fullpapers kmntsf0abf0d1f5full

PENERIMAAN GAY DALAM KELUARGA
(Studi tentang Penerimaan Keluarga terhadap Anggota Keluarga yang Gay)
Rizka Ramadhani Putri
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
ABSTRAK
Fenomena gay dalam kehidupan masyarakat di Indonesia bukanlah hal
yang tabu untuk saat ini. Walaupun demikian, stigma negatif masih melekat pada
gay. Dari aspek Negara dan agama, homoseksual adalah sesuatu yang salah. Oleh
karenanya masyarakat menjadikannya sebagai konsensus dalam menyikapi
homoseksual. Stigma negatif yang terkonsensus tersebut akhirnya menimbulkan
penolakan terhadap keberadaan gay.
Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : (1)
Bagaimana proses penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga mereka ditengah
stigma negatif masyarakat? ; (2) Apa yang mendasari penerimaan keluarga terhadap
identitas gay keluarga mereka?

Untuk menjawab penelitian ini, peneliti menggunakan tipe penelitian
kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan di Surabaya dengan tujuh orang
informan yang dipilih dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan
dengan cara wawancara mendalam kepada informan. Kemudian data diolah lalu

dianalisis menggunakan teori dekonstruksi dari Jaques Derrida.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain: (1) ada tiga proses
yang dilalui sebelum akhirnya keluarga menerima gay dalam keluarganya. Proses
tersebut antara lain 1. Mereka ulang pengalaman dimasa lamapu; 2. Negoisasi; dan 3.
Penerimaan. Adapun yang menjadi alasan penerimaan keluarga adalah adanya nilai-nilai
kasih sayang dalam keluarga.

Kata kunci: Gay, Keluarga, Penerimaan, Stigma Negatif
ABSTRACT
Gay phenomenon in public life in Indonesia is not a taboo for the moment.
Nevertheless, the negative stigma is still attached to the gay. From the aspect of
state and religion, homosexuality is something wrong. Therefore making it as a
consensus society in addressing homosexual. Negative stigma that eventually lead
to the rejection of the existence of gay.
1

Focus issues discussed in this study are (1) How does the process of
family acceptance towards gay identities of their families amid the negative
stigma of society? ; (2) What is the underlying acceptance of gay families to
identity their families?

To answer this study, researchers used a qualitative descriptive research
type. The research was conducted in Surabaya with seven informants were
selected with purposive technique. Data were collected by means of in-depth
interview to the informant. Then the data is processed and analyzed using the
theories of Jacques Derrida's deconstruction.
The results found in this study, among others, there are several stages
before it gets acceptance of gay families. Namely, coming out to family, their
families re-occurrence in the past, negotiations, then acceptance.
As for the reason the family is their acceptance of the values of love in the family.

Keywords : Gay, Family, Acceptance, Negative Stigma
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini issue mengenai homoseksual menjadi salah satu sosial issue
yang menarik dalam kehidupan sosial masyarakat. Homoseksual adalah konsep
untuk menjelaskan seseorang yang memiliki ketertarikan secara perasaan ataupun
erotik baik secara predomian ataupun ekslusif terhadap individu yang memiliki
kesamaan jenis kelamin dengan ataupun tanpa melibatkan hubungan fisik.
Sedangkan gay merupakan istilah untuk menyebutkan lelaki yang menyukai
sesama lelaki sebagai partner seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara

emosi maupun erotik, baik secara dominan maupun ekslusif dan juga dengan
ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri: 2013).
Kajian ini menjadi menarik dimana gay memiliki nilai-nilai dan gaya
hidup yang berbeda dengan nilai-nilai yang telah disepakati oleh masyarakat.
2

Selain itu, semua ajaran agama pun melarang akan aktivitas homoseksual. Namun,
di masyarakat saat ini yang sudah mengalami globalisasi, Gay mulai berani untuk
menunjukkan eksistensinya. Keberanian ini berawal saat berakhirnya masa Orde
Baru ketika demokrasi menjadi issue hangat dan kebebasan berpendapat menjadi
mantra ampuh bagi kaum Gay untuk mulai berani menunjukkan identitasnya
(Winke: 2008).
Semua aspek nilai dan norma yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa
gay adalah melanggar nilai dan norma yang telah disepakati masyarakat. Oleh
karenanya masih terjadi masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap
kaum gay semata karena melihat status mereka sebagai gay. Penolakan
masyarakat beragam, mulai dari cemooh hingga diskriminasi terhadap hak-hak
sosial yang seharusnya juga dimiliki kaum gay sama seperti heteroseksual. Dalam
keluarga juga Gay sering kali mendapat penolakan berupa diusir atapun tidak lagi
dianggap sebagai anggota keluarga. Bahkan yang paling ekstrim ada kaum

homophobia, dimana istilah ini merujuk pada orang-orang yang melakukan
penolakan keras terhadap teman-teman homoseksual (Lenhne: 976)
Namun saat ini globalisasi dan semakin terbukanya masyarakan akan
perbedan adalah salah satu faktor mulai terbiasanya masyarakat pada keberadaan
kaum gay. Data yang dilansir dalam portal Gaya Nusantara (Oetomo,2006)
mengatakan bahwa jumlah Gay di Indonesia saat mencapai 20.000 juta orang
hingga saat ini. Dan kaum tidak lagi segan-segan menunjukkan identitas mereka
di ruang publik. Dan masyarakat kerap kali tidak mempermasalahkan keberadaan
3

kaum gay yang tampil di muka umum. Pembiaran masyarakat terhadap semakin
terbukanya kaum gay atas identitas mereka tidak serta merta menghilangkan
stigma negatif yang melekat pada kaum gay yang sudah ada sejak dahulu.
Karena disisi lain, issue gay manjadi dilematis saat dihadapkan pada
kondisi sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas seorang muslim. Tak ayal
masih banyak stigma negatif yang melekat pada kaum gay. Selain menjadi
larangan agama apapun, Undang-undang No.44/2008 pun melarang adanya
hubungan sejenis di Indonesia. Oleh karena itu kaum Gay masih dianggap
berperilaku seks menyimpang karena memiliki orientasi seksual terhadap sesama
jenis.

Ditengah stigma negatif yang mereka terima, kaum gay tetaplah makhluk
sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam berinteraksi dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Interaksi yang terjadi pasti memiliki keunikan masingmasing karena lawan interaksi mereka memandang gay sebagai orang yang tidak
“biasa”. Kaum gay tentu telah mengetahui konsekuensi yang mereka terima atas
pilihan hidup yang mereka ambil.
Seorang gay sendiri tidak serta merta mudah menerima kenyataan bahwa
dirinya adalah seorang gay. Ada tahap-tahap yang menyertai hingga kemudian
mereka menerima bahwa mereka menyukai sesama jenis. Dan kemudian masalah
akan kembali datang setelah penerimaan diri tersebut. Masalah banyak datang dari
luar dirinya, terkait dengan stigma negatif masyarakat.

4

Dalam penelitian dari

National Gay and Lesbian Task Force

(NGLTF)dan National Center for Transgender Equality (NCTE) tahun 2011 di
Amerika (Dalam artikel Pentingnya Penerimaan Keluarga bagi LGBT Posted May 22,
2012 at 8:36 am (http://lgbtindonesia.org/main/?p=724) diakses tanggal 17

Desember 2014 ) yang berjudul “Injustice at Every Turn”, menunjukkan
bagaimana pentingnya penerimaan keluarga untuk seorang gay. Seorang gay
yang dapat diterima dalam keluarganya akan memiliki ketahanan yang lebih
kuat dalam menghadapi masyarakat yang masih memberi stigma buruk terhadap
gay, kemudian hal tersebut dapat nenurunkan tingkat depresi seorang gay.
Banyak penolakan pada kaum homoseksual yang datang dari keluarga
yang pada akhirnya kerap menimbulkan konflik dalam keluarga itu sendiri.
Misalnya, keluarga memaksa homoseksual untuk melakukan pernikahan dengan
lawan jenis dengan ancaman akan diusir dari keluarga jika tidak melakukannya.
Sementara itu dalam kenyataannya mereka yang sudah menikah tetap sulit untuk
emninggalkan aktivitas homoseksualitasnya sehingga tidak jarang kaum gay yang
sudah menikah tetap berperilaku homoseksual secara sembunyi-sembunyi (Abrar
dan Wini dalam Lucy dan Sri: 2006).
Keterbukaan gay akan identitas homoseksualnya berakibat munculnya
konflik. Bagi beberapa remaja gay mereka harus memiliki strategi untuk
mengelola konflik pasca coming out terkait homoseksualitas mereka kepada orang
tua. Strategi tersebut ada dua cara yaitu diskusi dengan keluarga dengan dasar
bertanggung jawab atas pilihan yang telah diambil atau dengan pemutusan
5


hubungan dan terjadi saling menghindar antara gay dan keluarga (Alaminikita:
2008)
Keterbukaan gay kepada keluarga mereka terkait diri mereka yang
notabene seorang gay bukanlah hal yang mudah. Akan sulit mengambil keputusan
untuk kemudian jujur terhadap keluarga, dan tentu saja akan sulut bagi keluarga
untuk kemudian dapat menerima anggota keluarganya sebgai seorang gay. Kasusu
penerimaan gay pada aspek institiusi keluarga sebenarnya merupakan aspek yang
sangat penting. Seperti halnya

penelitian

menjelaska pertapakah sifat

penerimaan keluarga bersifat positif ataukah relatif dikarenakan setiap anggota
keluarga memiliki struktur pengetahuan berbeda terhadap status sosial gay.
I.2 Masalah Penelitian
Dalam penelitian ini saya memfokuskan masalaha untuk melihat :
1.

Bagaimana proses penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga

mereka ditengah stigma negatif masyarakat ?

2. Apa yang mendasari penerimaan keluarga terhadap identitas gay keluarga
mereka?
I.3 Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini, teori tidak dijadikan landasan dalam menganalisis
data. Namun, sebagai alat bantu dalam menganalisis data. Penelitian kualitatif
akan membentuk preposisi-preposisi baru, oleh karenanya penelitian ini tidak
menjadikan sebuah teori sebagai acuan utama dalam menganalisis. Beberapa teori
6

serta konsep-konsep akan membantu dalam menemukan jawaban dari rumusan
masalah.
1.4.1 Teori Queer Judith Butler
Kata “Queer” dapat berarti sesuatu yang menimpang dan tidak benar.
Namun saat ini istilah Queer memiliki makna baru sebagai pandangan yang
mendasari dukungan atas kaum LGBT. Queer teori berpandangan bahwa orientasi
seksual bukanlah sesuatu yang bersifat natural sehingga tidak ada istilah iorientasi
seksual menyimpang. Judith Butler menolak prinsip identitas yang memiliki awal
dan akhir. Butler juga menolak pandangan bahwa seks (male/female) sebagai

penentu dari gender (masculine/feminine), dan gender sebagai penentu sexual
orientation.
I.4.2 Penerimaan Gay dalam Keluarga
Menerima status sosial gay dalam sebuah keluarga bukanlah hal yang
mudah. Ada proses-proses yang harus dilewati seorang gay untuk kemudian
memiliki keberanian membukan identitas homosekssualnya. Banyaknya kasus
penolakan dari keluarga dan juga stigma negatis terhadap kaum gay yang
berkembang dimasyarakat menjadi alasan-alasan yang memicu kaum gay tidak
membuka identitas homoseksualnya terhadap keluarga.
Penolakan dari keluarga juga bukanlah hal yang tabu. Masyarakat
Indonesia yang tumbuh dengan nilai-nilai serta norma-norma yang selalu
mengikutinya tentu aktiivitas sosialnya terkontrol dengan hal tersebut. Apa yang
7

benar adalah apa yang secara dominan dianggap benar, dan menjadi salah ketita
masyarakat mengkonsensukannya sebagai sesuatu yang salah. Begitu pula
homoseksual yang paa masyarakat luas masih dianggap sesuatu yang memalukan.
Namun tentunya tidak semua gay menerima penolakan pasca membuka
identitas homoseksual mereka pada keluarga. Penerimaan dalam studi ini adalah
penerimaan seorang gay dalamkeluarga tanpa adanya perlakuan mengucilkan,

mengusir, atau membuang anggota keluarga yang telah membuka identitas
homoseksualnya. Keluarga tetap menerimanya sebagai anggota keluarga dan
hubungan kekeluargaan tetap terjalin harmonis. Keterbukaan seorang gay atas
identitas homoseksualnya tidak menjadikan alasan bagi keluarga untu menolak
keberadaannya dalam keluarga.
I.4.3 Penerimaan Gay dalam Dekonstruksi Jacques Derrida
Derrida menunjukan bahwa yang kita lakukan sering kali cenderung
melepaskan teks dari konteksnya. Suatu teks sering kali kita lepaskan dari sejarah
awalnya dan akhirnya teks tersebut kita hadirkan sebagai makna final. Hal ini
derrida sebut dengan logosentrisme. Pemikiran dekonstruksi menolak kemapanan
dan kestabilan makna. Oleh karenanya dekonstruksi membuka ruang “kreatif yang
sangat luas dalam proses pemaknaan dan penafsiran akan suatu teks. Dekonstruksi
memberika kebebasan bagi setiap orang untuk untuk menafsirkan suatu objek
tanpa terbatas ruang. Dekontrusksi suatu makna melahirkan makna baru dan
makna-makna lain sehingga era dekonstruksivisme dianggap era matinya makna.
Makna menjadi tidak memiliki arti.
8

Dekonstruksi beranggapan bahwa tidak ada makna yang menetap dalam
hidup kita. Setiap konsep memiliki banyak lapisan makna yang dapat dibaca

secara berbeda-beda, oleh kepentingan yang berbeda sesuai dengan perkembangan
di zamannya. Makna bisa berubah mengikuti konsentlasi yang menghubungakan
manusia dengan lingkungannya. Makna terus menerus digali dan diciptakan
manusia untuk keberlangsungan hidupnya. (Shindunata, 2005:6)
Teori ini peneliti gunakan dalam analisis penelitian ini karena dalam
proses penerimaan terhadap anggota keluarga yang gay didalam suatu keluarga,
tentu subjek yang melakukan penerimaan tersebut melakukan dekonstruksi
terhadap simbol-simbol dari gay. Terjadi dekontruksi nilai-nilai yang telah subjek
pahami tentang gay yang bersumber dari berbagai konteks baik Negara, agama,
budaya, maupun masyrakat. Dekonstruksi ini mempengaruhi pandangan keluarga
terhadap seorang gay sebelum melakukan coming out pada keluarga dan setelah
melakukan coming out pada keluarganya.
1.5 Batasan Konsep
1.5.1 Homoseksual
Konsep homoseksual menjelaskan tentang orientasi seksual terhadap
sesama jenis. Laki-laki menyuaki berhubungan intim dengan laki-laki, dan
perempuan menyukai berhubungan inti dengan perempuan. Homoseksual
mencakup empat istilah lain yaitu LGBT (lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender). Lesbian adalah adalah seorang perempuan yang memiliki orientasi
seksual terhadap perempuan sesama perempuan. Gay adalah laki-laki yang tidak
9

mempermasalahkan kelamin mereka dan tetap menjadi laki-laki tetapi memiliki
orientasi seks terhadap sesama laki-laki.
Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan
pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin
saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain,
homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan
terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual dengan sesama jenis (Olson, 2000: 10).
1.5.2 Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga adalah institusi
yang paling

penting

pengaruhnya

terhadap

proses

sosialisasi

individu

(Narwoko dan Suyanto, 2004: 92). Selain itu Keluarga merupakan unsur
sosial yang paling sederhana dan berperan penting dalam menanamkan
dasar-dasar

sosialisasi. Keluarga inti adalah anggota keluarga terdekat yang

terdiri dari Ayah, Ibu dan anak-anak.
Konsep penerimaan keluarga adalah penerimaan akan hal-hal positif dan
negatif dari anggota keluarga lainnya serta mampu menghargai keputusan yang
telah dibut olehnya. Penerimaan juga diartikan tidak ada perlakuan berbeda atau
diskriminasi.

10

PEMBAHASAN
II.1 Proses Penerimaan Gay dalam Keluarga

Berbicara tentang konsep gay, tidak bisa dilepaskan dengan konsensus
dalam masyarakat yang menyatakan banyak hal negatif mengenai gay. seperti gay
adalah sebuah perilaku menyimpang, gay adalah bentuk abnormalitas, dan juga
gay adalah hal yang memalukan. Stigma-stigma negatif tersebut menjadi logos. Di
dalam logos, sebuah kebenaran hadir, dan tidak memberikan ruang untuk
kebenaran lain di luar logos (Sumarwan 2005:23). Begitu pula keluarga dalam
memandang seorang gay. bagi keluarga gay masih dianggap hal yang abnormal,
dan menjadi hal yang memalukan bagi keluarga sehingga keberadaan gay dalam
keluarga disembunyikan dari keluarga lain.
Sebelum adanya penerimaan dalam keluarga, terjadi sebuah pengakuan
dari gay. istilah yang sering digunakan adalah coming out, atau membuka identitas
homoseksual seorang gay kepada orang lain. setelah adanya coming out, terjadi
beberapa hal yang kemudian menghasilkan penerimaan dalam keluarga.
Setelah menerima pengakuan dari anggota keluarga yang gay, terjadi
beberapa proses pada keluarga sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk
menerima. Awalnya keluarga akan mengulang pengalaman di masa lamapu. Saat
mengetahu ada seorang gay dalam keluarganya. Individu pasti merasa terkejut.
Perasaan itu menimbulkan rasa ingin tahu apa penyebab anggota keluarganya
11

menjadi seorang gay. kemudian dari pertanyaan tersebut keluarga mereka ulang
kejadian dimasa lampau yang memberikan indikasi bahwa salah satu anggota
keluarga mereka berpotensi menjadi seorang gay.
Dalam mereka ulang tersebut, keluarga menemukan indikasi yang
mereka anggap merupakan bibi-bibit yang dapat menimbulakan perilaku
homoseksual. Indikasi tersebut akhirnya menjadi stigma yang dilekatkan pada
seorang gay oleh keluarganya. Stigma tersebut antara lain, sikap kemayu, lingkup
bermain saat kecil, serta belum menikah pada usia yang telah matang.
Dalam mereka ulang kejadian dimasa lampau, keluarga juga membuat
gambaran akan perilaku mereka yang kiranya dapat mempengaruhi anggota
keluarganya menjadi deorang gay. seperti apakah dia kurang memberikan
perhatian, apakah kurang memberikan waktu untuk bersama, atau apakah ada
yang salah dengan cara mereka memperlakukan anggota keluarga mereka.
Setelah membuat gambaran akan apa yang terjadi dimasa lampau
keluarga mulai berfikir tentang apa yang akan dilakukan setelah pengakuan. Lalu
keluarga akan melakukan negoisasi, negosiasi adalah keputusan yang kemudian
diambil. Negosiasi dalam hal ini adalah membicarakan secara baik-baik dan
dengan pikiran jernih terkait keputusan yang telah dibuat oleh anggota keluarga
yang gay.

12

Negosiasi dilakukan dengan berbicara kepada anggota keluarga yang
gay. pembicaraan mengenai alasan mereka menjadi gay, dan juga mengungkapkan
rasa

kecewa

keluarga

atas

keputusan

menjadi

gay.

Keluarga

juga

mempertanyakan apakah ada yang salah dengan caranya bersikap selama ini.
Negosiasi ini tidak menggunakan otot ataupun fisik. Negosiasi dialakukan dengan
baik secara kekeluargaan dan penuh rasa tanggung jawab.
Negosiasi tidak selalu dengan berbicara, namun bisa juga dengan
perubahan sikap. Menjadi lebih perhatian, menjadi lebih memiliki waktu, atau
menjadi lebih sering menjaga komunikasi. Usaha negosiasi dilakukan dengan
harapan agar anggota keluarga yang gay dapat merubah keputusan mereka
menjadi homoseksual. Namun, hal tersebut tidak mungkin terjadi karena untuk
mengambil keputusan menjadi homoseksual, seorang gay melalui proses yang
panjang.
Setelah mengetahui usaha untuk negosiasi tidak akan membuahkan hasil,
maka yang dapat dilakukan keluarga adalah pasrah. Pasrah menerima keputusan
anggota keluarganya menjadi gay. Namun keluarga tidak pasrah begitu saja. Ada
keinginan untuk memprotek anggota keluarga yang gay, keinginan untuk
memproteksi tersebut didasari oleh rasa kasih sayang antar keluarga dan juga
harapan agar kedepannya anggota keluarga yang gay tidak terlalu dalam masuk
dalah kehidupan homoseksual.

13

Bentuk pasrah dari pengakuan anggota keluarga yang gay tersebut adalah
penerimaan. Keluarga menerima keputusan anggota keluarganya menjadi seorang
gay dan tetap memeperlakukannya dengan baik sebagai anggota keluarga. Di
beberapa

penerimaan

yang

sangat

mendalam,

anggota

keluarga

akan

memberitahukan kepada anggota keluarga yang lain terkait kondisi keluarganya
dan meninta agar tidak menghakiminya dan menghargai keputusannya. Namun di
dalam kebanyakan keluarga, identitas homoseksual anggota keluarga disimpan
menjadi rahasia keluraga dan tidak diberitahukan kepata anggota keluarga lain.
Dalam proses penerimaan tersebut, terjadi dekonstruksi makna gay dalam
keluarga. Agama memperdosakan perilaku gay dan Negara melarang adanya
pernikahan sesama jenis, selain itu masyarakat masih memandang buruk
keberadaan gay. namun keluarga, memandang gay sebagai sesama makhluk
sosial, terlebih sebagai individu yang memiliki ikatan darah yang sama, dan
memiliki riwayat hidup bersama dan mengenal secara personal individu gay.
faktor-faktor tersebut yang membuat keluarga tidak hanya memandang gay dari
segi abnormalitasnya dan kemudian dapat menerima keberadaan gay tersebut.
IV.2 Bentuk Penerimaan Keluarga
Bentuk penerimaan keluarga bermacam-macam. Ada keluarga yang
menerima anggota keluarga yang gay tidak hanya sebagai keluarga, namun juga
seluruh kehidupannya. Penerimaan tersebut membentuk hubungan yang baik
14

antara keluarga dari gay dan juga pasangan dari gay. Sedangkan pada keluarga
lain, ada penerimaan yang bersifat dualisme, dimana penerimaan hanya diberikan
kepada anggota keluarga yang gay namun tidak menerima keberadaan pasangan
dari gay.
Peneriamaan yang bersifat dualisme menunjukkan sebenarnya masih ada
penolakan terhadap keputusan anggota keluarga emenjadi seorang gay. dalam
interaksi dengan keluarga, masalah kehidupan pribadi gay dengan pasangannya,
serta kenyataan dan keputusannya menjadi seorang gay tidak pernah dijadikan
topik penbicaraan dan dianggap bahwa hal tersebut tidak terjadi. Penerimaan
seperti ini menunjukka penerimaan anggota keluarga sebagai bagian dari
keluarga, bukan penerimaan terhadap identitas homoseksualnya.
Nilai kasih sayang keluarga yang membuat anggota keluarga ingin
memproteksi keluarga mereka dari hal-hal yang mereka anggap salah, nilai
keluarga pula yang membuat keluarga selalu memiliki harapan agar anggota
keluarga mereka kembali kejalan yang mereka anggap benar.
Pada anggota keluaraga gay yang lain, menerimaan juga ada yang
didasarkan pada jasa dari anggota keluarga yang gay tersebut terhadap
keluarganya. Jasa tersebut berupa materi, dimana anggota keluarga yang gay
adalah tulang punggung keluarga yang telah banyak mebiayai kebutuhan rumah

15

tangga keluarga. Karena alasan tersebut anggota keluarga yang lain menerima
keputusannya menjadi seorang gay
II.3 Dekonstruksi Nilai Sosial dalam Penerimaan Keluarga
Dengan sebuah konsep yang disebut dengan auto imunitas, Derrida ingin
menjelaskan bagaimana organisme akan menghancurkan pertahanan dirinya
sendiri, jadi organisme pun melakukan imunisasi terhadap imunitasnya sendiri.
dan hal tersebut memunculkan autoimunitas (Sindhunata, 2005:3). Dalam
penelitian ini, organisme adalah keluarga gay dan pertahanan diri adalah
pemahaman keluarga tentang gay.

Proses auto imunitas melewati tiga tahap. Tahap pertama adalah perang
dingin. Perang ini tidak terjadi secara fisik, melainkan terjadi di dalam pikiran
individu. Dalam hal penerimaan gay, keluarga yang baru saja menerima
pengakuan dari gay tentang identitas homoseksualnya pasti akan merasa kaget.
Kemudian dalam pikiran berkecamuk berbagai perasaan, kecewa, bingung, dan
tidak tahu harus berbuat apa.

Perang dalam pikiran individu terjadi dengan bentrokan antara nilai-nilai
serta norma-norma yang diyakini dengan nilai-nilai keluarga yang dirasakannya.
Ada dua blok yakni nilai kebenaran yang diyakini serta nilai keluarga yang
dialami.

16

Auto imunisasi pada tahap kedua lebih dahsyat dari tahap pertama. Pada
tahap pertama jelas ada perang dingin antar dua blok. Pada tahap kedua perang
dingin didukung oleh adanya senjata-senjata. senjata-senjata tersebut adalah
pengalaman keluarga bersama gay selama hidupnya dan juga bayang-bayang
keluarga tentang apa yang akan terjadi kepada keluarganya yang gay di kemudian
hari.

Ada ketakutan diketahuinya identitas homoseksual anggota keluarga
mereka oleh orang lain dan mengakibatkan tercorengnya nama keluarga namun
rasa kasih sayang dari keluarga menimbulkan rasa takut jika keluarga mereka
yang gay semakin terjerumus dalam dunia homoseksual jika mereka mengambil
keputusan untuk meninggalkannya. Keluarga takut akan apa yang kemudian akan
terjadi dengan keluarganya setelah adanya pengakuan homoseksual.

Ketakutan-ketakutan itu hanya ada dalam alam bawah sadar individu.
individu tidak memahami apakah itu nyata atau hanya ilusi karena ketakutan
tersebut berada pada bawah sadar mereka. Namun tahap inilah yang paling
menentukan apa yang akan terjadi pada tahap berikutnya. inilah proses auto
imunitas yang paling berbahaya, karena terjadi di tingkat bawah sadar.

Pada tahap auto imunitas yang terakhir adalah lanjutan dari dua tahap
sebelumnya. Individu mulai mengambil keputusan dari pengetahuan yang
dimilikinya. Dalam penelitian ini, keluarga menggabungkan antara apa yang
17

diyakini serta diketahuinya dengan apa yang dirasakannya. Kemudian dari sini
muncul bentuk dualisme penerimaan. Dimana penerimaan dilakaukan keluarga
terhadap gay sebgai anggota keluarga dan tetap menerimanya dengan baik dalam
keluarga.

Keluarga masih mengannggap bahwa homoseksual adalah sesuatu yang
salah, sesuai dengan tafsiran dominan dalam masyarakat. namun keluarga tidak
melakukan penolakan karena adanya distorsi nilai keluarga selama proses auto
imunitas tahap kedua. Imunitas keluarga yang menganggap gay adalah seorang
yang menimpang dan salah serta memalukan, kemudian terjadi proses auto
imunitas yang membuat pembenaran bagi penerimaan keluarga terhadap gay.
yaitu, nilai kasih sayang serta pengalaman hidup bersama gay selama hidupnya.

PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dalam masyarakat Indonesia, keberadaan gay masih menjadi hal yang
negatif dan banyak menerima penolakan. Stigma negatif tersebut berkembang dan
terus di reproduksi oleh masyarakat. akibatnya stigma negatif yang melekat pada
gay menjadi sulit dihilangkan. Gay masih dianggap sebuah kehidupan yang
abnormal karena memiliki orientasi seksual yang berbeda dari masyarakat pada
umumnya

18

Penelitian ini menunjukkan adanya dualisme penerimaan gay dalam
sebuah keluarga. Bagaimanapun juga penerimaan seorang gay dalam keluarga
masih belum bisa diberikan secara murni. Dalam diri masing-masing individu
dalam keluarga masih terdapat penolakan akan keputusan menjadi seorang gay.
Hal tersebut dikarenakan masih kuatnya pengaruh stigma negatif yang ada di
masyarakat terkait gay.
Dalam proses penerimaan keluarga terhadap gay, ada tahap-tahap yang
harus dilalui. Dan tlam tahap tersebut melibatkan banyak individu yang terkait
didalamnya seperti gay, keluarga dan anggota keluarga lainnya.Seluruh proses
yang dialami gay, mulai dari coming in hingga coming out sesungguhnya adalah
upaya gay dalam memperoleh penerimaan keadaan dirinya sebagai homoseksual.
Penerimaan dari diri sendiri dan terlebih dari orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Butler, Judith. 2002. Gender Trouble. New York: Taylor & Francis e-Library
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Jogjakarta: Juxtapose research
and publication study club.
Rosedakarya.
Skripsi
Alaminikita. 2008. Strategi Mengelolah Konflik Remaja Gay dan Lesbian
terhadap Orang Tuan mengenai Coming Out dalam Menyampaikan
Homoseksualitas.
Jurnal :

19

Capriati, Winke & setiawan, Yogi. Gerak Progresif Gerakan Gay Kontemporer di
Yogyakarta. dalam jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 12, Nomer
1, Juli 2008
Oetomo, Dede. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
2003
Voughan, Philip Howell. Hunsband Against An Order In Ancillaryrelief
Proceeding Adjusting A Previous Order In Favour of The Wife. Royal Court
of Justife Strard. London, WC2A 2L. 2007
Wedanti, PH & Fridani, Diah. Dinamika Kesetiaan pada Kaum Gay. Jurnal
Psikologi Udayana Vol 1. No.2. 2014
Artikel :
Sindunata. 2005, November-Desember. Terorisme Bawah Sadar. Basis, hlm. 3.
_____________________________________________. Jaques Derrida: Setahun
Sesudah Kematiannya. Basis, hlm 3-6.
Sumarwan, A. 2005, November-Desember. Membongkar yang Lama Menenun
yang Baru. Basis, hlm. 16-25.
Arianto, Rido.triawan. 2008. Jadi Kau Tak Merasa Bersalah?. Arus Pelangi, bab :
3 hlm 30

Web :
www.gayanusantara.co.id (diakses tanggal 1 Maret 2014)
artikel Pentingnya Penerimaan Keluarga bagi LGBT Posted May 22, 2012 at 8:36 am
(http://lgbtindonesia.org/main/?p=724) diakses tanggal 17 Desember 2014

20