Landasan Filosofis dan Teoritis Standar

Please Quote as:
Sujana, I Made, Nuryanti, Tri, & Narasintawati, Luh Sri (2010). Landasan Filosofi dan Teoritis Standar Isi
Bahasa Inggris dalam KTSP dan Tantangan Kurikulum LPTK Bahasa Inggris, Jurnal Linguistik, Sastra,
dan Budaya (Lisdaya), JPBS FKIP UNRAM, Vol. 6 No. 1, 2010

LANDASAN FILOSOFI DAN TEORITIS STANDAR ISI BAHASA
INGGRIS DALAM KTSP DAN TANTANGAN KURIKULUM
LPTK BAHASA INGGRIS

Oleh:
I Made Sujana, Hj. Tri Nuryanti & Luh Sri Narasintawati
PBS FKIP Universitas Mataram, SMP Negeri 2 Mataram, SMP Negeri 14 Mataram

Abstract. Indonesia has launched the 7th curriculum --- called KTSP 2006
(2006’s School-Based Curriculum) – whose aim is to give autonomy to school to
manage its own education. However, if it is traced at the subject level, especially
at English subject, there is no significant difference between 2006’s KTSP and
2004’s CBC. The major change happening is on the transition from 1994’s
curriculum to 2004’s CBC in terms of theoretical and philosophical foundations
being applied. This paper will analyze the phylosophical and theoretical
foundations in teaching English in Indonesia and their impacts on the English

curriculum of English Education Department.
Key words: 2006’s School Based Curriculum, theoretical and philosophical
foundation, English subject
Abstrak. Indonesia meluncurkan kurikulum ketujuh dengan nama KTSP 2006
yang bertujuan untuk memberikan otonomi pada sekolah dalam pengelolaan
pendidikan. Tetapi kalau ditelusuri secara esensi pada bidang studi, kurikulum ini
kurang lebih sama dengan KBK 2004. Dalam bidang studi Bahasa Inggris, tidak
ada perubahan yang mendasar anatara KBK 2004 dengan KTSP 2006. Justru yang
terjadi perubahan besar adalah dari Kurikulum 1994 (supplemen 1999) ke KBK
2004 dalam hal landasan filosofi dan teoritis yang melatarbelakanginya. Tulisan
ini mencoba memaparkan kedua landasan tersebut dalam KBK 2004/KTSP 2006
pada mata pelajaran Bahasa Inggris serta memaparkan dampak perubahan tersebut
terhadap kurikulum LPTK Bahasa Inggris.
Kata-kata kunci: KTSP 2006, landasan filosofi, landasan teoritis, bahasa Inggris

A.

PENDAHULUAN
Menjawab tantangan tentang mutu pendidikan di Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) melalui Direktorat Pendidikan Dasar dan Direktorat


I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

1

Pendidikan Menengah merespon secara gencar dengan melakukan perubahanperubahan. Beberapa tahun terakhir ini Depdiknas disibukkan dengan mencari
format yang tepat untuk kurikulum pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP)
dan pendidikan menengah (SMU). Mulai tahun 2002 digulirkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang kemudian menjadi draft Kurikulum 2004. Walaupun
belum disahkan oleh yang berwenang, KBK 2004 sudah banyak diterapkan di
sekolah-sekolah sebagai uji coba. Tentu saja sebelumnya telah didahului dengan
pelatihan-pelatihan

untuk guru dan jajaran terkait yang barangkali telah

menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Belum tuntas secara menyeluruh pemahaman guru tentang KBK 2004,
pemerintah kembali melakukan revisi dengan memunculkan nama Kurikulum
Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) 2006. Dari perjalanan kurikulum di Indonesia
KTSP 2006 merupakan kurikulum yang ketujuh yang diterapkan. Sebelumnya

Pemerintah Indonesia pernah menerapkan Kurikulum 1954, 1964 (supplemen
1968), 1975, 1984, 1994 (supplemen 1999) dan KBK 2004 (lihat Mirizon, 2004;
Priyono, 2004). Ini berarti kecuali antara KBK 2004 dan KTSP 2006 Indonesia
melakukan perubahan kurikulum 10 tahun sekali. Tentu saja perubahan tersebut
memiliki landasan yang kuat dan setelah melakukan studi kelayakan dan dengan
mempertimbangkan hasil kurikulum sebelumnya, bukan disebabkan oleh pergantian
Menteri Pendidikan seperti yang sering disindirkan masyarakat biasa. Perubahan
Kurikulum 1994 ke KBK 2004 dilandasi beberapa alasan, antara lain: (a) siswa
memiliki potensi yang berbeda dan potensi ini akan berkembang kalau stimulus
yang diberikan sesuai; (b) kualitas pendidikan kita masih rendah dan mengabaikan
beberapa aspek seperti moral, karakter, kecakapan hidup, dll.; (c) kompetisi global
mensyaratkan kompetensi – yang memiliki kompetensi akan bisa bertahan, yang
tidak akan gagal; (d) kompetisi terjadi pada SDM yang merupakan produk dari
pendidikan; dan (e) kompetisi terjadi pada institusi pendidikan (Depdiknas dalam
Mirizon, 2004).
Untuk mata pelajaran bahasa Inggris perubahan dari KBK 2004 ke KTSP
2006 mungkin tidak banyak mengalami perubahan kecuali perampingan dalam
jenis-jenis teks. Landasan filosofi dan landasan teoritis yang digunakan pada kedua

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati


2

kurikulum ini sama, yang berbeda adalah KTSP 2006 memberikan otonomi pada
sekolah (dalam hal ini guru Bahasa Inggris) untuk mengembangkan sendiri silabus
dan perangkat pembelajaran lainnya berdasarkan visi dan misi sekolah dan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Perubahan
mendasar yang terjadi justru pada perubahan dari Kurikulum 1994 supplemen 1999
ke KBK 2004 karena adanya perubahan landasan filosofi dan landasan teoritis yang
digunakan dalam KBK yang menuntut para guru dan calon guru serta para praktisi
dalam bidang pendidikan untuk memperbaharui konsep-konsep pengajaran yang
telah mereka kuasai dan gunakan selama ini.
Perubahan landasan ini tentu membawa dampak besar pola pembelajaran.
Untuk merubah pola ini perlu pembekalan pada guru-guru tentang konsep baru ini.
Ini merupakan tantangan tersendiri dalam pendidikan kita --- guru sudah mapan
dengan pola lama, tiba-tiba harus diperkenalkan dengan pola baru. Dengan
penerapan KTSP, terjadi transisi besar pada diri guru yang kebanyakan
menempatkan diri sebagai “user” (karena kurikulum dan silabus dibuat oleh
pemerintah/DEPDIKNAS) ke peran sebagai “designer” (dimana guru hanya
diberikan Standar Isi yang selanjutnya menjadi tugas guru untuk mengembangkan

sendiri silabusnya) sebagaimana dituntut oleh KTSP. Perubahan “mindset” inilah
yang menjadi kendala dalam sistem pendidikan Indonesia.
Sebagai penghasil tenaga pendidik, Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) juga dituntut untuk melakukan pembaharuan dengan
merekonstruksi kurikulum untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi.
Berdasarkan pengamatan dan analisa penulis terhadap kurikulum LPTK (terutama
di Pulau Lombok), saat ini masih terjadi kesenjangan yang sangat besar antara
kurikulum LPTK dengan lapangan (kebutuhan sekolah). Salah satu indikasinya
terlihat dari kebingungan mahasiswa PPL di sekolah dengan istilah-istilah yang
baru mereka dengar dan keluhan guru pamong yang membimbing mereka. Hal ini
harus diakui memang belum ada mata kuliah atau materi yang memperkenalkan
mereka pada istilah-istilah yang dipakai dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006. Ini
tentu saja menjadi “PR” bagi LPTK untuk segera merekonstruksi kurikulum
dan/atau mata kuliah sehingga mampu beradaptasi dengan kebutuhan lapangan.

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

3

Sebagai bahan masukan untuk LPTK yang menyelenggarakan Pendidikan

Bahasa Inggris, tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan landasan filosofi dan
teoritis dalam penyusunan KBK 2004 dan KTSP 2006 mata pelajaran Bahasa
Inggris serta dampaknya terhadap guru, calon guru dan LPTK pengelola PS
Pendidikan Bahasa Inggris.

B.

DISKUSI
Permasalahan utama yang dihadapi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris dengan
penerapan KBK/KTSP adalah penyamaan persepsi tentang konsep kurikulum baru
ini sehingga bisa mengimplementasikannya sesuai yang diamanatkan dalam
kurikulum. Yang terjadi di lapangan saat ini adalah adanya persepsi yang beragam
tentang konsep KBK/KTSP mata pelajaran Bahasa Inggris yang disebabkan oleh
banyak faktor penghambat. Dengan demikian diperlukan usaha terus menerus dari
semua pihak yang terlibat dalam pengajaran Bahasa Inggris untuk memberikan
klarifikasi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan penguasaan
konsep serta terus melakukan pembenahan-pembenahan untuk mendukung
penerapan kurikulum baru ini. Untuk tujuan tersebut, bagian ini akan memaparkan
kembali tentang beberapa konsep yang berkaitan dengan KBK/KTSP mata
pelajaran Bahasa Inggris antara lain landasan filosofi dan landasan teoritis dari

KBK.

2.1 Landasan Filosofi KBK/KTSP Bahasa Inggris
Penyusunan Standar Isi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah
menengah di Indonesia berangkat dari pandangan bahasa sebagai alat
komunikasi atau sebagai sistem semiotik sosial yang dikembangkan oleh
Haliday (1985). Pandangan ini lebih dikenal dengan nama Systemic
Functional Linguistics (SFL). Menurut pandangan SFL, bahasa pada tingkat
internal terdiri atas 3 strata yaitu semantik (makna), tatabahasa (bentuk) dan
fonologi/grafologi

(ekspresi).

Sedangkan

pada

tingkat

ekternal


(ekstralinguistik), bahasa sebagai semiotik sosial berhubungan erat dengan
konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi (Haliday, 1985, 1995).

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

4

Penggunaan bahasa (pembangunan suatu teks tulis/lisan), berdasarkan
pandangan ini, sangat ditentukan oleh konteks budaya dan konteks situasi.
Hubungan antara teks dan konteks dapat digambarkan sebagai berikut:
CULTURE

Derewianka, 1995

GENRE
(PURPOSE)

SITUATION
Who is involved?

(Tenor)
The subject matter
(Field)

The channel
(Mode)

REGISTER
TEXT

Gambar 1: Konteks Budaya dan Konteks Situasi (Deriwianka dalam Morizon, 2004)

Diagram di atas menggambarkan tentang peran konteks dalam
penciptaan dan penafsiran suatu teks. Dalam konteks apapun, dalam
menggunakan bahasa seseorang melakukan tiga fungsi (three meta functions),
yaitu: (a) Fungsi gagasan (ideational function) – fungsi bahasa untuk
mengemukakan atau mengkonstruksi gagasan atau informasi; (b) Fungsi
interpersonal (interpersonal function) --- fungsi bahasa untuk berinteraksi
dengan sesama manusia yang mengungkapkan tingkat tutur (speech act) yang
dilakukan, sikap, perasaan, dan sebagainya; dan (c) Fungsi tekstual (textual

function) --- fungsi yang mengatur bagaimana teks atau bahasa yang
diciptakan ditata sehingga tercapai kohesi dan koherensi untuk memudahkan
orang membaca/mendengarnya.
Dengan demikian, pengembangan program pengajaran bahasa Inggris
siswa harus diarahkan pada kemampuan untuk mengungkapkan nuansanuansa makna ideasional, makna interpersonal dan makna tekstual.
Sebagaimana terlihat dalam diagram di atas, penggunaan bahasa dalam
model ini dipengaruhi oleh dua jenis konteks --- konteks budaya dan konteks
situasi. Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks (genre) seperti
narrative, descriptive, recount, report, anecdote, dll yang dikenal dan diterima

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

5

oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut karena memiliki susunan teks
(generic structure) dan bahasa (grammatical features) jelas dan baku yang
digunakan dapat menunjang tujuan komunikatif. Dengan lain kata, dalam
penyampaian tujuan komunikasi, masing-masing jenis teks ini dikemas dalam
generic/schematic structure dan grammatical features tertentu. Generic


Structure (GS) dan Grammatical Features (GF) teks Procedure berbeda
dengan GS dan GF teks Deskriptive.
Konteks situasi melahirkan language register (variasi bahasa), yaitu
pemilihan bahasa yang dianggap sesuai dalam konteks tertentu. Pemilihan
variasi bahasa ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu field, tenor dan mode.
Field berkaitan dengan topik yang dibicarakan, Tenor berkaitan dengan siapa
yang terlibat dalam pembicaraan (participants) dan Mode berkaitan dengan
jalur komunikasi yang digunakan apakah lisan atau tertulis termasuk medium
komunikasi apakah face-to-face atau melalui telefon.
Dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, kedua konteks
ini penting diajarkan dalam rangka pencapaian penguasaan Bahasa Inggris
yang sesuai dengan standar bagaimana penutur asli mengungkapkan ide dalam
konteks yang dihadapinya.

2.2 Landasan Teoritis KBK/KTSP Bahasa Inggris
Selain landasan filosofi yang disebutkan di atas, KBK/KTSP juga
berdasarkan landasan teori yang terdiri dari model kompetensi komunikatif
(Celce-Murcia, dkk., 1995) dan teori literasi dan penerapannya dalam
pengajaran bahasa (Kern, 2000 dalam Depdiknas, 2004; Morizon, 2004).
2.2.1 Model Kompetensi Komunikatif
Model kompetensi yang digunakan dalam KBK 2004/KTSP 2006
adalah model yang dimotivasi oleh pertimbangan pedagogi bahasa yang
dikembangkan oleh Canale dan Swain (Depdiknas, 2004). Salah satu
model yang terkini yang ada dalam pengajaran bahasa adalah model
yang dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dorneyi dan Thurell (1995) yang
sepaham dengan pandangan teoritis bahwa bahasa adalah komunikasi

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

6

bukan seperangkat aturan. Ini artinya pengejaran bahasa diarahkan pada
penyiapan siswa untuk mampu menggunakan bahasa dalam konteks
sehari-hari. Model ini lebih dikenal dengan nama Communicative
Competence atau Kompetensi Komunikatif yang dijabarkan pada
diagram berikut:

Communicative
Competence

Sociocultural
Competence

Discourse
Competence

Actional
Competence

Linguistic
Competence
Strategic
Competence

Celce-Murcia et al, 1995

Gambar 2: Komunikatif Kompeten (Celce-Murcia, dkk., 1995)

Gambar di atas terlihat bahwa yang menjadi target dalam pengajaran
bahasa dalam model KK ini adalah Discourse Competence (Kompetensi
Wacana/ KW). Ini berarti ketika seseorang terlibat dalam komunikasi
lisan maupun tulis maupun tulis dia terlibat dalam suatu wacana.
Wacana dalam konteks ini didefinisikan sebagai sebuah peristiwa
komunikasi yang dipengaruhi oleh topik yang dikomunikasikan (field),
hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi (tenor)
dan jalur yang digunakan dalam satu konteks budaya (mode)
(Depdiknas, 2004: 6).

Makna apapun yang didengar atau ingin

diciptakan selalu mengacu pada konteks budaya dan konteks situasi
yang sesuai.
Kompetensi Wacana ini akan dikuasai kalau siswa memiliki
kompetensi pendukung seperti Linguistic Competence (Kompetensi
Linguistik), Actional Competence (Kompetensi Tindak Tutur/Retorika),
Sociocultural Competence (Kompetensi Sosiokultural) dan Strategic

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

7

Competence (Kompetensi Strategis). Untuk mengaktifkan Kompetensi

Wacana, siswa harus terlibat secara aktif dalam Speaking, Reading, dan
Writing. Keterlibatan ini akan memungkinkan siswa menggunakan
seperangkat strategi dan prosedur untuk merealisasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam unsur-unsur bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat
pragmatiknya

dalam

menafsirkan

dan

mengungkapkan

makna

(McCarthy dan Carter dalam Depdiknas, 2004). Hal ini mengisyaratkan
bahwa

perumusan

mengakomodasi

kompetensi

dan

komponen-komponen

indikator-indikatornya
tersebut

di

atas

harus
supaya

pengajaran bahasa Inggris mengarah pada pencapaian kompetensi utama
yaitu Kompetensi Wacana.

2.2.2 Tingkat Literasi
Salah satu pertimbangan teoritis dan praktis dalam penerapan
KBK/KTSP adalah tingkat literasi yang ditargetkan pada masing-masing
jenjang pendidikan. Dengan kata lain, ada tingkat literasi yang telah
ditetapkan yang menjadi skala prioritas pencapaian pada setiap jenjang
pendidikan. Depdiknas (2004) dengan meminjam pengkategorian dari
Wells (1987) menetapkan 4 tingkat lietrasi: performative, functional,
informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, siswa

diharapkan mampu membaca dan menulis, dan berbicara dengan simbolsimbol yang digunakan. Pada tingkat functional, siswa diharapkan
mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
seperti membaca bagian surat kabar yang diminati, membaca manual.
Pada tingkat informational, siswa diharapkan dapat mengakses
pengetahuan
Sedangkan

dengan
pada

memanfaatkan

tingkat

epistemic,

kemampuan
siswa

berbahasanya.

diharapkan

dapat

mentransformasi pengetahuan dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Pada jenjang pendidikan SD, pengajaran Bahasa Inggris diarahkan
pencapaian tingkat literasi performative, SMP pada tingkat functional
untuk tujuan komunikasi “survival”, SMA pada tingkat informational

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

8

untuk mempersiapkan diri masuk ke perguruan tinggi. Pada tingkat
pendidikan tinggi, pengajaran Bahasa Inggris diarahkan pada tingkat
epistemic untuk dapat mentransformasikan pengetahuan yang dimiliki

dengan Bahasa Inggris.

Levels of Literacy

Wells, 1987

Epistemic
Informational
Functional
Performative

Gambar 3: Tingkat Literasi (Wells dalam Depdiknas, 2004)

Penerapan tingkat literasi pada masing-masing jenjang pendidikan
membawa dampak pada pemilihan jenis-jenis teks yang tingkat
kesulitannya disesuaikan dengan tingkat literasi tersebut. Termasuk di
dalamnya adalah penekanan pada ragam bahasa (lisan atau tulis) pada
tiap jenjang pendidikan. Depdiknas (2004) telah mencoba merumuskan
kontinum atau rentangan penekanan pengajaran bahasa Inggris dari
jenjang pendidikan SD – SMA yang berangkat dari pengajaran bahasa
lisan kemudian semakin meningkat jenjang pendidikan semakin besar
porsi bahasa tulis. Rentangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4
berikut:
Bahasa Lisan
SD
1-3

SD
4-5

SMP

SMA

Bahasa Tulis
Gambar 4: Kontinum Bahasa Lisan-Bahasa Tulis dalam KBK 2004 (Depdiknas, 2004)

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

9

Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa Kurikulum Bahasa
Inggris mencoba mengadopsi “kurikulum alamiah” (istilah Cameron
dalam Depdiknas, 2004) dimana belajar bahasa berangkat dari bahasa
yang menyertai tindakan (language accompanying action) bukan
berangkat dari bahasa sebagai representasi fenomena yang tidak hadir di
hadapannya (language as representation). Dalam belajar bahasa secara
natural, belajar bahasa mulai dari belajar bahasa lisan dan bahasa tulis
sulit dikuasai kalau bahasa lisan belum dikuasai. Semakin tinggi kelas
atau tingkat pendidikan semakin banyak pengenalan bahasa tulis.
Dengan adanya dikotomi penekanan pengajaran ini, perlu pemikiran
yang cermat tentang apa yang menjadi konsentrasi pada masing-masing
jenjang pendidikan ini untuk menghindari tumpang tindih materi yang
diajarkan.

2.2.3 Teaching-Learning Cycles (TLC) sebagai Model Pembelajaran
Model pembelajaran yang disarankan dalam proses pembelajaran
Bahasa Inggris baik dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006 didasarkan
pada prinsip-prinsip pengembangan literasi Bahasa Inggris yang
dikembangkan oleh Hammond, dkk. (1992). Model ini lebih dikenal
dengan nama Teaching Learning Cycles (TLC). Langkah-langkah
pembelajarannya meliputi (1) Building Knowledge of the Field
(BKOF), (2) Modelling of the Text (MOT), (3) Joint Construction of the
Text (JCOT), dan (4) Independent Construction of the Text (ICOT).

Langkah-langkah ini bisa diterapkan baik untuk Siklus Lisan (Spoken)
maupun Siklus Tulis (Written Cycles). Selengkapnya empat langkah
pembelajaran tersebut dapat dilihat pada diagram berikut:

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

10

Gambar 5: Siklus Pembelajaran Bahasa Inggris (Hammond, dkk. (1992).

Gambar di atas menunjukkan kegiatan dan pelibatan komponen interaksi (guru
dan siswa) pada masing-masing langkah. Kegiatan BKOF bertujuan untuk
memberikan brainstorming terhadap materi/topik yang akan dibahas. Kegiatan
ini meliputi penggalian pengetahuan awal yang dimiliki siswa, pengenalan kosa
kata dan tatabahasa yang relevan, yang dilaksanakan secara interaktif antara
guru dengan siswa, siswa dengan siswa sehingga ada pembiasaan menyimak
dan berbicara pada diri siswa untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kegiatan
MOT bertujuan untuk memperkenalkan jenis teks tertentu. Guru memberikan
model interaksi atau teks dan bagaimana interaksi/teks ini mencapai tujuan
tertentu (fungsi teks). Untuk mempermudah pemahaman siswa guru
memperkenalkan bagaimana Generic Structures dan Grammatical Features
yang membangun teks yang sedang dibahas. Pada langkah ini, terjadi interaksi
antara guru dengan siswa (secara individu dan kelompok/kelas). JCOT
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatihkan teks
yang dimodelkan secara berkelompok dengan temannya. Dengan bekal
pemahaman pada kegiatan BKOF dan MOT, siswa diharapkan mampu meniru
dan memodifikasi model yang diberikan. Langkah selanjutnya --- ICOT --bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk menghasilkan

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

11

teks secara mandiri dan spontanitas. Kegiatan ini bisanya diawali dengan Siklus
Lisan kemudian dilanjutkan dengan Siklus Tulis, tetapi ketika memasuki Siklus
Tulis, bisa langsung mulai dengan MOT atau langsung JCOT kalau BKOF dan
MOT-nya sama.
Dari paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa baik landasan filosofis
maupun landasan teoritis dari KBK 2004/KTSP 2006 mengarah pada penerapan
Hallidayan’s Systemic Functional Linguistics. Pertanyaan mendasar untuk LPTK
Bahasa Inggris (FKIP UNRAM salah satunya) adalah sudahkah LPTK
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan? Dengan kata lain,
apakah dengan kurikulum yang ada sudah mampu membekali mahasiswa calon
guru dengan kemampuan-kemampuan yang dituntut di atas? Kalau ya, di bagian
mana konsep-konsep tersebut diberikan? Perubahan besar yang terjadi di sekolah
menuntut lebih dari sekadar sisip-menyisipkan pada mata kuliah tertentu, tetapi
harus jelas porsinya. Menurut pengamatan penulis, sampai rekonstruksi terakhir
kurikulum Bahasa Inggris FKIP UNRAM, belum tampak adanya perubahan ke arah
pemenuhan kebutuhan lapangan dalam hal peningkatan kompetensi pedagogis
maupun profesionalnya.

2.3 Dampak Perubahan pada Kurikulum LPTK Bahasa Inggris
Adopsi SFL dalam penyusunan Standar isi pada KBK 2004 dan KTSP 2006
merupakan “snow-ball effect” terhadap kurikulum di perguruan tinggi
(Agustien, 2006). Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh perguruan
tinggi penyelenggara PS Bahasa Inggris adalah, dengan kuatnya pengaruh
SFL dalam kurikulum sekolah, bagaimana tingkat kesiapan LPTK Bahasa
Inggris? Sudahkah mahasiswa dibekali dengan landasan-landasan di atas?
Apakah pembekalan tersebut melalui pemberian mata kuliah baru atau berupa
sisipan sudah ada? Kalau berupa sisipan dalam mata kuliah mana diberikan?
Kalau kurikulum LPTK Bahasa Inggris berorientasi pada Kurikulum Berbasis
Kompetensi, maka lembaga ini tidak bisa tinggal diam dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pasar. Kebutuhan pasar sudah jelas bahwa untuk
menjadi seorang guru bahasa Inggris seseorang dituntut untuk menguasai 4

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

12

kompetensi: kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi
sosial dan kompetensi. Berkaitan dengan kompetensi pedagogis, mahasiswa
harus dibekali dengan metodologi, strategi dan teknik pengajaran, serta
kemampuan penilaian yang belaku di sekolah. Mahasiswa harus dibekali
dengan kemampuan mengelola pembelajaran yang menerapkan 4 langkah
pembelajaran (BKOF, MOT, JCOT dan ICOT) sebagai salah satu kemampuan
pokok dimiliki seorang calon guru bahasa Inggris. Dalam penilaian,
mahasiswa juga harus dibekali dengan kemampuan menilai yang sebenarnya
(authentic assessment). Bagaimana memaksimalkan penilaian unjuk kerja
(performance test) dan portfolio disamping tes tulis sehingga penilaian bisa
lebih valid dan reliabel.
Kurikulum LPTK harus berorientasi pada pasar atau dalam konteks ini
adalah sekolah. Dengan pengaruh aliran SFL dan pengaruh lainnya dalam
Standar Isi Bahasa Inggris di sekolah, perguruan tinggi juga harus membekali
lulusannya dengan konsep-konsep aliran tersebut. Sebagaimana ditanyakan di
atas, seberapa banyak isu-isu baru di lapangan terakomodasi dalam mata
kuliah seperti Curriculum & Material Development (CMD), Teaching English
as a Foreign Language (TEFL), Micro Teaching, Language Testing atau mata
kuliah PBM lainnya dan mata kuliah peningkatan kompetensi profesional
seperti Syntax, Grammar, Writing, Discourse Analysis, dll. sehingga lulusan
yang dihasilkan mampu mengantisipasi pasar (sekolah)? Program studi harus
segera melakukan pemetaan terhadap mata kuliah-mata kuliah terkait atau
seperti yang dilakukan oleh LPTK lain (seperti Universitas Negeri Semarang)
yang berani memunculkan 8-10 sks mata kuliah yang terkait dengan
perkembangan baru di lapangan (Agustien, 2006).
Hal ini menjadi keharusan bagi penyelenggara Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris untuk melakukan rekonstruksi ke arah itu. Permasalahan ini
bukan permasalahan mau-tidak mau atau tertarik-tidak tertarik akan aliran
tertentu dalam pembelajaran, tapi penerimaan kenyataan akan tuntutan
lapangan. Bagi LPTK, tidak ada pilihan lain dalam konteks ini kecuali
mengakomodasi tuntutan pasar. Dosen dan Kurikulum LPTK harus berbenah

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

13

untuk membekali mahasiswa dengan kompetensi yang dibutuhkan lapangan
sehingga memiliki daya saing di pasar kerja.

C.

PENUTUP
Terkait dengan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, perubahan paradigma
besar-besaran terjadi bukan dari KBK 2004 ke KTSP 2006, tetapi dari Kurikulum
1994 ke KBK 2004 karena perbedaan landasan filosofis dan teoritis yang
mendasari. Pengaruh Systemic Functional Linguistics (SFL) yang dicetuskan oleh
Michael Halliday. Aliran ini memandang pemilihan bahasa untuk mencapai tujuan
tertentu sangat ditentukan oleh konteks ideologi, budaya, dan situasi. Dalam
perancangan pembelajaran, pendekatan yang digunakan adalah model Kompetensi
Komunikatif (KK) yang dikembangkan oleh Celce-Murcia, dkk. (1995) dan Teori
Literasi yang dikembangkan oleh Kern (2000 dalam Morizon, 2004).

Begitu banyak telah terjadi perubahan dalam pembelajaran Bahasa Inggris di
tingkat sekolah. Bagaimana dengan LPTK Bahasa Inggris sebagai “mesin cetak”
guru Bahasa Inggris menghadapi perubahan ini. Seberapa besar telah terjadi
perubahan di LPTK Bahasa Inggris dalam pemenuhan pasar. Pertanyaanpertanyaan ini hanya bisa dijawab secara internal dengan melakukan refleksi diri
dari segi perangkat pembelajaran (kurikulum, Silabus, SAP), dosen sebagai agen
pembelajaran, dan kontrol terhadap implementasi dalam perkuliahan.

REFERENSI
Agustien, Helena I. R., 2006. Systemic Functional Linguistics in the National English
Curriculum, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pembentukan Forum
Sistemik Fungsional Linguistik Indonesia UNJ Jakarta tanggal 9 – 10 November
2006.
Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004. The Tapestry of English
Language Teaching and Learning in Indonesia . Malang: State University of
Malang Press.
Celce-Murcia, M, Z. Dornyei, dan S. Thurrell. “Communicative Competence: A
Pedagogically Motivated Model with Content Specifications”, in Issues in Applied
Linguistics, 6/2 pp. 5-35

Depdiknas, 2004. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris
SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

14

Haliday, Michael, 1985/1994. Introduction to Fuctional Grammar . London: Edward
Arnold.
Huda, Nuril, 1999. Language Learning and Teaching: Issues and Trends . Malang:
Universitas Negeri Malang.
Kismadi, Gloria C., 2004. “Start Them Early: Teaching English to Young earners in
Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.). The Tapestry
of English Language Teaching and Learning in Indonesia . Malang: State
University of Malang Press. Pp. 253 – 264.
Mirizon, Soni, 2004. “Some Aspects of English Competency Based Curriculum”, Forum
Kependidikan. FKIP Universitas Sriwijaya, Vol. 24, No.1, pp. 67-86
Priyono, 2004. “Logical Problems of Teaching English as a Foreign Language in
Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.). The Tapestry
of English Language Teaching and Learning in Indonesia . Malang: State
University of Malang Press. Pp. 17-28.
Santosa, Riyadi, 2006. Pilihan Bentuk dan Makna Hubungan Konjugatif dan
Pengaruhnya terhadap Gaya Bahasa, Makalah disampaikan dalam Seminar dan
Pembentukan Forum Sistemik Fungsional Linguistik Indonesia UNJ Jakarta
tanggal 9 – 10 November 2006.

I M. Sujana, Hj. Tri Nuryanti, & L. Sri Narasintawati

15