism (NAZI / NSDAP), Unitary State
of Republic of Indonesia.
ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai pandangan negara integralistik sebagaimana terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Pembukaan UUD NRI Tahun 1945). Pandangan negara integralistik bermula dari
pemikiran Soepomo yang disampaikannya pada pidato perumusan hukum dasar
(Konstitusi) Indonesia, terutama pada tanggal 31 Mei Tahun 1945 di sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Aliran pikiran
1
2
3

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum angkatan 2011, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Dosen Hukum Internasional/HAM, sebagai Pembimbing Utama.
Dosen Hukum Tata Negara sebagai Pembimbing Kedua.

2

(staatsidee) negara integralistik yang berakar dari filsafat Barat yakni Spinoza, Adam Muller

dan Hegel merupakan aliran pikiran negara yang mengatasi segala golongan-golongan
yang ada dalam negara, tidak memihak kepada golongan yang terbesar maupun yang
terkuat, akan tetapi negara sebagai pengejawantahan penghidupan bangsa secara
keseluruhan.
Kata Kunci:
Ide Negara Integralistik, Manunggaling Kawula-Gusti, Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945),
Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI/NSDAP), Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
A. PENDAHULUAN
Perdebatan tentang bentuk negara memang masih merupakan sebuah persoalan yang
selalu muncul, meskipun hal itu sebenarnya sudah merupakan sesuatu yang klasik. Sejak
masa transisi dari pemerintahan Orde Baru muncul usulan dari berbagai pihak bahwa
bentuk negara yang bersifat federasi merupakan salah satu alternatif yang terbaik agar
supaya keutuhan negara Indonesia dapat dipelihara. Sebenarnya perdebatan tentang
pilihan bentuk negara Federalisme atau Kesatuan bukanlah merupakan harga mati,
karena masih ada kemungkinan untuk memunculkan model lain selain dari kedua pilihan
tersebut.

Tampaknya,


pemerintah

sudah

sedemikian

mantap

untuk

tetap

mempertahankan format Negara Kesatuan, sehingga alternatif bentuk negara yang
lainnya sudah sangat sulit untuk dimunculkan. Di samping itu, kekuatan-kekuatan politik
yang ada di Indonesia dalam masa transisi hingga saat ini juga tidak memberikan
dukungan yang positif terhadap kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan yang
federalistik ataupun yang lain.4
Perumusan bentuk Negara Kesatuan sebagaimana ditegaskan dalam Bab I, Pasal 1
ayat (1) tentang Bentuk dan Kedaulatan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum

amandemen) dan diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 Tahun
1946 yakni yang berbunyi “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk
republik”, bahkan hingga amandemen ke-4 (empat) UUD 1945, bunyi pasal tersebut
4

Ryaas Rasyid dkk, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1.

3

tetap dipertahankan menjadi satu-satunya norma dasar/fundamental negara yang
ditabukan untuk dilakukan perubahan. Pengejawantahan Pokok Pikiran daripada
Pembukaan tersebut sebagaimana dipengaruhi oleh pandangan negara intergralistik dari
Soepomo sebagai tim perumus Undang-Undang Dasar pada saat itu yang seringkali
menyatakan pandangannya berdasarkan pada aliran filsafat Barat yang diajarkan oleh
Spinoza, Adam Muller dan Hegel (khususnya Hegel). Hal tersebut, sebagaimana tampak
dari penggunaan terminologi integralistik-totalitarian-nasional sosialis yang mendukung
pandangannya tersebut, dengan demikian memunculkan persepsi mengenai bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang cenderung berwatak totalitarian.
Dalam pandangan yang berbeda mengenai negara integralistik, justru pengaruh
Hegelian dari Barat, tidak semata-mata menjadi basis daripada pandangan negara

integralistik daripada Soepomo. Soepomo juga menyatakan, bahwa pandangan negara
integralistik yang bersifat asli ketimuran (Indonesia) tidak hanya berakar dari filsafat
Integralistik Hegel yang tumbuh dan berkembang di Barat, akan tetapi menemukan
akarnya pada filsafat kebatinan yang bersumber dari religi Jawa, sebagaimana dikenal
dengan sebutan “Manunggaling Kawula-Gusti”. Adapun, konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti
dan Hegelian sebagai sandaran dari pandangan negara integralistik Soepomo saling
berkaitan erat satu sama lain, sebagaimana tampak dalam pengejawantahannya yang
berupa sakralisasi secara simbolik terhadap penguasa.
Perspektif Hegelian dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin
menimbulkan pemahaman yang bertendensi negatif berupa penjelmaan negara yang
berwatak otoriter dengan mengabaikan hak-hak individu sebagai manusia. Adapun
kekeliruan terhadap pemahaman dari konsepsi bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945
(sebelum dan sesudah amandemen) yang dianggap bersandar sepenuhnya pada aliran
pikiran integralistik Hegel tersebut, justru memberikan legitimasi yang kuat terhadap
supremasi negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dengan mengabaikan dan
memaksakan secara sukarela dari hak-hak individu dan masyarakat untuk melebur dalam
bangunan organis negara. Pandangan negara integralistik-totalitarian yang menjadi jiwa
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam pokok-pokok


4

pikiran Pembukaan UUD 1945, diyakini merupakan paham yang bernafaskan negara
yang memilki kendali kekuasaan penuh melalui cara-cara otoriter dan cenderung lebih
dekat kepada ideologi Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (Nazi/NSDAP). Melalui
supremasi kedaulatan organis negara tersebut dalam pengejawantahannya dikhawatirkan
menimbulkan praktik-praktik kesewenang-wenangan terhadap hak-hak individu dan
masyarakat

melalui

legitimasi

paham

(staatsidee)

negara

integralistik


yang

mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara. Sebaliknya, adanya pengakuan
terhadap kedaulatan kemanusiaan yang sejalan dan bersumber dari spirit Pancasila
(Pancasilais) dalam pandangan negara integralistik Indonesia semakin memberikan
persepsi yang berbeda mengenai model pandangan negara integralistik Indonesia itu
sendiri.
Dengan demikian, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan ini
adalah, sebagai berikut: 1). Pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti”
berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat; 2). Pandangan negara
integralistik kesukuan Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) menjadi basis
pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3). Bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sejalan dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan penulisan ini adalah, sebagai berikut: 1). Merumuskan, menganalisis dan
menjelaskan mengenai pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti” yang
dianggap berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat; 2). Merumuskan,
menganalisis dan menjelaskan mengenai pandangan negara integralistik kesukuan

Nasional Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) yang dianggap menjadi basis pandangan
negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan 3). Merumuskan, menganalisis dan menjelaskan
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dianggap sejalan
dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5

Manfaat penulisan ini adalah, sebagai berikut: 1). Manfaat teoritis untuk memahami
sejarah dan landasan konseptual (filosofis) mengenai asal-mula Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2a). Manfaat praktis bagi akademik untuk memberikan
pemahaman secara komprehensif untuk melakukan kajian ilmiah-akademik terkait
konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2b). Manfaat praktis bagi Legislatif untuk
memberikan masukan yang berharga dalam melakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan (norma umum) yang selaras dengan konsepsi Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2c). Manfaat praktis bagi Eksekutif untuk memberikan pedoman

untuk menjalankan roda pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses
penelitian tersebut, diadakan analisis dan konstruksi data yang telah dikumpulkan dan
diolah. Karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang menjadi induknya.5
Menurut Soerjono Soekanto6, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.
Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut,
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahn-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Sedangkan, menurut Soetandyo
Wignyosoebroto7, penelitian hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan
menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali
keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan. Untuk menjawab segala macam
5

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 17.

Ibid, hlm. 18.
7 Ibid, hlm. 18.

6

6

permasalahan hukum diperlukan hasil penelitian yang cermat, berketerandalan dan sahih
untuk menjelaskan dan menjawab segala permasalahan yang ada.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian politik yuridis, sedangkan pendekatan
penelitiannya menggunakan berbagai pendekatan penelitian, yakni pendekatan historis
(historical approach)8 dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan filsafat (philosophical
approach)9 dilakukan dengan menelaah secara menyeluruh, mendasar dan spekulatif untuk
mengupas isu hukum secara radikal dan mendalam. Pendekatan historis (historical
approach) dipergunakan dalam usaha menelusuri latar belakang sejarah dan politik yang
mempengaruhi pembentukan norma-norma fundamental (aturan fundamental negara)
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengenai konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
perspektif


negara

integralistik,

dan

pendekatan

filsafat

(philosophical

approach)

dipergunakan dalam usaha untuk menyelami hakikat substansi/makna yang terkandung
dalam norma fundamental (aturan fundamental negara) sebagaimana dituangkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai
konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam perspektif negara integralistik.
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung
dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari
bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Jenis dan sumber data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Menurut Rony Hanitijo
Soemitro10, data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan
membaca dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian
hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.

8

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 94.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007),
hlm. 320.
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. 13.
9

7

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas yang mana terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Selain itu
bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.11Bahan hukum primer yang terdiri dari
sebagai berikut: Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sedangkan bahan hukum sekunder12 yang terdiri dari sebagai berikut: (i) Bukubuku literatur; (ii) Disertasi, Tesis dan Laporan Penelitian; (iii) Artikel, Makalah, dan
Media Massa.
Teknik memperoleh data dalam penelitian ini menggunakan beberapa cara dalam
memperoleh data, yang mana adalah dengan melakukan penelusuran dan dokumentasi
pustaka dari berbagai sumber, antara lain yaitu Perpustakaan Pusat Universitas Brawijaya,
Perpustakaan PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Pusat Dokumentasi
Mahkamah Konstitusi, surat kabar, serta browsing melalui internet terkait dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan bahan-bahan hukum yang
dikumpulkan untuk meneliti dan mengkaji permasalahan seperti yang terdapat dalam
rumusan masalah. Adapun penelitian ini menggunakan suatu interpretasi mendekatkan
pada suatu kajian historis, yakni melalui penelusuran kesejarahan awal mula terbentuknya
negara kebangsaan Indonesia (nationale staat) yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI
11

Zainuddin Ali, op. cit., hlm. 47.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahan-bahan sekunder berguna untuk dirujuk guna meningkatkan
mutu interpretasi atas hukum yang berlaku. Selain itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai
suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas. Bahan sekunder adalah hasil kegiatan teoritis
akademis yang mengimbangi kegiatan praktik legislative dan yudisial sehingga produk-produknya yang
fragmentaris dapat terpola menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tidak saling
bertentangan. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya “Cetakan
Pertama”, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hlm. 155-156.
12

8

Tahun 1945, kemudian sejarah perdebatan politik tersebut mengejawantah berupa
makna-makna filosofis dari pergulatan antithese yang kemudian menemukan
keharmonisan pendapat dalam suatu these dan menjelma menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga saat ini.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Apakah pandangan negara integralistik “Manunggaling Kawula-Gusti”
berkaitan erat dengan pandangan negara integralistik Barat?
Ide negara integralistik Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Soepomo pada
pidatonya (dibagian awal) tanggal 31 Mei Tahun 1945 di sidang BPUPKI, ide negara
integralistik yang pada awalnya diinginkan oleh Soepomo berakar pada ajaran dari filsuf
barat yakni Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Aliran pikiran negara integralistik
merupakan aliran pikiran negara (staatsidee) yang menganggap negara menjamin
keselematan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan,
tidak berpihak kepada golongan yang terkuat maupun yang paling besar. Dalam falsafah
Barat, aliran pikiran negara integralistik bersandar kepada paham monisme-panteisme.
Teori negara integralistik yang diajarkan oleh Spinoza menganggap bahwa pada
hakikatnya zat (substansi) sejati dalam alam ini hanya ada satu, dan segala sesuatunya
berupa kesatuan atau keesaan karena berasal dan bisa dikembalikan ke zat yang sama itu,
yang esa (manunggal, dalam bahasa Jawa). Karena adanya Tuhan itu mutlak, dan bersama
adanya alam tidak mungkin terdapat dua zat berbeda, maka Tuhan dan alam adalah satu,
zat tunggal satu-satunya, yang terwujud dalam bentuk (atribut) yang tidak terhingga
banyaknya. Inilah yang dikatakan sebagai paham monisme atau panteisme Spinoza.
Makna kesatuan atau dalam istilah yang dipakai pada tahun empat-puluhan itu yakni
persatuan menjadi titik temu dengan pilihan Soepomo.13
Adam Muller menyatakan bahwa negara dalam susunan kekuatan merupakan
bangunan yang organis (berjasad). Seluruh kehidupan rohani manusia merupakan bagian
dari negara, jiwa umum negara juga mempengaruhi hidup pribadi dari tiap-tiap manusia.
Akan tetapi, ia tidak mau memandang negara secara mekanis, artinya dalam arti
kebendaan semata. Sebaliknya, negara adalah kerajaan cita-cita yang kekal dan selalu
13

Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), hlm. 134.

9

bergerak. Selain itu, Muller juga menyatakan bahwa negara adalah totalitas permasalahan
manusia (die Totalitat der menschlichen Angelegenheiten), yang berjalin menjadi suatu
keseluruhan yang hidup. Negara bukanlah sekedar berupa industri, peternakan, lembaga
asuransi atau serikat dagang. Negara adalah suatu ikatan yang mendalam dari seluruh
kebutuhan jasmani dan rohani, seluruh kekayaan fisik dan rohani, kehidupan lahir dan
batin suatu bangsa yang merupakan satu tenaga yang mahabesar, satu keseluruhan yang
hidup yang senantiasa bergerak.14
Sedangkan, Hegel menyatakan negara adalah aktualitas, perwujudan dari ide etikal (die
sittlichen Idee, the ethical Idea). Negara adalah aktualisasi kehendak dari kesadaran universal,
yang ke dalamnya telah bersatu dan menjadi satu, seluruh kehendak masing-masing yang
khusus (kesadaran diri partikular) dari perseorangan.15 Hakikat negara dalam pengertian
modern ialah, bahwa yang universal (keseluruhan) Tujuan keseluruhan (universal) tidak
bisa diraih tanpa diketahui dan dikehendaki oleh para anggotanya masing-masing, yang
hak-haknya harus tetap dipertahankan. Jadi yang universal harus dimajukan, tetapi di lain
pihak, perkembangan subyektivitas pun harus hidup dan tercapai penuh. Hanya bila
kedua daya ini, yang universal dan yang subyektif, bisa ada bersama dengan cukup
tenaga, maka negara bisa dianggap telah mengejawantah dan benar-benar terorganisir.16
Dalam pernyataan selanjutnya, justru Soepomo mengatakan hal yang berbeda, bahwa
hakikat persatuan bangsa Indonesia bersifat persatuan hidup antara kawulo dan gusti,
sebagai berikut:
Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan
bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia
luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat,
pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam
sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap
masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggapnya mempunyai
tempat dan kewajiban hidup (darma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segalagalanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang
tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia,
malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut.
14

J.J. Von Schmid, Pemikiran tentang Negara dan Hukum dalam Abad Ke-19, (Jakarta: PT Pembangunan
Djakarta, 1961), hlm. 56-57.
15 Marsillam Simanjuntak, op. cit., hlm. 168.
16 G.W.F. Hegel, The Philosophy of Right, (London: Encyclopedia Brittanica, 1986), hlm. 66.

10

Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam
sususnan tata negaranya yang asli.17
Pernyataan yang berbeda tersebut, tampak ketika di awal Soepomo mengatakan bahwa
ide negara integralistik Indonesia berakar pada filsafat Barat (Monisme-PanteismeHegelian), justru dalam pernyataan selanjutnya mengatakan ide negara integralistik
Indonesia berakar dari filsafat kebatinan Jawa yang dikenal dengan konsepsi
“Manunggaling Kawula-Gusti”.
Konsepsi “Manunggaling Kawula-Gusti” dalam religi Jawa mengajarkan keselarasan.
Keselarasan antara makrokosmos, tata alam semesta, dan mikrokosmos, yakni manusia
itu sendiri. Alam semesta telah ditata sedemikian rupa menurut aturan-aturan yang pasti
demi menjaga keselarasan tersebut.18 Apabila Tata Alam Semesta dipimpin oleh Tuhan
yang kekuasaan-Nya mutlak, negara dipimpin oleh Raja. Maka, demi keteraturan, baik
negara maupun Raja memiliki kekuasaan yang mutlak tidak terbatas. Raja diyakini sebagai
perwakilan Tuhan di bumi, sebagai bentuk avatara (titisan, penjelmaan) Dewa dari langit,
meminjam konsepsi Hinduisme. Dua hal tersebut memantapkan absoluditas penguasa
negara, Sang Raja.19
Walaupun raja dan rakyat dianggap sama pentingnya, yang dengan demikian segi
fungsional merupakan satu-satunya perbedaan, namun di antara keduanya terdapat
hubungan momongan. Ini berarti pamong (yang melakukan momongan) memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari yang mendapat momongan (kawula). 20 Implikasinya
adalah kawula harus patuh pada yang melakukan momongan. Hal ini juga menunjukkan
bahwa hubungan antara raja dan rakyatnya mengikuti contoh kasih sayang dalam ikatan
keluarga.21 Hubungan antara raja dan rakyat juga dijelaskan dalam konsep manunggaling
kawula-gusti (menyatunya abdi-tuan) yang menunjukkan bahwa keduanya, walaupun
berbeda, yaitu satu lebih rendah dan lainnya lebih tinggi, sesungguhnya merupakan dua

17

RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Indonesia, 2004), hlm. 124-125.
18 Weko Kuncara, Citra Jawa Kekuasaan Soekarno; 18 Juni 2012, diakses pada tanggal 22 Juli 2013.
19 Moertono Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau “Studi tentang Masa
Mataram II, Abad XVI sampai XIX”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 5.
20 Moertono Soemarsaid, op. cit., hlm. 30-31.
21 Moertono Soemarsaid, op. cit., hlm. 17.

11

aspek yang berbeda dari hal yang sama. Apabila antara Tuhan (Gusti) dan manusia
(kawula) dapat menyatu, apalagi antara sesama manusia sendiri, meskipun itu adalah raja
(Gusti) dan rakyat (kawula) sebagai bentuk replikanya.22
Konsepsi ini sekaligus mengimplikasikan pada adanya perbedaan status antara raja
sebagai Gusti, yang lebih tinggi, dan rakyat sebagai kawula, yang lebih rendah.
Keyakinan bahwa raja adalah titisan Tuhan di bumi memberikan konsekuensi bahwa
perintah-perintah raja merupakan isyarat dari tuhan kepada manusia untuk memelihara
keteraturan dan keselarasan alam semesta atau untuk mengembalikannya pada
keteraturan bila ada gangguan; tidak memungkinkan bagi rakyat untuk mengucapkan
tidak bagi setiap perintah raja. Akhirnya, ketundukan rakyat terhadap raja diperkuat
dengan adanya pemahaman fatalistik pada masyarakat Jawa. Setiap hal yang terjadi pada
manusia dianggap telah merupakan ketentuan dari Tuhan yang mesti dijalankan.
Berhubungan dengan ini, termasuk dalam memandang posisi rakyat sebagai kawula,
diyakini sebagai titah dari Tuhan yang mesti dijalaninya karena memang itulah yang
terbaik baginya.23
Sejatinya, pemikiran Soepomo mengenai semangat kebatinan dan struktur
kerohaniaan bangsa Indonesia memang berakar dari filsafat Jawa yang dikenal dengan
persatuan antara Kawula dan Gusti atau biasa disebut dengan “Manunggaling KawulaGusti”. Pemikiran mengenai Manunggaling Kawula-Gusti dari budaya Jawa berkembang
sebagai dasar kerohaniaan mistik Jawa. Pemikiran Manunggaling Kawula-Gusti yang
“dianggap” senafas dengan pemikiran filsafat monisme-panteisme, kemudian dijadikan
sandaran bagi aliran pikiran negara integralistik dalam pengejawantahannya menekankan
kepada penyelenggaraan pemerintahan yang berpangkal kepada sendi bersatunya batin
antara pemimpin dengan rakyatnya sehingga menimbulkan persepsi yang mana
penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa menganggap kesempurnaan pemimpin
diharapkan mampu memiliki dan menjaga semangat penyelenggara negara itu sendiri,
memenuhi segala keperluan rakyatnya dengan menyangsikan ketidaksempurnaan

22
23

Weko Kuncara, loc. cit.
Weko Kuncara, loc. cit.

12

daripada manusia yang celakanya dapat tergelincir terlalu dalam sehingga menimbulkan
kesewenang-wenangan penguasa atau pemimpin terhadap rakyatnya.
Raja yang dianggap sebagai sosok manusia bumi yang karismatik dan sempurna
karena telah menerima dan bersemayamnya esensi dari Tuhan, dibebankan tanggung
jawab besar sebagai pemimpin umat maupun agama. Kesempurnaan tabiat manusia
(Raja) justru semakin memperkokoh inklusivitas dari kedudukan politik Raja itu sendiri
yang celakanya tidak mampu bersikap bijaksana dalam perilaku penyelenggaraan
pemerintahan, ekstremnya tergelincir menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang
terhadap rakyat dan negaranya sendiri. Kemustahilan semakin diperkuat dengan masih
terbelenggunya alam pikiran akan romantisme “masa lalu” ketakhayulan mengenai
kelahiran sosok figur yang sempurna (Ratu Adil, Imam Mahdi) sebagai pemimpin yang
mampu mengayomi rakyatnya selaku pemimpin umat yang dibebankan derajat ketuhanan
(Raja Dewa/Raja Binathara) dalam kehidupan sosial politik dan agama (Raja-Pinandhita),
selayaknya dan sekurang-kurangnya secara personal mendekati jati diri Nabi ataupun
Wali yang dianggap mampu menghayati/membuka tabir kedekatannya dengan Tuhan
(makrifat).
Jika kita menghayati kembali secara sementara terhadap pernyataan Soepomo di atas
ini, bahwasanya sejalan dengan sistem metafisika Spinoza yang telah dirintis oleh
Parmenides. Hanya ada satu zat, yaitu “Tuhan atau alam”, sesuatu yang terbatas tidak ada
yang hidup mandiri. Descartes mengakui tiga zat yakni Tuhan, pikiran dan materi.
Benarlah bahwa baginya Tuhan dalam pengertian tertentu lebih substansial daripada
pikiran dan materi, karena Dia telah menciptakan keduanya, dan dapat melenyapkannya
jika mau. Tetapi kecuali dalam kaitannya dengan kemahatahuan Tuhan, pikiran dan
materi adalah dua zat yang independen dan didefinisikan berturut-turut oleh sifat-sifat
pemikiran dan pengembangan. Spinoza tidak mempunyai konsep seperti ini. Baginya,
pemikiran dan pengembangan adalah sifat-sifat Tuhan. Tuhan juga memiliki sifat-sifat
lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspekNya,
tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui. Jiwa individu dan potongan-potongan
materi yang terpisah, bagi Spinoza merupakan kata sifat, semua itu bukan benda, tetapi
sekedar aspek-aspek dari Yang Maha Suci. Tidak ada keabadian pribadi seperti yang

13

dipercaya orang-orang Kristen, tetapi keabadian impersonal yang diperoleh dengan
menjadi semakin menyatu dengan Tuhan. Sesuatu yang terbatas didefinisikan oleh batasbatasnya, baik fisik maupun logis, yakni oleh apa yang bukan sesuatu “semua determinasi
adalah negasi”. Hanya ada Tuhan Esa yang seluruhnya positif, dan Dia pasti tidak
terbatas secara absolut. Maka Spinoza cenderung pada panteisme yang lengkap dan
keras. Segala sesuatu, menurut Spinoza diatur oleh sebuah ketentuan logis yang absolut.
Tidak ada semacam kehendak bebas di wilayah mental atau peluang di dunia fisik. Segala
yang terjadi adalah manifestasi dari sifat Tuhan yang gaib, dan logikanya, suatu peristiwa
tidak mungkin menjadi persitiwa lain. Menurut Spinoza, kalau memang segala sesuatunya
ditentukan Tuhan dan karena itu pasti baik. Spinoza menjawab bahwa apa yang bernilai
positif dalam peristiwa-peritiwa adalah baik, dan hanya apa yang bernilai negatiflah yang
buruk, tetapi negasi hanya ada dari sudut pandang makhluk. Bagi Tuhan, satu-satunya
yang sepenuhnya nyata, tidak ada negasi, maka kejahatan yang bagi kita tampak sebagai
dosa tidak ada jika dilihat sebagai bagian dari keseluruhan.24
Dengan demikian, setelah diuraikan dengan cukup jelas pernyataan-pernyataan
Soepomo di atas, berkaitan kembali mengenai staatsidee (aliran pikiran) bernegara
Indonesia, yang masing-masing pernyataan justru mengandung kontradiksi yang sangat
fundamental, karena ketiadaan konsistensi dari pandangan-pandangan Soepomo tersebut
yang berganti-ganti dengan mudah dari satu pandangan ke pandangan yang lain tanpa
memperhatikan penggunaan secara pasti akar pikiran yang secara konsepsional satu
dengan yang lain berbeda-beda. Kontradiksi antara masing-asing pandangan Soepomo
itu bercampur baur tanpa kejelasan, sehingga menimbulkan persepsi simpang siur
mengenai pilihan salah satu aliran pikiran negara yang sejatinya ingin dianut oleh
Sopomo sendiri.
Perbedaan konsepsional aliran pikiran negara integralistik yang dibangun oleh
Soepomo yang bersumber dari filsafat Barat yang bersifat monisme-panteisme sejatinya
tidak sepenuhnya sama dengan yang bersumber dari filsafat Jawa “Manunggaling KawulaGusti”. Secara historis, filsafat monisme-panteisme yang berkembang di Indonesia,
khususnya Jawa merupakan aliran mistik kebatinan yang hidup di masyarakat pada masa
24

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 748-749.

14

Pra-Hindu-Buddha (Animisme-Dinamisme), hingga masa kerajaan-kerajaan HinduBuddha yang berkuasa pada saat itu. Justru, lain halnya dengan perkembangan filsafat
kebatinan itu sendiri setelah diserapnya unsur Tasawuf Islam yang disiarkan secara luas di
kalangan masyarakat melalui kekuasaan istana kerajaan Islam.
Titik tolak yang berbeda-beda diambil oleh Soepomo, jika titik tolak pandangan
negara integralistik varian Spinoza, Adam Muller, Hegel, Nazi, maka sandaran filsafatnya
adalah monisme-panteisme atau serupa dengan filsafat kebatinan Jawa masa Pra-HinduBuddha dan Hindu-Buddha yang cenderung menghasilkan karakter pemerintahan yang
berwatak totaliter anti demokratis. Lain halnya, jika titik tolak yang diambil Soepomo
merupakan konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti yang berkembang sebagaimana dalam
gubahan sastra Jawa-Islam setelah masuknya pengaruh Islam (Islamisasi Jawa), bukan
(Jawanisasi Islam), maka esensi manusia sebagai kawula/hamba tetaplah terpisah dengan
Tuhan (Gusti), sehingga jika dibumikan dalam struktur politik ketatanegaraan, maka
esensi manusia tidak melulu bagian dari sosial masyarakat ataupun melebur dalam
kehendak universal negara melalui simbolisasi Raja (pemimpin) sebagai pengejewantahan
kekuasaan Tuhan, akan tetapi esensinya tetap masih memiliki kodratnya sebagai makhluk
pribadi (subjektif) yang memiliki otonomi/partikularitas dalam prinsip monodualisme.
Rumus yang indah tentang Aworing Kawula-Gusti adalah sebagai berikut:25
“Tunggal tan tunggal lawan ing pasti/ loro pan tan loro/ lire jiwa tinon lawan ragane/ katon
tunggal katingal kakalih/ mangke awak marmi/ lawan Gustiningsun.”
Artinya:
Kita adalah satu, tetapi bukan satu secara pasti, dua tetapi bukan dua secara pasti
pula. Laksana jiwa dengan badannya, dikatakan satu terlihat dua.
2. Apakah

pandangan

negara

integralistik

kesukuan

Nasional

Sosialis/Sosialisme Nasional (NAZI) menjadi basis pandangan negara
integralistik Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945?
Pandangan negara integralistik yang berakar dari filsafat Barat kemudian
mempengaruhi aliran pikiran sosialisme nasional yang dikatakan cocok dengan aliran
pikiran ketimuran merupakan kesalahpahaman mendasar dari Soepomo, ketika
Simuh, Sufisme Jawa “Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa”, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm.
173.
25

15

menyatakan dengan yakin dan insaf bahwa aliran sosialisme nasional memang benarbenar mampu menjadi sandaran aliran pikiran negara Indonesia. Sebagaimana kita telah
mengetahui secara umum, bahwasanya aliran pikiran sosialisme nasional merupakan
aliran pikiran yang begitu popular diperkenalkan oleh Adolf Hitler. Aliran pikiran
sosialisme nasional yang dianggap memiliki akar kesamaan dengan filsafat monismepanteisme dari Spinoza, romantisme dari Adam Muller dan integralistik-organik dari
Hegel, merupakan suatu doktrin organis tentang sejarah di mana “setiap ras merupakan
kesatuan yang utuh dan tersendiri” dikembangkan oleh orang-orang yang membutuhkan
definisi ideologis kesatuan nasional sebagai substitusi bagi kesatuan politis. 26 Adanya
definisi-definisi bangsa secara organis naturalistik merupakan ciri menonjol ideologiideologi Jerman dan historisme Jerman.27 Maka, aliran pikiran nasionalisme
sosialis/sosialisme nasional (Nazi) merupakan varian khusus/berbeda dari ide negara
integralistik, kekhususan daripada sosialisme nasional tersebut, selain secara umum
sejalan dengan menerima esensi pemikiran gaib, mistik dan karismatik yang awalnya
berakar pada feodalisme abad ke-18, yakni melalui upaya memodifikasi standar-standar
kebangsawanan para aristokrat/bangsawan yang diperluas menjadi standar-standar
kebangsawanan bagi satu bangsa tanpa menghiraukan atomisasi status derajat sosial
dan/atau ekonomi individu-individu dalam satu bangsa tersebut.
Gerakan nasional sosialis dijadikan sandaran filsafat bagi gerakan Partai Sosialisme
Nasional (NSDAP) untuk melanggengkan tujuan Negara Jerman untuk Bangsa Jerman.
Adapun pikiran sosialisme nasional dipergunakan dengan mengandalkan kepada
persamaan darah dari ras bangsa Arya demi mengatasi segala hegemoni eksternal yang
mengancam keberadaan solidaritas internal negara tersebut. Aliran pikiran sosialisme
nasional menganggap begitu pentingnya kemurnian ras sebagai hukum alam paling dasar
yang mendorong berbagai macam spesies untuk tetap mempertahankan garis hidup
mereka dengan memperbanyak spesies mereka.28 Dalam hal ini, Soepomo begitu tergesagesa untuk memberikan pemahaman mengenai ide sosialisme nasional, artinya Soepomo
Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliterisme “Jilid II Imperialisme”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995),
hlm. 85.
27 Ibid.
28 Adolf Hitler, Mein Kampf “Volume I”, (Yogyakarta: Narasi, 2011), hlm. 304.

26

16

dengan tergesa-gesa belum begitu memahami apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan
negara Indonesia dengan begitu saja mengadopsi ide negara sosialisme nasional yang
dianggap cocok dengan aliran pikiran ketimuran. Ide sosialisme nasional justru
merupakan ide yang secara negatif mengandung makna destruktif terhadap keberadaan
ras bangsa lain (khususnya ras bangsa Yahudi). Soepomo dengan mentah-mentah telah
mejadi seorang ultra-nasionalis yang menganggap ras bangsa lain merupakan musuh
bersama yang mengancam keberadaan ras bangsa Indonesia sehingga melepaskan rasa
kemanusiaan di bawah rasa kebangsaaan Indonesia. Dengan demikian, mungkinkah
Soepomo menyadari bahwa bangsa Indonesia memang akan menjadi negara yang
berlandaskan pada ide sosialisme nasional, tentunya sudah barang tentu negara Indonesia
yang lahir dari bangsa Indonesia tidak akan pernah dilahirkan, sebagaimana Soepomo
mengatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia berdasarkan pada keturunan dan
territorial tentunya sudah tidak lagi sesuai dengan semangat sosialisme nasional bangsa
Jerman tersebut, jika melihat pada kehendak Soepomo yang menginginkan
kewarganegaraan pada dua aspek penting yakni, keturunan dan territorial yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan mendiami wilayahnya masing-masing, maka tentunya menjadi
hal yang sungguh mustahil tetap membangun negara Indonesia yang berdasar kepada
kemurnian ras.
Persoalan paling krusial yang membedakan konsepsi negara integralistik kesukuan
sosialisme nasional dengan pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945, yakni persoalan pengakuan kemanusiaan baik ke dalam, maupun
ke luar terhadap kedudukan martabat bangsa lain. Jika dalam konsepsi negara
integralistik kesukuan sosialisme nasional cenderung bersifat ekstrim ke dalam yang
hanya meliputi ras tertentu dengan mengabaikan martabat ras lain dan ekstrim ke luar
terhadap kedaulatan bangsa lain di suatu wilayah teritorial tertentu, maka sebaliknya
berbeda dengan konsepsi negara integralistik kemanusiaan Indonesia yang mengakui dan
menghormati ke dalam dan ke luar martabat bangsa lain karena dijiwai oleh ruh
kemanusiaan Pancasila (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945).
Rumusan pokok yang menjadi perbedaan mendasar antara negara integralistik
sosialisme nasional dengan negara integralistik Indonesia, sebagaimana dapat ditelusuri

17

melalui bunyi kalimat pada alinea ke-1 (satu) “Bahwa sesungguhnya kemeredekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Maksud dari
bunyi kalimat pada alinea pertama tersebut memiliki makna hak akan kemerdekaan yang
dimaksudkan adalah daripada segala bangsa, bukannya hak kemerdekaan daripada
individu, dan untuk mempertanggung jawabkan lebih lanjut, bahwa “penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan”, juga bukan hak kemerdekaan individu yang dipergunakan
sebagai dasar, akan tetapi “perikemanusiaan dan perikeadilan”, kedua-duanya pengertian
dalam arti abstrak dan hakekat. Ini sesuai juga dengan yang dimaksudkan dengan hak
kemerdekaan di dalam pernyataan, yang tidak diambil dalam arti realita, akan tetapi
dalam arti mutlak dan hakekat, yang dapat disimpulkan dari perkataan “sesungguhnya”
dalam bagian kalimat “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu. Dengan demikian
nampaknya pernyataan hak kemerdekaan dalam pembukaan ini lain daripada pernyataan
hak kebebasan di Inggris, di Amerika Serikat dan di Perancis dan bagi negara-negara lain
yang mengikutinya, yang menggunakan asas hak kebebasan perseorangan. Janganlah
sekali-kali lalu timbul anggapan, bahwa di dalam pernyataan hak kemerdekaan bangsa
daripada pembukaan tidak ada tempat bagi hak kebebasan perseorangan. Tidak demikian
halnya, akan tetapi perseorangan ditempatkan dalam hubungannya dengan bangsa, dalam
kedudukannya sebagai anggota bangsa dan sebagai manusia dalam kedudukannya
spesimen atas dasar atau dalam lingkungan jenisnya (genus), ialah perikemanusiaan.
Sebaliknya bukan maksudnya juga untuk menyatakan, bahwa perseorangan adalah
seolah-olah anggota bangsa, melulu penjelmaan jenis, akan tetapi seraya itu juga
merupakan diri sendiri dan berdiri pribadi. Kedudukan relasi itu lebih tegas lagi terletak
di dalam pemakaian “perikeadilan” sebagai alasan pertanggung jawab bagi tuntutan akan
penghapusan penjajahan. Barangkali sekiranya isi daripada pernyataan hak kemerdekaan
bangsa daripada pembukaan dapat disimpulkan demikian, bahwa tiap-tiap bangsa,
sebagai kesatuan golongan manusia yang merupakan diri dan berdiri pribadi, sesuai
dengan hakekat manusia yang demikian itu, mempunyai hak kodrat dan hak moril untuk
berdiri pribadi atau hidup merdeka. Di mana ada bangsa yang tidak merdeka, maka yang
demikian itu bertentangan dengan kodrat hakekat manusia, dan ada wajib kodrat dan

18

wajib moril. Bagi pihak penjajah pada khususnya, untuk menjadikan merdeka atau
membiarkan menjadi merdeka bangsa yang bersangkutan.29
Rumusan pokok di atas mencerminkan dengan jelas, bahwa negara integralistik
Indonesia memang sangat menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, baik ke dalam
maupun ke luar sebagai individu dan/atau bangsa. Lain halnya dengan konsepsi negara
integralistik kesukuan sosialisme nasional yang menjunjung tinggi kedaulatan bangsanya
sendiri dengan merendahkan martabat bangsa lain yang terwujud melalui ekspansiekspansi tanpa perikemanusiaan terhadap bangsa lain melalui politik imperialisme.
Kemudian, apabila kembali diperhatikan secara seksama mengenai pandangan negara
integralistik Soepomo terkait dengan jiwa kebangsaan bangsa Indonesia yang tidak hanya
berlaku ke dalam, akan tetapi juga mampu menjangkau ke luar dalam wujud kebangsaan
yang menghargai keberadaan martabat bangsa lain yang berupa kemanusiaan, sejalan
dengan apa yang telah diutarakan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juli yang
diyakini sebagai hari lahirnya philosophie grondslag atau weltanschauung negara Indonesia,
yakni ideologi Pancasila. Dalam hubungan ini, pandangan negara integralistik Indonesia
dengan Pancasila telah melahirkan varian khusus/berbeda negara integralistik Indonesia
Pancasilais. Salah satu ide dasar negara Indonesia mengenai paham kebangsaan tersebut,
Soekarno menyatakan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari
banyak suku senantiasa tetap memperhatikan cita rasa kebangsaan dalam pergaulan
internasional. Adapun secara lengkap sebagai berikut: 30
… prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang
meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia uber
Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah-air yang satu, merasa berbangsa yang satu,
mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian
kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland
uber Alles”, …, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan
termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus meuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
29
30

Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988), hlm. 42-44.
RM. A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 160.

19

Dengan demikian, maka sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa sosialisme
nasional sebagai gerakan politik yang mensandarkan ideologinya kepada ide negara
integralistik secara umum memanglah tidak dapat dipungkiri kembali, sosialisme nasional
sebagai gerakan politik dalam ide negara integralistik memiliki kedudukan yang lebih
tinggi ketimbang negara, hal ini terjadi karena Nazi sebagai gerakan politik
mengidentifikasikan negara sebagai bangsa, bukan sebagai warga negara. Relevansi ide
negara integralistik itu sendiri yang dikatakan sesuai dengan ide bernegara Indonesia
justru merupakan pemahaman yang tidak sepenuhnya diterima benar ataupun keliru,
demikian konsepsi negara integralitik sebagai identifikasi bangsa hanya pernah
diberlakukan dengan penuh di Indonesia ketika dalam usaha untuk memulihkan
kedaulatan bangsa Indonesia seluruhnya baik yang meliputi tanah dan tumpah darah dari
penjajahan bangsa asing.
3. Apakah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejalan dengan
pandangan negara integralistik Indonesia dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Berkaitan dengan konsepsi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dapat langsung diselami melalui bagian Pembukaan yang kedua, ialah pernyataan tentang
perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dirumuskan “Dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Apa yang dimaksud dengan Negara
Indonesia, yang “bersatu”, barang sekiranya ada beberapa kemungkinan, ialah pertama
sesuai dengan pernyataan kemerdekaan, bahwa bangsa itu dimaknakan sebagai
pengertian kesatuan, maka Bangsa Indonesia harus merupakan satu Negara dan tidak
terpecah di dalam negara-negara yang berfederasi. Kemungkinan arti ini terbukti dengan
tidak dimuatnya redaksi dari bagian kedua di dalam Mukaddimah Konstitusi Republik
Indonesia Serikat, kemudian dicantumkan lagi di dalam Mukaddimah Undang-Undang
Dasar Sementara daripada Negara Kesatuan sekarang. Kemungkinan kedua ialah, bahwa
seperti dicantumkan dalam bagian keempat “Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Di dalam penjelasan resmi, termuat

20

dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 ditegaskan, bahwa dipakai “aliran
pengertian Negara Persatuan … jadi Negara mengatasi segala paham golongan,
mengatasi segala paham perseorangan”. Kemungkinan ketiga bagi maksud daripada
Negara Indonesia yang “bersatu”, ialah bahwa seluruh Bangsa Indonesia termasuk di
dalam lingkungan daerah negara, tidak ada sebagian bangsa yang berada di luarnya.
Apabila disimpulkan, maka isi daripada bagian Pembukaan yang kedua ini ialah, bahwa
Bangsa Indonesia di dalam terpaksa berjuang untuk merealisir hak kodrat dan hak
morilnya akan kemerdekaan, atas kekuatan sendiri akan berhasil membentuk Negara
Indonesia, yang dicita-citakan mempunyai sifat-sifat tertentu. Pertama, negara yang
sungguh bebas dan baik di dalam negara sendiri maupun terhadap negara-negara lain
berdiri pribadi dengan menguasai seluruhnya diri sendiri. Kedua, negara yang berasas
persatuan, baik dalam bentuknya maupun dalam keutuhan bangsa, ialah meliputi dalam
keutuhan bangsa, ialah meliputi seluruh bangsa dalam batas-batas daerah negara,
dukungan oleh seluruh rakyat dan memelihara kepentingan seluruh rakyat dalam
pertalian kekeluargaan atau kerjasama, gotong royong, dengan berdasarkan atas sifat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial kedua-duanya. Ketiga, negara yang
berpedoman dan melaksanakan keadilan dalam seluruh lingkungan dan tugas negara
negara, baik di dalam negara maupun terhadap dunia luar. Keempat, negara yang menjadi
tempat hidup bagi seluruh rakyat, di mana tiap-tiap orang dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik yang ketubuhan maupun yang kerohaniaan, yang layak bagi
kemanusiaan.31
Meskipun semenjak itu, Soepomo tidak lagi menggunakan kosakata negara
integralistik, akan tetapi saripati ide negara integralistik tersebut tersirat di dalam pokokpokok pikiran sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Soepomo dan termaktub dalam
pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Justru Soepomo dianggap dengan adanya
perubahan pandangan tersebut telah menggali juga ide negara Pancasila yang pernah
disampaikan oleh Soekarno pada pidatonya di tanggal 1 Juni 1945. Mengapa demikian,
karena pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Soepomo memilki kesamaan ide
dengan philosophische grondslag atau weltanschauung (ideologi) yang diutarakan oleh Soekarno.
31

Notonagoro, op. cit., hlm. 47-50.

21

Dalam pokok pertama “… pemerintah yang melindungi segenap …” senafas dengan
prinisip pertama “Kebangsaan Indonesia”, pokok pikiran kedua “Negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” senafas dengan prinsip keempat
“Kesejahteraan Sosial”, pokok pikiran ketiga “Negara yang berkedaulatan rakyat …”
senafas dengan Mufakat atau Demokrasi, pokok pikiran keempat “Negara berdasar atas
Ketuhanan” senafas dengan prinisp kelima “Ketuhanan”, dan pokok pikiran “Negara
yang berdasar atas hidup kekeluargaan …” atau “ … dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab” senafas dengan prinsip kedua ”Internasionalisme atau Perikemanusiaan”.
Ide negara integralistik sejatinya memang bebar-benar termaktub keberadaannya
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, khususnya dalam Mukaddimahnya tersebut.
Ide negara integralistik menghendaki prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), sebagaimana Nasionalisme Indonesia yang dinyatakan pada mukaddimah dari
UUD 1945 ini ialah nasionalisme-kesatuan (unitarisme) dan bukanlah nasionalismefederalisme.32 Dalam teori tata negara, negara kesatuan atau negara unitaris adalah negara
yang tidak tersusun dari beberapa negara (federalis). Wewenang bersifat tunggal dipegang
oleh pemerintah pusat, dan tidak ada badan lain yang berdaulat. Kewenangan pemerintah
pusat seperti itu dapat didistribusikan ke daerah-daerah dalam bentuk desentralisasi.
Alasan founding fathers memilih negara kesatuan lebih bersifat ideologis ketimbang teknis
administratif. Mohammad Yamin, misalnya, menganggap negara serikat sebagai negara
yang tidak kuat dan mengandung aroma negara kapitalis. 33
… federalisme itu akan memberi bahan untuk melepaskan perasaan provincialisme,
yang boleh timbul oleh pembentukan negara serikat itu. Janganlah kita member
persemaian pada benih-benih jelek yang telah ada, melainkan mestilah kita bunuh
dalam gerakan kita, karena provincialisme, kampongisme, insularisme atau rasa
kepulauan tidak ada lagi tempatnya di negeri kita. 34
Pernyataan Yamin memperlihatkan dengan jelas bahwa bentuk negara federal atau
serikat bertolak belakang dengan semangat nasionalisme atau persatuan Indonesia.
Dengan demikian, negara kesatuan lebih bermakna ideologis. Makna negara kesatuan
disejajarkan dengan gagasan satu bangsa, satu tanah, dan satu tumpah darah Indonesia.
32

Muh Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1952), hlm. 114.
As’ad Said Ali, Negara Pancasila “Jalan Kemaslahatan Berbangsa”, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009),
hlm. 110.
34 RM. A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 282.
33

22

Itu berarti, secara ideologis mewujudkan “negara kesatuan” sama dengan mewujudkan
satu kesatuan sebagai satu bangsa dan satu negara.35
Meskipun Pancasila dinyatakan hidup dan menjiwai di tiga konstitusi