HUKUM ADAT SEBAGAI WUJUD KEARIFAN LOKAL

HUKUM ADAT SEBAGAI WUJUD KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
ADAT TALANG MAMAK DI RIAU DALAM PENGELOLAAN FUNGSI
HUTAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

Nuri Deswari
Universitas Pendidikan Indonesia
deswarinuri@gmail.com
ABSTRACT
Indigenous Talang Mamak is one of many indigenous peoples or tribes in Indonesia. This
article describes the general description Indigenous Talang Mamak located in iiau rrovincei
precisely at the Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) helped maintain the balance of the
ecosystem. Such as indigenous peoples in generali Talang Mamak also have customary law
as a form of existence. Talang Mamak lifes from birth to die are governed by custom. One
of that is also regulated by customary on Indigenous reoples Talang Mamak is the
management of forest functions with customary law. Customary law which is owned by
Indigenous reoples Talang Mamak is a form of local wisdom that also contain ecological
intelligence. IrS as subjects that examine society from various facets of life in an integrated
manner with the aim of making young people become good citiiens through education.
Values of ecological intelligence can be used as a source of learningi one of which is the
value of local wisdom of Indigenous Talang Mamak in the management of forest functions.
Key Word: Indigenous Talang Mamaki customary lawi ecological intelligencei source of

social studies learning.

PENDAHULUAN
Indonesia dengan kondisi geografisnya menyebabkan terjadinya perbedaan
kebudayaan antar daerah yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu kearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan satu dari banyak produk budaya itu sendiri. Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Gobyah dalam Mariane (2014: 112), kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam
arti luas. Selanjutnya masih menurut pandangan Gobyah, kearifan lokal merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Riau merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia, terletak di tengah Pulau
Sumatera. Batas perairan Riau yaitu berada di sebelah timur yang merupakan Selat
Melaka. Sebelumnya, Riau mencakup Riau daratan dan Riau Kepulauan. Namun,
sejak Juli 2004 Riau kepulauan mengalami pemekaran menjadi provinsi yang berdiri
sendiri dengan nama Provinsi Kepulauan Riau atau yang biasa disingkat Provinsi
Kepri, dan Riau daratan menjadi Provinsi Riau. Jika ditelusuri jejak sejarahnya, baik
Riau, Kepri, ataupun Negara tetangga yaitu Malaysia merupakan Kebudayaan
Melayu serumpun, sehingga tidak heran jika terdapat banyak kesamaan budaya

antara tiga daerah serumpun ini, sebut saja dari segi makanan ataupun bahasa.

Seperti yang dikemukakan oleh Hidayah (1997: 180) dalam bukunya Ensiklopedia
Suku Bangsa di Indonesia, menjelaskan bahwasannya :
“Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau ini sekitar tahun 2.500
SM. Mereka datang dari daratan Asia bagian tengah dan menyebarang
dari Semenanjung Malaysia. Gelombang kedatangan kedua terjadi pada
tahun 1.500 SM, dan gelombang kedatangan ketiga sekitar tahun 300
SM. Suku bangsa Melayu di daerah Riau adalah salah satu keturunan
para migrant dari daratan Asia tersebut. Dalam sejarah kebudayaannya,
mereka juga telah mengalami beberapa pengaruh peradaban, seperti
Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat”.
Sejarah singkat diatas menegaskan bahwa suku asli masyarakat di Riau ialah Melayu
yang tentunya memiliki budaya melayu. Program pemerintah tentang transmigrasi
kemudian menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat di Riau menjadi
masyarakat majemuk dengan banyak budaya pendatang. Selain program pemerintah,
masyarakat yang bertransmigarsi ke Riau juga dikarenakan alasan pribadi. Hal
tersebut tentunya menyebabkan terjadinya akulturasi yang berujung pada adanya
sedikit pergesaran budaya melayu di Riau. Pergeseran budaya melayu di Riau
ditandai dengan buramnya kekahasan Melayu Riau itu sendiri dan eksisnya
kebudayaan pendatang dikarenakan masyarakat pendatang kemudian menjadi
mayoritas di Riau. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di pesisir Riau yaitu

masyarakat Kepri yang justru masih kental dengan nuansa Melayu.
Meskipun didiami oleh masyarakat yang majemuk, Riau dengan budaya melayu-nya
memilki beberapa kearifan lokal yang menjadikannya berbeda dengan masyarakat di
daerah lain. Dalam makalah ini yang akan dibahas yaitu salah satu masyarakat adat
yang ada di Riau dengan budayanya yang sarat akan hukum adat sebagai wujud
kearifan lokal, yaitu masyarakat adat suku Talang Mamak. Di masyarakat adat suku
Talang Mamak, terdapat hukum adat yang mencirikan kearifan lokal masyarakat
tersebut dalam pengelolaan hutan. Kearifan lokal Masyarakat Adat Talang Mamak
yang mengandung kecerdasan ekologis dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar di
sekolah dengan mengintegrasikan nilai kearifan lokal melalui pembelajaran guna
membangun kecerdasan ekologis peserta didik.
ISI
Gambaran Umum Masyarakat Adat Suku Talang Mamak di Riau
Keberadaan “Bhinneka Tunggal Ika” oleh founding fathers merupakan semboyan
yang sangat sakral. Keistimewaan filosofis ini tentunya bertolak dari kondisi
masyarakat di Indonesia yang majemuk baik keadaan geografis, ras, suku, bahasa,
bahkan agama yang dianutpun di Indonesia juga majemuk. Masyarakat dengan suku
tertentu sangat menjunjung tinggi sistem dan norma yang berlaku, hal tersebut
tertanam dan tergambar dari keseharian kehidupannya. Masyakat seperti ini yang
kemudian disebut dengan masyarakat adat, yaitu masyarakat yang masih sangat

menjunjung tinggi sistem dan norma yang ada di lingkungannya (Mariane, 2014: 59).

Salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia, di Provinsi Riau, tepatnya di
Kabupaten Indragiri Hulu ialah Masyarakat Adat Suku Talang Mamak.
Adapun menurut Kamus Bahasa Melayu oleh Latif (2011, 283) mengartikan kata
“Talang” yaitu: saluran air di kaki atap, orang yang meminjamkan uang, bambu yang
berisi air. Menurut Simanjuntak dkk (2012, 4) “Talang” artinya bambu yang tumbuh/
hidup di lereng-lereng bukit di hutan, sedangkan “Mamak” berarti saudara laki-laki
dari ibu kita. Dari kedua arti kata Talang Mamak tersebut dapat diartikan saudara
laki-laki dari ibu yang hidup di daerah berbukit-bukit di daerah pedalaman.
Berbeda dengan Hidayah (1997: 253) yang juga mendefenisikan kata “Talang”
dengar arti ladang, yaitu sesuai dengan kebiasaan masyarakat Talang Mamak yang
hidup dengan berladang dengan sistem berpindah-pindah di Pegunungan Bukit
Tigapuluh, sedangkan kata “Mamak” memiliki arti ibu, jadi “Talang Mamak” berarti
ladang milik ibu atau pihak ibu.
Masyarakat adat suku Talang Mamak adalah suku melayu tua yang ada di Riau. Ada
banyak versi tentang sejarah asal usul dari suku Talang Mamak, namun menurut
beberapa peneliti baik dari kalangan akademis ataupun praktisi yang sudah pernah
menulis tentang suku Talang Mamak menegaskan keberadaan mereka sebagai
masyarakat adat di Riau sudah sejak lama (Hidayah, 1997; Azhar dkk, 2012;

Simanjuntak dkk, 2012).
Ada yang mengatakan bahwa asal-usul Nenek Moyang mereka ialah dari Gunung
Merapi Sumatera Barat, ini merupakan tahap pertama kedatangan Talang Mamak di
Indragiri Hulu. Singkat cerita mereka pindah ke Indragiri dikarenakan Nenek
Moyang Talang Mamak dahulunya merasa terancam hidupnya dikarenakan Gunung
Merapi sering memuntahkan lahar, gas, dan lain sebagainya. Mereka kemudian
meninggalkan daerah Gunung Merapi kemudian menghuni salah satu tempat di
Indragiri Hulu. Di sinilah meraka mulai membuka lahan untuk tempat tinggal dan
mencari nafkah. Tahap kedua Talang Mamak datang ke Indragiri Hulu ialah karena
desakan agama islam pada zaman penjajahan Belanda di Sumatera Barat. Talang
Mamak yang menjunjung tinggi adat mereka menolak keberadaan agam islam dan
berpindah tempat ke Indragiri Hulu (Simanjuntak dkk, 2012). Versi yang sama
diperkuat oleh Azhar dkk (2012) mengenai penolakan keras masyarakat adat suku
Talang Mamak terhadap masuknya pengaruh agama islam. Hal ini tergambar dari
motto Talang Mamak yaitu : “Dari pada mati adat, lebih baik mati anak”. Bagi
Talang Mamak adat adalah pengganti agama, adat memberikan kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Dalam jurnal hasil penelitiannya Nurman dkk (2014) mendeskripsikan kepercayaan
yang dianut oleh Masyarakat adat Talang Mamak. Masyarakat adat Talang Mamak
pada umumnya memiliki kepercayaan yang mereka sebut dengan Islam Langkah

Lama (orang darat) disebut Talang Mamak, dan Islam Langkah Baru (mengalih)
yang disebut orang Melayu. Masyarakat Talang Mamak yang masih menganut
Langkah Lama juga mengenal Islam, akan tetapi belum menjalankan syariat Islam.
Pada masyarakat adat Langkah Lama masih mempercayai mitos-mitos yang berasal
dari leluhur mereka. Mitos-mitos ini yang kemudian juga dijadikan sumber

pengetahuan, nilai, norma, dan etika bagi kehidupan mereka. Warisan dari leluhur
mereka ini yang disebut sebagai aturan adat, adat yang mengatur kehidupan mereka
mulai dari berladang, perkawinan, kelahiran, bahkan kematiian juga diatur oleh adat.
Adapun masyarakat adat suku Talang Mamak yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu
ini tepatnya berada di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Taman Nasional
Bukit Tigapuluh merupakan Taman Nasional yang menghubungkan provinsi Riau
dan Provinsi Jambi. Namun sebaran terluas taman ini berada di Provinsi Riau jika
ditinjau dari wilayah administratif. Di Taman Nasional ini juga terdapat salah satu
suku terasing, yaitu biasa disebut Orang Rimba atau suku Anak Dalam, tepatnya
bagian Taman Nasional Bukit Duabelas yang termasuk wilayah administratif
provinsi Jambi. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh ini pula merupakan salah satu
tempat wisata alam yang ada di Riau.
Pada umumnya, memang mata pencaharian masyarakat adat Talang Mamak ialah
berladang yaitu menanam padi. Dengan adanya sentuhan dari perkembangan zaman,

pada penelitian dan kajian oleh Simanjuntak dkk (2012: 42), mata pencaharian
Masyarakat adat Talang mamak tidak lagi hanya mengandalkan hasil dari berladang,
terdapat tujuah mata pencaharian utama masayarakat adat Talang Mamak, yaitu:
1. Bercocok tanam dengan tradisi Berladang Tugal (kasang)
2. Mencari dan mengumpulkan hasil hutan
3. Berburu hewan liar di hutan baik jenis unggas maupun hewan berkaki empat
seperti kancil, kijang, dan Rusa
4. Berkebun, menanam karet, dan kelapa sawit
5. Memelihara atau menangkap ikan di perairan sungai
6. Industri rumah tangga, dalam bentuk kerajinan tangan rotan anyaman dan
bentuk lainnya.
7. Menjadi tenaga buruh di perusahaan sekitar pemukiman tempat tingga
mereka.
Namun meskipun ada sebagian dari mereka yang mencari nafkah dengan usaha
selain berladang sifatnya cenderung sementara dan pada akhirnya mereka kembali
berladang (Simanjuntak dkk, 2012: 43). Saat ini terdapat dua pola berladang bagi
masyarakat ini, yaitu berladang kasang (menetap) dan ladang beringsut (dengan cara
berpindah-pindah). Diduga karena terganggunya ekosistem masyarakat adat Talang
Mamak ini oleh kebijakan pemerintah tentang konversi hutan dengan melakukan
pembukaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), pola berladang masyarakat

ini cenderung menetap.
Ladang adalah kehidupan bagi masyarakat adat Talang Mamak, hal ini dikarenakan
rumah-rumah mereka dibangun diatas ladang areal milik mereka masing-masing. Di
ladang itulah mereka dilahirkan dan dibesarkan. Adapun mereka yang menggunakan
pola berladang dengan istilah ladang beringsut atau berladang dengan cara
berpindah-pindah ialah mereka yang masih dipengaruhi oleh adat kebiasaan dan
sistem budaya, seperti Dalam sebuah video yang diungah di youtube yang
diproduseri oleh Abdul Aziz pada tahun 2003 yang lalu (dapat dilihat di
https://www.youtube.com/watch?v=hk3v29w72jg) tentang masyarakat adat Talang
Mamak menggambarkan bagaimana cara berladang masayarakat ini yang berpindah-

t
H
g
d
L
n
a
i
k

u
m
e
r

pindah. Bersumberkan dari video ini salah satu tokoh masyarakat adat Talang
Mamak menjelaskan tentang sistem berladang yang berpindah-pindah dikarenakan
mereka tidak menggunakan pupuk kimia melainkan pupuk alami yaitu “pupuk abu”.
Selain itu, berladang ala Talang Mamak ini ialah jika ladang yang sebelumnya sudah
bisa ditanami kembali maka mereka akan kembali ke tempat awal untuk kemudian
lahan itu ditanami lagi, dalam artian berpindah-pindah tanpa sama sekali
meninggalkan tempat sebelumnya. Sistem berladang ini merupakan turun temurun
dari Nenek Moyang suku Talang Mamak. Bibit padi yang digunakan untuk ditanam
juga diakui merupakan bibit asli Talang Mamak. Masyarakat Talang Mamak juga
mengatakan bahwa bibit padi “Orang Teran” (istilah untuk orang pendatang) tidak
cocok untuk ditanami di tanah ladang mereka. Umur padi untuk dipanen ialah enam
bulan, dan umur padi untuk ditanam kembali juga enam bulan.
Hukum Adat Sebagai Salah Satu Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Talang
Mamak di Riau dalam Pengelolaan Hutan
Kearifan lokal dan kebudyaan erat hubungannya dengan masyarakat tradisional yang

berasal dari sub-bangsa atau suku-bangsa tertentu. Dalam hal penggunaan kata
“bangsa” yang kemudian disandingkan dengan kata “suku” sehingga menjadi “suku
bangsa”, kemudian disebut golongan etnik. Sedyawati (2012: 381) menjelaskan
bahwa pada umumnya suatu suku bangsa (=golongan etnik) itu mempunyai suatu
“tanah asal” tertentu di Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai
ke yang sangat luas, atau yang ‘bercabang-cabang’. Selanjutnya, penegasan kata
“lokal” pada istilah “kearifan lokal” tentunya menjadi perhitungan penting ketika
kita ingin mencirikan suatu kebudayaan, bahwasannya kebudayaan tidak dibatasi
oleh wilayah administratif, sehingga kata “lokal” lebih tepat disematkan untuk sukusuku bangsa atau golongan etnik tertentu.
Wujud kearifan lokal yang terdapat pada suku Talang Mamak sangat banyak, ada
yang bersumber dari hukum adat, dari tradisi leluhur, nyanyian, semboyan, filosofi,
perilaku, kepercayaan, adat istiadat, pepatah dan aturan-aturan khusus (Mariane:
2014). Wujud kearifan lokal pada masyarakat adat Talang Mamak yang diangkat
dalam artikel ini ialah hukum adat masyarakat Talang Mamak dalam pengelolaan
hutan.

Pepatah “Langit diaku bapak, Bumi diaku ibu”, ini lah yang diungkapkan oleh salah
satu pemangku ada masyarakat Talang Mamak. Masyarakat adat ini sangat menjaga
hutannya dari gangguan masyarakat luar. Sejak zaman nenek moyangnya, bagi
masyarakat ini langit dianggap “Bapak”, sedangkan tanah atau bumi dianggap “Ibu”,

sehingga bagi siapa yang merusak hutan atau menjual tanah dianggap durhaka.
Hutan juga dianggap sebagai nyawa mereka, apabila tidak ada hutan mereka
berpandangan bahwa nyawa mereka habis atau musnah. Mereka berasumsi hutan ada
karena masyarakat adat ada. Pada masyarakat ini fungsi hutan dibagi menjadi tiga,
yaitu:

1.

2.

3.

Gambar 1. Pembagian Fungsi Hutan Masayarakat Adat Talang Mamak
Hutan untuk Pemukiman
Dari sekian luas tanah Hutan yang diakui milik masyarakat adat Talang
Mamak, hutan untuk pemukiman ini ialah ukuran luasnya yang paling kecil.
Hutan untuk pemukiman bagi masyarakat Talang Mamak ialah hutan yang
mana pohonnya sengaja ditebang kemudian digunakan untuk membangun
rumah di tempat penebangan itu. Luasnya tanah untuk masing-masing
rumah tidak ada batasannya, selagi mereka berada dalam satu kawasan.
Pemukiman masayarakat cenderung berkelompok dengan sesama anggota
keluarganya. Hidayah (1997: 253) menerangkat bahwa masyarakat ini
cenderung menganut sistem matriliniel, rumah tangga terbentuk dari
keluarga inti yang membuat rumah sendiri di sekitar tempat tinggal orang
tua istri.
Hutan untuk Perladangan
Hutan perladangan hanya diolah untuk aktifitas berladang bagi masyarakat
ini, tetap saja hutan ini dikhususkan untuk masyarakat asli suku Talang
Mamak dan tidak boleh diganggu gugat oleh orang luar. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, sistem berladang masyarakat Talang Mamak ada
yang menetap dan ada yang berpinda-pindah.
Hutan Lindung
Hutan lindung disebut juga hutan keramat, bagi masyarakat Talang Mamak
hutan keramat dianggap angker. Hutan lindung ini dipercaya oleh orang
Talang Mamak sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa dan roh-roh
nenek moyang mereka yang telah meninggal. Masyarakat ini
mengasumsikan bahwa hutan ada karena masyarakat adat ada. Adapun
fungsi hutan lindung bagi masyarakat Talang Mamak ialah untuk obatobatan, baik dari akar-akaran, daun-daunan, ataupun sejenis tumbuhan yang
mengeluarkan air dari dalam batangnya. Dalam sebuah jurnal hasil
penelitian oleh Yunus dkk, ditemukan 36 jenis tumbuhan yang digunakan
oleh Suku Talang mamak dalam pengobatan tradisional (Yunus dkk, tt).
Hutan keramat tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk oleh
masyarakat adat Talang Mamak sendiri, tidak bisa siapapun mengambil
bahkan masyarakatnya sendiri. Dari sebuah video diceritakan sudah
beberapa kali ada orang dari luar yang mencoba menebang pohon di hutan
lindung milik masyarakat adat ini menggunakan mesin pemotong kayu yaitu
senso. Adapun kemudian dikatakannya bahwa senso milik orang tersebut
diambil dan tidak dikembalikan oleh masyarakat adat ini, dan lagi orang
tersebut harus mengembalikan kayu yang ditebangnya ke tempat kayu
tersebut berasal.

Menurut Azhar dkk (2012), yang menegaskan bahwa pengaruh hukum adat sangat
dominan pada kehidupan Talang Mamak sejak masih dalam kandungan sampai
matinya orang Talang Mamak diatur oleh hukum adat. Begitu juga hubungan antar
sesama dan orang lain, bahkan hubungan manusianya dengan alam juga diatur oleh
hukum adat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nurman dkk (2014), hasil
penelitiannya pada masyarakat adat Talang Mamak tentang hukum adat yang berlaku
terkait pengelolaah tanah dan hutan di wilayah mereka :

Tabel 1. Hukum Adat Suku Talang Mamak Tentang Pengelolaan Tanah dan Hutan
Hukum Dan Sanksi
Adat
Setahil Sepaha

Jenis Kesalahan

2 Tahil

- Membakar dengan
sengaja tanaman yang tidak
menghasilkan buah seperti;
meranti, balam, kepas,
kulim, sungkup, medang,
sanduk-sanduk, dll.
- Mencuri tanaman
menghasilkan buah
- Membakar pohon durian,
kedondong, dan kepayang.
- Mencuri, menumbang dan
membakar tanaman yang
tidak menghasilkan buah
- Mencuri buah-buahan
- Membakar atau
menumbang pohon
kedondong dan kepayang
atau terkena tumbang
pohon lain

3 Tahil

4 Tahil

7 Tahil

- Menduduki (mendirikan
bangunan atau bercocok
tanam) tanah tanpa izin dari
yang punya seperti ketua
adat, mangku, Batin.

- Mencuri, menebang,
mengambil dan merusak
dirimba puaka

Bahan Dan Alat-Alat Dalam
Sanksi Adat
- Pinggan 6 buah
- Mangkuk 2 buah
- Tempat sirih (Tangkalang)
- Beras
- Ayam
- Keris
- Pinggan 6 buah
- Mangkuk 3 buah
- Tempat sirih (tengkalang)
- Beras
- Ayam
- Keris
- Pinggan 16 buah
- Mangkuk 4 buah
- Beras 10kg atau 3 Gantang
- Ayam (tergantung
kemampuan)
- Keris 3 buah
- Pinggan 21 buah
- Mangkuk 5 buah
- Tempat sirih (teggalang)
- Beras
- Ayam
- Keris
- Kain 36 lembar
- Gelang perak 1 buah
- Anggaran pembelian alat
12 juta ditambah pohon
Sialang

Sejarah hukum adat suku Talang Mamak mulai ada pada masa keturunan Patih yang
keenam (Patih Tatap). Sebelum masa itu, hukum adat yang diberlakukan di
masyarakat ini sangatlah ketat dan berlaku tetap. Aturan-aturan yang dibuat oleh
masyarakat Talang Mamak disamping secara tertulis juga ada dalam bentuk petatah
petitih, adat yang diturun temurunkan melalui petatah petitih akan disampaikan
ketika acara adat diperingati, diperdengarkan kepada anak dan kemenakan. Hukum
adat banyak diatur secara tertulis yaitu berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya
alam seperti hutan dan lahan (Nurman dkk, 2014).
Diakui bahwa keberadaan hukum adat ini sangat berperan besar dalam pelestarian
fungsi hutan di masyarakat adat Talang Mamak. Sebagai masyarakat adat yang

memiliki hukum adat terkait pengelolaan hutan, tentunya masyarakat Talang mamak
ini juga mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, khususnya yang yang berkaitan dengan pengakuan dan
penghormatan oleh Negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya.
Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tersebut pada BAB IX tentang
Masyarakat Hukum Adat, Pasal 67 dengan tegas membahas tentang pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak masyrakat hukum adat terhadap
pengelolaan hutan di tempat mereka tinggal.
Beberapa tahun terakhir hutan di Riau mengalami nasib yang sangat tragis, adanya
tangan-tangan kapitalis kemudian mengabaikan kepentingan prioritas generasi di
masa depan. Rusaknya fungsi hutan oleh orang luar yang membuat buram ketegasan
hukum adat ini. Hectare demi hectare hutan yang ada di Riau digarap menjadi HTI
(Hutan Tanaman Industri). Hal ini dimotivasi oleh isu peningkatan Pendapatan
Daerah. Tentunya dampak terhadap lingkungan tidak bisa hanya dikalkulasikan dari
segi pengurangan wilaya hutan. Dampak terhadap lingkungan alah sangat merugikan
semua aspek kemanusiaan sebagai satu-satunya penyebab ketidakbertanggungjawaban dari sebuah tindakan.
Keresahan masyarakat adat Talang Mamak akan pelebaran HTI sangat dirasakan.
Salah satu cntoh tanaman yang di tanam sebagai HTI ialah sawit. Sawit adalah
tanaman yang sanga boros air. Sawit merupakan tanaman yang akar tinggalnya
menyebabkan tidak bisa tumbuhnya tanaman lain, sehingga sistem berladang untuk
tanah yang ditanam kembali otomastis tidak bisa digunakan. Untuk kembali
menanam sawit satu-satunya solusi ialah menanam kembali disebelah sawit
sebelumnya. Banyaknya HTI dengan tanaman sawit mengindikasikan banyaknya
tanah yang tidak bisa digunakan kembali sekalipun untuk regenerasi hutan. Madu
sialang yang dulunya menjadi unggulan masyarakat adat Talang Mamak kini tidak
lagi menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan. Madu yang dulu manis karena berasal
dari bunga padi dan bunga-bungan asli hutan kini tergantikan dengan bunga sawit,
alhasil selain madu tidak lagi berwarna cerah, madu juga menjadi pahit karena lebah
menghisap bunga sawit.
Kearifan Lolak Masyarakat Adat Talang Mamak Sebagai Sumber Belajar IPS
Masyarakat adat seperti suku Talang Mamak patut berbangga dengan petatah petitih
yang mereka miliki sebagai keunggulan lokal dalam pelestarian lingkungan.
Keputusan menjaga hutan, terlepas dari kata “keramat” ataupun “angker”,
merupakan hal bijak yang patut dijadikan contoh, begitupun halnya dengan
keputusan untuk tidak menggunakan pupuk kimia dalam berladang. Pertimbangan
mereka sangat sederhana, mereka tidak ingin disalahkan oleh cucu mereka akan alam
yang tak lagi mampu menopang kehidupan yang akan datang karena ulah mereka di
masa sekarang. Dapatkah diakatakan masyarakat adat Talang Mamak lebih cerdas?
Lebih memikirkan masa depan? Pertanyaan sederhana, namun daya pikir kita sebagai
masyarakat yang tidak terikat oleh hukum adat seharusnya melebihi itu, karena kita
dibekali oleh kemewahan informasi.
Muhaimin (2015: 96) menegaskan hubungan kearifan lokal dengan kecerdasan
ekologi seperti yang dideskripsikan masyarakat adat Talang Mamak, bahwasannya

kearifan lokal dapat membentuk perilaku yang selaras dengan alam. Kearifankearifan tersebut terwujud dalam perilaku masyarakat tradisional seperti masyarakat
adat ketika berinteraksi dengan alamnya yang diwarisi dari para pendahulunya.
Mereka mempunyai nilai-nilai yang sangat mulia dalam memandang alam sebagai
lingkungan hidup.
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah salah satu mata pelajaran yang
merupakan bagian dari kurikulum sekolah (NCSS dalam Jarolimek dan Parker, 1993;
Sapriya et al, 2006; Maxim, 2010). Mata pelajaran IPS mengangkat tema isu
lingkungan sebagai salah satu tema wajib dalam pembelajaran (Palmer, 1998; NCSS,
2002; Rifki, 2013; Sapriya, 2014). Lebih dalam terkait interaksi manusia dengan
lingkungan, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, hal ini merupakan
pernyataan yang dijadikan bahan kajian dalam mata pelajaran IPS. Maxim (2010,
hlm. 195) merumuskan pernyataan tersebut, “how people have been changed by the
environment” dan “how the environment has been changed by people”.
Kearifan lokal Masyarakat Adat Talang Mamak dalam menjaga hutan dapat
dijadikan sumber pembelajaran dalam mengajarkan IPS, dengan tujuan yang lebih
spesifik yaitu meningkatkan kecerdasan ekologis peserta didik sebagai penerus
generasi bangsa dan penerus peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Goleman (2010: 39), kecerdasan ekologis akan memepengaruhi cara pandang kita
terhadap alam. Hal tersebut dikarenakan kecerdasan ekologi yang dibangun oleh
perpaduan kognitif dan empati terhadap orang lain, kemudian mencoba melakukan
hal yang sama kepada alam. Rasa empati manusia tidak hanya kepada sesama
manusia, akan tetapi rasa empati manusia terhadap alam juga bisa dirasakan dengan
kesedihan akan tanda-tanda penderitaan bumi dan atau ingin berusaha memperbaiki
hubungan dengan alam.
Ada kalanya belajar dari cara hidup dan cara pandang masyarakat tradisional menjadi
pertimbangan yang mungkin tidak perlu persetujuan. Masalah penebangan hutan di
Riau, pembakaran lahan, pelebaran HTI demi kepentingan kapitalis, menyebabkan
berkurangnya persentase jumlah hutan di Riau saat ini. HTI memang menambah
pendapatan daerah, namun gambaran akan kondisi tanah sesudahnya haruslah
membuat kita berpikir lebih kritis ketika berhubungan dengan konversi hutan di
Riau. Berkompromi dengan alam seperti yang dilakukan masyarakat adat Talang
Mamak merupakan salah satu dari banyak cara agar kita tidak mengecewakan
generasi yang akan datang, anak cucu kita.
KESIMPULAN
Masyarakat adat Talang mamak dalam pengelolaan fungsi hutan dan hukum adat
yang berlaku bertolak dari perhitungan jangka penjang mereka terhada generasi yang
akan datang. Hal ini akan sangat baik jika direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari
terutama oleh masyarakat modern. Bahwa tidak ada yang salah belajar dari kearifan
lokal masyarakat tradisional. Konsep hidup kembali ke alam yang sebenarnya adalah
dengan mengaplikasikan cara hidup yang ramah lingkungan, persis seperti apa yang
masyarakat tardisional lakukan pada umumnya. Kearifan lokal Masyarakat Adat
Talang Mamak dalam menjaga hutan dapat dijadikan sumber pembelajaran pada
mata pelajaran IPS yang secara spesifik mengangkat isu lingkungan sebagai tema

wajib yang diajarkan. Hal ini bertujuan untuk dengan sengaja menciptakan generasi
penerus bangsa yang memiliki kecerdasan ekologis.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, dkk. 2012. Upacara Adat Melayu Indragiri Hulu. Dinas Pemuda Olahraga
Budaya dan Pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu 2012.
Goleman,
D.
(2010).
Ecological
Intelligence
(KecerdasanEkologis):
MengungkapRahasia di BalikProduk-produk yang Kita Beli. Jakarta: PT.
GramediaPustakaUtama.
Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indoneisia. Jakarta: PT
Pustaka LP3ES
https://www.youtube.com/watch?v=hk3v29w72jg
Jarolimek, J & Parker, W.C. (1993). Social Studies in Elementary School (9 th ed.).
New York: MacMillan Publishing Company.
Latif, Syamsuri. 2011. Kamus Bahasa Melayu. Pekanbaru: Yayasan Taman Karya
Riau.
Mariane, Irene. 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Huatan Adat. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Maxim, George W. (2010). Dynamic Social Studies for Contructivist Classroom,
Inspiring Tomrrow’s Social Scientist 9th Edition. USA: Pearson Education
Muhaimin. 2015. Mengembangkan Kecerdasan ekolis; model pendidikan untuk
meningkikaykan kompertensi ekologis. Bandung: Alfabeta
NCSS, (2002). National Council for the Social Studies. Washington: National
Commission on Social Studies.
Nurman, dkk. 2014. Jurnal Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau:
Kearifan Lokal Masyarakat Talang Mamak Dalam Berladang
Palmer, J. A. (1998). Environmental Education in the 21st Century: Theory, Practice,
Progress and Promise. London: Routledge
Rifki, Afandi. (2013). Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah
Hijau. Jurnal Ilmiah Pedagogi. Vol. 2. No. 1. Hal. 98-108. (Dosen Jurusan
PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Muhamadiyah
Sidoarjo)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Sapriya. 2014. Pendidikan IPS, Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sapriya, et al. 2006. Bahan Belajar Mandiri, Konsep Dasar IPS. Bandung: UPI Press.
Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, seni, dan sejatah,
Jakarta: Rajawali Pers.
Simanjuntak, dkk. 2012. Budaya Pengobatan Masyarakat Talang Mamak di
Kabupaten Indragiri Huku. Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata
Kabupaten Indragiri Hulu.
Yunus, Mohd., dkk. tanpa tahun. Jurnal: Kearifan Lokal Pemanfaatan Tumbuhan
Obat pada Masyarakat Adat Melayu Riau (Studi Kasus pada Suku Talang
Mamak di Desa Talang Gedabu, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri
Hulu, Provinsi Riau. Universitas Riau, Pekanbaru