Positivisme August Comte dan Implikasiny

EPISTEMOLOGI POSITIVISME AUGUSTE COMTE
DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN
Oleh: Hanief Monady

A. PENDAHULUAN
Positivisme adalah paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul
dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham
ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada dalam kenyataan yang
berjalan sesuai dengan hukum alam. Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas itu
senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dipelopori oleh Auguste Comte.
Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga
kini masih banyak digunakan. Berikut akan penulis paparkan tentang biografi
Comte, teori positivisme yang ia kemukakan, dan implikasinya bagi pemikiran
Islam.
Pertama, akan dibahas mengenai sejarah hidup Auguste Comte.

B. BIOGRAFI AUGUSTE COMTE
Auguste Comte, bernama lengkap Isidore Auguste Marie François Xavier
Comte (1798-1857) ialah pendiri aliran filsafat positivisme.1 Ia adalah seorang

filosof dan sosiolog asal Prancis yang mengembangkan sebuah paham filsafat
yaitu positivisme. Ia juga penemu ilmu sosiologi, ilmu tentang sifat, perilaku, dan
perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan
perubahannya.2
Comte dilahirkan di Montpellier, pada 19 Januari 1798, dan meninggal
pada 5 September 1857, di kota Paris, Prancis. Montpellier adalah kota kecil di
1

Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal. 1.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), ed. 4, hal. 1332.

1

2
bagian barat daya negara Prancis. Setelah sekolah di kota lahirnya, ia melanjutkan
pendidikannya di École Polytechnique di Paris. Pada tahun 1816, politeknik
tersebut ditutup untuk direorganisasi, sehingga Comte meninggalkan École, dan

melanjutkan pendidikannya di sekolah Kedokteran di Montpellier. Dalam proses
tersebut, ia melihat adanya sebuah perbedaan yang dominan antara agama Katolik
yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki kerajaan yang berkuasa di
Prancis, sehingga ia terpaksa meninggalkan Prancis. Kemudian pada bulan
Agustus 1817 ia menjadi seorang murid sekaligus sekretaris dari Claude Henri de
Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian mengajak Comte masuk ke
dalam lingkungan intelektual. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan SaintSimon, karena untuk kedua kalinya, ia merasakan ketidakcocokan dalam
hubungannya dengan agama Katolik yang ia anut.
Pada masa itu, tahun 1822, ia mulai berpikir untuk menemukan apa yang
harus ia lakukan selanjutnya, yaitu menemukan filosofi positivisme. Rencananya
ini kemudian dipublikasikannya dengan nama “plan de travaux scientifiques
nécessaires pour réorganiser la société” atau “rencana studi ilmiah untuk

pengaturan kembali masyarakat”. Akan tetapi ia mengalami hambatan dalam
penelitian tersebut karena posisi akademisnya di Saint-Simon. Sehingga
kebutuhan finansialnya untuk kehidupan dan penelitian tersebut mulai bergantung
pada bantuan dari teman-temannya.
Comte kemudian menikah dengan Caroline Massin. Comte dikenal
sebagai seorang yang arogan, kejam, dan mudah marah sehingga pada tahun 1826,
ia dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa, tetapi ia kabur sebelum dinyatakan sembuh.

Dengan bantuan Massin, ia kembali stabil dan melanjutkan penelitian itu. Lalu
pada tahun 1842, Comte bercerai dengan Massin karena alasan yang tidak
diketahui. Pada masa pengerjaan kembali penelitian itu sampai dengan Comte
bercerai dengan istrinya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul “Le Cours
de Philosophie Positivistic”.
Pada tahun 1844, Comte jatuh cinta dengan Clotilde de Vaux. Setelah
Clotilde wafat, kisah cinta itu menjadi quasi-religious (sebagian dari agama).
Tidak lama kemudian, Comte yang merasa dirinya adalah seorang penemu

3
sekaligus

nabi

dari

“Agama

Kemanusiaan”


(Religion

of

Humanity),

mempublikasikan bukunya yang berjudul “Système de Politique Positive” (18511854).
Banyak buku dan karangannya yang sempat ia publikasikan, dan juga
belum sempat karena berbagai sebab di antaranya adalah sakit yang dia derita, di
antara buku tersebut adalah “The Course on Positive Philosophy (1830-1842,
diterjemahkan oleh Harriet Martineau dengan judul “The Positive Philosophy of
Auguste Comte”), “The System of Positive Polity, or Treatise on Sociology,
Instituting the Religion of Humanity”, (1851-1854), “The Early Writings” (1820-

1829), “Elementary Treatise on Analytic Geometry” (1843), “The Philosophical
Treatise on Popular Astronomy” (1844), “The Discourse on the Positive Spirit”

(1844), “The General View of Positivism” (1848), “Catechism of Positive
Religion” (1852), “Appeal to Conservatives” (1855), “Treatise of Universal
Education”, “System of Positive Industry, or Treatise on the Total Action of

Humanity on the Planet”, dan “Treatise of First Philosophy”. Ia wafat pada

tanggal 5 September 1857, dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise,
Paris.3
Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana teori positivisme yang
dikemukakan oleh Auguste Comte.

C. TEORI POSITIVISME
Teori positivisme bermula dari munculnya huku tiga tahap (Law of Three
Stages) dari Auguste Comte. Melalui hukum ini ia menyatakan bahwa sejarah

umat manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah
berkembang menurut tiga tahapan, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik
atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau rièl. Pengertian “perkembangan”
yang merupakan proses dari berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi isi dan
arti yang “positif”, dalam arti sebagai suatu gerakan “perkembangan” yang yang
menuju ke tingkatan yang lebih tinggi dan lebih maju. Baginya, “perkembangan”
3

Dikutip dari August Comte, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses

pada 18 Oktober 2014, juga dikutip dari Michael Bourdeau, Auguste Comte, dalam
plato.stanford.edu/entries/comte/#Bio, diakses pada 18 Oktober 2014.

4
itu merupakan penjabaran segala sesuatu sampai kepada objeknya yang tidak
personal.4
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa menurut Auguste Comte,
sejarah umat, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara
keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi, tahap metafisik,
dan tahap positif.
1.

Tahap teologi atau fiktif
Dalam tahap ini, manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan

sebab yang pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada. Gejala atau
fenomena di alam yang selalu menarik manusia untuk mengetahuinya dan
mengaitkan hal tersebut dan meletakkannya dengan sesuatu yang mutlak. Dengan
adanya rasa keingintahuan itu, sehingga manusia selalu berusaha untuk
mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan

perbuatannya. Hal ini disebabkan oleh rasa keingintahuan manusia yang tanpa
batas dan manusia harus dapat mengetahui jawaban dari hal yang mudah sampai
pada hal yang paling sulit untuk dijawab. Menurut Auguste Comte, tahap teologi
ini tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi akan muncul melalui tahapantahapan, yaitu fetisyisme, politeisme, dan monoteisme.
a.

Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari

oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala
sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana
kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan, segala
sesuatu tersebut akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia itu,
sehingga

manusia

itu

akan


menyesuaikan

dirinya

kepada

lingkungannya.
b.

Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari

oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa daya
pengaruh itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang ada di
sekeliling manusia, akan tetapi dari benda-benda atau makhluk4

hal. 1-2.

Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,

5

makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekitarnya. Dalam
bentuk kehidupan ini, timbul kepercayaan akan sesuatu di diri
manusia, bahwa setiap benda, setiap gejala atau peristiwa alam
dikuasai oleh dewanya masing-masing. Sehingga untuk keselamatan
dirinya, manusia harus menyembah para dewa tersebut dengan
melakukan suatu ritual penyembahan.
c.

Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari

oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa
pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewadewa, akan tetapi dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan
yang satu.
2.

Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir juga tahap teologi.

Hal ini dikarenakan manusia mulai merubah pola pikirnya dalam usahanya untuk
mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan gejala alam. Sehingga dogma agama akan ditinggalkan, dan kemampuan
akal akan dikembangkan.
Menurut Auguste Comte, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa
manusia masih menunjukkan hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan
dalam tahap teologi, namun pada tahap ini manusia sudah mampu melepaskan
dirinya dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Oleh
sebab itu, pada tahap ini jiwa manusia akan sering mengalami konflik, karena di
satu pihak, pengaruh teologik masih dapat dirasakan, dan di pihak lain,
kemampuan berabstraksi (berpikir) yang dirasakan sebagai “pembebasan”
kekuatan yang datang dari luar itu terus berkembang. Dalam perkembangannya
itu, akal budi akan menjadi kekuatan satu-satunya yang digunakan manusia untuk
menerangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan berabstraksi
tadi, manusia mampu pula menerangkan hakikat atau substansi dari segala sesuatu
yang ada. Oleh sebab itu, pada tahap ini istilah ontologi mulai digunakan.

6
3.

Tahap positif atau riél
Dalam perkembangan jiwa manusia, pada batas bahwa manusia tidak lagi


merasa puas dengan hal-hal yang abstrak, manusia akan merasa lebih dekat
dengan hal-hal atau gejala-gejala yang dapat diterangkan melalui pengamatan
berlandaskan hukum-hukum umum yang deskriptif, seperti hukum gaya tarik
bumi atau gravitasi. Tahap ini adalah akhir dari perkembangan jiwa manusia. Ini
adalah tahap pembebasan yang sebenarnya, yang tidak lagi dipengaruhi oleh
kekuatan atau pengertian adikodrati atau metafisik. Dengan menjadi matangnya
jiwa manusia, maka manusia tidak lagi merasa terbantu oleh pengetahuan abstrak,
akan tetapi yang diperlukan sekarang adalah pengetahuan yang nyata, yang dapat
dicapai melalui pengamatan, percobaan, perbandingan, dan berlandaskan hukumhukum yang umum.5
Auguste Comte melihat bahwa tahap positif ini sebagai tahap
perkembangan masyarakat di saat masa industrialisasi sudah dapat dikembangkan,
disertai dengan peranan pada ilmuwan dan industrialis yang bersama-sama
mengatur masyarakat secara ilmiah.6
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa dalam karya Comte yang
berjudul “Discours sur Lesprit P ositif”, secara eksplisit Comte menerangkan
bahwa yang dimaksud dengan pengertian “positif” itu adalah
1.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayalan, maka
pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan akan
sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan
bahwa filsafat positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya
didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat
dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.

2.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka
pengertian

5

“positif”

diartikan

sebagai

pensifatan

sesuatu

yang

Ibid, hal. 11-15. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 154-

155.
6

Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,
hal. 16. Lihat juga Auguste Comte, The Positive Philosophy, diterjemahkan oleh Harriet Martineau
(London: Batoche Books, 2000), vol. 1, hal. 27-31.

7
bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyataan bahwa di
dalam filsafat positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada
pencapaian kemajuan. Filsafat tidak berhenti sampai di pemenuhan
keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan mengenai sesuatu
saja, akan tetapi filsafat harus digunakan untuk mencapai kemajuan di
masyarakat.
3.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian
“positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini
sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai
pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi
setiap individu dan masyarakat.

4.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur atau buram, maka
pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau
tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam
pemikiran filosofis, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas
atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai
apa yang sebenarnya dibutuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya
memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan
disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan
adikodrati.

5.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian
“positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Pengertian “positif” oleh Auguste Comte digunakan untuk menunjukkan

ciri khas dan metode yang sesuai dengan kekhassan itu, yaitu berbeda dengan
pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan metafisik.7
Dr. Koento selanjutnya mengatakan, bahwa metode yang digunakan oleh
Auguste Comte dalam menjelaskan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas
gejala-gejala yang paling sederhana, umum atau abstrak, menuju ke tingkat
gejala-gejala yang semakin jelas, khusus dan konkret yang dihadapi oleh masing7

Ibid, hal. 37-38.

8
masing ilmu, digunakan tiga metode, yaitu pengamatan (observation), percobaan
(experiment), dan perbandingan (comparison). Akan tetapi, dalam menghadapi
gejala-gejala dalam fisika sosial (sosiologi), Comte menambahkan satu metode,
yaitu metode pendekatan sejarah (historical approach).8
Selanjutnya, akan dibahas mengenai penggolongan ilmu pengetahuan
menurut Auguste Comte.

D. PENGGOLONGAN ILMU PENGETAHUAN
Di samping hukum tiga tahap, penggolongan ilmu pengetahuan juga
diadakan oleh Comte. Auguste Comte berpendapat bahwa penggolongan yang ia
lakukan adalah yang paling tepat, dan tidak mengandung kesalahan sebagaimana
penggolongan yang pernah ada sebelumnya.
Bahwa penggolongan yang pernah ada itu mengandung kesalahan, hal itu
menurut Comte disebabkan karena:
1.

Penggolongan itu dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup mengenai sesuatu cabang ilmu manapun.

2.

Keinginan untuk menyamakan dan menyatukan berbagai bagian dalam
sistem intelektual yang sebagian sudah bersifat positif, sedang sebagian
yang lain masih bersifat metafisik atau teologik, sehingga mustahi untuk
membuat suatu penggolongan.9
Pada dasarnya, penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh

Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan
bahwa gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya
paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Baginya, inilah cara atau metode
yang ia katakan paling tepat, karena urutan atau tingkatan dalam sifat
kesederhanaannya dan ke-umum-annya, menentukan kemudahan (fasilitas) yang
diperlukan untuk memahami gejala-gejala yang dihadapi.
Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling
umum secara lebih tenang dan rasional, akan diperoleh landasan baru bagi ilmu8
9

Ibid, hal. 39.
Ibid, hal. 23.

9
ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih
cepat, dan dengan mengakhiri pengamatan gejala-gejala yang langsung berkaitan
dengan kehidupan manusia, maka urutan dalam penggolongan yang dikemukakan
Comte itu pertama disebutnya yaitu ilmu pasti (matematikan) yang dikatakan
sebagai dasar semua ilmu pengetahuan. Setelah itu disusul dengan ilmu
perbintangan (astronomi), kemudian ilmu alam (fisika), kimia (alchemi), ilmu
hayat (biologi) dan akhirnya ilmu sosial (sosiologi).
Ilmu jiwa (psikologi) bagi Comte tidak dapat dimasukkan dalam
penggolongan ilmu, karena sesuai dengan perkembangan pada jamannya,
psikologi belum dapat melampaui tahap metafisik. Psikologi dikatakan termasuk
sosiologi, dan ini akan dapat berkembang setelah sosiologi itu dapat mencapai
tahap positif dalam perkembangannya.
1.

Ilmu Pasti (Matematika)
Sejak semula, pandangan Comte tentang ilmu pengetahuan selalu

dikaitkan dengan pendiriannya dalam penyelesaian masalah-masalah praktis,
sehingga makna ilmu pengetahuan selalu menjadi bersifat pragmatik, suatu
“chose instrumentale”, sesuai dengan semboyannya “savoir pour prevoir”.
Dengan menyatakan bahwa ilmu pasti merupakan ilmu yang mempunyai
objek “the indirect measurement of magnitudes and it purposes to determine
magnitudes by each other, according to the precise relations which exist between

them”. Comte menyatakan bahwa jiwa ilmu pasti itu selalu beranggapan bahwa
semua kuantitas yang dapat ditunjukkan oleh gejala apapun, sebagai saling
berhubungan untuk dapat mendeduksikan segala sesuatu dari diri mereka masingmasing. Dengan metode-metode yang digunakan, melalui ilmu pasti, akan
diperoleh pengetahuan dalam tingkat “kesederhanaan dan ketepatan” yang
tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat dilakukan akan manusia.
Atas dasar ini, ilmu pasti dijadikan dasar bagi semua ilmu pengetahuan
oleh Comte, karena sifatnya yang tetap, abstrak dan pasti, melalui apa yang
disebut penyajian “calculus”nya. Apabila dalam ilmu pasti itu terdapat

10
keterbatasan, menurut Comte, maka keterbatasan itu bukan terletak pada ilmu
pasti, melainkan terletak pada akal manusia sendiri.10

2.

Ilmu Perbintangan (Astronomi)
Dengan didasari ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun

hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda-benda langit.
Comte mendefinisikan ilmu perbintangan ini sebagai “as the science by
which we discover the laws of the geometrical and mechanical phenomena
presented by the heavenly bodies”. Sesuai dengan definisi tersebut, ilmu

perbintangan dibaginya ke dalam “celestial geometry” dan “celestial mechanics”
yang kesemuanya itu menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta
gerak benda-benda langit seperti bintang, bumi, bulan, dan planet-planet lain.
Disinggung pula apa yang disebut gaya tarik bumi (gravitasi) dan kosmogoni,
yang ia terangkan kesemuanya itu melalui pengamatan langsung (direct
observation).

Dengan menguraikan doktrin astronomi ini, Comte telah merasa berhasil
menunjukkan sifat umum ilmu pengetahuan yang sebenarnya merupakan dasar
bagi filsafat alam.11
3.

Ilmu Alam (Fisika)
Sesuai dengan asas yang telah disebutkan tadi, dalam ilmu alam sebagai

ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai
benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia
anorganik. Disini dihadapkan dengan gejala-gejala yang lebih kompleks, yang
kesemuanya tidak akan dapat dipahami, tanpa terlebih dahulu memahami hukumhukum astronomi.
Melalui “observation by experiment”, ilmu alam yang meliputi ilmu berat
benda (barologi), panas benda (termologi), akustik, optik, dan listrik, oleh Comte
ilmu alam dipergunakan sebagai bukti untuk menunjukkan adanya hukum-hukum
yang mengatur sifat-sifat umum benda-benda yang dikaitkan dengan massa, yang
10
11

Ibid, hal. 25-26.
Ibid, hal. 26-27.

11
berada dalam keadaan yang memungkinkan molekul mereka tidak berubah
sebagai suatu himpunan. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika, Comte juga
berusaha dengan hukum fisika, untuk dapat meramalkan dengan setepat-tepatnya
semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan
atau keadaan tertentu.12
4.

Ilmu Kimia (Chemistry)
Comte memberikan definisi mengenai ilmu kimia sebagai “... that it

relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which
result from the molecular and specific mutual action of different subtances,

natural or artificial.” Untuk membuktikan bahwa gejala-gejala yang dihadapi
oleh ilmu kimia ini lebih kompleks daripada ilmu alam, Comte menerangkan
bahwa ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi), bahkan juga
dengan sosiologi. Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini
tidak saja melalui pengamatan (observation), dan percobaan (experiment),
melainkan juga dengan perbandingan (comparation).
Dikatakan bahwa ilmu kimia ini masih dalam proses berkembang, namun
demikian ia tidak dapat membenarkan untuk membagi ilmu kimia ini ke dalam
kimia organik dan kimia nonorganik, sebab apa yang terdapat dalam kimia
organik menunjukkan adanya setengah kimia dan setengah fisiologi, sehingga
kimia organik pada hakekatnya mempunyai sifat “bastard”.13
5.

Ilmu Hayat (Fisiologi dan Biologi)
Pada tingkatan penggolongan ilmu pengetahuan ini, apa yang disebut ilmu

hayat sudah berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Unsur-unsurnya yang
lebih kompleks, disertai adanya perubahan-perubahan yang sedemikian rupa,
menyebabkan Comte berpendapat bahwa ilmu hayat ini, jelas dalam
perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu
sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia.
Sifatnya yang kompleks meniadakan harapan bahwa ilmu hayat akan pernah dapat

12
13

Ibid, hal. 27-28.
Ibid, hal. 28.

12
mencapai kesempurnaan yang sebanding dengan bagian-bagian filsafat alam, yang
mempunyai sifat lebih sederhana dan lebih umum itu.
Dengan menyatakan bahwa “Biology, then, may regarded as having for its
object the connecting in each determinate case, the anatomical and physological

point of view; or, in other words, the statical and dynamical” – atau dengan kata
yang lebih umum sebagai “Given, the organ or organic modification to find the
function or the act, and reciprocally” maka jelaslah bahwa cara-cara

pendekatannya membutuhkan alat yang lengkap, yaitu, selain pengamatan
(observasi), percobaan (eksperimen), juga perbandingan (komparasi).14
6.

Fisika Sosial (Sosiologi)
Dalam urutan yang tertinggi, dalam penggolongan ilmu pengetahuan,

Comte menempatkan fisika sosial sebagai ilmu yang harus berhadapan dengan
gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu gejalagejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam ikatannya dengan
suatu kelompok. Fisika sosial bukan kelanjutan perkembangan ilmu hayat, karena
gejala-gejala yang dihadapi itu timbul dari adanya hubungan antar individu yang
satu dengan individu yang lain dalam wadah suatu kelompok yang disebut
masyarakat.
Bagi Comte, fisika sosial merupakan suatu bidang yang meliputi tatapemerintahan negara, etik, dan filsafat sejarah, sedang hukum-hukum yang
berlaku dibedakan antara hukum yang statis dan dinamis. Hukum yang statis
berkaitan dengan usaha untuk memahami hal-hal yang umum mengenai
keberadaan setiap masyarakat, seperti hal-hal perkembangan atau perubahan
masyarakat.
Dalam menghadapi gejala-gejala yang paling kompleks ini, fisika sosial
harus menambahkan satu cara pendekatan lagi, yaitu pendekatan historis, di
samping tiga cara pendekatan yang telah dipergunakan dalam ilmu pengetahuan
yang lebih rendah tingkatannya dalam penggolongan ini. Juga karena sifat gejalagejala yang dihadapi itu demikian kompleksnya, maka perkembangan fisika sosial
masih jauh dari tahapnya yang positif. Dalam hubungan ini, Comte menyatakan
14

Ibid, hal. 28-29.

13
bahwa kita belum mempunyai deretan fakta yang memadai, untuk dipergunakan
membentuk hukum umum tentang gejala-gejala sosial.15
Berikutnya adalah bagaimana dampak yang terjadi apabila teori
positivisme Comte ini disandingkan dan dihadapkan dengan dinamika pemikiran
keislaman.

E. IMPLIKASI TEORI POSITIVISME BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN
Dengan

bertambah

majunya

alam

pikiran

manusia

dan

makin

berkembangnya cara-cara pencarian kebenaran pada zaman sekarang, manusia
dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang cerita atau dongeng akan
mitos. Menurut Comte, dalam perkembangan manusia, sesudah tahap mitos,
manusia berkembang ke tahap filsafati. Pada tahap ini, rasio sudah terbentuk,
tetapi belum ditemukan metode berpikir secara objektif. Rasio sudah beroperasi,
akan tetapi nilai objektivitasnya masih kurang. Dengan pengamatan yang kritis
dan sistematis, manusia akan berusaha mencari jawaban secara rasional dengan
meninggalkan cara yang irrasional.16
Teori filosofis positivisme dikemukakan pertama kali oleh Auguste
Comte. Dalam proses perkembangannya, positivisme ini akan digunakan sebagai
landasan teori dari paham rasionalisme dan empirisisme.17
Metode positivisme berkaitan dengan pandangannya akan objek “positif”.
Jika metode bisa diartikan sebagai suatu cara untuk memperoleh pengetahuan
yang benar tentang kenyataan, maka kenyataan yang dimaksud itu adalah objek
yang positif. Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat dipahami dengan
membuat beberapa pembedaan, yaitu antara „yang nyata‟ dan „yang khayal‟,
„yang pasti‟ dan „yang meragukan‟, „yang tepat‟ dan „yang kabur‟, „yang berguna‟
dan „yang sia-sia‟, serta „yang mengklaim memiliki kesahihan relatif‟ dan „yang
mengklaim memiliki kesahihan mutlak‟. Dari patokan tersebut, positivisme

15

Ibid, hal. 29.30.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu , hal. 63-65.
17
Ibid, hal. 65-66.
16

14
meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta objektif, yaitu fakta
yang nyata, pasti, tepat, berguna, dan benar secara relatif.18
Adapun implikasinya terhadap pemikiran keislaman, maka dapat
dihadapkan dengan berbagai ilmu-ilmu keislaman yang ada dan berkembang
sampai sekarang, ilmu itu antara lain Tafsir Alquran, Syarah Hadis, Fiqih, Kalam,
Tasawuf, dan Politik Islam.19
Pertama , implikasi teori positivisme terhadap Tafsir Alquran. Tafsir

Alquran berkembang sepanjang waktu sesuai dengan perjalanan historis dan
sosial dari masyarakat muslim di suatu tempat pada suatu waktu. Akan tetapi
tafsir yang telah datang terdahulu, tidak serta merta dihilangkan oleh masyarakat
muslim. Tafsir yang datangnya belakang juga tidak bisa menghilangkan tafsir
yang terdahulu. Maka, apabila dihadapkan dengan teori positivisme yang
mengharuskan suatu ilmu pengetahuan itu adalah pasti dan relatif kebenarannya,
maka tafsir tidak dapat dianggap sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang pasti,
atau dalam bahasa Comte adalah “positif”. Karena tafsir yang belakangan, tidak
bisa menghapus tafsir yang terdahulu, sehingga tafsir-tafsir tersebut, yang berbeda
penafsirannya di antara sesama penafsir Alquran, tidak bisa dianggap sebagai
ilmu pengetahuan yang objektif.
Kedua , implikasinya terhadap Syarah Hadis. Sama dengan tafsir, syarah

hadis berkembang sesuai dengan pengaruh internal dan eksternal di pensyarah
hadis tersebut. Syarah yang datang belakang juga tidak bisa menghapus syarah
yang terdahulu. Sehingga ilmu pengetahuan ini juga dianggap Comte sebagai ilmu
pengetahuan yang tidak objektif, pasti, benar, dan positif.
Ketiga , implikasinya terhadap Fiqih. Dalam perkembangan agama Islam,

Fiqih juga terbagi menjadi empat madzhab besar di dunia. Hal ini juga jika
dihadapkan dengan positivisme Comte, maka fiqih tidak dianggap positif. Fiqih
yang berkembang seharusnya menjadi satu madzhab yang absolut, pasti, dan
benar, tidak terpecah menjadi - sekurangnya - empat.
18

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2006), hal. 92.
19
Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (New York: Routledge, 2006), hal.
viii-ix.

15
Keempat, implikasinya terhadap Kalam. Kalam mulai berkembang pada

abad ke-6 M. Selama proses berjalannya waktu, dan perkembangan Islam sampai
mendunia, telah banyak aliran kalam yang muncul, dan melahirkan berbagai
kelompok aliran di Islam. Pada awalnya, aliran dalam Kalam seolah-olah
berusaha untuk menghapus aliran kalam sebelumnya, seperti aliran Jabarīyah
yang berusaha digantikan dengan aliran Qadarīyah. Akan tetapi pada
kenyataannya, suatu paham tidak bisa dihapus selama masih ada yang mengetahui
dan menganggap bahwa aliran yang ia anut adalah aliran yang paling benar.
Positivisme tidak bisa menerima hal tersebut, teori ini mengharuskan untuk hanya
berpaham pada satu aliran kalam.
Kelima , yaitu implikasinya terhadap Tasawuf. Sama halnya dengan

pembahasan sebelumnya, tasawuf juga memiliki banyak aliran (tariqat), seperti
Tijānīyah, Naqshabandīyah, Syadzalīyah, dan lain sebagainya. Maka teori
positivisme juga tidak menganggap tasawuf sebagai ilmu pengetahuan yang
benar, karena masih memiliki banyak paham di dalamnya.
Terakhir , dari pembahasan ini, adalah implikasinya terhadap Politik Islam.

Politik yang berkembang di dunia juga memiliki banyak aliran, seperti Sunni dan
Syī’ah. Di Indonesia pun juga begitu, politik Islam di Indonesia terbagi menjadi

kubu-kubu, seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Maka hal ini tidak
dibenarkan oleh Positivismenya Comte, karena seharusnya apabila ilmu
pengetahuan – dalam hal ini adalah pemikiran Politik Islam – itu benar, maka
hanya ada satu yang seharusnya diperpegangi oleh seluruh umat Islam.
Demikian isi dari makalah ini.

F. PENUTUP
Setelah membahas teori positivisme yang dikemukakan oleh Auguste
Comte dan implikasinya terhadap pemikiran keislaman, maka penulis mengambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
Pertama , teori positivisme Auguste Comte terhadap ilmu pengetahuan

adalah berusaha untuk mencari dan menetapkan ilmu pengetahuan menjadi ilmu
yang “positif”, positif yaitu pasti, objektif, absolut, tepat, berguna, dan benar

16
secara relatif. Kedua , implikasi yang terjadi apabila teori positivisme dihadapkan
dengan pemikiran keislaman dalam hal Tafsir, Syarah Hadis, Kalam, Fiqih,
Tasawuf, dan Politik Islam akan membuat semua perkembangan di pemikiran
keislaman tersebut menjadi tidak “positif”, dikarenakan ilmu pengetahuan yang
datang setelahnya tidak akan membuat ilmu pengetahuan yang datang sebelumnya
hilang atau terhapus. Demikian makalah ini penulis sampaikan, semoga dapat
memberian pencerahan dan sumbangan ilmu yang bermanfaat bagi pembaca
sekalian.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Comte, Auguste. The Positive Philosophy. diterjemahkan oleh Harriet Martineau.
London: Batoche Books. 2000.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2008. ed. 4.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar. 2006.
Saeed, Abdullah. Islamic Thought: An Introduction. New York: Routledge. 2006.
Wibisono, Koento. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste
Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1983.

SITUS INTERNET
August Comte. http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte. pada 18 Oktober
2014.

Michael Bourdeau, Auguste Comte. plato.stanford.edu/entries/comte/#Bio. pada
18 Oktober 2014.