Filsafat Pendidikan dan Implikasinya ter

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN DASAR ISLAM

Disusun oleh :
Munari, S.Pd.I

Secara substansial maupun historis, filsafat merupakan cikal bakal atau yang melatar
belakangi kelahiran ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
ketajaman panca indera dan ketajaman akal manusia. Dalam proses perkembangannya, filsafat dan
ilmu pengetahuan tetap menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Kelahiran ilmu pengetahuan tidak
terlepas dari peranan filsafat dan sebaliknya, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
memperkuat keberadaan atau eksistensi filsafat.
Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk banyak berfikir (menggunakan akal), dan
memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya (mengadakan penelitian), bahkan mencela orangorang yang malas berfikir (tidak mau menggunakan akalnya). Allah SWT telah berfirman:

ِ ََّٰ ‫ٱختِل‬
ََّّ ‫ب‬
َّ ِ ََّٰ ‫ت ِْل ُ۟و ِِل ْٱْلَّلْب‬
َّ ‫إ َِّن ِِف َّخلْقِ ٱ‬
ْ ‫لس ََّٰم ََّٰو ِت َّو ْٱْل َّ ْر ِض َّو‬

ٍۢ ََّٰ ‫ف ٱلَّي ْ ِل َّوٱ َّلنَّهَّا َِّر َّ َّلءَّاي‬
“Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Ali ’Imran (3): 190).
Secara etimologi, filasafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (Tafsir.1990:
8). Filsafat dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar untuk berfikir radikal sampai ke akar-akarnya
dalam rangka menemukan kebenaran atau kesimpulan yang bersifat universal. Segala bentuk
kebenaran yang diketahi dan dinyatakan harus diberlakukan dalam kehidupan dan kebenaran
yang terstruktur akan menjadikannya sebagai sebuah ilmu. Ilmu yang bersumber dari kebenaran
yang diproses dengan benar dan digunakan dengan benar merupakan tujuan yang benar. Manusia
diciptakan bukan untuk dirinya sendiri dan ilmupun dicptakan juga bukan untuk ilmu itu sendiri.
Manusia, ilmu, dan amal harus terintegrasi dengan moral dan hikmah sehingga manusia dapat
mewarnai dunia dengan ilmu dan hikmah.
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan hidup
manusia dan pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia. Pendidikan
memerlukan filsafat karena dalam pendidikan terdapat berbagai permasalahan yang kompleks dan
luas, seluas lapangan kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut maka lahirlah filsafat
1

pendidikan sebagai salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang filsafat yang lain.
Selanjutnya dari filsafat pendidikan terlahir ilmu pendidikan yang menjadi acuan bagi

penyelenggaraan

pendidikan.

Pendidikan

merupakan

usaha

untuk

mewujudkan

atau

merealisasikan ide-ide yang ideal dari filsafat pendidikan dalam kenyataan, tindakan, dan tingkah
laku.
Berdasar pada perihal sebagimana tersebut di atas, filsafat pendidikan Islam seharusnya tidak
hanya memberi tawaran dalam menyumbang ilmu-ilmu pendidikan tetapi juga dapat memberikan

solusi dalam memecahkan berbagai macam permasalahan pendidikan. Makalah ini akan
mengemukakan pembahasan terkait dengan filsafat pendidikan dengan memfokuskan
permasalahan pada identifikasi aliran-aliran atau tipologi filsafat pendidikan Islam, fungsi filsafat
pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi filsafat pendidikan Islam
terhadap kurikulum dan pembelajaran pendidikan dasar Islam.

2

PEMBAHASAN
A. FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof yang obyeknya adalah permasalahan hidup di
dunia, dalam proses perkembangannya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Berbagai
macam pendangan dalam filsafat tersebut ada kalanya saling mendukung serta saling menguatkan
dan ada kalanya juga saling bertentangan serta berlawanan antara yang satu dengan lainnya
walaupun obyek yang dikaji adalah sama. Perbedaan pandangan terjadi selain karena penggunaan
sistem pendekatan yang berbeda juga disebabkan oleh faktor zaman, pendangan hidup, dan
lingkungan yang melatarbelakangi para filosof berbeda-beda pula. Demikian pula halnya dengan
filsafat pendidikan sebagai nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari,
dan memberikan identitas serta karakteristik sistem pendidikan.
Berbagai macam pandangan dalam filsafat sebagaimana tersebut di atas telah mempengaruhi

dan melahirkan berbagai aliran dalam filsafat pendidikan. Menurut As-Syaibani (1984: 36) filsafat
pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk
mengatur,

menyelaraskan, dan

memadukan

proses

pendidikan. Zuhairini

(2012:

20)

mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat lima macam aliran dalam filsafat pendidikan,
yaitu: Progressivisme, Esensialisme, Perennialisme, Rekonstruksionisme, dan Eksistensialisme.
Lebih lanjut Muhaimin (2012: 79) menyatakan bahwa aliran-aliran tersebut telah berkembang di
Amerika Serikat dan dapat dipetakan ke dalam dua kelompok, yaitu tradisional dan kontemporer.

Termasuk dalam kelpmpok tradisional adalah Perennialism dan Essentialism. Adapun yang masuk ke
dalam kelompok kontemporer adalah Progressivism, Reconstructionism, dan Existentialism.
1. Esensialisme
Aliran esensialisme dalam hal pendidikan didasari oleh pandangan humanisme, yang
merupakan reaksi terhadap hidup yang terlalu mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah, dan
materialistik. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki
kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui
sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau
pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang di luar ke dalam jiwa peserta didik sehingga mereka
perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorsi atau penyerapan yang tinggi (Muhaimin, 2012:
80).

3

Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia. Kurikulum pendidikan bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia
yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan kegunaan. Oleh karena itu, dalam

sejarah perkembangannya kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum seperti
pola idealisme, realisme, dan sebagainya (Zuhairini, 2012: 27). Sesuai dengan pandangan aliran
esensialisme ini, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan
prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
2. Perennialisme
Perennialisme berasal dari kata perennial yang berarti continuing throughout the whole
year atau lasting for a very long time abadi atau kekal. Perennialisme merupakan kepercayaan filsafat
yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat abadi (Zuhairini, 2012: 27).
Perennialisme berpandangan bahwa kehidupan modern telah menimbulkan banyak krisis pada
berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam hal ini, aliran perennialisme menawarkan solusi
berupa “regressive road to cultural” yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau (Noorsyam, 1987:
158). Aliran ini beranggapan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting dalam
proses pengembalian keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang
dianggap cukup ideal dan telah teruji ketangguhannya.
Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Plato
menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manifestasi dan hukum universal yang abadi dan
ideal. Menurut Plato manusia memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan akal. Program
pendidikan yang ideal berorientasi kepada tiga potensi itu agar kebutuhan yang ada pada setiap
lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Ide Plato kemudian dikembangkan oleh Aristoteles yang
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan maka

aspek fisik, intelek, dan emosi harus dikembangkan secara seimbang, bulat, dan totalitas. Adapun
menurut Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah perwujudan kapasitas (potensi) yang ada
dalam diri individu agar menjadi aktif dan nyata. Oleh karena itu peran pendidik dalam hal
ini mengajar dalam arti memberi bantuan kepada peserta didik untuk berpikir jelas dan mampu
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya (Djumransjah, 2006: 187-188).
Berbeda dengan aliran esensialisme, aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi
kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak
akan pernah menjadi situasi yang riil. Peserta didik hanya menyusun dan merancang di mana ia
belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugas peserta didik adalah belajar dan
merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan bila memungkinkan untuk
4

meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui usaha sendiri. Prinsip dasar pendidikan aliran ini
adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi, karena
kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan
merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu
kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Aliran ini menilai bahwa belajar itu
untuk berfikir. Pendidikan merupakan alat untuk menyampaikan apa yang menjadi kebanggaan
pada masa lalu. Oleh karena itu organisasi pendidikan hanyalah sekedar perantara dalam
menurunkan nilai-nilai kebenaran yang bersifat sama dari satu generasi ke generasi berikutnya.

3. Progresivisme
Aliran progresivisme menghendaki tujuan pendidikan diartikan sebagai rekonstruksi
pengalaman yang terus menerus agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan
mampu mengadakan penyesuaian serta penyesuaian kembali dengan tuntutan dari lingkungan
(Muhaimin, 2012: 80). Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan azas
progresivisme dalam semua realita kehidupan, agar manusia bisa survive dalam menghadapi semua
tantangan hidup. Aliran progresivisme dinamakan pula sebagai instrumentalisme karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan azas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori. Selanjutnya, aliran ini dinamakan environmentalisme karena menganggap lingkungan hidup
mempengaruhi pembinaan kepribadian (Jalaluddin, 2013: 228-229).
Aliran progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitikberatkan pada segi manfaat
bagi hidup praktis. Dalam banyak hal, progresivisme identik dengan pragmatisme. Oleh sebab itu,
jika orang menyebut pragmatisme, berarti ia menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297). Aliran
progresivisme memiliki sifat-sifat negatif dan sifat-sifat positif (Zuhairini, 2012: 21).
Sifat negatif progresivisme yang dimaksud adalah menolak otoritarisme dan absolutisme dalam
segala bentuk seperti politik, etika, epistemologi, dan bahkan agama. Adapun yang dimaksud
dengan sifat positif adalah, bahwa progresivisme menaruh terhadap kekuatan alamiah dari

manusia.

Progresivisme

meyakini

bahwa

manusia

memiliki

kesanggupan-kesanggupan

mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia-rahasia alam, sanggup
menguasai alam, dan sanggup pula menguasai lingkungan sosial.
Tugas

pendidikan


menurut

aliran

progresivisme

adalah

meneliti

sejelas-jelasnya

kesanggupan-kesanggupan manusia serta menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan
praktis (Zuhairini, 2012: 22). Manusia hendaknya mempekerjakan ide-ide atau pikiran pikirannya.
5

Manusia hendaknya tidak hanya berpikir untuk kesenangan berpikir, melainkan berpikir untuk
berbuat sesuatu. Progresivisme menolak “pure intellectualism.” Bagi progresivisme, jiwa dan pikiran
manusia harus dipergunakan untuk menghadapi tugas-tugas hidup yang sangat besar.
Progresivisme menolak pendapat yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak

berdaya, yang hanya dapat menyerah kepada kekuatan alam dan lingkungannya.
4. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran Rekonstruksionisme
pada dasarnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu berawal dari krisis kehidupan modern.
Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
kebudayaan terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran (Jalaluddin dan
Adullah Idi, 2013: 116). Perbedaan kedua aliran ini terletak pada visi dan cara yang ditempuh
untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Perennialisme memilih cara
kembali ke alam kebudayaan lama (regresive road culture) yang mereka anggap paling ideal.
Sementara itu, aliran rekonstruksionisme menempuh jalan dengan berupaya membina suatu
konsensus yang paling luas mengenai tujuan pokok serta tertinggi dalam kehidupan umat manusia
(Departemen Agama RI, 1994: 31).
Aliran

ini

meyakini

bahwa

pendidikan kebudayaan merupakan

tanggung

jawab

sosial karena eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya diarahkan untuk pengembangan
dan perubahan masyarakat. Aliran ini percaya bahwa manusia memiliki potensi fleksibel dan
kukuh, baik dalam sikap maupun tindakannya. Merupakan hal yang sangat berharga dalam
kehidupan manusia itu, jika ia memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangkan potensi
dirinya secara sempurna. Pendidikan adalah jawaban dari keinginan potensial manusia itu
(Muhmidayeli, 2011: 177). Upaya untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh dengan berusaha
mencari kesepakatan antar sesama manusia agar dapat mengatur kehidupan dalam suatu tatanan
yang meliputi seluruh lingkungannya. Proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 3013: 117). Penyelamatan dunia merupakan
tugas semua umat manusia. Oleh karena itu pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat
melalui pendidikan yang benar dan yang tepat akan dapat membina kembali manusia dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang benar demi kebaikan generasi sekarang maupun generasi yang
akan datang. Dengan demikian akan terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.

6

5. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai
individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat
relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Atas dasar pandangannya itu , sikap dikalangan eksistensialisme atau penganut aliran ini
sering kali tampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to (Hasan,
1974: 71) adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and
Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam
segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan
sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Existentialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F.
Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak
mengundang reaksi dikalangan ahli pendidikan merupakan salah satu model pendidikan yang
dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak
banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan (Zuhairini, 2012: 31).
Aliran Eksistensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam
mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing dan menemukan jati
dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri
dan nasibnya sendiri (Muhaimin, 2012: 82). Eksistensialisme berpendapat bahwa pelajar adalah
individu yang dapat mengembangkan potensinya masing-masing untuk menemukan jati dirinya.
Sedangkan pengajar adalah pembimbing dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan
pertanyaan-pertanyaan, bukan memberi intruksi, memiliki kejuruan ilmiah, integritas, dan
kreatifitas. Pengajartidak mencampuri perkembangan minat dan bakat peserta didik.
B. FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai sumber ajaran, al Qur’an maupun al-Hadits menaruh perhatian yang besar terhadap
masalah pendidikan. Sumber-sumber selain dari keduanya menduduki strata di bawahnya yang
mesti merujuk pada sumber pokok tersebut. Muhaimin (2012: 81) mengemukakan sumber-sumber
pemikiran pendidikan Islam selengkapnya adalah al-Qur’an, al-Sunnah, perkataan sahabat Nabi
SAW, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, dan pemikir-pemikir Islam.
Ajakan kembali kepada Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) bukan sekedar ajakan untuk kembali ke
masa lalu, melainkan ajakan kepada suatu sumber yang hidup dinamis, berkembang dan progresif
7

sepanjang masa. Al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki fleksibilitas pada prinsip-prinsip umum
berkenaan dengan penyusunan hidup manusia menyebabkannya selalu relevan pada segala zaman
dan segala tempat. Kembali ke peninggalan lama dalam hal ini adalah mengaitkan kondisi masa
kini dengan masa lampau, mendalamkan filsafat pendidikan, dan menekankan identitas budaya
serta pendidikan Islam. Selain itu, hal ini sangat diperlukan untuk menjaga pemikiran generasi
selanjutnya dari benih-benih ilhad, hedonisme, pembaratan pemikiran, sekularisasi prinsip-prinsip
serta nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat dan teori-teori yang tidak Islami (Muhaimin, 2012
82).
Dalam pandangan filsafat Islam yang berdasar pada firman Allah SWT (al-Baqarah (2): 30; alAn’aam (6):165), manusia diciptakan sebagai khalifah.

َّْ ‫َّو ُه َّو ٱل َّ ِذى َّجعَّل َّ ُك ْم َّخل َََّٰٰٓئِ َّف ْٱْل َّ ْر ِض َّو َّرفَّ َّع بَّعْ َّض ُك‬
ۗ ‫ت لِيَّبْل ُ َّو ُك ْم ِِف َّمٓا ءَّاتَََّّٰ ُك ْم‬
ٍۢ ‫ض دَّ َّر ََّٰج‬
ٍۢ ْ‫م فَّ ْو َّق َّب َّع‬
Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu
atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Khalifah dalam hal ini berarti wakil atau yang mendapat kuasa. Status sebagai khalifah mengandung
pengertian bahwa manusia diberi kuasa oleh Allah untuk memanfaatkan sekaligus memelihara,
menjaga, dan memakmurkan bumi (alam). Termasuk bagian dari tugas kekhalifahan itu manusia
diberikan wewenang untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia
diberi potensi untuk melaksanakannya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hidup dan kehidupan merupakan tantangan bagi manusia
untuk menjawabnya. Terkait dengan pendidikan, agar dapat mendidik dirinya sendiri, terlebih
dulu manusia harus memahami dirinya sendiri. Timbullah pertanyaan-pertanyaan seperti apa
hakikat manusia dan bagimana hakikat hidup dan kehidupannya, apa tujuan hidupnya, dan apa
pula tugas hidupnya. Selanjutnya manusia berhadapan dengan alam dan lingkungannya dan
manusia harus pula memahaminya. Manusia hidup ditengah-tengah masyarakat yang
mengharuskannya untuk menyesuaikan diri di dalamnya, manusia hidup bersama hasil cipta, rasa,
dan karsanya (kebudayaan), manusia hidup bersama keyakinan dan kepercayaannya, dan manusia
hidup dengan pengetahuan yang diperoleh dalam proses hidupnya. Sementara itu, dari waktu ke
waktu, dari generasi ke generasi alam dan lingkungan terus mengalami perubahan dan
perkembangan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga terus mengalami perubahan dan
perkembangan sehingga nilai-nilai juga mengalami perubahan dan perkembangan. Seiring dengan
perubahan-perubahan itu kualitas hidup manusiapun berangsur-angsur mengalami perubahan dan
perkembangan.
Perubahan-perubahan dan pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tersebut telah mendorong
manusia untuk mencari jawabannya. Jawaban-jawaban berbagai masalah dan pertanyaan itu
8

selanjutnya akan menjadi dasar bagi pelaksanaan dan praktik pendidikan. Ketepatan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengarahkan tujuan pendidikan secara tepat dan benar yang
sekaligus juga akan mengarahkan usaha-usaha kependidikan yang tepat dan benar pula. Dalam hal
ini, filsafat pendidikan menunjukkan peranannya. Filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya
merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksanaan pendidikan.
Filsafat dengan cara kerjanya yang sistematis, universal dan radikal, yang mengupas dan
menganalisis sesuatu secara mendalam (Suriasumantri, 1982: 4) sangat relevan dan dapat
menjawab problema hidup dan kehidupan manusia termasuk permasalahan pendidikan.
Perkembangan pemikiran (filsafat) dalam dunia Islam telah menghasilkan berbagai alternatif
jawaban terhadap berbagai problema kehidupan kehidupan manusia. Jawaban terhadap
pertanyaan terkait hubungan manusia dengan Tuhan, tentang keyakinan dan kepercayaan hidup,
telah melahirkan teori-teori atau Ilmu Kalam. Jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana
manusia berhubungan dengan Tuhan, nilai-nilai, norma-norma kehidupan, dan tingkah laku,
telah melahirkan Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqih. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
alam semesta dan hubungan manusia dengan alam semesta telah melahirkan berbagai macam ilmu
pengetahuan. Ilmu-ilmu tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia Islam dengan menggunakan
metode yang khas islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan kemampuan daya akal
dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari kebenaran dan mengambil kebijaksanaan dengan
bimbingan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ijtihad dengan menggunakan kemampuan daya akal
ini merupakan dasar bagi terbentuknya pola berpikir rasional (Abd. Al-Raziq, 1959: 132).
Metode ijtihad sebagai metode khas filsafat Islam telah mengalami banyak perkembangan.
Para ulama dan filosof Islam juga telah menggunakan metode ijtihad tersebut secara bervariasi.
Pada dasarnya metode ijtihad berakar pada upaya memahami petunjuk al-Qur’an sebagai wahyu
Allah SWT dan al-Sunnah sebagai penjelasan dan penjabarannya, namun para ulama dan filosof
Islam berbeda-beda cara penggunaannya sebagai sumber pemikiran dan ijtihadnya. Perbedaan
tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar filosofis yang mendasarinya. Misalnya
saja, para ulama dan filosof dalam bidang fiqih yang berbeda-beda dalam sistem ijtihadnya
menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda-beda pula. Demikian pula di kalangan ahli
tasawuf, perbedaan penggunaan sistem ijtihad menghasilkan tarikat yang berbeda-beda pula.
Filsafat pendidikan Islam merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat
dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok dalam arti
umat Islam (Zuhairini, 2012: 128). Filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang penggunaan
dan penerapan metode dan sistem filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan
umat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan
9

pendidikan umat Islam. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di kalangan para ulama dan para
filosof Islam terdapat perbedaan sistem atau cara dalam melakukan ijtihadnya, maka demikian
pula yang terjadi dalam pemikiran pendidikan Islam. Penggunaan metode ijtihad dengan sistem
atau cara yang bervariasi telah melahirkan metode-metode filosofis dan aliran-aliran filfafat yang
beraneka ragam dalam dunia pendidikan Islam, namun terdapat titk temu dalam aspek rujukan
utama mereka kepada fakta-fakta, informasi, pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang
tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkembangan pemikiran pendidikan Islam dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang
berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern, terutama dalam menjawab tantangan
perubahan zaman serta era modernitas. Tipologi pemikiran pendidikan Islam menurut Muhaimin
(2012:

103-104)

dapat

dibedakan

dalam

lima

kategori

yaitu: Tipologi Perenial-Esensialis

Salafi, Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi, Tipologi Modernis, Tipologi Perenial- Esensialis KontekstualFalsifikatif, Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid.
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi Perenial-Esensial Salafi merupakan tipologi pemikiran pendidikan yang menonjolkan
wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan Islam berfungsi sebagai
upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai ilahiyah serta nilai-nilai insaniyah dan
kebiasaan serta tradisi masyarakat salaf karena mereka dipandang sebagai masyarakat ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan memiliki
kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta pemahaman pemikiranpemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan
dan mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan kurang ada
keberanian untuk mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya. Dalam hal ini pendidikan
Islam berfungsisebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya
dari satu generasi ke generasi berikutnya dan tidak harus mempertimbangkan relevansinya dengan
konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
3. Tipologi Modernis
Tipologi Modernis adalah tipologi filsafat pendidikan yang menonjolkan wawasan kependidikan
yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis dalam menghadapi tuntutan serta kebutuhan dari
lingkungannya. Sesuai dengan wataknya yang bebas modifikatif, progresif, dan dinamis, tipologi
modernis ini memandang fungsi pendidikan Islam sebagai upaya melakukan rekonstruksi
pengalaman terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu yang intelligent dan mampu mengadakan
penyesuaian dengan tuntutan serta kebutuhan dari lingkungan masa kini.
10

4. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi Rekonstruksi Sosial merupakan tipologi dalam filsafat pendidikan Islam yang lebih
mengedepankan sikap proaktif dan antisipatifnya dalam pengembangan pendidikan. Dalam
pandangan tipologi ini tugas pendidikan adalah membantu manusia agar menjadi cakap dan
selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat. Terkait dengan
tugas tersebut, maka fungsi pendidikan menurut tipologi ini adalah sebagai upaya
menumbuhkembangkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia,
memperkaya isi nilai-nilai insani dan ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
5. Tipologi Perenial- Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Aliran ini mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa kini
selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial. Pendidikan
juga harus memberikan kesempatan kepada individu-individu untuk dapat mengembangkan
potensinya masing-masing dalam rangka menemukan jati dirinya. Tipologi ini memandang fungsi
pendidikan Islam sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai ilahiyah dan nilainilai insaniyah sekaligus menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan sosial kultural.

C. IMPLIKASI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KURIKULUM DAN
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN DASAR ISLAM
Pengembangan kurikulum adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang
kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat
menjadi bahan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas dan terperinci mengenai implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap
kurikulum dan pembelajaran pendidikan dasar Islam berikut ini akan dikemukakan terlebih
dahulu gambaran singkat tentang pengertian pendidikan Islam, pengertian kurikulum, dan
komponen-komponen kurikulum.
Banyak pengertian pendidikan Islam yang telah dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan
sudut pandang mereka masing-masing. Dari sekian banyak pengertian pendidikan Islam itu pada
dasarnya dapat dirangkumkan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang
berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap
pribadi manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta. Pendidikan Islam bertolak dari
pandangan Islam tentang manusia sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu
11

makhluk yang mempunyai dua fungsi yang sekaligus mencakup dua tugas pokok. Fungsi pertama,
manusia sebagai khalifah Allah di bumi, makna ini mengandung arti bahwa manusia diberi
amanah untuk memelihara, merawat, memanfaatkan serta melestarikan alam raya. Fungsi kedua,
manusia adalah makhluk Allah yang ditugasi untuk menyembah dan mengabdi kepadaNya. Selain
dari itu, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi lahir dan batin (Daulay, 2009: 6). Kedua
potensi tersebut perlu ditumbuhkembangkan dalam rangka melaksanakan tugas hidupnya sebagai
manusia ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Pendidikan sebagai suatu sistem dan suatu aktivitas membutuhkan adanya sejumlah
perangkat yang diperlukan untuk mencapai tujuan.Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal
dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak
didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka (al-Syaibany,
1984: 478). Kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan (Daradjat, 1996: 122). Secara
sederhana kurikulum dapat diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki beberapa komponen yang saling
berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain. Komponen-komponen kurikulum terdiri dari
tujuan, materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi. Komponen tujuan kurikulum berhubungan dengan
arah atau hasil yang diharapkan. Rumusan tujuan menggambarkan sesuatu yang dicitacitakan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem
nilai yang dianut masyarakat. Komponen isi/materi kurikulum merupakan komponen yang
berhubungan dengan pengalaman belajar yang harus dikuasai peserta didik. Isi kurikulum itu
menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan pengetahuan atau materi pelajaran yang
biasanya tergambarkan pada isi setiap materi pelajaran yang diberikan maupun aktivitas dan
kegiatan siswa. Baik materi maupun aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan
yang ditentukan. Komponen strategi merupakan komponen ketiga dalam pengembangan kurikulum.
Komponen ini merupakan komponen yang sangat penting, sebab berhubungan dengan
implementasi kurikulum. Bagaimanapun bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai tanpa
strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak mungkin dapat di capai. Strategi
meliputi rencana, metode, dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan
tertentu.Komponen evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan
kurikulum. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti kurikulum, sehingga dapat dijadikan
bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dipertahankan atau tidak, dan bagian-bagian
mana yang perlu disempurnakan.
12

Upaya pengembangan kurikulum terkait erat dan sangat dipengaruhi filsafat yang
melandasinya (landasan filosofisnya). Menurut Sukmadinata (1997: 58) ada empat fungsi filsafat
dalam proses pengembangan kurikulum.
Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai.
Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan.
Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses
pendidikan.
Selanjutnya gambaran implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap pembelajaran pendidikan dasar
Islam telah dikemukakan oleh Muhaimin (2012: 126-138) sebagaimana berikut ini:
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan
diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu yang dilakukan oleh anak
didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan salaf melalui inti pengetahuan yang terakumulasi
dan telah berlaku sepanjang masa dan penting untuk diketahui semua orang.
Berdasarkan tipologi tersebut tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada upaya:
1) Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan, dan menginternalisasikan kebenarankebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih (masa Nabi SAW dan sahabatnya).
2) Menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah serta budaya salaf melalui sejumlah inti
pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa.
Materi pendidikanIslam yang lebih diutamakan adalah doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar,
kembali kepada hal-hal yang mendasar dan esensial, serta mata pelajaran kognitif sebagaimana
yang ada pada era salaf. Bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan
lain-lain), dan membaca al-Quran dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta
menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf alShalih.
Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode ceramah, dialog, diskusi, debat, hafalan
(drill) dan pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan,
keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam
menjalankan tugas. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi berupa essay test, tes
diagnostik, tes hasil belajar, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas
tinggi, paham dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan orang/sarjana yang ahli
dalam bidangnya.
13

2. Tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi
Berdasarkan pada tipologi Perenial-Esensialis Madzhabi, tujuan pendidikan agama Islam
diorientasikan pada upaya:
1) Membantu peserta didik untuk menguak, menemukan, dan menginternalisasi kebenarankebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik atau pasca salaf al-shalih.
2) Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang
dianggap mapan secara turun temurun.
Materi pendidikan Islam diarahkan pada doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama sebagaimana
tertuang dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu yang berisi hal-hal mendasar dan esensial, serta
mata pelajaran kognitif yang ada pada masa pasca salaf, hasil karya imam-iamam madzhab
terdahulu dan mengamalkannya sesuai dengan pandangan mereka tanpa adanya kritik dan
perubahan kecuali hanya memberikan syarh dan hasiyyah terhadap pemikiran mereka. Pelanggaran
terhadap ajaran dan nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan atau pemikiran para pendahulu
dianggap penyelewengan pada bidang-bidang tersebut.
Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode ceramah, dialog, diskusi, debat, dan
pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan,
keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat serta sesuai tatanan, dan teratur dalam
menjalankan tugas. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi berupa essay test, tes
diagnostik, tes hasil belajar, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas
tinggi, paham dan meyakini kebijakan serta kebenaran masa lalu, dan orang/sarjana yang ahli
dalam bidangnya.
3. Tipologi Modernis
Bertolak pada pandangan tipologi modernis ini tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada
upaya:
1) Memberikan keterampilan (skill) dan alat-alat kepada peserta didik yang bisa digunakan untuk
berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah sehingga peserta didik dapat bersikap
dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan serta kebutuhan lingkungannya.
2) Membantu peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali
dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (terutama nilai-nilai Islam).
Materi pendidikan Islam diarahkan pada penggalian problematika yang berkembang di lingkungan
atau yang dihadapi oleh peserta didik, untuk selanjutnya dilatih dan diajarkan kepada peserta
didik untuk memecahkan masalah tersebut dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama
Islam. Metode yang digunakan adalah cooverative learning, metode proyek, dan metode ilmiah, yaitu
14

dengan mengidentifikasi masalah-masalah, merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian di
lapangan. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik
untuk berpartisipasi dan aktif dalam pembelajaran, serta menciptakan suasana belajar yang
demokratis. Guru berperan sebagai sebagai fasilitator dan pengatur pembelajaran. Evaluasi lebih
banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing peserta didik
memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, di mana
kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tersebut perlu dikembangkan. Diperlukan
penggunaan on going feedback atau usaha mencari dan menemukan umpan balik secara terus
menerus.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Bertolak dari karakteristik tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif tujuan pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya:
1) Membantu peserta didik dalam menguak, menemukan, dan menginternalisasikan kebenarankebenaran masa lalu pada masa salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan.
2) Menjelaskan dan menyebarluaskan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulu yang dianggap
mapan dan teruji oleh sejarah.
3) Memberikan keterampilan (skill) dan alat-alat kepada peserta didik yang bisa digunakan untuk
berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berubah sehingga peserta didik dapat bersikap
dinamis dalam menghadapi dan merespons tuntutan serta kebutuhan lingkungannya.
4) Membantu peserta didik agar mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali
dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal.
Materi pendidikan Islam diarahkan pada doktrin-doktrin bidang akidah dan ibadah khusus
(shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain) atau nilai-nilai esensial dalam Islam yang telah teruji
oleh sejarah seperti akhlaq al-kariimah, keutamaan jihad fii sabiili Allah, menjauhi akhlaq almazhmuumah, dan sebagainya sebagai nilai-nilai ayng harus dipertahankan, dilestarikan, dan
disebarluaskan serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal-hal yang bersifat aktual
peseta didik dilatih untuk menggali problem-problem yang tumbuh berkembang di lingkungannya
atau yang dialami peserta didik yang berbeda konteks dengan yang dialami para pendahulunya.
Selanjutnya masalah-masalah yang telah diidentifikasi peserta didik dijadikan tema-tema dalam
pembelajaran.
Metode

pembelajaran

yang digunakan

dalam

hal-hal

yang

bersifat

doktriner

adalah

metode ceramah, dialog, debat, diskusi, dan pemberian tugas. Manajemen kelas diarahkan pada
pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur tepat serta sesuai
15

tatanan, dan teratur dalam menjalankan tugas. Guru berperan sebagai figur yang memiliki otoritas
tinggi serta ahli dalam bidangnya. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat aktual metode yang
digunakan adalah cooverative learning, metode proyek, dan metode ilmiah. Manajemen kelas lebih
diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi dan aktif dalam
pembelajaran, serta menciptakan suasana belajar yang demokratis. Guru berperan sebagai sebagai
fasilitator dan pengatur pembelajaran ketika menghadapi hal-hal yang bersifat aktual.
Evaluasi untuk hal-hal yang bersifat doktrin adalah tes objektif dan terstandarisasi, atau tes essay,
tes diagnostik, dan tes kompetensi berbasis amaliah. Adapun untk hal-hal aktual, evaluasi lebih
banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing peserta didik
memiliki kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, di mana
kelebihan-kelebiahn atau kemampuan-kemampuan tersebut perlu dikembangkan. Diperlukan
penggunaan on going feedback atau usaha mencari dan menemukan umpan balik secara terus
menerus.
5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Menurut tipologi ini, pendidikan Islam bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran
peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang merupakan kewajiban
dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkan masalah da’wah bi al-hal, baik yang
terkait dengan masalah sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, serta mengajarkan keterampilan
untuk memecahkan semua problem tersebut agar dapat berpartisipasi dalam melakukan perbaikan
dan amr ma’ruf nahi munkar, sehingga dapat terwujud suatu tatanan masyarakat baru yang lebih
baik.
Bertolak dari karakteristik tipologi Rekonstrusi Sosial Berdasarkan Tauhid tersebut tujuan
pendidikan Islam diorientasikan pada upaya-upaya untuk:
1) Membekali peserta didik dengan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
berkembang di masyarakat untuk selanjutnya dijadikan sebagai tema proyek kajian.
2) Membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir krtis.
3) Membantu peserta didik agar memiliki kemampuan strategis dan teknis dalam berhubungan
dengan masyarakat.
4) Membantu peserta didik agar mampu bekerja secara kelompok atau kooperatif dan
kolaboratif.
5) Membantu peserta didik agar memiliki sikap menghargai atau toleran terhadap orang lain.
6) Membantu peserta didik agar memiliki kemampuan bekerja untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dan pengembangan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik.

16

Materi pendidikan Islam diarahkan pada masalah-masalah sosial dan budaya yang dihadapi
masyarakat, dan diharapkan peserta didik dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui konsep
dan pengetahuan yang telah dimiliki. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode
simulasi, bermain peran, menerjunkan peserta didik ke masyarakat yang menjadi sasaran proyek
(internship), dan belajar bekerja di masyarakat (work study). Manajemen dalam pembelajaran ini
tidak terlalu terikat pada kelas, tetapi lebih banyak di luar kelas, tidak membedakan jenis kelamin
dan ras, serta membangun masyarakat. Interaksi guru dan murid lebih bersifat dinamis, kritis,
progresif, terbuka, bahkan bersikap proaktif, dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai
kooperatif dan kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia.
Evaluasi pembelajaran mengedepankan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa masing-masing
peserta didik memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang lebih maju dan meningkat
secara berkelanjutan serta memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat yang lebih baik
dengan menerapkan ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga
diperlukan upaya peningkatan kemampuan, minat, bakat, dan prestasi belajar secara terus
menerus melalui umpan balik.

D. ANALISIS
Filsafat Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas tentang bagaimana umat islam
dalam beragama namun secara umum juga membahas permasalahan yang lebih luas tentang
kepentingan pendidikan yang menciptakan sukses bagi umat islam di dunia hingga
akhirat. Perbedaan esensial antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan (sekuler)
pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah kependidikan
selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur'an dan al-Hadits.
Formulasi tentang tipologi filsafat pendidikan Islam sebagaimana telah dikemukakan
sesungguhnya merupakan hasil studi komparasi antara tipologi filsafat pendidikan dan pemikiran
Islam sesuai dengan sifat dan karakteristiknya yang hampir serupa dengan menyandarkan pada
pendapat para ahli. Sebagaimana telah dilakukan oleh Muhaimin (2012) dalam bukunya
pengembangan kurikulum pendidikan Islam, studi komparatif ini telah berhasil memetakan
tipologi filsafat pendidikan Islam menjadi lima kategori (aliran), yaitu tipologi perenial-esensialis salafi,
tipologi

perenial-esensialis

madzhabi,

tipologi

modernis,

tipologi

perenial-esensialis

kontekstual-

falsifikatif, dan tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid. Selanjutnya ia memformulasikan
implikasi tipologi-tipologi filsafat pendidikan tersebut terhadap pengembangan komponenkomponen kurikulum pendidikan agama Islam.
Bertolak dari karakterisitik pendidikan Islam, menurut Muhaimin setidaknya terdapat
dimensi-dimensi yang bisa dikembangkan dalam perspektif kelima tipologi tersebut bagi
17

kurikulum dan pembelajaran pendidikan dasar Islam. Gambaran secara terperinci mengenai
implikasi tipologi filsafat pendidikan terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum
pendidikan Islam, secara garis besar telah dikemukakan pada bagian terdahulu pada makalah ini.
Agaknya tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif merupakan tipologi yang dapat
mengakomodir kelompok tradisional maupun kelompok kontemporer. Selain itu tipologi ini
sangat relevan untuk diterapkan pada generasi masa kini yang sedang menghadapi tantangan
kemerosotan nilai-nilai moral dan sekaligus menghadapi tantangan globalisasi serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

18

PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan merupakan studi tentang pandangan dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam
terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan umat Islam, baik secara individual maupun kelompok dalam arti umat Islam.
Filsafat pendidikan juga merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dan sistem
filsafat Islam dalam memecahkan problematika pendidikan umat Islam, dan selanjutnya
memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksnaan pendidikan umat Islam. Setidaknya
ada empat fungsi filsafat pendidikan Islam bagi pengembangan kurikulum pendidikan
Islam: Pertama filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat
menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui
filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Berdasarkan hasil studi komparasi antara tipologi filsafat pendidikan dan pemikiran Islam, sesuai
dengan sifat dan karakteristiknya tipologi filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi lima
kategori (aliran), yaitu tipologi perenial-esensialis salafi, tipologi perenial-esensialis madzhabi, tipologi
modernis, tipologi perenial-esensialis kontekstual-falsifikatif, dan tipologi rekonstruksi sosial berlandaskan
tauhid. Masing-masing tipologi filsafat pendidikan Islam serta karakteristiknya berimplikasi
terhadap pengembangan komponen-komponen kurikulum pendidikan Islam yang terdiri dari
komponen tujuan, materi/isi, metode/strategi, dan evaluasi.

19

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jumbulati, A. (2002). Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah (terjemahan). Jakarta:
Rineka Cipta.
Al-Syaibany, O. M.-T. (1992). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin, M. (2000). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Baharudin. (2015). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Daradjat, Zakiyah dkk, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Daud, W. M. (2006). Filsafat dan Praktik Pendidikan (Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Bandung:
Mizan Media Utama.
Depag. (2012). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Ar-Raafi'.
Departemen Agama RI, 1994, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam
Gunawan, H. (2014). Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nahlawi, Abdurrahman. (1995). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema
Insani.
Depdiknas. (2014). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Nata, Abuddin. (2001). Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nizar, S. (2002). Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). Jakarta: Ciputat
Press.
Ramayulis. (2011). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sayadi, Wajidi. (2015). Hadis Tarbawi. Jakarta: PT. PUSTAKA FIRDAUS.
Zuhairini. (1995). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

20