Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Penggunaan Senjata Kimia Oleh Suriah

BAB II
LARANGAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA DALAM KONFLIK
BERSENJATA

A. Pengaturan Cara Perang Sebagai Bagian dari Hukum Humaniter
Hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik yang belum
banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Hukum humaniter merupakan nama baru
yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang (Laws of War). 24 Hukum humaniter
internasional adalah bagian dari hukum internasional yang merupakan kumpulan
peraturan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar negara. Hukum humaniter
internasional berlaku terhadap konflik bersenjata. 25
Hukum Humaniter oleh Haryomataram dibagi menjadi 2 (dua) aturan pokok,
yaitu: 26
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws);
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

24

Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 1.

“International humanitarian law is part of international law, which is the body of rules
governing relations between States… International humanitarian law applies to armed conflicts”
seperti
yang
termuat
di
dalam “What
Is
International
Humanitarian
Law?”
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/legal-fact-sheet/humanitarian-law-factsheet.htm, diakses
pada 5 Januari 2014, pukul 10.00 WIB.
26
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 2
25

18
Universitas Sumatera Utara


19

Hukum Humaniter oleh Mochtar Kusumaatmadja mencakup cakupan yang
lebih luas daripada cakupan yang dikemukakan oleh Haryomataram. Adapun aturan
pokok yang dikemukakan oleh Haryomataram hanyalah merupakan bagian daripada
kelompok “Jus in bello” yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.
Pembagian hukum humaniter menurut Mochtar Kusumaatmadja diantaranya, sebagai
berikut: 27
1. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi
2 (dua) yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).
Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh kedua sarjana di atas, walaupun
pembagian yang dikemukakan tersebut berbeda, namun pada dasarnya mereka
sependapat bahwa hukum humaniter terdiri dari The Hague Laws dan The Geneva

Laws sebagai sumber hukum utamanya 28 , walaupun masih ada sumber-sumber
hukum humaniter internasional lainnya.
Konvensi Den Haag 1907 (dikenal juga dengan Hukum Den Haag)
merupakan konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian Pertama di Den

27

Ibid.. hal. 3
Terlihat pula dalam kalimat “Present-day international humanitarian law has grown from
two main sources: the Law of Geneva, i.e. a body of rules which protect victims of war, and the Law of
the Hague, i.e. those provisions which affect the conduct of hostilities.” yang termuat dalam “Law of
Geneva
and
the
law
of
the
Hague”,
yang
dapat

diakses
di
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jrlq.htm, diakses pada 5 Januari 2014, pukul
11.10 WIB.
28

Universitas Sumatera Utara

20

Haag pada tahun 1899, yang disempurnakan dalam Konferensi Kedua yang
dilaksanakan pada tahun 1907. Adapun hukum Den Haag ini terutama mengatur
tentang alat dan cara berperang (means and methode of warfare). 29 Konferensi Den
Haag tahun 1907 menghasilkan 13 (tiga belas) konvensi dan 1 (satu) deklarasi yang
akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
Berbeda halnya dengan Hukum Den Haag yang terdiri dari 13 (tiga belas)
konvensi dan 1 (satu) deklarasi, pada Hukum Jenewa, hanya terdapat 4 (empat)
konvensi pokok beserta 3 (tiga) protocol tambahan. Adapun keempat Konvensi
Jenewa 1949 diantaranya adalah :


30

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and
Sick in Armed Forces in the Field yang telah direvisi menjadi Geneva
Convention (I) on Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, 1949;
2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded,
Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea yang telah direvisi
menjadi Geneva Convention (II) on Wounded, Sick and Shipwrecked of
Armed Forces at Sea, 1949;
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War yang telah
direvisi menjadi Geneva Convention (III) on Prisoners of War, 1949;

29

Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 46.
Istilah lama diambil dari buku karangan Arlina Permanasari, dkk, Pengantar Hukum
Humaniter, Op. Cit., hal. 32, sedangkan istilah baru yang digunakan sekarang (setelah direvisi)
diambil dari “Treaties and State Parties to Such Treaties”, http://www.icrc.org/ihl, yang diakses pada
tanggal 5 Januari 2014 pukul 11.30 WIB.
30


Universitas Sumatera Utara

21

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of
War yang tela direvisi menjadi Geneva Convention (IV) on Civilians, 1949.
Adapun keempat konvensi Jenewa 1949 tersebut di atas berkaitan dengan : (1)
pasukan bersenjata yang terluka atau sakit di dalam situs peperangan; (2) pasukan
bersenjata yang terluka, sakit, atau terdampar di laut; (3) tawanan perang; (4)
penduduk sipil.
Ketiga Protokol Tambahan daripada Konvensi Jenewa 1949, diantaranya
adalah sebagai berikut: 31
1. Protocol I (1977) relating to the Protection of Victims of International Armed
Conflicts.
2. Protocol II (1977) relating to the Protection of Victims of Non-International
Armed Conflicts.
3. Protocol III (2005) relating to the Adoption of an Additional Distinctive
Emblem.
Sedangkan ketiga protokol tambahan ini lebih menekankan lagi terhadap

perlindungan yang sepantasnya diberikan. Adapun ketiga protokol tambahan ini
berkaitan dengan : (1) perlindungan terhadap korban atas konflik bersenjata
internasional; (2) perlindungan terhadap korban atas konflik bersenjata noninternasional; (3) penambahan lambang-lambang pembeda pada saat konflik
bersenjata.

31

“Geneva Conventions, dimuat dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Geneva_Conventions,
diakses pada 5 Januari 2014 pukul 11.45 WIB”

Universitas Sumatera Utara

22

Berdasarkan keempat konvensi dan ketiga protokol tambahan Konvensi
Jenewa 1949, dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas dalam hal
yang diatur dalam kedua sumber utama hukum humaniter ini, yakni Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa. Apabila Hukum Den Haag mengatur mengenai tentang
alat dan cara berperang, maka Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan
terhadap korban perang. 32

Hukum humaniter, khususnya sumber hukum humaniter, apabila dikaitkan
dengan penelitian ini maka akan lebih difokuskan pada Hukum Den Haag, karena
penelitian ini menitikberatkan pada jenis senjata yang digunakan oleh Suriah di
dalam konflik bersenjata yang mana termasuk dalam kajian Hukum Den Haag.

B. Tata Cara Perang Menurut Konvensi Den Haag Sebagai Bagian dari
Hukum Humaniter
Seperti yang telah dinyatakan pada sub-bab sebelumnya, Konvensi Den Haag
adalah salah satu sumber utama daripada Hukum Humaniter. Konvensi Den Haag ini
dihasilkan dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag pada tahun 1899, yang
disempurnakan dalam Konferensi Kedua yang dilaksanakan pada tahun 1907 33.

32

Dapat terlihat pada “The Law of Geneva, i.e. a body of rules which protect victims of war”
yang
termuat
pada
“What
Is

International
Humanitarian
Law?”
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/legal-fact-sheet/humanitarian-law-factsheet.htm, diakses
pada 5 Januari 2014, pukul 11.55 WIB.
33
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

23

Konferensi Den Haag tahun 1907 menghasilkan 13 (tiga belas) konvensi dan
1 (satu) deklarasi, diantaranya sebagai berikut: 34
1. Convention I for the Pacific Settlement of Disputes;
2. Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the
Recovery of Contract Debts;
3. Convention III Relative to the Opening of Hostilities;
4. Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land;
5. Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and

Persons in case of War on Land;
6. Convention VI Relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the
Outbreak of Hostilities;
7. Convention VII Relating to the Convention of Merchant Ships into War Ships;
8. Convention VIII Relating to the Laying of Automatic Submarine Contact
Mines;
9. Convention IX Concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War;
10. Convention X for the Adoption to Maritime Warfare of the Principles of the
Geneva Convention;
11. Convention XI Relative to Certain Restrictions with Regard to the Exercise of
the Right of Capture in Naval War;
12. Convention XII Relative to the Creation of an International Prize Court;
13. Convention XIII Concertning the Rights and Duties of Neutral Powers in
Naval War.
14. Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from
Balloons.

Convention I for the Pacific Settlement of Disputes mengatur mengenai tata
cara penyelesaian damai suatu persengketaan internasional. Adapun konvensi ini
merupakan hasil daripada Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag tahun 1899.

Konvensi ini diterima dan diperluas oleh Konvensi Den Haag 1907. Konvensi ini
menghendaki terbentuknya Permanent Court of Arbitration (Pengadilan Tetap

34

Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

24

Arbitrase) 35. Konvensi yang mendasari pembentukan Permanent Court of Arbitration
hingga saat ini telah diratifikasi oleh 115 negara, baik yang meratifikasi salah satu
ataupun kedua konvensi. 36 Konvensi yang dimaksud ialah konvensi Den Haag tahun
1899 dan 1907.
Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the
Recovery of Contract Debts menekankan bahwa dalam hal pelunasan hutang,
kekerasan bersenjata tidak dapat dilaksanakan oleh suatu negara terhadap negara
lainnya, kecuali dalam hal terdapat negara yang menolak untuk menyerahkan klaim
ke lembaga arbitrase, seperti yang terlihat pada:
“…Drago Doctrine, which was incorporated into the Hague Convention II of
1907 Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of
Contract Debts (Drago-Porter Convention).Under the Drago-Porter Convention,
states agreed not to use armed force for the recovery of state debts unless there was a
refusal to submit the claim to arbitration.” 37
Convention III Relative to the Opening of Hostilities mengatur tentang tata
cara dimulainya suatu perang. Perang yang dimaksud ialah perang dalam arti hukum,
yakni apabila perang itu dimulai sesuai dengan cara yang ditentukan dalam konvensi
35

Permanent Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1899 dan berkedudukan di Den Haag,
Belanda. Permanent Court of Arbitration terbentuk sebagai salah satu kebijakan dari Konferensi
Perdamaian Pertama Den Haag tahun 1899, yang menjadikannya institusi tertua berkenaan dengan
penyelesaiaan sengketa internasional. Dapat dilihat pada “Permanent Court of Arbitration”,
http://en.wikipedia.org/wiki/Permanent_Court_of_Arbitration, diakses pada 23 Januari 2014 pukul
20.16 WIB.
36
“Member States”, http://www.pca-cpa.org/showpage.asp?pag_id=1038, diakses pada 23
Januari 2014, pukul 20.21 WIB.
37
Andrew Newcombe, Lluís Paradell, Law and Practice of Investment Treaties: Standards of
Treatment, Kluwer Law International, Belanda, 2009, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

25

ini. 38 Adapun tata cara yang ditentukan dalam konvensi yang dimaksud tersebut
terdapat pada Pasal 1 konvensi yang bersangkutan tersebut, yang berbunyi :
“The contracting Powers recognize that hostilities between themselves must
not commence without previous and explicit warning, in the form either of a
declaration of war, giving reasons, or of an ultimatum with a conditional declaration
of war.” 39
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut, terlihat bahwa telah diakui bahwa
perang tidak akan dimulai tanpa adanya peringatan yang tegas sebelumnya, yang
mana harus dilakukan dalam bentuk deklarasi perang 40, memberikan alasan-alasan,
atau suatu ultimatum 41 dengan pernyataan perang dalam hal ultimatum tersebut tidak
dipenuhi.
Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land memuat
tentang hukum dan kebiasaan berperang di daratan. Konvensi ini merupakan salah
satu hasil dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag 1899, namun mengalami
sedikit perubahan sebelum akhirnya diterima sebagai bagian dari Konvensi Den Haag

38

Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 26.
Pasal 1 Konvensi III Den Haag 1907
40
Haryomataram menyebutkan bahwa deklarasi perang, sekalipun mengenai hal ini tidak ada
ketentuannya, namun seyogyanya disampaikan secara tertulis karena pentingnya arti deklarasi perang
tersebut. Dengan adanya deklarasi ini, maka kedua belah pihak berada dalam keadaan perang. Adanya
keadaan perang ini harus segera diberitahukan kepada negara-negara netral. Haryomataram, Bunga
Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Penerbit Bumi Nusantara Jaya Jakarta, Jakarta, 1988, hal.
36.
41
Penjelasan mengenai ultimatum diambil dari penjelasan Haryomataram bahwa suatu
ultimatum memuat beberapa persyaratan yang harus dijawab oleh penerima ultimatum dalam waktu
tertentu. Dalam hal tidak ada jawaban, atau jawaban itu kurang tegas, atau apabila jawaban itu kurang
memuaskan, maka semua itu dianggap sebagai suatu penolakan. Ibid., hal 37.
39

Universitas Sumatera Utara

26

1907. Konvensi IV Den Haag 1907 ini hanya memuat 9 Pasal, namun dilengkapi pula
dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations 42.
Beberapa pengaturan penting mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat
yang terdapat pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations,
diantaranya :
1. Klausula Si Omnes
Klausula ini tercermin dari Pasal 2 Konvensi IV Den Haag 1907, yang
berbunyi, “The Provision contained in the regulation referred to in art.1, as
well as in the Present Convention, are only binding between Contracting
Powers, and only if all the Belligerents are parties to the Conventions”.
Adapun dari ketentuan Pasal 2 tersebut, dapat diketahui bahwa Klausula Si
Omnes ialah suatu klausula yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 ataupun Hague Regulations
hanya berlaku jika pihak-pihak yang terlibat dalam perang adalah pihak dari
Konvensi ini. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang bukan merupakan
peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. 43 Namun demikian,
ketentuan yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations
telah dianggap sebagai bagian daripada hukum kebiasaan internasional 44 ,

42

Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.
Ibid., hal 27.
44
Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, salah satu sumber Hukum
Internasional adalah kebiasaan internasional (International Customs). Statuta Mahkamah Internasional
dapat dilihat pada http://www.icj-cij.org/documents/index.php?p1=4&p2=2&p3=0#CHAPTER_II ,
diakses pada 25 Januari 2014, pukul 19.38 WIB.
43

Universitas Sumatera Utara

27

sehingga dengan demikian, pada dasarnya Konvensi IV Den Haag 1907 dan
Hague Regulations juga mengikat negara-negara bukan peserta konvensi. 45
2. Pasal 1 Hague Regulations
Pasal 1 Hague Regulations ini menentukan siapa saja yang termasuk
belligerents 46 , yaitu tentara. Selain menentukan siapa saja yang termasuk
sebagai belligerents, Pasal ini juga menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh kelompok milisi (militia) dan korps sukarela sehingga dapat
dikategorikan sebagai kombatan. 47 Adapun syarat-syarat agar kelompok milisi
dan korps sukarela agar disebut sebagai kombatan, diantaranya: 48
a. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
b. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;
c. Membawa senjata secara terbuka
d. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

45

Dapat dilihat pada bagian “The provisions of the two Conventions on land warfare,…are
considered as embodying rules of customary international law. As such they are also binding on States
which are not formally parties to them.” yang terdapat pada “Convention (IV) respecting the Laws and
Customs of War on Land and its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on
Land. The Hague, 18 October 1907.” http://www.icrc.org/ihl.nsf/INTRO/195 diakses pada 25 Januari
2014, pukul 19.40 WIB.
46
Belligerent menurut Kamus Oxford memiliki makna “a nation or person engaged in war
or conflict, as recognized by international law” yang diterjemahkan suatu negara atau orang yang
terlibat dalam perang atau konflik, yang diakui oleh hukum internasional. Dapat dilihat pada
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/belligerent, diakses pada 25 Januari 2014, pukul
20.10 WIB.
47
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.
48
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

28

3. Pasal 2 Hague Regulations
Pasal 2 Hague Regulations mengatur mengenai Levee en Masse 49 yang
dikategorikan sebagai belligerent. Adapun syarat-syarat agar Levee en Masse
dikategorikan sebagai belligerent, diantaranya : 50
a. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
b. Secara spontan mengangkat senjaga;
c. Tidak ada waktu untuk mengatur diri
d. Membawa senjaga secara terbuka;
e. Mengindahkan hukum perang.
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa Levee en Masse berbeda
dengan masyarakat sipil (civilians). Hal yang membedakannya adalah bahwa
Levee en Masse terlibat secara dalam perang atau konflik bersenjata,
sedangkan civilians tidak. Hal ini akan mempengaruhi perlakuan yang akan
diberikan kepada mereka dalam hal mereka jatuh ke tangan musuh.
4. Pasal 3 Hague Regulations
Pasal 3 Hague Regulations menetapkan menyatakan bahwa pasukan
bersenjata dari belligerent dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan.
Dalam hal mereka tertangkap oleh musuh, maka mereka mempunyai hak

49

Levee en Masse oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam websitenya
dijelaskan sebagai “inhabitants of a country which has not yet been occupied, on the approach of the
enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having time to form
themselves into an armed force. Such persons are considered combatants if they carry arms openly
and respect the laws and customs of war”. “Definition of Civilians”, http://www.icrc.org/customaryihl/eng/print/v1_cha_chapter1_rule5, diakses pada 25 Januari 2014, pukul 20.40 WIB.
50
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit., hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

29

untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Pasal 3 Hague Regulations
berbunyi “The armed forces of the belligerent parties may consist of
combatants and non-combatants. In the case of capture by the enemy, both
have a right to be treated as prisoners of war.” Perlu dicatat bahwa nonkombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 bukanlah penduduk sipil, tetapi
bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur. 51
5. Pasal-Pasal Hague Regulations yang mengatur cara dan alat berperang
Pasal yang berkenaan dengan cara berperang terdapat pada Pasal 22 Hague
Regulations yang berbunyi “The right of belligerents to adopt means of
injuring the enemy is not unlimited” 52, yang memiliki makna bahwa hak pihak
yang terlibat perang untuk melukai musuh tidaklah tidak terbatas. Prinsip ini
ditegaskan kembali dalam Resolusi XXVIII pada Konferensi Internasional
Palang Merah ke XX di Wina (1965); dan juga dalam Resolusi Majelis Umum
PBB No. 2444 (XXIII). 53

51

Ibid.
“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/195-200032?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014,
pukul 18.53 WIB.
53
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 63 yang mengutip
dari Frits Kalshoven, dalam bukunya “Constraints on the Waging of War, Second Ed.” Hal. 29.
52

Universitas Sumatera Utara

30

Pasal 23 Hague Regulations mengatur mengenai alat berperang. Adapun Pasal
23 Hague Regulations berbunyi : 54
In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is
especially forbidden
(a) To employ poison or poisoned weapons;
(b) To kill or wound treacherously individuals belonging to the hostile nation
or army;
(c) To kill or wound an enemy who, having laid down his arms, or having no
longer means of defence, has surrendered at discretion;
(d) To declare that no quarter will be given;
(e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary
suffering;
(f) To make improper use of a flag of truce, of the national flag or of the
military insignia and uniform of the enemy, as well as the distinctive
badges of the Geneva Convention
(g) To destroy or seize the enemy’s property, unless such destruction or
seizure be imperatively demanded by the necessities of war;
(h) To declare abolished, suspended, or inadmissible in a court of law the
rights and actions of the nationals of the hostile party. A belligerent is
likewise forbidden to compel the nationals of the hostile party to take part
in the operations of war directed against their own country, even if they
were in the belligerent’s service before the commencement of the war.

Pasal 23 Hague Regulations tersebut khususnya melarang: (a) menggunakan
racun atau senjata beracun; (b) membunuh atau melukai individu setia yang
merupakan bagian dari negara musuh atau pasukan musuh; (c) membunuh atau
melukai musuh yang telah menyerah; (d) mendeklarasikan untuk tidak akan
mengampuni; (e) menggunakan senjata, proyektil, ataupun bahan yang dikalkulasikan
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu; (f) penggunaan yang tidak perlu atas

54

“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/195-200033?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014,
pukul 19.03 WIB.

Universitas Sumatera Utara

31

bendera perdamaian yang digunakan dalam genjatan senjata, baik bendera
kebangsaan atau lencana dan seragam militer musuh, termasuk pula tanda-tanba
pembeda yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa; (g) Memusnahkan atau
merampas harta musuh, terkecuali apabila pemusnahan atau perampasan demikian
sangat diperlukan dalam kepentingan perang; (h) Mendeklarasikan penghapusan,
penundaan, atau tidak dapat diterimanya hak dan tindakan daripada warga negara
pihak musuh di dalam pengadilan. Pihak yang terlibat perang dilarang untuk
memaksa warga negara daripada negara musuh untuk mengambil bagian di dalam
perang yang ditujukan untuk melawan negaranya sendiri, termasuk apabila mereka
telah merupakan bagian dari tentara sebelum dimulainya perang.
Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and
Persons in case of War on Land mengatur mengenai penghormatan terhadap hak dan
kewajiban daripada Neutral Powers (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang
Netral).
Negara Netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral
dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. 55 J.G.Starke dalam bukunya yang
berjudul “Introduction to International Law” menyatakan bahwa hak dan kewajiban
daripada negara netral bersifat timbal balik dengan hak dan kewajiban negara peserta

55

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

32

perang. Adapun kewajiban-kewajiban dari negara-negara, baik negara netral maupun
negara peserta perang, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 56
1. Duties of abstention;
2. Duties of prevention;
3. Duties of acquiescence.
Duties of abstention (kewajiban untuk tidak berpartisipasi) menurut J.G.Starke
apabila dilihat dari sudut pandang negara netral, maka suatu negara yang menyatakan
diri sebagai negara netral tersebut tidak boleh memberikan bantuan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk pihak manapun yang terlibat perang. Sebagai
contohnya, negara netral tidak boleh menyediakan pasukan, menjadi penjamin dalam
pinjaman dana, ataupun menyediakan tempat berteduh untuk pasukan bersenjata
negara yang terlibat perang. 57
Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang tersebut, maka
duties of abstention memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang tidak boleh
melakukan tindakan menyerupai perang di dalam wilayah teritorial negara netral atau
memasuki wilayah teritorial perairan ataupun udara negara netral dengan kekerasan.
Suatu negara yang terlibat perang juga tidak mencampuri hubungan yang sah antara
negara netral dengan musuh, ataupun menggunakan wilayah negara netral, termasuk

56

J.G.Starke, Introduction to International Law, Ninth Edition, Butterworths, London, 1984,

hal. 555.
57

Dijelaskan di dalam bukunya bahwa “The neutral state must give no assistance–direct or
indirect–to either belligerent side; for example, it must not supply troops, or furnish or guarantee
loans, or provide shelter for a belligerent’s armed forces.” Ibid.

Universitas Sumatera Utara

33

di dalamnya perairan negara netral, sebagai markas untuk operasi perang, ataupun
sebagai titik awal suatu ekspedisi. 58
Duties of Prevention (kewajiban untuk mencegah) menurut J.G.Starke apabila
dilihat dari sudut pandang negara netral maka memiliki makna bahwa negara netral
berkewajiban untuk mencegah adanya aktivitas-aktivitas seperti pendaftaran pasukan
perang untuk negara yang terlibat perang, persiapan-persiapan untuk kekerasan oleh
pihak manapun yang terlibat perang, atau kegiatan yang menyerupai perang di
teritorial ataupun perairan territorialnya terjadi di wilayah teritorial ataupun yuridsiksi
mereka. 59
Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duties of
Prevention ini menyatakan bahwa negara yang terlibat perang terikat untuk mencegah
perlakuan buruk terhadap utusan negara netral atau subjek-subjek negara netral atau
kerusakan terhadap properti negara netral di atas wilayah musuh yang diduduki oleh
negara netral tersebut. 60
Duty to Acquiescence (kewajiban untuk menyetujui tanpa protes) menurut
J.G.Starke dalam bukunya, dilihat dari sudut pandang negara netral memiliki makna
bahwa negara netral harus menyetujui tanpa protes mengenai perdagangan yang

58

“A belligerent state must not commit warlike acts on neutral territory or enter into
hostilities in neutral waters or in the airspace above neutral territory, nor may it interfere with the
legitimate intercourse of neutral with the enemy, nor may it use neutral territory or waters as a base
for belligerent operations, or as a starting point for an expedition.” Ibid.
59
“The neutral state is under a duty to prevent within its territory or jurisdiction such
activities as the enlistment of troops for belligerent armies, preparations for hostilities by any
belligerent, or warlike measures in its territory or territorial waters.” Ibid.
60
“A belligerent state is duty to bound to prevent the ill-treatment of neutral envoys or
neutral subjects or injury to neutral property on enemy territory occupied by it.” Ibid.

Universitas Sumatera Utara

34

dilakukan oleh warga negara dari negara yang terlibat perang apabila perdagangan
tersebut sepatutnya dibenarkan oleh hukum perang. 61
Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duty of
Acquiescence memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang harus misalnya
menyetujui penawanan pasukan bersenjata oleh negara netral misalnya seperti
berlindung di teritorial negara netral, atau dalam pemberian suaka sementara oleh
pelabuhan negara netral terhadap kapal perang lawan agar perbaikan-perbaikan
penting dapat dilaksankan. 62
J.G.Starke di dalam bukunya menambahkan bahwa dalam hal negara yang
terlibat perang ataupun negara netral melanggar kewajiban manapun yang mana
pelanggaran tersebut mengakibatkan kerusakan terhadap pihak lainnya, maka telah
menjadi suatu general liability 63 bagi negara tersebut untuk ganti rugi terhadap
kerusakan yang diakibatkan dan negara tersebut diwajibkan untuk menyediakan
sejumlah uang untuk kepuasan negara tersebut. 64

61

“The neutral state must acquiesce in the acts of belligerent states with respect to the
commerce of its nationals if they are duly warranted by the laws of war.” Ibid.
62
“A belligerent state must, for instance, acquiesce in internment by a neutral state of such
members of its armed forces as take refuge in neutral territory, or in the granting of temporary asylum
by neutral ports to hostile warships so that necessary repairs may be effected.” Ibid.
63
Pengertian daripada “general liability” ialah suatu istilah untuk bertindak atau tidak
bertindak layaknya seorang yang bijaksana. Pertanggungjawaban tersebut dapat diberikan terhadap
luka-luka, kerusakan terhadap benda, ataupun kerugian keuangan. (The legal exposure under common
law, Statute or Civil law, to act as a reasonably prudent person would, or would not, under the
circumstances. Liability may be for bodily injury, property damage, or monetary loss. The standard of
care is lower than that of a professional). “Glossary of Commonly Used Insurance Terms”, diakses di
http://www.plbins.com/glossary-of-commonly-used-insurance-terms.html, tanggal 27 Januari 2014
pukul 19.20 WIB.
64
“If a belligerent or a neutral state violates any of such duties and the breach results in
damage to the other, it is in general liable for the damage caused and must furnish pecuniary
satisfaction to that state.” J.G.Starke, Introduction to International Law, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

35

Pengaturan Konvensi V Den Haag 1907 berkaitan dengan penyerangan
terhadap negara netral dapat ditemukan pada Pasal 10 Konvensi ini. Pasal 10
Konvensi V Den Haag 1907 berbunyi “The fact of a Neutral Power resisting, even by
force; attempts to violate its neutrality cannot be regarded as a hostile act” 65 .
Ketentuan Pasal tersebut memiliki makna bahwa perlawanan yang dilakukan oleh
negara netral, walaupun dengan kekerasan bersenjata; mencoba untuk melanggar sifat
kenetralan negara tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu bentuk permusuhan.
Hal ini juga dijelaskan oleh Arlina Permanasari, dkk., di dalam bukunya “Pengantar
Hukum Humaniter” diantaranya bahwa apabila dalam suatu peperangan negara netral
mendapatkan suatu serangan, maka bila negara netral tersebut melakukan upayaupaya pembalasan yang menggunakan kekuatan bersenjata, maka tindakan tersebut
tidak dapat disebut atau dikategorikan sebagai suatu tindakan permusuhan. 66
Neutral Person (Orang Netral) adalah warga negara dari negara yang tidak
mengambil bagian atau terlibat dalam perang dianggap sebagai orang netral, seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 16 Konvensi V Den Haag 1907, yakni “The nationals of
a state which is not taking part in the war are considered as neutrals.” 67

65

“Convention (V) respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case
of War on Land. The Hague, 18 October 1907” Pasal 10 diakses di
http://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/200-220013?OpenDocument pada 27 Januari 2014 pukul
19.30 WIB.
66
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.
67
“Convention (V) respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case
of War on Land. The Hague, 18 October 1907” Pasal 16 diakses di
http://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/200-220017?OpenDocument pada 27 Januari 2014 pukul
19.54 WIB.

Universitas Sumatera Utara

36

Pasal 17 Konvensi V Den Haag 1907 berbunyi diantaranya sebagai berikut: 68
A neutral cannot avail himself of his neutrality
a. If he commits hostile acts against a belligerent;
b. If he commits acts in favor of a belligerent, particularly if he voluntarily
enlists in the ranks of the armed force of one of the parties.
In such a case, a neutral shall not be more severly treated by the belligerent
as against whom he has abandoned his neutrality than a national of the other
belligerent State could be for the same act.

Berdasarkan Pasal 17 tersebut di atas maka dikatakan bahwa orang netral
tidak boleh mengambil keuntungan atas status netral yang dimilikinya, dengan: a.
Apabila dia melakukan tindakan permusuhan terhadap pihak yang terlibat perang; b.
Apabila dia melakukan perbuatan yang mendukung suatu pihak yang terlibat perang,
khususnya apabila dia dengan sukarela mendaftarkan dirinya di jajaran pasukan
bersenjata dari salah satu pihak. Dalam kasus yang demikian, negara yang terlibat
perang tersebut tidak boleh memberikan orang netral perlakuan yang lebih kejam
daripada perlakuan yang diberikan kepada orang yang berasal dari negara musuh.
Convention VI Relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the
Outbreak of Hostilities terdiri dari 11 Pasal yang mengatur mengenai status daripada
kapal dagang

69

pihak lawan ketika peperangan terjadi. Sebelum terbentuknya

68

“Convention (V) respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case
of War on Land. The Hague, 18 October 1907” Pasal 16 diakses di
http://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/200-220018?OpenDocument pada 27 Januari 2014 pukul
20.06 WIB.
69
Oleh Pasal 5 Konvensi VI Den Haag 1907 tersebut diatur bahwa kapal dagang yang
dimaksud bukanlah kapal dagang yang dirancang sedemikian rupa guna diubah fungsinya menjadi
kapal perang. Adapun bunyi Pasal 5 tersebut adalah “The present Convention does not affect merchant
ships whose build shows that they are intended for conversion into war-ships”, “Convention (VI)
relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilites. The Hague, 18 October

Universitas Sumatera Utara

37

konvensi ini, tidak ada pengaturan yang mencegah negara yang terlibat perang untuk
menyita kapal dagang negara musuh yang sedang berada di pelabuhan ataupun di laut
lepas.

70

Sama seperti konvensi lainnya, Konvensi VI Den Haag 1907 juga

menyatakan bahwa semua ketentuan yang ada pada Konvensi tersebut tidak berlaku
kepada pihak-pihak selain daripada negara yang telah mengikatkan dirinya pada
Konvensi ini, dan hanya ketika semua pihak yang terlibat perang juga merupakan
anggota daripada Konvensi ini. 71 Namun, oleh konvensi ini, negara yang tidak
menandatangani konvensi juga dapat mematuhi atau tunduk pada konvensi ini dengan
cara-cara yang telah diatur dalam Pasal 8 Konvensi ini. 72
Convention VII Relating to the Convention of Merchant Ships into War Ship
mengatur mengenai kapal dagang yang diubah fungsinya menjadi kapal perang. Oleh
Pasal 5 Konvensi VI Den Haag 1907 telah terlihat bahwa ada kapal dagang yang
dirancang sedemikian rupa untuk diubah fungsinya menjadi kapal perang. Adapun

1907”, www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/205-230006?OpenDocument, diakses pada 29 Januari
2014 pukul 15.54 WIB.
70
“Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of
Hostilites.
The
Hague,
18
October
1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Treaty.xsp?documentId=250D6DDD0DACDCD7C12563CD002D67C
D&action=openDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 16.30 WIB, terlihat pada bagian “No
rule of international law existed before the adoption of the present Convention preventing belligerent
States from confiscating enemy merchantmen in their harbor or on the high seas at the outbreak of a
war”
71
Pasal 6 Konvensi VI Den Haag 1907 berbunyi “The provisions of the present Convention
do not apply except between Contracting Powers, and then only if all the belligerents are Parties to
the Convention”, “Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of
Hostilites.
The
Hague, 18
October
1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/205230006?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 15.58 WIB.
72
Ketentuan yang membenarkan negara yang tidak menandatangani konvensi untuk turut
tunduk pada konvensi ini terlihat pada “Non-Signatory Powers may adhere to the present
Convention…”, “Convention (VI) relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of
Hostilites.
The
Hague, 18
October
1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/205230009?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 16.06 WIB.

Universitas Sumatera Utara

38

kapal dagang yang demikian diatur oleh Konvensi VII Den Haag 1907. Konvensi ini
mengharuskan awak kapalnya untuk tuntuk pada disiplin militer.

73

Dalam

pengoperasiannya, kapal dagang yang diubah fungsinya menjadi kapal perang harus
tunduk pada hukum dan kebiasaan perang 74, dan apabila suatu kapal dagang telah
diubah fungsinya menjadi kapal perang, maka pihak tersebut harus dengan segera
mengumumkan perubahan status kapal tersebut. 75
Convention VIII Relative to the Laying of Automatic Submarine Contact
Mines memiliki 13 Pasal yang mengatur tentang pemasangan ranjau dan torpedo.
Convention IX Concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War
terdiri dari 13 Pasal yang mengatur mengenai penyerangan yang dilakukan oleh
angkatan laut di dalam masa peperangan. Pasal 1 Konvensi IX Den Haag 1907 ini
mengatur mengenai tempat-tempat yang dilarang untuk diserang diantaranya meliputi
pelabuhan, kota, desa, kediaman, atau bangunan yang tidak dilindungi. 76 Namun,

73

Pasal 4 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “The crew must be subject to military
discipline.”, “Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The
Hague, 18 October 1907” www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/210-240005?OpenDocument, diakses
pada 29 Januari 2014 pukul 16.20 WIB.
74
Pasal 5 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “Every merchant ship converted into a warship must observe in its operations the laws and customs of war”, “Convention (VII) relating to the
Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18 October 1907”
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/210-240006?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul
16.23 WIB.
75
Pasal 6 Konvensi VII Den Haag 1907 berbunyi “A belligerent who converts a merchant
ship into a war-ship must, as soon as possible, announce such conversion ini the list of war-ships”,
“Convention (VII) relating to the Conversion of Merchant Ships into War-Ships. The Hague, 18
October 1907” www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/210-240007?OpenDocument, diakses pada 29
Januari 2014 pukul 16.28 WIB.
76
Tercermin dari ketentuan Pasal 1 Konvensi IX Den Haag 1907 yang berbunyi “The
bombardment by naval forces of undefended ports, towns, villages, dwellings, or buildings is
forbidden…”, “Convention (IX) concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War. The
Hague, 18 October 1907”, www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/220-260002?OpenDocument , diakses
pada 29 Januari 2014 pukul 16.58 WIB.

Universitas Sumatera Utara

39

oleh Pasal 2 Konvensi tersebut, diperbolehkan suatu penyerangan terhadap objek
militer, termasuk yang terdapat di kota yang tidak dilindungi sekalipun. Aturan yang
demikian akhirnya berlaku pula terhadap peperangan di udara. 77
Convention X for the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the
Geneva Convention (of 6 July 1906) mengatur mengenai perubahan atas pengaturan
mengenai perang di laut yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 6 Juli 1906. Konvensi
ini memperbaharui Konvensi (III) 1899 yang mencerminkan perubahan yang telah
dilakukan terhadap Konvensi Jenewa 1864. Konvensi X Den Haag 1907 ini
diratifikasi oleh semua negara-negara besar kecuali Inggris Raya. 78
Convention XI Relative to Certain Restrictions with regard to the Exercise of
the Right of Capture in Naval War mengatur mengenai batasan-batasan terkait
pelaksanaan daripada hak penangkapan ketika berperang di laut.
Convention XII Relative to the Establishment of an International Prize Court
mengatur mengenai pembentukan International Prize Court. 79 Konvensi XII Den

77

Dapat dilihat dari “Convention (IX) concerning Bombardment by Naval Forces in Time of
War.
The
Hague,
18
October
1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Treaty.xsp?action=openDocument&documentId=F13F9FFC628FC33
BC12563CD002D6819, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 17.02 WIB, bagian “…Article 2 allows
bombardment by naval forces of military objectives in undefended towns. This new rule eventually
became applicatble in air warfare, too.”
78
“Hague Conventions of 1899 and 1907”, yang dapat diakses di
en.wikipedia.org/wiki/Hague_Conventions_of_1899_and_1907, diakses pada tanggal 29 Januari 2014
pukul 17.10 WIB. Tercermin dari “Thie convention updated Convention (III) of 1899 to reflect the
amendments that had been made to the 1864 Geneva Convention. Convention (X) was ratified by all
major states except the United Kingdom.”
79
International Prize Court ialah suatu pengadilan internasional yang berfungsi untuk
mendengarkan pembelaan yang diajukan oleh kedua belah pihak yang terikat berkenaan dengan
jarahan perang (prize) yang dapat berupa peralatan musuh, kendaraan, dan terutama kapal-kapal.
Dapat dilihat pada “International Prize Court”, en.wikipedia.org/wiki/International_Prize_Court,
diakses pada 29 Januari 2014 pukul 17.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

40

Haag 1907 ini kemudian diubah dengan protokol tambahan yang diberi nama
Additional Protocol to the Convention Relative to the Creation of an Internaional
Prize Court pada 18 Oktober 1910. Namun, baik Konvensi XII Den Haag 1907
maupun Protokol Tambahannya tidak pernah berlaku karena hanya Nikaragua yang
meratifikasi. Sebagai hasilnya, International Prize Court pun tidak pernah
terbentuk. 80
Convention XIII Concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in
Naval War terdiri dari 33 Pasal yang mengatur mengenai hak dan kewajiban negara
netral berkaitan dengan perang di laut. Seperti yang telah diatur di dalam Konvensi V
Den Haag 1907 yang berkenaan dengan hak dan kewajiban negara maupun orang
netral, Konvensi XIII Den Haag 1907 ini menegaskan kembali bahwa kedaulatan
daripada negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya (wilayah darat),
namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa
tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang
dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah
tersebut. 81 Hal ini tercermin pada Pasal 1 Konvensi XIII Den Haag 1907 yang
berbunyi “Belligerents are bound to respect the sovereign right of neutral Powers

Prize ialah suatu istilah yang digunakan dalam hukum laut yang mengarah kepada peralatan,
kendaraan, kapal, dan muatan yang tertangkap selama konflik bersenjata (prize is a term used in
admiralty law to refer to equipment, vehicles, vessels, and cargo captured during armed conflict),
“Prize (law)”, en.wikipedia.org/wiki/Prize_(law), diakses pada 29 Januari 2014 pukul 17.45 WIB.
80
“International Prize Court”, en.wikipedia.org/wiki/International_Prize_Court, diakses pada
29 Januari 2014 pukul 17.30 WIB.
81
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 31.

Universitas Sumatera Utara

41

and to abstain, in neutral territory or neutral waters, from any act which would, if
knowingly permitted by any Power, constitute a violation of neutrality.” 82
Adapun beberapa perbuatan dilarang yang dimaksudkan tersebut dapat terlihat
pada Pasal 2 serta Pasal 5 Konvensi tersebut, yang oleh Arlina Permanasari, dkk.
rangkum dalam bukunya diantaranya tindakan permusuhan, termasuk di dalamnya
tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan oleh kapal perang negara yang
bersengketa di perairan negara netral, maupun penggunaan pelabuhan dan perairan
netral oleh pihak yang berperang. 83
Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from
Balloons merupakan suatu pengaturan yang melarang pelepasan daripada proyektil
serta barang peledak dari balon udara. Deklarasi ini menambahkan pengaturan
daripada Deklarasi (IV,1) tahun 1899. 84 Hingga saat ini, beberapa negara penting,
seperti Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Rusia tidak menandatangani ataupun
meratifikasi deklarasi ini. Sedangkan Austria-Hungaria menandatangani deklarasi ini,
namun tidak meratifikasinya. Negara-negara besar yang meratifikasi deklarasi ini
hanyalah Inggris Raya dan Amerika Serikat. 85
82

Convention (XIII) concerning the Rights and Duties of Neutral Powers in Naval War. The
Hague, 18 October 1907 Pasal 1.
83
Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit.
84
“Hague Conventions of 1899 and 1907” yang dapat diakses pada
en.wikipedia.org/wiki/Hague_Conventions_of_1899_and_1907, yang diakses pada 29 Januari 2014
pukul 18.30 WIB, dapat terlihat pada “This declaration extended the provisions of Declaration (IV,1)
of 1899…”
85
“Declaration (XIV) Prohobiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Balloons.
The
Hague,
18
October
1907”,
yang
dapat
diakses
di
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Treaty.xsp?documentId=10BB640A9FF13B49C12563CD002D6895&
action=openDocument, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 18.40 WIB. Terlihat pada bagian “…Many
of the important States, however, such as France, Germany, Italy, Japan and Russia, did not sign or

Universitas Sumatera Utara

42

C. Alasan-alasan Pelarangan Penggunaan Senjata Kimia di dalam Konflik
Bersenjata
Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu, termasuk di dalamnya senjata
kimia oleh hukum humaniter tentu disertai dengan alasan-alasan. Adapun alasan
pelarangan penggunaan senjata-senjata tersebut pertama sekali terdapat pada
Deklarasi St. Petersburg tahun 1868, yang kemudian oleh dikuatkan kembali dengan
Hague Regulations tahun 1907 serta Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977.
Bunyi mengenai pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu oleh
Deklarasi St. Petersburg tahun 1868, diantaranya: 86
Considering:
That the progress of civilization should have the effect of alleviating as much
as possible the calamities of war;
That the only legitimate object which States should endeavour to accomplish
during war is to weaken the military forces of the enemy;
That for this purpose it is sufficient to disable the greatest possible number of
men;
That this object would be exceeded by the employment of arms which
uselessly aggravate the sufferings of disabled men, or render their death
inevitable;
That the employment of such arms would, therefore, be contrary to the laws of
humanity;
Deklarasi St. Petersburg tahun 1868 tersebut menyatakan dengan menimbang
bahwa kemajuan peradaban seharusnya mempunyai dampak untuk mengurangi
sebanyak-banyaknya malapetaka suatu perang; bahwa satu-satunya sasaran yang sah

ratify it. Austria-Hungary signed but did not ratify it. Of the great Powers only Great Britain and the
United States ratified the Declaration”
86
Practice Relating to Rule 70. Weapons of a Nature to Cause Superfluous Injury or
Unnecessary Suffering, www.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v2_rul_rule70, diakses pada 10 Febuari
2014 pukul 04.42 WIB.

Universitas Sumatera Utara

43

yang mana suatu negara harus berusaha selesaikan ketika perang ialah untuk
melemahkan kekuatan pasukan bersenjata lawan; bahwa untuk tujuan ini, cukuplah
dengan melumpuhkan sebanyak mungkin pasukan; bahwa sasaran ini akan berlebihan
dengan penggunaan senjata yang secara percuma memperberat penderitaan daripada
orang lumpuh, atau menyebabkan kematian mereka menjadi tidak terelakkan; bahwa
penggunaan senjata yang demikian, oleh karena demikian, bertentangan dengan
hukum humaniter.
Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu tersebut oleh Hague
Regulations (1907) terdapat pada Pasal 23(e), yang berbunyi: 87
In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is
especially forbidden…to employ arms, projectiles, or material calculated to
cause unnecessary suffering;
Pasal 23(e) Hague Regulations 1907 tersebut berisi tentang pelarangan
penggunaan senjata, proyektil, ataupun materi yang diketahui akan menimbulkan
penderitaan yang tidak perlu.
Pelarangan penggunaan senjata-senjata tertentu oleh Protokol Tambahan I
1977 terhadap Konvensi Jenewa 1949 terdapat pada Pasal 35(2). Perlu diketahui
bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 35 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa

87

“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,
www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/ART/195-200033?OpenDocument, diakses pada 29 Januari 2014,
pukul 19.03 WIB.

Universitas Sumatera Utara

44

1949 ini juga merupakan aturan dasar atau basic rules di dalam suatu peperangan,
yang berbunyi: 88
1. In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose
methods or means of warfare is not unlimited.
2. It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods
of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary
suffering.
3. It is prohibited to employ methods or means of warfare which are
intended, or may be expected, to cause widespread, long-term and severe
damage to the natural environment.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dikatakan basic rules atau
aturan dasar dalam perang, diantaranya: 1. Di dalam konflik bersenjata, hak daripada
pihak-pihak yang terlibat konflik untuk memilih metode dan cara berperang tidaklah
tidak terbatas; 2. Adalah dilarang untuk menggunakan senjata, proyektil, dan bahan
dan metode berperang yang secara alami akan menyebabkan luka yang berlebihan
ataupun penderitaan yang tidak perlu; 3. Adalah dilarang untuk menggunakan metode
atau cara berperang yang bertujuan, atau dapat diperkirakan untuk menyebabkan
kerusakan yang luas, berjangka panjang serta parah terhadap lingkungan alam.
Berdasarkan ketentuan ketiga pengaturan berbeda tersebut di atas, terlihat
bahwa alasan tidak diizinkannya penggunaan senjata-senjata tertentu, termasuk di
dalamnya p