Globalisasi dan Dampaknya Terhadap Kebud

GLOBALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEBUDAYAAN PAPUA: SEBUAH KAJIAN AWAL

Ridwan dan Nalikoy Insowibinderi Sarwom Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ)

1. Pengantar

Duka cita telah merundung dunia ketika tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat (AS) menabrak dan meluluhlantakkan menara kembar World Trade Centre (WTC) pada

11 September 2001 di New York, AS. Selanjutnya, pada 26 Desember 2004, gelombang tsunami telah menggulung Indonesia, Thailand, Sri Lanka dan India yang mengakibatkan sekitar 228.000 orang meregang nyawa dan lebih dari 2 juta orang kehilangan tempat bernaung. Dua tragedi tersebut, sebagai contoh, telah menorehkan duka yang mendalam bagi masyarakat di dunia akibat aksi terorisme dan gelombang tsunami yang menelan ribuan korban jiwa yang tidak berdosa.

Terhadap peristiwa tersebut, dunia merespon cepat dengan munculnya berbagai lembaga bantuan pada tingkat lokal hingga tingkat internasional yang aktif membantu daerah yang dilanda nestapa tersebut. Misalnya, di Inggris Disaster Emergency Committee (Komite Bencana Darurat) telah menerima lebih dari 10 juta Euro dalam kurun waktu 24 jam paska pemberitahuan penggalangan dana, memecahkan rekor dunia sebagai jumlah dana terbesar yang pernah diterima dalam waktu 24 jam secara online. Dana mengalir deras dari berbagai pelosok dunia seperti Somalia, Seychelles, Birma, Maladewa dan donasi pribadi lainnya, total dana yang diterima dari publik sebesar 392 juta Euro (Kweifio-Okai, 2014).

Dengan demikian, arus deras informasi via media dan internet telah menghantarkan nation-states (negara-negara bangsa) pada tahap di mana setiap orang dapat melihat, merasakan dan menaruh simpati pada peristiwa-peristiwa humanitarian, seperti yang disebutkan di awal tulisan, yang terjadi ribuan kilometer jauhnya dari tempat tinggalnya menjejak bumi. Fenomena tersebut kerap dinamai “globalisasi”, sebuah proses yang terus berkembang dengan pesat, yang membuat dunia seolah-olah menyusut dan tidak memiliki batas.

Tulisan ini akan memfokuskan perhatian pada dampak globalisasi terhadap kebudayaan Papua. Dalam implementasinya, tulisan akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Bagian awal akan menjelaskan definisi globalisasi sebagai pembuka wawasan awal tentang globalisasi. Selanjutnya, akan mendeskripsikan kehadiran globalisasi secara singkat di Indonesia, khususnya di Papua. Setelah itu, kami akan mengkaji bagaimana globalisasi membawa dampak terhadap kebudayaan Papua dan diakhiri dengan kesimpulan. Kami memiliki hipotesis bahwa globalisasi telah memberi dampak negatif yang cukup signifikan terhadap kebudayaan Papua.

2. Pengertian Globalisasi

Terminologi Globalisasi mulai ramai dipergunjingkan secara akademik sejak tahun 1980-an. Saat itu, istilah tersebut menggambarkan perkembangan hubungan antar negara atau hubungan internasional. Kata ‘internasional’ pertama kali diperkenalkan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1780-an untuk menjelaskan sebuah ‘realita baru’ yang sedang terjadi pada waktu itu. ‘Realita baru’ tersebut terus berkembang dari tahun ke tahun khususnya bersamaan dengan kemajuan teknologi. Saat ini ‘realita baru’ tersebut dikenal dengan globalisasi dan menurut berbagai ilmuan, era globalisasi ditandai dengan dunia baru atau a new world yakni dunia kontemporer yang muncul usai perang

dingin (Rudy, 2011: 1) 1

Mengutip kamus Penguin Hubungan International, Globalisasi disebut sebagai “the process whereby state-centric agencies and term references are dissolved in favour of structure relations between different actors operating in a context which is truly global and not merely international” (Evans, 1998: 200). Karenanya, globalisasi merupakan sebuah proses yang melibatkan berbagai aktor baik pemerintah maupun non- pemerintah yang berkerja pada tahap global dan berusaha demi terciptanya suatu relasi atau hubungan yang saling menguntungkan.

Senada dengan itu, Budi Winarno mendefinisikan globalisasi sebagai “masing-masing aktor (bangsa-bangsa atau unit-unit politik lainnya, seperti transnational actors) berperilaku dalam suatu cara yang secara fundamental berkaitan tidak hanya dengan

1 Lihat juga Bab Pendahuluan; Prof.Drs. Budi Winarno,M.A.,PhD. (2011). Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS 1 Lihat juga Bab Pendahuluan; Prof.Drs. Budi Winarno,M.A.,PhD. (2011). Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS

Globalisasi dipahami secara luas merupakan fenomena yang menyatukan dunia melalui kekuatan ekonomi dan teknologi dan perkembangan yang terjadi di satu tempat memiliki dampak terhadap keberlangsungan hidup seseorang atau sebuah komunitas di tempat lain. Sebagai contoh, perkembangan ekonomi dan teknologi di Korea Selatan mampu membuat negara ginseng ini diakui di kawasannya dan mengekspor budaya mereka secara luas. Budaya K-Pop salah satunya merupakan bukti keberhasilan Korea Selatan dalam mempromosikan negara mereka sehingga saat ini banyak kalangan muda di Indonesia ramai-ramai mempelajari bahasa Korea, meniru penampilan artis-artis Korea dan bahkan mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa Korea tersebut. Perlahan banyak komunitas yang mulai menganut gaya hidup a la Korea (Held,1999: 1).

Pemahaman tentang globalisasi sendiri terus diperdebatkan. David Held dan Anthony McGrew mencoba mengklasifikasikan perbedaan pandangan tentang globalisasi dari tiga schools of thought (mazhab pemikiran) yang mana ketiga kelompok dengan pandangan yang sangat berbeda tersebut mereka sebut sebagai para hyperglobalizers, para sceptics, dan para transformationalists. Para hyperglobalizers melihat globalisasi sebagai sebuah era baru dimana manusia di dunia makin terjerumus dalam arus pasar global, terus mengikuti ketentuan-ketentun yang ada dalam perkembangan ekonomi dunia. Kenichi Ohmae merupakan salah satu pemikir hyperglobalists dan bagi mereka kekuatan negara semakin melemah dan kekuatan pasar dunia lebih kuat. Negara yang memiliki otoritas politik atas masyarakat dan ekonomi terlihat melemah dan otoritas atau kekuatan tersebut perlahan dikendalikan oleh instutusi-instutusi atau asosiasi- asosiasi internasional. Bagi mereka, globalisasi ini adalah sebuah fenomena ekonomi yang memiliki dampak yang cukup luas dan mereka berkeyakinan bahwa akan terbentuk sebuah masyarakat global atau apa yang mereka sebut sebagai ‘global civil society’ (Held, 1999: 2-5).

Para sceptics, di lain pihak menilai pandangan hyperglobalists ini adalah ‘cacat’ dan anggapan hyperglobalists bahwa negara sebagai sebuah kekuatan politik yang melemah Para sceptics, di lain pihak menilai pandangan hyperglobalists ini adalah ‘cacat’ dan anggapan hyperglobalists bahwa negara sebagai sebuah kekuatan politik yang melemah

Kekuatan untuk menginternasionalisasikan aktifitas ekonomi tetap berada dibawah kendali negara dan kegiatan tersebut akan tetap bergantung pada tiap negara untuk terus atau tidaknya melanjutkan liberalisasi prekonomiannya. Oleh karena itu, dunia terlihat ‘kurang terintegrasi’ dari sebelumnya. Mengutip pernyataan Gordon dan Weiss, ‘dunia secara geografi terlihat kurang global dalam menjalankan ekonomi internasional dibandingkan dengan era kerajaan-kerajaan’ (Held, 1999: 5).

perekonomian

internasional.

Bagi para sceptics, adanya internasionalisasi tidak menghilangkan kesenjangan ‘Utara- Selatan’ dan perekonomian negara berkembang terus termarjinalkan dikarenakan arus dagang dan investasi mengalir di negara ‘Utara’. Hal ini menyebabkan perkembangan yang tidak merata antar negara maju dan berkembang. Menurut E.H.Carr (1981), internasionalisasi merupakan project negara barat untuk mempertahankan kekuatan dalam urusan dunia dan ia juga melihat bahwa slogan seperti ‘international order’ dan ‘international solidarity’ hanya sebatas slogan dari negara-negara kuat (Held, 1999: 6).

Para transformationalists, seperti Rosenau dan Giddens beranggapan bahwa globalisasi menyebabkan perubahan pada negara-negara dan masyarakatnya secara mengglobal. Mereka sepakat bahwa manusia semakin terhubung satu dengan yang lainnya akan tetapi dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Globalisasi menyebabkan meleburnya batas-batas negara, tidak jelasnya perbedaan antara internasional dan domestik, urusan luar negri dan dalam negri. Akan tetapi, keberadaan suatu sistem global tidak berarti akan menciptakan satu masyarakat global. Bagi mereka, globalisasi menciptakan jurang pemisah antar masyarakat yang disebabkan oleh perekonomian dunia. Pola dari globalisasi menyebabkan adanya beberapa negara, masyarakat atau komunitas yang semakin diuntungkan dengan tatanan global yang baru, sementara yang lain dikucilkan. Mereka juga meyakini bahwa globalisasi merupakan sebuah proses perkembangan sejarah yang panjang yang akan menciptakan sebuah ‘sovereignity regime’ baru dan juga akan menciptakan munculnya organisasi politik dan/atau ekonomi global baru yang kuat seperti korporasi-korporasi multinasional, gerakan sosial transnasional, badan pengawas internasional, dll. Oleh karena itu, Para transformationalists, seperti Rosenau dan Giddens beranggapan bahwa globalisasi menyebabkan perubahan pada negara-negara dan masyarakatnya secara mengglobal. Mereka sepakat bahwa manusia semakin terhubung satu dengan yang lainnya akan tetapi dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Globalisasi menyebabkan meleburnya batas-batas negara, tidak jelasnya perbedaan antara internasional dan domestik, urusan luar negri dan dalam negri. Akan tetapi, keberadaan suatu sistem global tidak berarti akan menciptakan satu masyarakat global. Bagi mereka, globalisasi menciptakan jurang pemisah antar masyarakat yang disebabkan oleh perekonomian dunia. Pola dari globalisasi menyebabkan adanya beberapa negara, masyarakat atau komunitas yang semakin diuntungkan dengan tatanan global yang baru, sementara yang lain dikucilkan. Mereka juga meyakini bahwa globalisasi merupakan sebuah proses perkembangan sejarah yang panjang yang akan menciptakan sebuah ‘sovereignity regime’ baru dan juga akan menciptakan munculnya organisasi politik dan/atau ekonomi global baru yang kuat seperti korporasi-korporasi multinasional, gerakan sosial transnasional, badan pengawas internasional, dll. Oleh karena itu,

Secara singkat, David Held menyimpulkan pandangan Hyperglobalists, Sceptics dan Transformationalists tentang globalisasi melalui tabel 1 berikut ini (Held, 1999: 10): Tabel 1 “Conceptualizing Globalization : three tendencies”

Blok-blok dagang,

Level keterkaitan

geogovernance

secara global yang

Apa yang baru ?

Era Global

lebih lemah dari

belum pernah terjadi

periode

sebelumnya dalam

sebelumnya

sejarah

Ketergantungan Kapitalisme Global, antar negara

Ciri-ciri yang

pemerintahan

Globalisasi ‘padat’

berkurang

Dominan

global, masyarakat

(intensif dan luas)

dibandingkan pada global tahun 1890an

Kekuatan

Melemah atau

Menguat atau

Nasional Faktor Pendorong

Kapitalisme dan

Negara-negara dan Kombinasi kekuatan

kini atau modernity

Globalisasi

Kubu ‘Selatan’ yang

Terkikisnya hirarki

Arsitek baru bagi

Pola Stratifikasi

makin

yang lama

tatanan dunia

Pola Dominan

Madonna, dll.

nasional

komunitas politik Sebagai penataan

Sebagai penataan

Konseptualiasasi

ulang hubungan

ulang kerangka

Internationalisasi

tentang

antar kawasan dan

tingkah laku

dan regionalisasi

Globalisasi

tindakannya dari

manusia

kejahuan Blok-blok regional/ Tidak menentu:

Perjalanan

Peradaban global

benturan

integrasi dan

Sejarah

peradaban

fragmentasi global

Internationalisasi

Globalisasi merubah

Akhir dari nation-

Kesimpulan

atas pesetujuan dan kekuatan negara dan

state

dukungan negara

politik dunia

Sumber : Global Transformations, Politics, Economics and Culture (Held, 1999: 10)

Dengan kata lain, globalisasi kerap dikaitkan dengan berbagai kekuatan didunia yang menyatukan umat manusia. Kekuatan-kekuatan ini dapat berbentuk sebagai state-actor, Dengan kata lain, globalisasi kerap dikaitkan dengan berbagai kekuatan didunia yang menyatukan umat manusia. Kekuatan-kekuatan ini dapat berbentuk sebagai state-actor,

Dalam bukunya The Great Convergence, Kishore Mahbubani (2013 :3) menggambarkan situasi dunia saat ini khususnya terkait dengan bagaimana nation-states lebih terintegrasi saat ini.

“Before the era of modern globalization, when humanity lived disceretly in more than one hundred separate countries, humanity was like a flotila of a more than one hundred separate boats. ... Today, global circumstances have changed dramatically. The 7 billion people who inhabit planet earth no longer live in more than one hundred separate boats. Instead they all live in 193 separate cabins on the same boat. It has 193 captains and crews, each claiming exclusive responsibility for one cabin.” (Mahbubani, 2013, hal. 3)

Mahbubani mengibaratkan negara dahulu bak ribuan perahu yang tersebar di atas laut akan tetapi berkat pengaruh globalisasi perahu-perahu yang tersebar dahulu, kini telah menyatu dan menjadi sebuah kapal besar dengan 193 kabin yang mana tiap kabin memiliki seorang kapten dan awak kabin yang secara eksklusif bertangung jawab atas kabinnya masing-masing. Hal ini membuat dunia semakin terintegrasi dan menghubungkan ke-7 miliyar penduduk bumi satu sama lain.

Secara keseluruhan, fenomena ini telah merubah wajah negara-negara di planet bumi dalam berbagai aspek baik secara politik, ekonomi ataupun secara sosial dalam hal ini budaya. Angin perubahan ini lebih kuat hembusannya dan menyapu dataran Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Movious, 2010: 6-18). Seperti halnya negara lain di Asia, Indonesia pun tidak luput dari hembusan proses globalisasi. Bagian berikut akan menjelaskan hembusan ‘badai’ globalisasi yang melanda Indonesia, khususnya di Papua.

3. Globalisasi di Indonesia, Khususnya di Papua

Pada awal tahun 1980-an Indonesia mulai merubah kebijakan ekonominya ketika harga minyak dunia sedang melemah. Kebijakan ekonomi yang perlu diterapkan, dengan Pada awal tahun 1980-an Indonesia mulai merubah kebijakan ekonominya ketika harga minyak dunia sedang melemah. Kebijakan ekonomi yang perlu diterapkan, dengan

Secara historis, pada masa Soeharto (1965 – 1998), Indonesia telah mengadopsi politik bebas aktif yang mengangkat profil Indonesia secara global dan dipercaya untuk bergabung sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa- Bangasa (PBB) periode 1973 – 1974 dan pada periode 1995 – 1996. Peran Indonesia dalam ASEAN juga cukup mengagumkan, Indonesia mampu mendampingi dialog terkait perdamaian dan resolusi konflik antara Kamboja dan Vietnam (1978 – 1991). Pada segi perdagangan dan investasi, Indonesia menandatangani ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) atau perjanjian bebas dagang, hal ini diharapkan dapat meningkatkan angka investasi dan perdagangan sesama anggota ASEAN. Ditambah dengan itu Indonesia juga telah menandatangani berbagai perjanjian kerjasama dengan negara-negara anggota ASEAN+3, organisasi internasional seperti WTO dan APEC.

Di samping kerjasama dengan organisasi multinasional dan menandatangani berbagai perjanjian multilateral, Indonesia juga telah mendatangani berbagai perjanjian bilateral dalam sektor ekonomi dan perdagangan dengan banyak negara diantaranya seperti AS, Cina, dan Jepang. Dikarenakan proses ‘membuka diri’ dan kerjasama Indonesia mampu mengurangi angka kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk pada tahun 1975-1980 tercatat 60% merupakan orang miskin dan angka tersebut berkurang menjadi 11,2% orang pada tahun 1996 (Wuryandari, 2011 ).

Kini, wajah globalisasi di Indonesia memiliki beragam wujud dan selalu menarik untuk membahas tiap aspek-aspek tersebut. Tetapi, untuk pembahasan di tulisan ini akan difokuskan pada aspek sosial budaya dan dari ke-33 provinsi yang ada di nusantara ini, provinsi Papua atau yang dahulu dikenal dengan Irian Jaya yang akan menjadi inti topik pembahasan kali ini.

Papua merupakan pulau terbesar kedua setelah Greenland (Muller, 2008) dan memiliki posisi yang unik dalam sejarah Republik Indonesia (RI). Setelah kemerdekaan RI pada tahun 1945, Papua atau Irian Jaya belum menjadi bagian dari wilayah kesatuan RI dan masih dibawah pemerintahan Belanda. Status Papua selalu menjadi perdebatan antara Pemerintah RI dan Belanda, permasalahan yang kompleks ini dibawa ke PBB agar dapat diselesaikan. Pada tanggal 19 November 1969, sesuai keputusan Majelis Umum PBB dengan resolusi 2504 (XXIV) pada akhirnya Papua secara sah dan utuh diakui sebagai bagian dari wilayah RI oleh komunitas internasional (Permanent Mission of The Republic of Indonesia to The United Nations, 2004).

Di sinilah letak keunikan Papua, dalam perdebatan tersebut status Papua terus dipergunjigkan. Pertanyaan seperti apakah Papua harus bersatu dengan Indonesia atau merdeka? Terus menjadi permasalahan yang panas dan berlarut-larut hingga saat ini, sebuah perdebatan yang mana Indonesia meyakini bahwa Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dikarenakan debat inilah Papua terus menjadi korban konflik internal.

Sumber konflik dapat berbeda tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI Papua di tahun 2004 menunjukan bahwa ada empat permasalahan stategis yang menjadi inti atau sumber permasalahan konflik di Papua yakni; sejarah integrasi Papua kedalam wilayah Indonesia dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kegagalan pembagunan di Papua, dan ketidapastian pemerintah terkait implementasi otonomi khusus dan juga marginalisasi masyarakat Papua (Muridan S Widjojo, 2009).

Semenjak bergabung ke dalam pangkuan NKRI terdapat dua perkembangan menarik terkait Papua. Pertama, dibawah pemerintahan Belanda tanah Papua atau Bumi Cendrawasih ini dikenal dengan West New Guinea atau Nederlandse Nieuw Guinea. Setelah integrasi kedalam RI, dataran tersebut dinamai Provinsi Irian Barat. Kemudian, dibawah pemerintah Soeharto nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya. Pada tanggal

31 Desember 1999 nama Irian Jaya kembali dirubah menjadi Papua. Dibawah Undang- Undang No.45/1999 dan INPRES No.1/2003 membagi wilayah Papua menjadi tiga bagian; Irian Barat, Irian Tengah dan Irian Jaya namun kenyataan dilapangan wilayah 31 Desember 1999 nama Irian Jaya kembali dirubah menjadi Papua. Dibawah Undang- Undang No.45/1999 dan INPRES No.1/2003 membagi wilayah Papua menjadi tiga bagian; Irian Barat, Irian Tengah dan Irian Jaya namun kenyataan dilapangan wilayah

18 April 2007, dibawah Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2007, Provinsi Irian Jaya Barat dikenal sebagai Provinsi Papua Barat (Muridan S Widjojo, 2009).

Perkembangan kedua, sesuai UU No 21 tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No. 4151), di Papua diberlakukan Otonomi Khusus atau Otsus untuk Provinsi Papua dan telah dijalankan sejak tanggal 1 Januari 2002. Peraturan ini membantu masyarakat Papua untuk turut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan daerah, menentukaan pembangunan strategis seperti mewujudkan keadilan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), percepatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dengan menghargai kesetaraan dan keragamannya. Hal ini juga menyangkut pelestarian budaya dan lingkungan di tanah Papua. Otsus ini menekankan bahwa penghargaan atas budaya dan pelestarian budaya perlu dijunjung dan memberikan beberapa kebebasan bagi masyarakat Papua dalam menjalankan politik dan ekonomi daerah (Permanent Mission of The Republic of Indonesia to The United Nations, 2004: 60-61).

Sejarah otsus di Papua cukup menarik. Otsus diterapkan di bumi Cendrawasih beberapa tahun setelah terjungkalnya regim Soeharto dan setelah berbagai kekecewaan yang dialami oleh masyarakat Papua dengan pemerintah pusat yang membagi provinsi tersebut menjadi dua. Selain itu, banyak suara yang menyerukan merdeka dan menarik untuk dilihat bahwa banyak juga yang beranggapan bahwa penerapan otsus ini merupakan upaya untuk membungkam suara-suara tersebut. Otsus ini merupakan hasil dialog yang panjang, sebuah ‘negoasiasi panjang, kompromi dan pengambilan keputusan antara pemerintah Indonesia dan Papua terutama ketika permasalahan terkait aneksasi wilayah Papua ke Indonesia dan status politiknya diangkat ke permukaan kembali’. Otsus ini merupakan sebuah win-win solution, sebuah solusi yang saling menguntungkan dalam menyelesaikan permasalahan status politik Papua.

Terdapat harapan bahwa otsus mampu membawa kesejahteraan dan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk berkembang dan membangun masa depan yang lebih baik, tentram dan damai didalam kerangka NKRI. Sesuai dengan yang tertera dalam UU No.21 tahun 2001 Bab XI terkait perlindungan hak–hak masyarakat adat dan Bab XVI terkait Terdapat harapan bahwa otsus mampu membawa kesejahteraan dan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk berkembang dan membangun masa depan yang lebih baik, tentram dan damai didalam kerangka NKRI. Sesuai dengan yang tertera dalam UU No.21 tahun 2001 Bab XI terkait perlindungan hak–hak masyarakat adat dan Bab XVI terkait

“Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, Pasal 43

1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi dan memberdayakan hak-hak masyarakat adat dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.

2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat adat dan hak perorangan para warga

masyarakat hukum adat bersangkutan. ... Pasal 44 Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan

intelektual orang asli dengan peraturan perundangan-undangan. Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 57

1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.

2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya

kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan.

3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan.

4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) ditetapkan dengan Perdasi.

Pasal 58

1) Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna

mempertahankan dan menetapkan jati diri orang Papua.

2) Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjangan pendidikan.

3) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan” (Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, 2008, hal. 15 , 18-19).

Arus atau ‘hembusan’ globalisasi berhembus begitu cepat dan keras di bumi Cendrawasih ini. Perubahan sosial dan ekonomi yang dipicu oleh perkembangan informasi dan teknologi dalam waktu yang singkat mampu merubah kondisi daerah dan masyarakat setempat. Penerimaan akan suatu hal yang baru dan asing bukanlah hal yang baru bagi Papua.

Sejarah mencatat bahwa sebelum pos pemerintahan Belanda didirikan pada tahun 1898, aktivitas misi dan zending memainkan peran yang penting dalam penyebaran agama

Kristen dan menyelengarakan pendidikan di Papua. Aktivitas zending diawali dengan kedatangan dua orang Jerman yakni Carl Ottow dan Johan Geissler pada tahun 1855. Kedua missionaris tersebut memulai memperkenalkan ajaran Kristiani dan pendidikan barat di Papua. (Meteray, 2012: 31-32)

Kemudian pada tahun 1923, I.S. Kijne, seorang guru Belanda tiba di Papua. Kijne berupaya untuk mendidik orang asli Papua dan membangun harga diri orang Papua melalui pengajaran, pengetahuan, dan kesenian. Selama 35 tahun (1923-1952) Kijne telah menciptakan berbagai macam bahan bacaan dan lagu yang memuat kearifan lokal (Meterey, 2012: 34-37). Selain Kijne, terdapat pula J.P.K. van Eechoud, pejabat resident Papua pada tahun 1945 yang memiliki peranan yang besar dalam membangkitkan kesadaran Papua untuk membangun daerah mereka sendiri. Menurut Bernarda Meteray, Van Eechoud “memprakarsai pembukaan kursus berpola asrama, yang memberikan materi pendidikan bidang pemerintahan, kesehatan, pertanian, kemiliteran, dan pendidikan” (Meterey, 2012: 263). Dia juga merupakan peletak dasar permasalahan Papua di kancah internasional sejak tahun 1950-1960an. (Meterey, 2012: 131)

Selain zending yang mampu menyebarkan pendidikan dan informasi, perananan media massa pada tahun 1955 juga memiliki cukup signifikan terutama dalam memberitakan berbagai kejadian di Papua dan luar negeri serta memberikan informasi terkait ilmu pengetahuan, kesehatan, pertanian, dan perikanan.

Tabel 2. Surat Kabar dan Majalah Papua pada 1960 2

Oplah Bahasa

1. Nieuw Guinea Koerier

Harian

1.500 Belanda

2. De Tifa

1.500 Belanda/Melayu

5. De Lens

Mingguan

200 Belanda

6. Fakfak Bode

Dua

kali

200 Belanda/Melayu

sebulan

7. Opwaarts (CWNG)

Mingguan

3.500 Belanda/Melayu

9. Madjallah Kita (Arka)

Bulanan

700 Belanda/Melayu

10. Mendelingen van de Dienst van Empat

150 Belanda/Inggris

2 Table 2 dikutip dalam Bernarda Meteray (2012) hal. 217

Gezondheisdszorg

Bulanan

Sumber: Nasionalisme Ganda orang Papua (Meteray, 2012 : 217)

Paska tahun 1955, beberapa orang antara lain; Kijne, Boelaars, dan P.C. Schoe berpendapat bahwa perubahan zaman dan laju modernisasi sangat cepat dan masyarakat asli Papua perlu menyesuaikan dengan tuntutan laju tersebut dan dididik sesuai dengan tuntutan dunia modern (Meteray,2012: 247). Kini dapat dilihat bahwa masyarakat asli Papua mulai menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia modern yang dibawa oleh arus globalisasi ini. Oleh karena itu, pertanyaan saat ini adalah bagaimana keberadaan kebudayaan Papua bertahan berhadapan dengan tekanan globalisasi saat ini di samping perlindungan yang telah diberikan oleh Otsus?

4. Dampak Globalisasi terhadap Kebudayaan Papua

Globalisasi itu bersifat multidimensi dan banyak pemikir membagi teori globalisasi kedalam tiga kategori yakni globalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan. Peran mass media dan komunikasi itu sendiri kerap didiskusikan ketika berbicara tentang globalisasi kebudayaan (Movious, 2010: 8). Ketika berbicara tentang globalisasi kebudayaan, sering teori tentang imperialisme kebudayaan turut dibicarakan. Teori tersebut menjelaskan tentang sebuah bentuk kolonialisme yang baru yang mana mass media memainkan peranan yang penting dalam menyebarkan kapitalisme global yang mempromosikan kebudayaan Amerika seperti konsumerisme, kepuasaan instant dan individualisme (Movious, 2010: 10). Selain itu, kapitalisme global ini telah menciptakan industrialisasi dan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam dan kejahatan.

Maka, saat kita menganalisa fenomena ini, yang disebarkan melalui teknologi komunikasi modern dan mass media, hal tersebut telah merusak dan terus mengancam budaya masyarakat lokal khususnya masyarakat di daerah. Kehidupan tenang masyarakat daerah yang didasarkan oleh kesederhanaan dan mindset yang berkecukupan dibombardir dengan berbagai informasi dan tren yang tidak tersaring terlebih dahulu. Informasi, perkembangan-perkembangan atau tren yang masuk tidak sedikit merupakan budaya barat atau yang dapat disebut dengan McDonalisasi yang belum siap untuk dikonsumsi oleh masyarakat daerah (Wibowo, 2007).

Namun, teori tersebut masih tetap diperdebatkan dan kita tidak dapat mengatakan bahwa proses globalisasi ini disebabkan oleh Amerika atau upaya Amerikanisasi dunia. Perlu diingat juga bahwa proses imperialisme dan globalisasi berbeda. Imperialisme jelas berbicara tentang dominasi suatu negara atas perekonomian dan politik negara lain dengan kata lain merupakan sebuah proses yang dilakukan karena maksud tertentu. Lain halnya dengan globalisasi yang merupakan sebuah proses yang terjadi tanpa adanya maksud tertentu. Sebuah proses yang tidak bermaksud menciptakan keterikatan atau ketergantungan antar negara tetapi justru terjadi. Tanpa adanya pemaksaan atau tekanan yang nyata. Proses ini bekerja pada tingkatan global dan diluar kekuatan imaginasi manusia (John Thomlinson dikutip oleh Robertson & White, 2003 : 121-123)

Globalisasi merupakan sebuah proses yang kompleks dan rumit yang tidak dapat berlangsung hanya karena satu nation-state saja melainkan seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa proses ini diakibatkan oleh berbagai ‘kekuatan’ atau ‘forces’. Oleh karena itu perlu ada pemahaman tentang cultural flow atau alur budaya. Menurut Arjun Appudarai, ada lima ‘scapes’ yang mempengharui budaya yakni ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes, dan ideoscapes. Ethnoscapes mengacu pada arus atau pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain seperti turis dan imigran. Mediascapes mengacu pada teknologi mass media dan gambar. Technoscapes berkaitan dengan teknologi lintas batas atau transboundary. Sementara Finanscapes mengacu pada peredaran uang. Dan Ideoscapes intinya mengacu pada aspek politik dan idiologi (Appudarai dikutip dalam Movious, 2010: 19-20).

Budaya atau ‘Culture’ merupakan salah satu kata tersulit dalam bahasa Inggris. Kata ‘culture’ itu sendiri memiliki definisi yang cukup rumit dan bervariasi, sebuah penelitian yang dilakukan oleh dua antropolog A.L.Kroeber dan Clyde Kluckhohn pada tahun 1950an menunjukan bahwa ada lebih dari 150 definisi. Hal ini menunjukan bahwa kata tersebut bisa memiliki makna dan arti yang begitu luas dan kompleks. Namun, untuk bisa memahami keseluruhan makna dari kata tersebut, kita dapat menggunakan arti budaya atau culture, yang diggunakan dalam sebuah konferensi UNESCO, sebagai ‘the way of life of a collectvity’ atau keberlangsungan hidup atau cara hidup secara kolektif. (John Thomlinson ditulis kembali oleh Robertson & White, 2003: 89)

Berdasarkan pandangan Bronislaw Malinowski, aspek utama budaya itu sendiri merupakan kesatuan norma-norma yang memungkinkan adanya kerjasama antar anggota dalam sebuah masyarakat agar dapat mengendalikan lingkungannya. Malinowski juga menambahkan bahwa kesatuan tersebut dapat berupa lembaga perekonomian, hal tersebut juga berkaitan dengan teknologi dan institusi pendidikan dan merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan. Sementara Melville J. Herkovits memandang hal tersebut sebagai alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuatan politik (Herkovits dikutip dalam Setiadi, 2006)

Papua terdiri dari beragam suku, “berdasarkan musyawarah Dewan Adat Papua, dapat diklasifikasikan dalam tujuh kelompok-kelompok suku, yaitu (i) Wilayah adat I (Mamta), membawahi kurang lebih 86 suku. Wilayah adat ini berada di Papua bagian utara Jayapura (sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea) hingga Membramo (sebelah barat), dan bagian selatan berbatasan dengan gunung Jayawijaya. (ii) Wilayah adat II (Saireri), membawahi kurang lebih 31 suku. Wilayah adat ini berada di Teluk Cendrawasih, Biak, Yapen – Waropen, hingga Yeretuar. (iii) Wilayah adat III (Bomberai), membawahi kurang lebih 52 suku. Wilayah adat ini berada dibagian kepala burung, yang disebelah selatan berbatasan dengan Fakfak (Teluk Bintuni), termasuk Manokwari dan Sorong. (iv) wilayah adat IV (Domberai), membawahi kurang lebih 18 suku. Wilayah adat ini berada di Fakfak, Teluk Arguni (Kiamana), dan disebelah utara berbatasan dengan Teluk Bintuni serta adat Bomberai. (v) Wilayah adat V (Anim-Ha), membawahi kurang lebih 29 suku. Wilayah adat ini berada di selatan Papua, yang disebelah barat berbatasan dengan wilayah adat Mi-Pago dan sebelah utara dengan wilayah adat La- Pago. (vi) Wilayah adat VI (La-Pago), membawahi kurang lebih 19 suku. Wilayah adat ini di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah adat Anim-Ha, di sebelah barat dengan wilayah Mi-Pagodan sebelah timur dengan wilayah Papua New Guinea. (vii) Wilayah adat VII (Mi-Pago), membawahi kurang lebih 13 suku. Wilayah adat ini di sebelah utara berbatasan dengan wilayah adat Saireri dan Mamta, disebelah barat dengan wilayah adat Domberai dan Saireri, dan sebelah timur dengan wilayah adat Anim-Ha”. Bahasa lokal yang digguanakan di tanah Papua berjumlah kurang lebih 255 buah (Prie, 2012: xx).

Dari segi ethnoscapes Papua merupakan salah satu daerah penerima program transmigran terbesar (hingga tahun 2000) yang menyebabkan banyaknya jumlah migran yang masuk ke wilayah tersebut yang di antaranya berasal dari pulau Bali, Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Berdasarkan sebuah laporan, pada tahun 2010 dari jumlah

penduduk provinsi Papua yakni 2, 833, 381 3 sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat : 526, 960 4 , di antaranya 49% merupakan warga asli Papua dibanding 51% migran (Dargur, 2014). Angka persentase migran tersebut dapat terus meningkat jika melihat pola transmigrasi dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1971-2000 tercatat migrasi yang masuk ke Papua mencapai 719. 866 jiwa sementara yang keluar hanya 99. 614 jiwa (Asril, 2015).

Dilema transmigrasi merupakan salah satu masalah serius yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah daerah di Papua. Pengaruh yang tampak sebagaimana disebutkan Farhadian (dikutip dalam Asyhari-Afwan, 2015: 18) adalah budaya Papua mengalami perubahan. Salah satunya, misalnya, adalah kota Jayapura yang mewakili potret kota metropolitan yang berbanding terbalik dengan situasi yang ada di wilayah pegunungan. Kondisi di kota Jayapura sesungguhnya dapat kita lihat dari kota-kota yang terdapat perusahaan multi-nasional seperti Freeport dan British Petroleum, dan juga berbagai LSM baik lokal maupun internasional berjamuran di daerah ini. Hal tersebut menambah munculnya keberagaman etnis (Melayu, Kaukasia ataupun Afrika) di Tanah Papua dan konsekuesinya mempengaruhi kultur Papua secara keseluruhan.

Contoh kasus yang lain adalah kota Timika. Ia dapat menjadi sebuah studi perbandingan yang cukup menarik terkait akibat dari masuknya beragam etnis, khususnya orang luar (luar negri) terhadap masyarakat Papua. Sejak tahun 1973, Timika yang terletak di Kabupaten Mimika, merupakan wilayah operasi salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Freeport. Kota yang dahulu sepi telah berkembang menjadi salah satu kota tersibuk, menyebabkan terjadinya perubahan pola hidup suku- suku asli disekitar kabupaten Mimika dan suku-suku Papua lainnya. Kebudayaan Barat yang masuk diadopsi oleh masyarakat Papua seperti halnya sarapan roti, mengenakan jeans dan lain-lain.

3 www.papua.go.id – Pemerintah Provinsi Papua 4 Statistik Daerah Prov. Papua Barat 2010 pdf – scribid

Beroperasinya perusahan tambang tersebut menyebabkan degradasi lingkungan dan ketegangan. Masyarakat yang dahulunya damai dan sederhana menjadi terasuki pandangan materialistik. Kesuksesan semakin diukur berdasarkan besarnya angka dalam akun bank seseorang, jumlah kendaraan atau banyaknya rumah yang dimiliki oleh seseorang. Tinggal di Papua dan berusaha mencari pekerjaan, tidak mengherankan jika mendengar orang berkata “Kenapa tidak mencoba di Freeport? Gajinya bisa belasan juta”. Karakteristik tersebut bukanlah karakter masyarakat Papua yang pada dasarnya merupakan manusia-manusia yang dekat dengan alam dan memiliki ikatan keluarga yang erat. Namun, karakter tersebut perlahan menghilang dan digantikan dengan karakter yang baru.

Salah satu contoh perubahan yang dapat dilihat ialah pola pikir orang tua dulu terkait jumlah anak yang dimiliki, banyak anak merupakan sebuah berkat yang diberikan oleh Tuhan, berbanding terbalik dengan orang tua sekarang yang menganggap hal tersebut sebuah beban. Pola pikir masyarakat semakin peka terhadap keuntungan ekonomi dan materialistik. Tidak hanya di Timika saja melainkan hampir seluruh kota-kota besar di Papua juga mengalami hal serupa. Kebutuhan dasar masyarakat mengalami pergeseran. Contohnya dapat kita lihat dari makanan. Makanan khas Papua yang dihasilkan dari Tanah Papua itu sendiri perlahan tersingkirkan dengan makanan-makanan ‘impor’ seperti hamburger KFC atau Pizza yang menjadi favorit banyak orang ketimbang papeda. Bahkan makanan seperti nasi goreng, mie, bakso, gado-gado dan lainnya pun lebih banyak ketimbang makanan tradisional Papua. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah kios-kios kecil hingga ruko dan pertokoan besar lainnya di jalan raya yang menjajakan makanan non-Papua. Hal ini juga mencerminkan bagaimana pola hidup masyarakat di Papua mengalami perubahan dan bagaimana generasi muda Papua yang tidak sadar akan budayanya sendiri.

Melalui mediascapes dan technoscapes, semenjak televisi dan telepon gengam (Hanphone) menjadi bagian integral yang sulit dipisahkan dalam pola hidup masyarakat abad ke-21, Papua juga tidak terkecualikan. Kenyataan yang dapat dilihat di sini ialah rata-rata masyarakat Papua menikmati waktu luang mereka di depan televisi dan menyaksikan berbagai tayangan seperti sinetron, telenovela mancanegara, gossip dan Melalui mediascapes dan technoscapes, semenjak televisi dan telepon gengam (Hanphone) menjadi bagian integral yang sulit dipisahkan dalam pola hidup masyarakat abad ke-21, Papua juga tidak terkecualikan. Kenyataan yang dapat dilihat di sini ialah rata-rata masyarakat Papua menikmati waktu luang mereka di depan televisi dan menyaksikan berbagai tayangan seperti sinetron, telenovela mancanegara, gossip dan

Kebudayaan atau pola hidup asing yang kerap digambarkan melalui televisi, buku, majalah, film, lagu, gambar dan lain-lain, sementara budaya Papua sendiri jarang diekspos. Beberapa aspek budaya Papua terkadang mengalami interprestasi yang negatif, contohnya koteka yang dianggap suatu hal yang menjijikan dan memalukan (Fatubun, 2011: 112-124). Menurut pendapat beberapa tokoh, peran media khususnya televisi yang lebih mengutamakan secara perlahan menyisipkan budaya asing dibandingkan materi-materi yang mendidik bagi para penonton. Media secara khusus televisi dan internet dapat diberdayakan secara baik dan masyarakat mampu mendapatkan keuntungan. Melalui kedua ‘alat’ tersebut dapat membantu dalam perkembangan intelektual, menambah wawasan serta memajukan perkembangan teknologi di Papua. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa kemajuan teknologi dan peran mass media diarahkan bukan demi kebutuhan masyarakat melainkan lebih kepada kebutuhan masyarakat yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan mass media (Wibowo, 2007). Dalam nada yang sama, Andreas Goo (dikutip dalam Asyhari-Afwan, 2015: 26) menyatakan bahwa gelombang kemoderenan yang merambah Papua sulit dimengerti orang Papua. Nampaknya orang Papua mengalami “lompatan” budaya dengan berkah globalisasi (hasil teknologi dan media) yang berdampak buruk terhadap ekonomi, sosial dan budaya mereka, sebagaimana telah disebut di atas.

Sementara itu, keberagamaan orang Papua juga mengalami pergeseran dan pengaruh dari globalisasi, terutama media, khususnya di kalangan remaja. Kalau sebelum media merajalela otoritas keagamaan ditemukan pada gereja dengan pendeta atau pastor Sementara itu, keberagamaan orang Papua juga mengalami pergeseran dan pengaruh dari globalisasi, terutama media, khususnya di kalangan remaja. Kalau sebelum media merajalela otoritas keagamaan ditemukan pada gereja dengan pendeta atau pastor

‘Ada gula ada semut’ adalah sebuah peribahasa yang relevan untuk menggambarkan perekonomian Papua. Papua selalu dianggap sebagai salah satu pulau yang melimpah akan sumber daya alam dan telah menjadi pusat perhatian bagi banyak orang baik dalam maupun luar negri. Dengan diberlakukannya Otsus, triliunan rupiah masuk ke provinsi ini. Financescape mengacu pada peredaran uang dan dalam konteks ini financescape merupakan alat pemicu ethnoscape di tanah Papua. Di tahun 2003, tercatat bahwa 90% migran di Papua berdomisili di kota-kota besar di Papua dan 90% dari perekonomian Papua (perdagangan, pekerja, transportasi dan perusahaan swasta dan bisnis lainnya) dikendalikan oleh mereka. Maka dari itu, masyarakat Papua mulai tersingkirkan. Pada tahun 1959 jumlah migran hanya 2% dari jumlah penduduk yang ada, di tahun 1971 angka tersebut meningkat menjadi lebih dari 5% dan di tahun 2000 angka tersebut telah mencapai 35% (Widjojo dkk dikutip Suryawan, 2015). Ada ketakutan dalam provinsi tersebut bahwa dalam beberapa tahun kedepan masyarakat Papua akan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri dan akhirnya termarginalkan

secara politik dan ekonomi (Widjojo dkk, 2009: 9). 5

Tidak diragukan, bahwa arus migran terus meningkat di Papua, terutama kota Jayapura sebagai ibu kota Provinsi Papua. Jayapura bahkan menjadi tempat destinasi favorit kedua setelah Kabupaten Sarmi. Pertumbuhan tersebut salah satunya berasal dari kaum migran yang masuk ke Jayapura yang datang dari berbagai daerah baik dari Papua maupun Papua yang mana kebanyakan dari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap yang secara tidak langsung berkontribusi terhadap angka pengangguran di kota Jayapura, sedangkan lapangan kerja yang tersedia relatif terbatas. Hal tersebut juga berpotensi

5 Hal tersebut menyebabkan ketegangan dan ancaman bagi warga Papua. tidak ada angka pasti namun peningkatan jumlah migrasi dan transmigrasi terus berlanjut. Pada tahun 1980 tercatat kurang lebih

50.000 – 80.000 pendatang masuk ke Papua dan pada tahun 2000 angka tersebut telah mencapai 200.000-300.000 orang. (Bertrand, 2004, hal. 152) 50.000 – 80.000 pendatang masuk ke Papua dan pada tahun 2000 angka tersebut telah mencapai 200.000-300.000 orang. (Bertrand, 2004, hal. 152)

Ideoscapes yang mengacu pada aspek idiologi dan untuk ‘scape’ ini terdapat dua pandangan. Pertama yang melihat adanya pengaruh positif dengan masuknya ide atau pemikiran baru. Pemikiran-pemikiran baru ini dapat membantu terciptanya pemahaman yang lebih baik akan dunia serta memberikan ide dan inspirasi yang segar bagi banyak orang. Berkat globalisasi bagi masyarakat Papua konsep demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan menjadi hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Kata-kata yang dahulu tidak dipahami kini menjadi pokok pembicaraan hangat bagi tiap orang Papua. Para anak muda juga bersemangat dan memiliki ketertarikan yang dalam ketika mulai berbicara mengenai hal-hal diatas. Banyak yang akan mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh kerinduan masyarakat Papua untuk merasakan sebuah pemerintahan yang lebih demokratis, terutama melihat Otsus yang tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Masyarakat Papua merasa tidak bebas di atas tanahnya sendiri dan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terus mewarnai kehidupan mereka. Memang sebuah ironi bagi banyak orang bahwa tanah yang subur tetapi masyarakatnya menderita. Pemerintah daerah dan pusat telah mengecewakan banyak orang (Hardianto, 2011: 7).

Permasalahan yang dihadapi inilah yang membuat orang Papua terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan dengan membuka pikiran dan diri banyak yang terinspirasi untuk mencari sebuah solusi dengan cara damai. Pandangan kedua, melihat dari segi yang pesimistis terhadap bagaimana ideologi asing ‘membombardir’ dengan pemikiran- pemikiran barat. Hal ini dilihat sebagai sebuah ‘penjajahan terselubung’ dengan cara ‘mengendalikan hati dan pikiran para generasi tua maupun muda di negara-negara miskin di dunia. Mereka mengendalikan dengan sebuah tekanan tombol menggunakan internet, media internasional, dan cara telekomunikasi canggih lainnya’ (Razak, 2011: 59-69).

Karakter sebuah bangsa dibentuk oleh tradisi dan budaya yang terus dijalankan dan dilestarikan. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kebanggaan rakyatnya terhadap asal usulnya. Dalam hal ini masyarakat Papua terus mengalami culture shock. Mereka mengalami lompatan besar dalam sejarah perkembangan manusia, dan yang mana orang Papua masih mengalami ketidakpastian dan belum dapat menyesuaikam dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini. Masyarakat ini masih baru terhadap berbagai tren luar dan masih belum terbiasa dengan hidup serba modern. Tidak banyak generasi muda Papua yang bangga dengan budayanya. Mereka cenderung akrab dengan lagu-lagu luar seperti reggae yang dipopulerkan oleh Bob Marley. Bagi orang Jamaika reggae merupakan lagu kebebasan tetapi bagi anak muda Papua mereka menyukainya karena adanya kesamaan warna kulit (Wayar, 2011: 125-128).

Pengaruh globalisasi terhadap budaya Papua menggambarkan sebuah realita yang menyedihkan yang mana budaya tiap suku-suku mulai kehilangan maknanya. Berdasarkan analisis di atas tentang berbagai pengaruh terhadap budaya, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Papua dalam hal ini generasi muda Papua perlahan mulai kehilangan identitas dirinya. Terdapat krisis identitas bagi generasi muda Papua. Oleh karena itu, peran tiap individu dalam masyarakat sangat penting dalam memahami pentingnya budaya sendiri. Peran pemerintah dan lembaga pendidikan juga cukup besar dalam memfasilitasi masyarakat menghadapi arus globalisasi.

Pada akhirnya, mengikuti garis pemikiran para transformationalists, seperti Rosenau dan Giddens, kami berpandangan bahwa globalisasi menyebabkan perubahan kebudayaan di Papua, sebagai bagian dari masyarakat yang mengglobal. Orang Papua semakin terhubung dengan dunia luar, namun dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Globalisasi menciptakan jurang pemisah antar masyarakat dunia, secara khusus sebagian orang Papua masih mengalami marjinalisasi di atas tanahnya yang kaya, mengutip patra transformationalists, disebabkan oleh perekonomian dunia, dengan menciptakan sebuah ‘sovereignity regime’ baru dan munculnya organisasi politik dan/atau ekonomi global baru yang kuat seperti korporasi-korporasi multinasional, gerakan sosial transnasional, badan pengawas internasional, dll. Singkatnya, globalisasi, Pada akhirnya, mengikuti garis pemikiran para transformationalists, seperti Rosenau dan Giddens, kami berpandangan bahwa globalisasi menyebabkan perubahan kebudayaan di Papua, sebagai bagian dari masyarakat yang mengglobal. Orang Papua semakin terhubung dengan dunia luar, namun dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Globalisasi menciptakan jurang pemisah antar masyarakat dunia, secara khusus sebagian orang Papua masih mengalami marjinalisasi di atas tanahnya yang kaya, mengutip patra transformationalists, disebabkan oleh perekonomian dunia, dengan menciptakan sebuah ‘sovereignity regime’ baru dan munculnya organisasi politik dan/atau ekonomi global baru yang kuat seperti korporasi-korporasi multinasional, gerakan sosial transnasional, badan pengawas internasional, dll. Singkatnya, globalisasi,

5. Penutup