Konstelasi dan Kontestasi Logika Hukum u



Konstelasi dan Kontestasi Beberapa Logika Hukum untuk Pengakuan Hak Masyarakat
Adat Pasca Putusan MK 35 Tahun 2012
Oleh:
R. Yando Zakaria1

Pengantar
Sejak awal Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia telah mengakui hak-hak
masyarakat (hukum) adat, sebagaimana yang tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum
amandemen), yang dipertegas kembali dalam Pasal 18B ayat 2 (setelah amandemen pada
tahun 2000) (Zakaria, 2012). Meski begitu, bagaimana persisnya amanat konstitusi itu
diwujudkan pada tataran yang lebih operasional tetap saja belum terlalu jelas adanya. Salah
satu alasan yang mengemuka dalam wacana publik soal ini adalah bahwa rumusan pasal
dimaksud dinilai masih terlalu abstrak dan juga masih mengandung kondisionalitas tertentu
yang dianggap akan mementahkan upaya pengakuan itu sendiri (Simarmata, 2006). Tak heran
jika yang terjadi adalah pengingkaran dan/atau pelanggaran atas amanat konstitusi ini.
Politik hukum pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat yang demikian itu sepertinya
mulai berubah sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan beberapa putusannya sejak tahun
2003 lalu. Melalui beberapa putusannya itu Mahkah Konstitusi telah merumuskan kriteria dan
kondisionalitas yang lebih pasti. Begitu juga tentang mekanisme pengakuannya. Lebih dari itu,

melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 kriteria dan kondisionlitasnya itu
telah digunakan Mahkamah Konstitusi untuk menilai legal standing dua komunitas masyarakat
adat, yang ternyata bisa memenuhinya. Artinya, pengaturan oleh Mahkamah Konstitusi tidak
lagi bersifat abstrak melainkan sudah operasional.
Ketetapan tentang kriteria dan kondisionalitas ini penting, seperti telah disinggung tadi, karena
dua topik ini telah menjadi topik diskusi yang berkepanjangan yang secara tidak langsung turut
membuat amanat konstitusi itu tidak kunjung diimplementasikan di tingkat lapangan (Zakaria,
2014).

Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta. Email:
r.y.zakaria@gmail.com; mini-blog: independent.academia.edu/YandoZakaria
1



1


Hingga tahun 2012 lalu, setidaknya ada 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan
penetapan kriteria dan kondisionalitas pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu. 2

Setelahnya, telah pula hadir beberapa peraturan perundang-undangan yang coba
menurunkannya ke dalam kebijakan yang lebih operasional.
Tulisan ini akan coba menguraikan logika hukum yang dikandung dalam berbagai Putusan
Mahkamah itu, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 dan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung merupakan turunan dari
Putusan Mahkamah itu. Dengan uraian dimaksud diharapkan para-pihak dapat menilai
dinamika pengakuan dan perlindungan masyarakat adat setelahnya, dan secara bersamasama menemukan jalur alternatif ke depan.
Logika Hukum Putusan MK 35 Tahun 20123
Pada intinya, melalui putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi itu mengatur ada 3 kriteria
(utama) yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat hukum adat agar keberadaannya diakui,
lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas (kriteria turunan) yang perlu dipenuhi
dalam menilai masing-masing keterpenuhan ketiga kriteria (utama) itu. Rinciannya adalah
sebagaimana tercantum pada Tabel .. berikut.


2 Masing-masing adalah (1) Keputusan No. 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten
Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; (2) Keputusan No. 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; dan (3) No. 6/PUUVl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol,

Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
3 Putusan MK 35 Tahun 2012 adalah Putusan MK terhadap judicial review yang diajukan AMAN dan dua
komunitas masyarakat hkum adat. Tidak semua tuntutan AMAN dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Tuntutan
AMAN yang ditolak, antara lain, tentang pemberlakuan prinsip self to determination (yang dianggap Mahkamah
bersifat separatis) dan tentang pengakuan bersayarat yang dianut dalam peraturan perundang-undangan terkait.
Bahasan yang relatif komprehensif tentang Putusan MK 35 Tahun 2012 ini lihat Arizona, Herawati, dan Cahyadi
(2012). Bahasan tentang serangkaian pekerjaan rumah agar putusan efektif bagi perbaikan kehiduapan
masyarakat adat, dapat pula dilihat pada 7 (tujuh) tulisan yang termuat dalam WACANA, Jurnal Transformasi
Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan
Hutan”. Yogyakarta: Indonesia Society for Social Transformation.



2


Tabel 1
Tiga%Kriteria%Utama%dan%Kondisionalitas%Pengakuan%Keberadaan%
Masyarakat%(Hukum)%Adat%
Tiga%kriteria%MHA%


Penjelasan%tentang%kondisionalitasnya%(indikator%penjelas)%

(1)  Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
secara%nyata%masih%hidup,%baik%
yang%bersifat%teritorial,%
genealogis,%maupun%yang%
bersifat%fungsional%

(MHA%Teritorial%atau%gabungan)%=%Memliiki%wilayah%yang%diakui%
sebagai%wilayah%adat%atau%ulayat%
masyarakat%yang%warganya%memiliki%perasaan%bersama%dalam%
kelompok%
pranata%pemerintahan%adat%
harta%kekayaan%dan/atau%benda%adat%
perangkat%norma%hukum%adat%

(2)%%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%

dipandang%sesuai%dengan%
perkembangan%masyarakat%
%

keberadaannya%telah%diakui%berdasarkan%undangEundang%yang%
berlaku%%

(3)%%Kesatuan%masyarakat%hukum%
adat%beserta%hak%tradisionalnya%
sesuai%dengan%prinsip%Negara%
Kesatuan%Republik%Indonesia%

Fdak%mengancam%kedaulatan%dan%integritas%Negara%Kesatuan%
Republik%lndonesia%

substansi%hak%tradisional%tersebut%diakui%dan%dihormaF%oleh%warga%
kesatuan%masyarakat%yang%bersangkutan%dan%masyarakat%yang%lebih%
luas%serta%Fdak%bertentangan%dengan%hak%asasi%manusia%

substansi%norma%hukum%adatnya%sesuai%dan%Fdak%bertentangan%

dengan%ketentuan%peraturan%perundangEundangan%

Dalam pada itu, kerangka berfikir yang ada pada Putusan MK 35 Tahun 2012, kebijakan
tertinggi dan termutakhir yang berkaitan dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat (hukum)
adat sebagaimana yang diamatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia Pasal 18B
ayat 2, jika disederhanakan adalah sebagai berikut: ‘hutan adat bukan hutan negara; hutan
adat adalah bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat;4 hak masyarakat adat
diakui jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (menurut
kriteria dan kondisionalitas yang telah disebutkan pada Tabel 1 di atas)’.
Dengan putusan ini banyak pihak percaya bahwa situasi menjadi lebih pasti dengan
munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dan
seterusnya. Keistimewaan Putusan yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa
Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang
diperlukan, melainkan sekaligus menggunakan kriteria dan kondisionalitas itu dalam menilai
legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama
AMAN.
Maka, menurut saya, alih-alih masih menperdebatkan kriteria dan kondisionalitasnya, berbagai
komunitas adat yang hendak diakui haknya dapat saja mengikuti langkah-langkah yang telah
dilakukan kedua komunitas adat yang mengajukan judicial review itu. Yakni mengumpulkan


Dalam perjuangan pembelaan hak-hak masyarakat adat itu, titik masuk yang sering digunakan adalah upaya
pengembalian hak-hak masyarakat adat yang bersangkutan, termasuk tanah ulayat. Hak adat sendiri dapat
dikatakan merupakan hak-hak sebagaimana yang diatur oleh adat dan hukum adat yang bersangkutan, dalam
kaitannya dengan kehadiran persekutuan politik yang disebut ‘negara’.
4



3


data-data yang ‘serupa tapi tak sama’, agar keberadaan komunitas adat dimaksud terverifikasi
adanya.
Tapi, persoalannya, apakah sudah benar logik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun
2012 tersebut? Mari kita coba kaitkan ketentuan yang demikian itu pada kasus hutan adat
yang dapat saja berupa dan/atau berada pada tanah ulayat orang Minangkabau di Sumatera
Barat. Subyek hak atas obyek hak yang berupa tanah ulayat itu sangatlah beragam, yakni
kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari. Demikian pula, jenis tanah ulayat juga sangat
beragam. Yakni tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat nagari. MAsingmasing punya sistem pertuanannya sendiri-sendiri dan tidak saling mencampuri (Franz von
Benda-Beckmann (2000); K. von Benda-Beckmann (2000); Warman (2010).

Pertanyaannya kemudian adalah, jika menggunakan logika hukum Putusan MK 35/2012,
apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah -- dan/atau sekedar Keputusan Gubernur atau
Bupati/Walikota -- untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, atau pun nagari, agar masingmasing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang berupa tanah-tanah ulayat) dapat diakui
oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’,
maka bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan DPRD dan/atau Pemerintah
Daerah di negeri ini untuk bisa memenuhi amanat konstitusi.
Logika Hukum Peraturan perundang-undangan pengakuan hak masyarakat adat pasca
Putusan MK 35 Tahun 12
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 terdapat 5 (lima) perangkat
peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan utuk memperoleh pengakuan hak-hak
masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, diurut berdasarkan tahun
penetapannya:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
3. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan
Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Noor 79 Tahun 2014;
Nomor PB.3/Menhut-11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014
tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan




4


Hutan;5
4. Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; 6 dan
5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang
Hutan Hak.
Berikut rincian pengaturan masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa versus Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Seperti halnya Putusan MK 35/2012, UU Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa tidak
mengandung definsi tentang masyarakat hukum adat. Meski begitu, melalui undang-undang
ini, pengakuan atas hak-hak masyarakat adat diejawantahkan ke dalam nomenklatur desa

adat. Desa adat, sebagaimana halnya desa pada umumnya, adalah “adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1, (1)). Dengan pengaturan ini
maka masyarakat hukum adat memiliki hak untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dan
pembangunan menurut adat-istiadat yang dikenal dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.


Kebijakan ini muncul diujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Pada saat birokrasi
pemerintahan Presiden Joko Widodo terbentuk, termasuk tersusunya pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang baru, kebijakan ini dibekukan. Sebabnya, ada beberapa pasal yang tidak disetujui oleh pejabat di
Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, intrumen kerja seperti dikerjakan sendiri oleh pihak
Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Jalan tengahnya, ada kesepakatan bersama kebijakan ini
direvisi dan akan ditingkatkan status hukumnya menjadi Peraturan Presiden. Pada tengah tahun 2016 ini, naskah
revisi telah selesai dan konon telah sampai di meja Presiden untuk ditandatangani. Namun, hingga tulisan ini
tersusun (Desember 2016), kebijakan baru itu belum muncul juga.
6 Pertengahan Juni 2016 Permenag ATR 10/2016 muncul untuk menggantikan Permen ATR 9/2015. Peraturan
Menteri ATR No. 9/2015 merupakan pengganti Permenagraria 5/1999, yakni intrumen hukum pertama yang

memberikan pedoman dalam pengakuan hak-hak masyarakat hukum ada. Dalam hal ini adalah hak atas tanah.
Namun kebijakan ini tidak efektif (Rachman, et.al., 2012). Masalah lain, meski prosedur pengakuan yang ada
pada Permen ATR 9/2015 tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam Permenagraria 5/1999, kebijakan baru ini
seperti menghapus nomenklatur ‘hak ulayat’ dalam wacana hukum pertanahan di Indonesia. Hal ini telah memicu
problema baru, sebagaimana yang dibahas oleh Soemardjono (2015). Kritik yang sama kembali disampaikan
untuk menyambut Permanag ATR 10 Tahun 2016 (Sumardjono, 2016). Menurut Soemardjono kebijakan baru ini
masih perlu disempurnakan.
5



5


Masyarakat hukum adat yang bisa ditetapkan sebagai desa adat itu adalah masyarakat hukum
adat yang memenuhi syarat-syarat berikut (Pasal 97, (1)):
a.

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih
hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

b.

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai
dengan perkembangan masyarakat; dan

c.

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, menurut Pasal 92 (2), kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakny
tradisionalnya yang masih hidup, sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 (1), huruf a harus
memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:7
a.

masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

b.

pranata pemerintahan adat;

c.

harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

d.

perangkat norma hukum adat.

Pada Pasal 93 (3) dinyatakan bahwa “Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila:
a.

keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai
pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa
ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

b.

substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan
masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia.

Berikutnya, pada Pasal 97 (4), dinyatakan bahwa “Suatu kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak

Dengan demikian, berbeda dengan peraturan perundang-undangan lainnya, UU Desa memperlakukan
pemenuhan persyaratan ini secara fakultatif (cukup memenuhi sebagian) dan bukan bersifat akumulatif (harus
memenuhi semuanya). Putusan MK 35 Tahun 2012 maupunn berbagai Putusan-putusan Mahkamah terdahalu,
tidak secara langsung mengatur ini. Strategi pemenuhan fakultatif ini sesuai dengan pandangan Prof. Dr. Jimlu
Assiddiqqi, ahli hukum tata negara, dalam salah satu bukunya (2006).

7



6


mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan
politik dan kesatuan hukum yang :
a.

tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia;
dan

b.

substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pada Pasal 98 diatur pula bahwa:
(1)

Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2)

Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan

Pembangunan

Desa,

pembinaan

kemasyarakatan

Desa,

serta

pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.
Dengan demikian, UU Desa menempuh cara yang berbeda dengan peraturan perundangundangan yang lain, termasuk UU 41 Tahun 1999, satu-satunya peraturan perundangundangan setingkat undang-undang sebelum lahirnya Putusan MK 35 Tahun 2012 yang telah
mengatur mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat itu.8
Sebagaimana diketahui, Pasal 67 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur telah
kriteria, kondisionalitas, dan mekanisme yang perlu dipenuhi oleh masyarakat hukum adat agar
hak-haknya atas hutan adat diakui. Pasal 67 itu selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Masyarakat hukum adat yang sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak :
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari
masyarakat adat yang bersangkutan;

8 Setidaknya ada 2 (dua) UU lain yang juga telah mengatur proses pengakuan atas keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pesisi dan Pulau-pulau Kecil
dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup. Namun
tidak saya kaji dalam tulisan ini karena tulisan ini dengan sengaja hanya membahas peraturan perundangundangan yang muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32 Tahun 2012 saja, sebuah pijakan paying
yang mesti dipedomani pada masa-masa setelahnya. Untuk mengetahui soal pengaturan tenang masyarakat adat
pada kedua undang-undang dimaksud silahkan taut ke
https://www.academia.edu/6275863/Perbadingan_Definisi_dan_Kriteria_Pengakuan_Keberadaan_Masyarakat_H
ukum_Adat_pada_Beberapa_Peraturan_Perundang-Undangan



7


b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.9
Meski termasuk materi gugatan AMAN dan kawan-kawan dalam melakukan judicial review
terhadap UU Kehutanan tempo hari, Pasal 67 ini tetap berlaku, dan malah dikukuhkan.
Permohonan AMAN agar Mahkamah menggugurkan pasal ini ditolak.
Dalam pada itu, jika pemerintahan desa adat dapat didirikan, yakni desa adat yang dapat
memenuhi sejumlah syarat yang telah ditentukan pada Pasal 98 (2), maka desa adat itu akan
memiliki kewenangan yang tidak dimiliki oleh desa non-adat.10 Sebagaimasa diatur pada Pasal
103, kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan
penyelesaian secara musyawarah;

Meski sama-sama mengamanatkan Peraturan Daerah, pengaturan lebih jauh yang amanatkan perlunya
Peraturan Pemerintah ini perbedaan lain antara UU Desa 6/2016 dengan UU Kehutanan 41/1999. Selain itu, perlu
pula dicatat bahwa walau sama-sama mengamanatkan penetapan keberadaan melalui peraturan daerah,
pengaturan oleh UU Desa 6/2014 terlihat lebih logis ketimbang UU Kehutanan 41/1999. Sebab, UU Desa 6/2014
memang mengatur hak publik dari masyarakat hukum adat itu, sedangkan UU Kehutanan 41/1999 sebenanrnya
hanya mengatur hak perdata, baik perorang maupun kelompok, dari masyaeaar adat itu. Lebih lanjut lihat Zakaria
(2016), sebagaimana yang dapat diakses pada
https://www.academia.edu/23078865/Strategi_Pengakuan_Hak_Masyarakat_Adat_Perspektif_Sosio-antropologis
10 Pasal 98 (2) sendiri berbunyi: “Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana
prasarana pendukung”.
9



8


e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f.

pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan

g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.
Jika berbagai peraturan perundang-undangan non-UU Desa 2014 itu menggunakan
pendekatan pemenuhan syarat secara akumulatif, sebagaimana akan dijelasakan dalam
bagian-bagian di bawah, UU Desa 2014 cukup dengan ketentuan yang bersifat fakultatif
(pemenuhan sebagian kriteria saja). Di atas kertas pemenuhan ketentuan ini jauh lebih mudah
ketimbang pendekatan yang bersifat akumulatf yang memang agak tidak mungkin untuk dapat
dipenuhi (Bedner & Huis, 2008). Dengan menggunakan peraturan daerah sebagai instrumen
hukumnya, diharapkan penetapan suatu masyarakat (hukum) adat sebagai suatu desa adat
sebagaimana diatur oleh UU Desa 2014 syarat yang ditentukan pada Pasal 67 UU 41/1999
tentang Kehutanan itu sekaligus dapat dipenuhi.


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Meskipun UU Desa 6/2014 disebutkan pada bagian Mengingat (butir 3.), Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut Pemendagri 52/2014, mengandung kriteria dan
mekanisme pengakuan keberadaan suatu masyarakat hukum adat yang berbeda sama sekali.
Dalam Permendagri 52/2014 ini masyarakat hukum adat didefenisikan sebagai “Warga Negara
Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum
adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat
hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah
tertentu secara turun temurun”.11

Defenisi ini sangat menyimpang dari defenisi-defenisi yang pernah ada dalam berbagai peraturan perundangundangan yang pernah ada selama ini, yang seluruhnya bersifat kelompok, tidak individual sebagaimana yang
umum ditafsirkan dari terma warga negara (lihat Zakaria, 2014, loc.cit.). Kecuali jika disebutkan ‘warga negara,
baik perorang maupun kelompok’, sebagaimana yang ditempuh oleh undang-undang …
11



9


Pada Pasal 4 diatur bahwa: Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:
a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat
Sebagaimana yang diatur pada Pasal 5 (2), identifikasi dimaksud dilakukan dengan
mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. wilayah Adat;
c. hukum Adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.12
Menurut Pasal 5 (3), “Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota”.
Kemudian, sebagaimana diatur pada Pasal 6:
(1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi kepada
Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (4).
(2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan
Kepala Daerah.


Sayangnya, tdak ada sumberterulis yang dapat menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan terma
‘mencermati’ yang ada dalam pasal ini. Dalam beberapa kali diskusi – formal & informal – dengan beberapa orang
dari Kementerian Dalam Negeri, saya menyimpulkan bahwa 5 hal yang disebut dalam PAsal 5 (2) ini adalah halhal yang harus dipenuhi secara akumulatif dalam menentukan apakah suatu masyarakat hukum adat benar-benar
adat atau tidak.
12



10


(3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota,
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan
Bersama Kepala Daerah.
Yang menarik untuk dicatat lebih lanjut dari keberadaan Permendagri 52/2014 ini adalah
bahwa, berbeda dari berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bersifat sektoral,
Permendagri 52/2014 ini dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang lebih umum. Pada bagian
Menimbang, butir a. disebutkan bahwa “dalam rangka mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu
pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat”. Sepertinya kebijakan ini ingin
menjembatani kekosongan yang terkuak antara amanat konstitusi cq. Putusan MK 35/2012
dan peraturan pelaksanannya. Permendagri 52/2014 memang diawali dengan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 522/8900/SJ tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat,
yang memang dimaksudkan untuk menindak-lanjuti Putusan MK 35/2012.13


Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan
Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Noor 79 Tahun 2014;
Nomor PB.3/Menhut-11/2014; Nomor 17/PRT/M/2014; dan Nomor 8/SKB/X/2014
tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan
Hutan

Peraturan Bersama ini, demikian kebijakan ini akan disebut, memang dimaksudkan untuk
menindaklanjuti berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak masyarakat hukum
adat. Dalam bagian menimbang disebutkan bahwa, ketiga Putusan Mahkamah yang dirujuk,
masing-masing adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011; Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-X/2011; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, dinyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara harus memperhatikan dan
menghormati hak-hak atas tanah masyarakat; pengukuhan Kawasan Hutan hasrus segera
dituntaskan untuk menghasilkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan;
dan hutan adat bukan merupakan hutan negara.


Meski begitu, seiring dengan budaya hukum di Indonesia yang masih sangat sektoral dan hadirnya berbagai
kebijakan lain yang berkaitan dengan pengakuan hak-hak masyarakat di bidang agraria dan kehutanan, misalnya,
keberadaan Permedagri 52/2012 ini mengandung sejumlah persoalannya tersendiri. Tentang hal ini silahkan lihat
Zakaria, 2016, loc cit.
13



11


Pada bagian Menimbang ini juga disebutkan bahwa ‘dalam rangka menyelesaikan hak-hak
masyarakat dalam kawasan hutan sepanjang masih menguasai tanah di kawasan hutan serta
sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat’. Selanjutnya, pada Pasal 1 (7) disebutkan bahwa ‘pemohon
(hak atas tanah di kawasan hutan, pen.) adalah orang per orangan, pemerintah, badan
sosial/keagamaan, masyarakat hukum adat yang memiliki bukti hak atas tanah atau bukti
penguasaan tanah oleh pemohon (cetak miring ditambahkan, pen)’. Pada Pasal 1 (12)
disebutkan pula bahwa ‘pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah pengakuan
pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang pada
kenyataannya masih ada, (cetak miring ditambahkan, pen.).
Pada Pasal 2 (1) diatur bahwa ‘dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah
yang beradi di dalam kawasan hutan di kabupaten/kota, Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T’
(Tim Inventarisasi Pendataan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah,
pen.). Sedangkan untuk penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di
daerah lintas kabupaten/kota, Tim IP4T dibentuk oleh Gubernur (Pasal 3, (1)). Selanjutnya,
pada Pasal 9, diatur pula bahwa ‘pengakuan hak masyarakat hukum adat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Peraturan bersama ini tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan yang mana yang
dimaksudkan. Kemungkinan yang tersedia ada 2 (dua). Yakni UU Kehutanan 41/1999 yang
terlah diuraikan di atas atau Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.


Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu

Sebelum menjelaskan isi Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun
2011, mungkin ada baiknya diuraikan dulu kebijakan lain yang mendahului. Pada dasarnya
kebijakan ini berakar pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, selanjutnya disebut Permenagraria 5/1999. Ini adalah kebijakan
pertama semenjak penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria yang memang mengandung beberapa klausul yang mengatur pengakuan tanah ulayat.



12


Dalam Permenagraria 5/1999 ini, hak ulayat atau yang serupa itu dirumuskan sebagai “ …
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan” (Pasal 1
ayat 1). Selanjutnya, padal ayat (2) dikatakan bahwa “tanah ulayat adalah bisang tanah yang di
atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”. Sedangkan
masyarakat hukum adat dodefenisikan sebagai “sekelompok orang yang terikat oleh tatatnan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan” (ayat 3).
Pada bagian selanjutnya diatur pula bahwa, Pasal 2 (2), “hak ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila:
a. terdapat kelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Kebijakan ini juga mengatur soal penentuan masih adanya hak ulayat. Pada pasal 5 (1)
dinyatakan bahwa “penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum
adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah bersangkutan, lembaga swadaya
masyarakat dan instansi-instnasi yang mengelola sumberdaya alam”, sebagaimana yang akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah (Pasal 6).
Meskipun tidak ada pernyataan yang eksplisit, dalam prakteknya, pemberlakuan syarat-syarat
sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 2 (2) adalah bersifat akumulatif (harus terpenuhi
keseluruhannya). Demikian pula, berkembang pula tafsir bahwa hasil kajian yang dimaksudkan
oleh Pasal 5 (1) perlu dituangkan ke dalam peraturan daerah ataupun Surat Keputusan Bupati.



13


Sebagaimana yang telah disebutkan, Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10
Tahun 2016 adalah kebijakan pengganti Permenagraria 5/1999. Hal ini terbaca jelas pada
Pasal 18 dari Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 yang
mendahului kehadiran Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun 2016
itu. Pada pasal itu dinyatakan bahwa “Pada saat Peraturan ini mulai berlaku Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Bandan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”.
Pada bagian Menimbang butir a. Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10
Tahun 2016 dinyatakan bahwa “bahwa untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat dan
hak masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, yang menguasai tanah dalam jangka
waktu yang cukup lama perlu diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya pada Pasal 2 (1) dinyatakan “masyarakat
hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan haknya atas tanah”. Lebih lanjut,
pada Pasal 4 (1) diatur pula bahwa “Persyaratan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 (1) meliputi:
a. masyarakat masih adat dalam bentuk paguyuban;
b. ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas; dan
d. ada pranata dan perangkat hukum, yang masih ditaati.
Selanjutnya, pada Pasal 5 (3) diatur pula bahwa “setelah menerima permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk Tim IP4T untuk
menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam
Kawasan Tertentu serta tanahnya”.14 Pada Pasal 18 (1) dinyatakan bahwa “Dalam hal laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 (hasil kajian Tim IP4T, pen.) menyatakan adanya
Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya, maka:
a. Bupati/Walikota menetapkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan tanahnya,
dalam hal tanah terletak pada 1 (satu) Kabupaten/Kota; atau
b. Gubernur menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat, dalam hal tanah terletak
pada lintas kabupaten.

Proses dan unsur Tim IP4T sebagaimana dimaksudkan oleh kebijakan ini relative sama dengan proses dan
unsur Tim IP4T yang ada dalam Peraturan Bersama terdahulu.
14



14


Pada Pasal 18 (2) dinyatakan pula bahwa “Penetapan Masyarakat Hukum Adat melalui
Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor Wilayah BPN untuk ditetapkan dan
didaftarkan hak komunal atas tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat”.
Dengan demikian, pengaturan pada Permen ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10
Tahun 2016 ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Permenagraria 5/1999. Berbeda
dalam hal kriteria yang digunakan, jenis hak yang diakui, dan logika pengakuan hak atas tanah
yang memerlukan penetapan subyek hak terlebih dahulu.


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang
Hutan Hak.

Kebijakan ini memiliki definisi tentang masyarakat hukum adat. Yakni, “Masyarakat Hukum
Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,
dan hukum” (Pasal 1 (11))
Selanjutnya pada pasal Pasal 4 (1) dikatakan bahwa “Masyarakat hukum adat, perseorangan
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok atau badan hukum
mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri”. Pada ayat (7)
dikatakan bahwa “Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan hutan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri bersama pemerintah daerah melakukan
identifikasi dan verifikasi masyarakat adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan
hutan untuk mendapat penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat.” Pada Pasal 6 (1)
diatur pula bahwa syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi:
a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah
daerah melalui produk hukum daerah;
b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan;
c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan wilayah adatnya
sebagai hutan adat.
Pada Pasal 6 ayat (2) dinyatakan “Dalam hal produk hukum daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a tidak mencantumkan peta wilayah adat, Menteri bersama-sama



15


pemerintah daerah memfasilitasi masyarakat hukum adat melakukan pemetaan wilayah
adatnya”.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa meski kebijakan ini, sebagaimana dapat dilihat pada
Pasal 6 (1) butir a., keberadaan suatu masyarakat hukum adat atau hak ulayat perlu dibuktikan
melalui produk hukum daerah, kebijakan ini tidak mengatur khusus tentang kriteria yang perlu
dipenuhi dalam memproses adanya kebijakan dan/atau produk hukum daerah dimaksud.
Menarik untuk dicatat bahwa meski Permen LHK 32 Tahun 2015 ini dalam bagian konsiderans
tetap merujuk pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengaturan tentang keberadaan
masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur pada Pasal 6 (1) butir a. tersebut tidak
sesuai dengan pengaturan yang ada pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu sendiri.
Sebab, pada Pasal 67 (2) UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas dinyatakan
bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan
Peraturan Daerah”. Lebih dari itu, pada Pasal 67 (3) dinyatakan pula bahwa “Ketentuan lebih
lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Adapun Peraturan Pemerintah dimaksud hingga hari ini belumlah tersedia.15
Perbedaan pengaturan antara Permen LHK 32 Tahun 2015 ini harus mendapatkan perhatian
sungguh-sungguh mengingat Putusan MK 35 Tahun 2012 alih-alih membatalkan pasal ini
sebagaimana yang dituntut oleh AMAN dan dua komunitas pendukungnya, pasal ini justru
dikuatkan keberadaannya. Hal ini terlihat dari uraian pada Putusan MK 35 Tahun 2012
paragraf [3.13.8], di mana tertulis:
“Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3)
UUD 1945 karena membatasi hak para Pemohon untuk memanfaatkan hasil kekayaan
alam yang berada di wilayah adatnya serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat
hukum adat. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan tata cara pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat oleh Peraturan Daerah adalah ketentuan yang
inkonstitusional. Lebih lanjut, para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 67 ayat (3)
UU Kehutanan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena pengaturan hak masyarakat hukum

Pada Pasal 67 (1) dinyatakan bahwa “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak : (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari- hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraannya.
15



16


adat serta pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat dengan Peraturan
Pemerintah adalah ketentuan yang inkonstitusional;
Terhadap dalil permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 67
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama
dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap
Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya” mutatis mutandis berlaku terhadap dalil
permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
Di samping itu, menurut Mahkamah, keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan
status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan
hukum yang telah disebutkan di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan
hukum ini. Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat
ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah, menurut Mahkamah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang“.”
Adapun pertimbangan yang dikemukakan atas keberadaan Pasal 4 ayat (3) UU 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, sebagaimana yang tercantum pada Paragraf (13.3.2), antara lain
dinyatakan bahwa:
“Para Pemohon menyatakan ― suatu masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri, secara bebas menentukan status politik mereka dan secara
bebas mengejar kemajuan ekonomi sosial dan budaya merekaǁ. Menurut Mahkamah,
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan
Belanda, kemudian menjadi wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat
dalam kesepakatan-kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan
tertulis, UUD 1945. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentang dari
Sabang hingga Merauke. Pendapat para Pemohon tersebut di atas dapat berimplikasi
pada upaya pemisahan diri masyarakat hukum adat untuk mendirikan negara baru yang
lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (separatisme). Keberadaan masyarakat
hukum adat demikian tidak sesuai dengan prinsip ― tidak bertentangan dengan
kepentingan nasionalǁ dan prinsip ― Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jikapun ada
kebebasan, hal tersebut telah diatur pembatasannya dalam Undang-Undang tentang
otonomi daerah serta Undang-Undang lainnya dan masih dalam bingkai dan cakupan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertimbangan Mahkamah yang berkenaan
dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam Putusan Mahkamah Nomor 34/PUUIX/2011 tersebut di atas mutatis mutandis berlaku untuk Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan
dalam perkara a quo. Adapun terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas
Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
beralasan menurut hukum untuk sebagian, sehingga menurut Mahkamah, Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally



17


unconstitutional), sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali
dimaknai bahwa ― penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”.
Kontestasi Logika
Jika disimak uraian di atas, maka jelaslah bahwa, sebagaimana yang sudah pernah terjadi
sebelumnya (Arizona, 2010), antara berbagai perangkat peraturan perundang-undangan itu
tetap belum terjadi sinkronisasi. Hal ini potensial berdampak pada kemungkinan tidak
operasionalnya kebijakan itu di tingkat lapangan. Baik yang berkenaan dengan rumusan
kriteria yang harus dipenuhi, apakah ketentuan pemenuhan yang akumulatif (harus memenuhi
seluruh kriteria yang telah ditentukan) atau bisa fakultatif (memenuhi sebagian kriteria yang
telah ditentukan); berkenaan dengan mekanisme dan bentuk-bentuk pilihan produk hukum
yang dibutuhkan; maupun logika hukum yang digunakan dalam proses pengakuan hak-hak
masyarakat (hukum) adat itu sendiri. Misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
mengambil jalur yang berbeda sama sekali dengan Putusan MK 35 Tahun 2012, dan makin
lebih sulit dimengerti mengingat peraturan ini keluar dari kementerian yang sama dengan
pengampu utama – setidaknya pada saat proses legislasi – Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa.
Terkait logika pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat sebagaimana yang terdapat pada
berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang dirujuk, sebagaimana ditunjukkan
dalam Diagaram 1 berikut, setidaknya ada 3 logika hukum yang berbeda satu sama lainnya.
Model pertama adalah model penetapan MHA mendahului pengakuan hak; dengan
pemenuhan kriteria MHA yang bersifat akumulatif, melalui penetapan dalam sebuah Peraturan
Daerah. Logika pertama ini dianut oleh Putusan MK 35/2012, yang sebelumnya sudah dianut
terlebih dahulu oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67; yang kemudian dikukuhkan
oleh Perturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum adat; dan diteruskan oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri; Menteri Kehutanan; Menteri Pekerjaan Umum; dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut-11/2014 tentang
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan; Nomor



18


17/PRT/M/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah
yang Berada di Dalam Kawasan Hutan; dan Permen ATR 10 Tahun 2016.
Diagram 1

Tiga%Logika%hukum%pengakuan%hak/hak%masyarakat%(hukum)%adat%

Model%Penetapan%mendahului%
pengakuan%hak;%dengan%kriteria%
bersifat%akumua=f,%melalui%Perda:%
MK%35/2012%(?)%;%sebelumnya%oleh%UU%
41/1999,%Pasal%67;%kemudian%
dikukuhkan%oleh%Permendagri%
52/2014;%dan%diteruskan%oleh%Perber%4%
kementerian%

Model%pegakuan%hak%dgn%alat%
verfikasi%kriteria%MHA%yang%
bersif%fakulta=f,%melalui%Perda:%
UU%Desa%6/2014%=%Pengakuan%
hak%MHA%atas%pemerintahan%
dan%pembangunan%

Model%pegakuan%hak%dgn%alat%
verfikasi%kriteria%MHA%yang%
bersifat%akumula=f,%melalui%
mekanisme%adminitra=f:%
Permenagraria%5/1999;%
dilanjutkan%oleh%Permen%ATR%
9/2015%=%Pengakuan%hak%MHA%
atas%tanah%

Logika kedua adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat
akumulatif, melalui mekanisme administratif, sebagaimana yang dianut oleh Permenagraria
5/1999, namun sayangnya tidak dilanjutkan lagi oleh Permen ATR 10/201. Sementara logika
ketiga adalah model pengakuan hak dengan alat verifikasi kriteria MHA yang bersifat fakultatif
(tidak harus memenuhi seluruh kriteria yang ada), melalui peraturan daerah, sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (menyangkut
pengakuan hak MHA untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan).
Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa, dari waktu ke waktu, logika pertama makin menguat.
Sementara logika kedua menghilang dari wacana hukum yang ada. Sedangkan logika muncul
sebagai alternatif baru.
Kecenderungan ini sebenarnya tidak menggembirakan karena, sebagaimana telah
dicontohkan di atas, akan memberatkan masyarakat adat. Terutama jika hal itu ‘sekedar’
menyangkut pengakuan hak-hak masyarakat adat yang bersifat perdata (hak atas tanah atau
sumberdaya pada umumnya). Kecuali komunitas masyarakat adat itu mampu memanfatkaan
peluang baru (logika ketiga) yang baru terbuka.***



19


Daftar Pustaka
Adhuri, Dedi Supriadi, 2013. Selling the Sea, Fishing for Power. A Study of conflict over marine
tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia. Canberra: ANU E Press.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2011. Naskah Akademik untuk Penyusunan
Rencana Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
………………………., 2015. “Implementasi Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di
Indonesia’. Bahan yang dipresentasikan pada “FGD Pengkajian Hukum tentang
Mekansime Pengakuan Masyarakat Hukum Adat’. Diselenggarakan oleh Badan
Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta, 12 Oktober 2015.
Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk
Pengakuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.
Arizona, Yance , ed. 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap
Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa.
…………., 2015a. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam
rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong,
Papua Barat, 16 Maret 2015.
…………..,
2015b.
Sebagaimana
dapat
diakses
pada
https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1
0207456706605171¬if_t=mentions_comment
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati, dan Erasmus Cahyadi, 2012. ‘KEMBALIKAN
HUTAN ADAT KEPADA MASYARAKAT HUKUM ADAT: Anotasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang
Kehutanan.
Assiddiqqi, Jimly, 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.
Badan Registrasi Wilayah Adat, 2015. Pedoman Regitrasi Wilayah Adat. Bogor: Badan
Registrasi Wilayah Adat.
Bedner, Adriaan, and Stijn Van Huis. 2008. "The return of the native i