Outsourcing dan UU Anti Monopoli (1)

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

Outsourcing dan UU Anti Monopoli

EKOJI999 Nomor

410, 23 Oktober 2013

oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan
teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email indrajit@rad.net.id.

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 5 TAHUN 1999
Pelaksanaan suatu strategi bisnis perlu dicermati agar tetap sesuai dengan peraturan yang ada
dalam negara bersangkutan. Demikian pula pelaksanaan strategi outsourcing tidak terkecuali,
termasuk pelaksanaannya di Indonesia. Strategi outsourcing itu sendiri, sebetulnya sejauh
menyangkut pelaksanaan sebagai jenis kontrak jasa, tidaklah unik dan tidak memerlukan suatu
perhatian khusus, meskipun tentu saja
tetap tunduk pada perundangundangan yang berlaku, yaitu Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.
Namun dalam hal disangkutkan
dengan strategi kemitraan bisnis seperti
disebutkan di atas, diperlukan suatu
perhatian khusus atau dengan
perkataan lain suatu penyiasatan
khusus, agar tidak melanggar undangundang yang ada. Hal ini sehubungan
dengan dikeluarkannya ketentuan
baru, yaitu Undang-Undang RI Nomer
5 Tahun 1999 tanggal 5 Maret 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Strategi kemitraan bisnis yang menganut
faham satu pemasok untuk satu jenis barang dengan hubungan bisnis jangka panjang, secara
potensial dapat diartikan sebagai monopoli atau praktek persaingan tidak sehat. Meskipun dalam
manajemen pembelian dapat dibedakan antara pemasok satu-satunya (sole supplier) dan pemasok
yang hanya satu (single supplier), namun di mata hukum mungkin sulit untuk dibedakan. Seperti
sudah dijelaskan, sole supplier ialah keadaan dimana memang sumber pembelian hanya ada satusatunya di suatu kawasan atau bahkan di seluruh dunia, sedangkan single supplier ialah pemasok
yang hanya satu, tetapi dipilih secara terencana dan sengaja dengan suatu cara dan sistem
tertentu, diantara sekian banyak pemasok yang ada, untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan

strategis. Dari segi manajemen pembelian, sole supplier memang hal yang harus dihindari sedapat
mungkin, sedangkan single supplier, justru makin banyak dipraktekkan oleh perusahaan kelas
dunia, dengan tujuan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Undang-undang atau
peraturan yang bernafaskan anti monopoli atau anti perdagangan tidak sehat tentunya juga
dimiliki oleh negara-negara lain khususnya negara yang sudah berkembang, dan bersamaan
dengan itu pula, praktek kemitraan bisnis juga berkembang pesat di negara-negara tersebut
sehingga sesungguhnya, praktek kemitraan bisnis tidak bertentangan dengan semangat anti
monopoli dan anti perdagangan tidak sehat. Di Amerika Serikat misalnya ada Sherman Act,
Clayton Act, Robinson-Patman Act, dan Federal Trade Commision Act. Hanya saja karena
peraturan perundangan tersebut di Indonesia masih baru dan praktek kemitraan bisnis di
Indonesia juga secara relatif masih baru, sehingga seperti telah disebutkan di atas, mengandung
potensi ‘pertentangan’ apabila salah mempraktekkan atau salah menginterpretasikan.

HALAMAN 1 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI


PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

Secara umum, materi dari Undang-Undang tersebut mengandung 6 bagian pengaturan yang
terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

perjanjian yang dilarang;
kegiatan yang dilarang;
posisi dominan;
Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
penegakan hukum;
ketentuan lain-lain.

Dalam Undang-undang tersebut, yang dianggap sebagai persaingan usaha tidak sehat disamping

monopoli ialah oligopoli, monopsoni, oligopsoni, trust, pemboikotan, perjanjian tertutup,
penguasaan pasar, persekongkolan, pemboikotan dan sebagainya, namun dengan persyaratan
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat, seperti dirumuskan
dalam pasal 1, ialah :
‘Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha.’

PENGERTIAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Di atas telah disebutkan, apa-apa saja yang dimaksud dengan perdagangan tidaks ehat menururt
Undang-Undang Nomer 5 tahun 1999 tersebut. Marilah kita tinjau satu persatu secara singkat.
Monopoli
Mengenai monopoli, Pasal 17 dari Undang-Undang tersebut memberikan ketentuan sebagai
berikut.
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) apabila :
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya;
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bandingkan dengan beberapa definisi lain sebagai berikut ini. Dalam Black’s Law Dictionery,
monopoli diartikan sebagai :
‘a privilage or peculiar advantage vested in one or more persons or
companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on
a particular business or trade, manufacture a particular article, or
control the sale of the whole supply of a particular commodity’
Selanjutnya, menurut Black’s Law Dictionery pula, sehubungan dengan molopoli yang diatur
dalam Sherman Act dikatakan sebagai berikut.

HALAMAN 2 DARI 9




(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

‘Monopoly as prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act,
has two elements :
1. posession of monopoly power in relevant market,
2. willful acquisition of maintenance of that power.’
Dengan demikian ada perbedaan yang cukup menarik antara UU Nomor 5/1999 dan Sherman Act
dimana monopoli dalam UU Nomor 5/1999 tersebut lebih dititik beratkan pada adanya monopoli
sedangkan Sherman Act lebih menonjolkan terjadinya monopoli yaitu ada kehendak (willful).
Artinya dalam Sherman Act dimungkinkan adanya monopoli yang terjadi bukan atas kehendak
atau kesengajaan pelaku, tetapi karena tidak ada orang atau badan lain yang mau atau mampu
menghasilkan barang atau jasa yang dimaksud. Dalam praktek jenis monopoli seperti ini cukup
banyak terjadi, khususnya karena penguasaan teknologi khusus. Kalau dalam UU Nomer 5/1999,
jenis monopoli seperti ini dilarang, lalu bagaimana jalan keluarnya ? Agaknya, menurut pendapat
penulis, pengertian Sherman Act ini lebih masuk akal.
Mengenai ayat (2) yang mencantumkan batas 50% sebagai penguasaan produksi atau pemasaran

agaknya bertentangan dengan definisi monopoli itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah kalau misalnya ada satu penjual yang menguasai pangsa pasar 51% dan ada ribuan
penjual lain yang menguasai sisa 49% dianggap sebagai keadaan atau praktek monopoli ? Apakah
Pertamina, PLN atau Perusahaan Gas Negara dianggap melanggar Undang-Undang Nomer
5/1999 tersebut di atas ? Sangat menarik bahwa di perundangan Amerika Serikat, dikenal dan
dibedakan apa yang disebut legal monopoly dan natural monopoly.
Legal monopoly. Exclusive right granted by governmental unit to
business to provide such services as electric and telephone service.
The rates and services of such utilities are in turn regulated by the
government.
Natural monopoly. A natural monopoly is one resulting where one
firm of efficient size can produce all or more than market can take
at remunerative price. For example a market for a particular product
may be so limited that it is impossible to profitably produce such
except by a single plant large enough to supply the whole demand.
Jelas bahwa monopoli yang termasuk jenis seperti di atas tidak dianggap melanggar undangundang.
Oligopoli
Pasal 4 mencantumkan pengertian dan larangan mengenai oligopoli sebagai berikut ini.
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan

atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama - sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa lain, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bandingkan dengan definisi oligopoli yang tertera dalam Black Lw’s Dictionery sebagai berikut
ini.

HALAMAN 3 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT


‘Oligopoly is an economic condition where only a few companies sell
substantially similar or standardized products’
Kalau kita perhatikan, yang dilarang sebetulnya bukan keadaan oligopoli itu sendiri, tetapi
oligopoli yang membuat perjanjian sehingga mengarah menjadi monopoli, sehingga yang dilarang
sebetulnya adalah monopolinya. Jadi dengan perkataan lain, yang dilarang ialah ‘kehendak’,
bukan keadaan, sehingga berlainan dengan konsep monopoli seperti disebutkan di atas, dan lebih
mirip dengan ketentuan monopoli di Sherman Act. Dengan demikian, pelaku oligopoli yang tidak
melakukan kerja sama atau perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan suatu monopoli, tetapi
persaingan oligopolistik, menurut Undang-Undang tersebut, seharusnya tetap boleh. Ketentuan
mengenai oligopoli ini lebih masuk akal.
Monopsoni
Mengenai monopsoni, pasal 18 Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang berbunyi
sebagai berikut.
1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan yang tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Bandingkan pengertian monopsoni sebagaimana dicantumkan dalam Black’s Law Dictionery
sebagai berikut ini.
‘Monopsony is a condition of the market in which there is but one
buyer for a particular commodity’
Kalau kita perhatikan, yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak jelas, yaitu ‘kehendak’
atau ‘keadaan’ pembeli yang demikian. Lagipula, seperti pada definisi monopoli, batas 50%
bertentangan dengan definisi monopsoni itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar ? Apakah
misalnya ada satu pembeli A menguasai pembelian 51% dan ada ribuan pembeli lain yang
mencakup sisanya yang 49% dapat disebut sebagai keadaan dan praktek monopsoni ?
Oligopsoni
Mengenai oligopsoni, Undang-Undang tersebut memuat ketentuan paada pasal 13 sebagai berikut
ini.
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
menguasai pembelian dan atau penerimaan pasokan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
HALAMAN 4 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

Disini secara jelas yang dilarang ialah ‘kehendak’ para pelaku oligopsoni yang mengakibatkan
terjadinya monopoli, bukan keadaan oligopsoni itu sendiri. Dengan lain perkataan tentunya para
pelaku oligopsoni yang tidak membuat perjanjian untuk mengarah pada keadaan monopoli,
menurut Undang-Undang ini, tidak dilarang.
Trust
Pasal 12 Undang-Undang ini mengatur mengenai trust, yang berbunyi sebagai berikut ini.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga
dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan
atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
tidak sehat.
Dalam Black’s Law Dictionery, trust dirumuskan sebagai berikut ini :
‘Trust is an association or organization of persons or corporations
having the intention and power, or the tendency, to create
monopoly, control production, interfere with the free course of
trade or transportation, or to fix and regulate the supply and the
price of commodities.’
Kartel
Dalam pasal 11 Undang-Undang tersebut, kartel dicantumkan dan diatur sebagai berikut ini.
‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.’
Bandingkan definisi kartel dalam Black’s Law Dictionery yang dituliskan sebagai berikut ini.
‘Cartel is a combination of producers of any product joined together
to control its production, sale and price, so as to obtain a monopoly
and restrict competition in any particular industry or commodity.’
Persekongkolan
Dalam pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang tersebut, diatur mengenai persengkongkolan sebagai
berikut.
Pasal 22. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak untuk
mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 23. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk menghambat produksi dan atau pemasarang barang
HALAMAN 5 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud
agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok
di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas
maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Pemboikotan
Mengenai hal ini, pasal 10 Undang-Undang tersebut mengatur dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri.
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari
pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain;
atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Integrasi vertikal
Mengenai hal ini, pasal 14 Undang-Undang di atas mengatur dengan ketentuan sebagai berikut.
‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan,
baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.’
Pembagian Wilayah
Pasal 9 Undang-Undang tersebut mengatur dan melarang pula pembagian wilayah pemasaran
yang mengakibatkan suatu monopoli. Pasal 9 tersebut berbunyi sebagai berikut.
‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran
atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.’
Perjanjian Tertutup
Pasal 15 Undang-Undang tersebut mengatur secara agak panjang mengenai larangan terhadap
perjanjian tertutup sebagai berikut.
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain
yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
HALAMAN 6 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan
atau jasa dari pelaku usaha pemasok :
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing
dari pelaku usaha pemasok.
Dengan ketetapan tersebut agaknya barter atau countertrade dilarang, baik dengan potongan harga
maupun tidak.
Penetapan Harga
Mengenai penetapan harga, ada beberapa praktek yang dilarang oleh Undang-Undang tersebut di
atas, seperti tertulis pada pasal 5, 6, 7, dan 8.
Pasal 5 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku bagi :
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha
patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang
yang berlaku.
Pasal 6 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang
dan atau jasa yang sama.
Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar ; yang
pengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan
atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU adalah lembaga yang diberi tugas untuk
mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut. Lembaga ini bersifat
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan baik Pemerintah maupun pihak lain.
Komisi ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Tugas KPPU, seperti tercantum dalam pasal 35 Undang-Undang di atas, meliputi hal-hal berikut
ini.

HALAMAN 7 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
2. melakukan penilaian terhadap tindakan usaha dan atau pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat,
3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalah
gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
4. mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan yang ada,
5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap Komisi kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat,
6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UndangUndang nomer 5/1999,
7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

IMPLIKASI UU RI NO.5/1999 PADA OUTSOURCING
Kalau melihat seluruh aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut,
secara eksplisit tidak ada larangan mengenai outsourcing dengan kemitraan. Hanya perlu
diwaspadai bahwa dalam pemilihan mitra, haruslah sedemikian rupa sehingga tetap terjadi
persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat yang dimaksud disini dalam memilih mitra usaha,
yang biasanya berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya dapat ditempuh dengan cara-cara
sebagai berikut.
1. Melalui cara lelang dengan penjelasan lengkap seperti :
a. Jangka waktu panjang yang dimaksud, misalnya 3 atau 5 tahun.
b. Maksud kemitraan.
c. Persyaratan yang diperlukan secara lengkap.
d. Cara-cara penilaian tender.
e. Cara-cara perhitungan harga kontrak.
f. Cara pemantauan kinerja selama menjadi mitra.
g. dan sebagainya.
dimana semua pemasok yang memenuhi syarat tertentu harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengikuti tender.
2. Melalui cara-cara pemilihan pemasok secara bertahap, misalnya :
a. Pemasok baru diberi status ‘kandidat’
b. Setelah beberapa waktu lamanya, dengan suatu penilaian tertentu,
dapat meningkat menjadi pemasok ‘mampu’
c. Setelah beberapa waktu menjadi pemasok ‘mampu’, dengan suatu
penilaian tertentu, ditingkatkan menjadi pemasok ‘unggul’
d. Setelah beberapa waktu menjadi pemasok ‘unggul’, dengan
suatu metode penilaian tertentu yang lebih ketat, dapat menjadi
pemasok ‘mitra’
Setiap tahapan, pemasok dapat diberikan sertifikat yang sesuai. Pemasok
kandidat misalnya sesudah waktu tertentu harus mencapai sekurangkurangnya pemasok ‘mampu’, dan jika tidak maka dapat dikeluarkan sebagai
pemasok.
Inti yang paling penting dalam semangat undang-undang di atas ialah bahwa semua pihak, yang
memenuhi persyaratan obyektif, diberikan kesempatan untuk melakukan penawaran. Sedangkan
tentu saja pilihan hanya dapat diberikan kepada satu pihak saja, namun harus didasarkan atas
penilaian yang obyektif, transparan, dan masuk akal. Namun interpretasi para penegak hukum
HALAMAN 8 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI

PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT

masih perlu dikaji apakah memang demikian karena seringkali, interpretasi mereka kadangkadang lain dari yang diperkirakan orang sebelumnya.

--- akhir dokumen ---

HALAMAN 9 DARI 9



(C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013