Kehidupan Sosial Uleebalang Aceh, Samalanga (1873-1946)

BAB II
SAMALANGA SEBELUM BELANDA MASUK
2.1. Geografi dan Demografi Samalanga
Samalanga adalah salah satu daerah yang termasuk kedalam daerah
taklukan Kerajaan Aceh, yang terletak di garis Pantai Utara Aceh. Sebelah barat
Samalanga berbatasan dengan Krueng Ulim (Sungai Ulim) atau Kabupaten Pidie
sekarang, dan sebelah timur berbatasan dengan Krueng Jeumpa (Sungai Jeumpa)
atau Kabupaten Bireuen sekarang 58. Samalanga dilalui oleh beberapa sungai
besar, antara lain: Sungai Samalanga, Sungai Djangkabuja, Sungai Kiran, Sungai
Toepah, Sungai Tamboee dan Sungai Peneulet, Sungai Djeunib beserta beberapa
anak sungai lainnya, semua sungai di Samalanga bermuara ke Selat Malaka 59.
Sungai digunakan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi, dengan
menggunakan rakit untuk berhubungan antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Samalanga terdiri dari 12 mukim, yaitu mukim Reuloej Mangat, Medeun, Djoeli
Minjeuk, Tanoh Meukoe, Krisi, Kiran, Tanjongan Barat, Tanjongan Timur,
Meuloeen, Blang Mane, Nalan dan mukim Peudada 60, penduduknya berjumlah
1500 orang.
Samalanga juga termasuk daerah yang tinggi tingkat kesuburan tanahnya,
terdapat beberapa tanaman yang tumbuh subur di Samalanga antara lain lada,
pinang, kelapa, bambu dan juga sangat banyak ditemukan tumbuhan padi
58


Pocut Haslinda Syahrul, op.cit., hlm. 94.
http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/17?q_searchfield=samalanga
60
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, BRILL.
hlm. 104. Diakses pada tanggal 09 maret 2016. www.jstor.org
59

Universitas Sumatera Utara

(persawahan) 61. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), Samalanga
mengeluarkan pajak persawahan kepada Kerajaan Aceh mencapai 120 gunca (1
gunca = 160 bambu) pertahun 62. Untuk memasarkan atau menjual hasil bumi dari
Samalanga masyarakat menjualnya melalui sungai-sungai yang melalui daratan
Samalanga, biasanya pusat dari transaksi dagang tersebut berpusat di muara/kuala
sungai, muara sungai juga memudahkan perdagangan baik ke dalam maupun
keluar Samalanga.
Kesuburan tanah Samalanga mampu memberikan kehidupan kepada
rakyatnya, untuk membangun tempat tinggal/rumah, rakyat menggunakan hasilhasil alam seperti bambu, kayu, daun nipah, daun rumbia dan lain-lain. Rakyat
lebih memilih mendirikan rumah tinggal di sepanjang aliran sungai yang melalui

daratan Samalanga 63, karena memudahkan mereka menuju akses transportasi
yaitu sungai, dan juga memudahkan memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Rotan dan kelapa juga tumbuh banyak di Samalanga, rakyat Samalanga akan
merajut rotan menjadi semacam keranjang, guna menyimpan barang keperluan
sehari-hari, mereka juga mengolah kelapa menjadi minyak yang mereka biasa
menyebutnya dengan minyak kelapa untuk berbagai kebutuhan. Selain untuk
kebutuhan rumah tangga sendiri, mereka juga menjualnya terutama ke Pedir dan
juga ke Kutaraja 64

61

Doup, Generaal J.B Van Heutsz in 1900-1901 In Peusangan,
Samalanga en Batee Ilek. Atjehsch Leger Museum, 1939, hlm. 11.
62
Teuku Anzib Lamnyong, Adat Aceh. Seri: Informasi Aceh no. 2, Banda
Aceh; Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1978, hlm. 53.
63
Algemene Secretarie No. 2431
64
Dr, Julius Jacobs, Het Familie- en Kampongleven


Universitas Sumatera Utara

Selain memanfaatkan hasil daratan dari Samalanga, masyarakat juga
memanfaatkan hasil lautnya, seperti menjadi nelayan dengan menggunakan
perahu yang dibuat dari kayu, dan juga mengolah garam 65. Mereka kemudian
memperdagangkannya dengan daerah luar Samalanga. Salah satu daerah yang
menjadi tempat penjualan garam rakyat Samalanga adalah daerah pegunungan
Gayo 66.
Rakyat juga sering mengunjungi pasar (peukan) yang hanya dibuka pada
hari dan hanya dibuka di Bireuen. Kebutuhan sehari-hari yang dapat ditemukan di
peukan, misalnya sayuran, buah-buahan, telur, unggas, sirih, tembakau dan
kebutuhan lainnya 67. Mereka berkomunikasi pada umumnya menggunakan bahasa
Aceh.
Kebiasaan berpakaian rakyat Aceh umumnya menggunakan penutup dari
pinggang hingga lutut, dari pinggang hingga leher dibiarkan terbuka dan dibagian
kepala memakai serban yang diikat seperti gulungan 68 (bagi laki-laki). Bagi
perempuan kebanyakan menggunakan kain sarung dibagian pinggang hingga mata
kaki dan baju yang berukuran longgar menutupi bagian tubuh dari leher hingga ke


Op Groot-Atjeh, Leiden: E.J. Brill, 1894. hlm. 131
65
J. Kreemer, Atjèh Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk
van Atjèh en Onderhoorigheden, Tweede deel. Leiden: N. V. Boekhandel en
drukkerij voorheen e. J. Brill, 1923, hlm. 29.
66
De Expeditie Naar Samalanga in 1877.
67
J. Kreemer, op.cit., hlm. 31.
68
Denys Lombard, op.cit., hlm. 67.

Universitas Sumatera Utara

pinggang, sebagian dari mereka menggunakan penutup kepala dan sebagian
membiarkannya terbuka 69. Mereka semua berjalan tanpa menggunakan alas kaki.
Selain rumah-rumah yang pada umumnya terbuat dari bambu, juga
terdapat bangunan yang dinamakan meunasah, yaitu sebuah bangunan yang
digunakan masyarakat Aceh umumnya dan Samalanga khususnya sebagai tempat
untuk menimba ilmu agama bagi anak-anak mereka. Meunasah dibangun pada

setiap gampong (kampung, desa).
Proses terbentuknya gampong di Samalanga juga sama seperti di daerah
Aceh lainnya, yaitu terbentuk atas dasar beberapa orang yang terkumpul
kemudian membuka seneubok lada (kebun lada). Mereka membangun rumah
tinggal disekitar kebun lada, lambat laun jumlah mereka akan bertambah, dan
akan kembali membuka kebun lada di tempat lain, begitu seterusnya hingga
membentuk suatu perkampungan 70.
Secara umum penduduk Samalanga dapat digolongkan menjadi 3
golongan. Yaitu golongan uleebalang, (akan dijelaskan pada bab berikutnya),
ulama dan rakyat, (tidak semua rakyat di Samalanga bersuku bangsa Aceh, tetapi
banyak pula ditemukan bangsa-bangsa lain di Samalanga, seperti bangsa Melayu,
Arab dan juga China) 71. Golongan ulama adalah golongan yang memimpin rakyat

69

Kreemer, digambarkan dalam lampiran III
Muhammad Gade Ismail, Seuneubok Lada, Uleebalang dan Kumpeni,
Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur 1840-1942, disertasi
belum terbit, hlm. 52.
71

http://media-kitlv.nl/allmedia/indeling/detail/form/advanced/start/17?q_searchfield=samalanga
70

Universitas Sumatera Utara

Aceh pada bidang agama, dan ulama-ulama inilahyang akan menyampaikan hal
yang dilarang dan dianjurkan oleh agama Islam.
Berdasarkan kelebihan kemampuan ulama dalam memahami ilmu agama,
maka rakyat sangat menghormati dan menghargai keberadaan ulama. Kebanyakan
ulama di Aceh dan juga di Samalanga mendirikan dayah 72. Samalanga merupakan
suatu daerah yang banyak terdapat dayah, dan hingga sekarang daerah Samalanga
dikenal dengan dayahnya 73.
2.2. Sistem Pemerintahan di Samalanga
Sistem pemerintahan di Samalanga sama seperti sistem pemerintahan
daerah lainnya yang termasuk dalam kerajaan Aceh. Yaitu, tersusun dari unit
terkecil mulai dari gampong, mukim, nanggroe. Gampong merupakan unit
pemerintahan terkecil dalam Kerajaan Aceh, sama dengan sebutan desa di Jawa,
dusun di Sumatera Selatan, Huta di Batak dan kampung di daerah-daerah Melayu
lainnya.
Kepala gampong dinamakan keutjik dan wakilnya dinamakan waki.

Pembantu-pembantu keutjik lainnya dalam mengurusi gampong adalah teungku
meunasah, 4 orang cerdik pandai gampong yang dinamakan tuha peut 74.
Kewajiban mereka adalah untuk membimbing masyarakat gampong agar tidak

72

Dayah adalah lembaga pendidikan tradisional di Aceh (daerah luar aceh
biasa menyebutnya dengan nama pesantren)
73
Wawancara, dengan H. Abdul Gani. Gampoeng Meunasah Lhong, kec
Samalanga .3 Desember 2016.
74
A. J. Vleer, De positie van den Toeha Peuët in het Atjehsche
Staatsbestel. Overdruk uit „Koloniale Studiën, hlm. 259.

Universitas Sumatera Utara

menyalahi hukum dan adat yang telah ditentukan. Nikah, talak, pasak, rujuk dan
lain-lain juga menjadi urusan mereka 75.
Gabungan


dari

beberapa

gampong

dinamakan

mukim.

Tujuan

pembentukan mukim sejalan dengan anjuran agama islam. Yaitu, menurut mazhaf
syafi’i yang kuat di tanah Aceh, untuk melaksanakan shalat Jum’at yang
diwajibkan atas laki-laki dewasa harus mencapai 40 orang 76. Untuk memenuhi
syarat tersebut maka dibentuklah suatu mukim yang dikepalai oleh seorang yang
dinamakan imeum mukim.
Setiap mukim dibangun satu masjid yang digunakan sebagai tempat shalat
Jum’at. Sama halnya seperti keutjik, imeum mukim juga bertugas menjalankan

roda pemerintahan yang dibantu oleh keutjik-keutjik gampong. Pada awalnya yang
dijadikan imeum mukim adalah orang cerdik pandai namun pada tahap selanjutnya
sudah secara turun-temurun.
Dalam susunan yang lebih luas lagi dinamakan nanggroe yaitu kumpulan
dari beberapa mukim. Nanggroe dikepalai oleh seorang yang dinamakan
uleebalang yang memerintah secara turun temurun hingga anak cucunya.
Uleebalang sama dengan hulubalang yang berasal dari bahasa sangsekerta. Dalam
kerajaan-kerajaan Indonesia dan Malaya pada zaman dahulu, hulubalang adalah
nama pangkat dalam jabatan ketentaraan raja atau sultan. Demikian juga halnya
dengan uleebalang di Aceh. Hanya saja uleebalang di Aceh diberikan/ditambah
lagi tugas lain, yaitu mengepalai nanggroe.
75
76

Zakaria Ahmad, op.cit., hlm. 87.
Snouck Hurgronje, op.cit., hlm. 91.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum terbentuknya kerajaan Aceh banyak terdapat kerajaan-kerajaan

kecil dan merdeka. Masing-masing dari daerah-daerah kecil tersebut memiliki
penguasa atau disebut juga raja-raja kecil, raja-raja tersebut menguasai pelabuhan,
tanah dan lain-lain di daerahnya. Setelah terbentuknya kerajaan Aceh, para rajaraja kecil itulah yang dijadikan uleebalang. Secara tradisional kekuasaan
uleebalang dikukuhkan oleh sultan dengan memberinya piagam yang disebut
sarakata 77. Yang dibubuhi segel yang dinamakan cap siekuerung atau cap
sembilan.
Sarakata Tersebut mengesahkan kekuasaan uleebalang dan wajiblah ia
membayar upeti kepada sultan. Setiap uleebalang yang diangkat pada upacara
penabalannya akan dilakukan di dalam (Istana) Sultan Aceh, dengan tanda
melepaskan tembakan meriam sebanyak 12 kali 78, dan jika istri dari seorang
uleebalang melahirkan maka akan dibunyikan meriam sebanyak 9 kali 79.
Secara adat tugas-tugas yang diwajibkan terhadap uleebalang yaitu: (1)
memelihara agama Islam dengan menolak orang yang hendak memasukkan
bid’ah dan menyuruh isi negeri mengamalkan agama Islam, (2) mengawal agama
Islam dan isi negeri agar tidak dibinasakan oleh musuh dan melindungi isi negeri
daripada huru-hara, pencuri dan penyamun-penyamun, (3) membangun negeri,
seperti membuat jalan, (4) menjaga agar hak pemindahan harta kaum muslimin
semata-mata atas dasar hukum syara’, (5) menentang kelaliman dan memerintah

77


Ibrahim Alfian, 1987. op.cit., hlm. 42.
Ali Hasjimi, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977. hlm. 223.
79
Ibid., hlm. 238.
78

Universitas Sumatera Utara

dengan adil, (6) menegakkan hukum dan syara’ masing-masing menurut perlunya,
(7) memilih pegawai-pegawai termasuk panglima-panglimanya dan sahabatsahabatnya yang berguna dan yang jujur 80.
Dalam melaksanakan tugasnya, uleebalang mempunyai pembantupembantu, antara lain: Banta, Rakan, Panglima Perang, imeum mukim dan
keutjik 81. Banta merupakan adik kandung ataupun kerabat lain dari uleebalang,
yang bertindak sebagai kaki tangan uleebalang. Rakan merupakan pembantu
yang berkediaman di dalam atau sangat berdekatan dengan kediaman uleebalang,
dan menerima jatah makanan dan pakaian dari uleebalang.
Panglima perang adalah orang yang diberi pangkat oleh uleebalang. Yang
dianggap mampu menjadi pemimpin saat berperang, namun setelah peperangan
usai mereka tidak memiliki jabatan lagi baik di bidang pemerintahan maupun
bidang lainnya. Imeum mukim dan keutjik sangat berperan dalam membantu
uleebalang¸ karena mereka merupakan perpanjangan tangan uleebalang, hingga
segala apa yang dihendaki uleebalang sampai kepada seluruh rakyatnya hingga ke
gampong-gampong.
Uleebalang pertama yang menguasai nanggroe Samalanga adalah Tun Sri
Lanang. Tun Seri Lanang adalah bendahara Kesultanan Johor, yang oleh Iskandar
Muda dibawa ke Aceh sebagai tawanan perang dan ditempatkan di nanggroe
Samalanga. Proses pengangkatan Tun Seri Lanang sebagai uleebalang Samalanga
melalui peristiwa yang agak aneh yang dinamakan sebagai “Peristiwa Laut”
80
81

Ibid., hlm. 41.
Snouck Hurgronje, op.cit., hlm. 105-106.

Universitas Sumatera Utara

Pada saat daerah Samalanga sudah berkembang dan memiliki banyak
penduduk, Samalanga akan dijadikan sebagai sebuah nanggroe, maka diangkat
cerdik pandai yang berasal dari daerah sekitar yang dianggap sebagai panitia
pengangkatan uleebalang, yang disebut dengan hakim peut misie, ditambah
dengan 11 pemuka mukim lainnya.
Tibalah saat pemilihan uleebalang, dimana semua panitia yang dibentuk
merasa dirinya juga berhak atas Samalanga karena jasa-jasanya membangun
Samalanga. Oleh karena tidak ada titik terang dari permasalahan ini, maka hakim
peut misie ditambah dengan 11 pemuka mukim lainnya, memutuskan untuk
berangkat ke Kutaradja menemui sultan untuk meminta persetujuan dan
menyerahkan kepada sultan mengenai urusan nanggroe Samalanga.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah mereka menuju Kutaraja
dengan mengajak Tun Seri Lanang. Sampai di Kutaraja, mereka langsung
menghadap sultan dan mengutarakan niatannya, namun Tun Sri Lanang dilarang
ikut masuk ke dalam istana, melainkan diperintah untuk menjaga perahu yang
mereka gunakan menuju Kutaraja.
Sultan berkata siapapun diantara kalian boleh menjadi uleebalang dengan
syarat memiliki siwah bergagang emas seperti ini, dan sultan menunjukkan siwah
yang ada diselip di pinggangnya. Mendengar persyaratan tersebut mereka berkecil
hati karena mana ada orang yang memiliki siwah bergagang emas selain orangorang yang terpandang dan keturunan raja.

Universitas Sumatera Utara

Mereka memutuskan untuk kembali ke Samalanga. Dalam perjalanan
pulang, salah satu dari mereka melihat bahwa Tun Sri Lanang memiliki syarat
yang dikatakan sultan. Mereka langsung merebut dan ingin membuktikan apakah
siwah yang ada pada Tun Sri Lanang bergagang emas. Ketika hakim peut misie
menambil siwah, Tun Sri Lanang tercebur ke laut. Hakim peut misie beranggapan
bahwa Tun Sri Lanang sudah meninggal dan mereka kembali pulang ke
Samalanga.
Menurut ceritanya, Tun Sri Lanang terapung dilautan selama tujuh hari
tujuh malam. Kemudian ditemukan oleh Teuku Nek Meuraksa Panglima Nyak
Doom dan Maharaja Lela dikawasan Laweung 82. Peristiwa ini terdengar oleh
Putrophang (Putri Pahang, istri Iskandar Muda yang dibawanya ketika
menaklukkan Batu Sawar). Hingga akhirnya Putrophang memerintahkan agar Tun
Sri Lanang pulang ke Samalanga dengan menyamar sebagai nelayan yang kumuh,
dan menyampaikan maksud Putrophang untuk memanggil kembali hakim peut
misie.
Menjalankan syarat dari Putrophang agar bisa menjadi uleebalang
Samalanga, yaitu dengan memakainkan cincin di jari hakim peut misie (yang ingin
menjadi uleebalang). Setelah sampai di Istana dan memakaikan cincin, tak
seorangpun dari mereka yang tangannya cocok dengan cincin tersebut. Akhirnya
cincin juga dipakaikan ke jari Tun Sri Lanang, terlihat besar cincin sama cocok
dan pas dengan jari Tun Sri Lanang, kemudian siwah yang dimaksud juga ada
padanya.
82

Pocut Haslinda Hasrul, op.cit., hlm. 40.

Universitas Sumatera Utara

Putrophang yang sebelumnya sudah menaruh kecurigaan terhadap hakim
peut misie, kemudian bertanya apakah ada orang lain yang ikut dalam perahu
ketika awal datang menemui sultan. Dengan hati yang dongkol dan marah mereka
mengatakan, bahwa pada misi awal yang terdahulu Tun Sri Lanang juga ikut
serta, mendengar pengakuan tersebut maka diangkatlah Tun Sri Lanang sebagai
uleebalang Samalanga yang pertama (1613-1659). Menurut sarakata yang
dikeluarkan oleh sultan, wilayah kekuasaan Tun Sri Lanang di Samalanga
meliputi sebelah barat berbatasan dengan Krueng (sungai) Ulim (kabupaten Pidie
sekarang) dan sebelah timur berbatasan dengan Krueng Jeumpa (kabupaten
Bireuen sekarang) 83.
Setelah diangkat menjadi uleebalang Samalanga, langkah pertama yang
dilakukan oleh Tun Sri Lanang adalah mengembangkan pertanian. Selain itu, Tun
Sri Lanang juga memerintahkan rakyatnya untuk membuat perahu yang lebih
modern, untuk menjadi transportasi laut maupun sungai bagi kepentingan
perekonomian Samalanga. Pada saat itu Samalanga belum masuk target jajahan
Portugis, karena letaknya yang sulit dijangkau.
Setelah diberikan kekuasaan yang penuh terhadapnya, maka banyak
kebijakan-kebijakan yang diambil demi kemajuan Samalanga dan rakyatnya.
Seperti, membangun fasilitas pendidikan tradisional (dayah) dan juga tempattempat ibadah, hingga sekarang di Aceh, daerah yang dikenal dengan banyak
pesantren adalah daerah Samalanga yang sekarang telah menjadi kecamatan di
kabupaten Bireuen. Setelah Tun Sri Lanang meninggal maka posisinya digantikan
83

Ibid., hlm. 94.

Universitas Sumatera Utara

oleh puteranya yang bernama Teuku Diblang Panglima perkasa (1659-1697).
Kemudian diteruskan lagi oleh Teuku Tjik Idris Panglima Perkasa (1697-1759) 84.
Setelah itu banyak terjadi perselisihan antara keturunan Tun Sri Lanang
untuk meperebutkan kekuasaan. Seperti perselisihan antara Teuku Cik Gamba
dengan Teuku Cik Ali, hingga akhirnya Samalanga terbagi kedalam 2 daerah.
Yaitu Samalanga Baroeh dan Samalanga Teunong 85. Namun beberapa tahun
kemudian, perpecahan ini dapat disatukan kembali oleh keturunan Tun Sri
Lanang. Yaitu, Teuku Chik Raja Bugis (1822-1885). Teuku Chik Raja Bugis juga
merupakan uleebalang Samalanga ketika Belanda masuk ke Samalanga pada
tahun 1877.
Teuku Chik Raja Bugis meninggal pada tahun 1885 kemudian
kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Teuku Muhammad Ali
Basyah. Ia mendapatkan sarakata dari Sultan Aceh pada tahun 1886 86. Berbeda
dengan nanggroe-nanggroe lain yang ada di Aceh, nanggroe Samalanga memiliki
daerah bawahan yang dinamakan dengan uleebalang cut. Yaitu daerah yang
dikuasai oleh Samalanga, namun posisinya setingkat lebih tinggi dibandingkan
mukim.
Terdapat 4 uleebalang cut di Samalanga yaitu Djeunib, Peudada, Nalan
dan Pandrah 87. Keempat uleebalang cut dipimpin oleh keturunan uleebalang

84

Ibid., hlm. 151.
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, BRILL.
hlm. 88. Diakses pada tanggal 09 maret 2016. www.jstor.org
86
Ibid., hlm. 92.
87
Ibid., hlm. 89.
85

Universitas Sumatera Utara

Samalanga. Sering terjadi perselisahan antar keempat uleebalang cut, perselisihan
biasanya disebabkan oleh batas wilayah kekuasaan dan merebut hati rakyatnya.
Pada tahun 1825 terjadi perselisihan antara Teuku Gamba da Teuku Ali masingmasing sebagai uleebalang cut di Peudada dan Djeunib, perselisisihan dilatar
belakangi oleh batas wilayah perkebunan lada 88.
2.3. Sosial Ekonomi Uleebalang
Seorang uleebalang yang pintar menjaga hubungan dengan rakyatnya akan
mendapatkan banyak simpati. Jumlah rakyat yang banyak merupakan suatu
keberhasilan bagi uleebalang. Masyarakat Aceh kerapkali bahkan bisa dikatakan
sering mengadakan berbagai macam kenduri, dianggap sebagai adat yang harus
dilakukan, misalnya kenduri blang, yaitu upacara tradisional masyarakat Aceh
apabila hendak turun ke sawah sebelum memulai mengerjakan sawah 89. Kenduri
Seneubok, yaitu kenduri kebun, seperti kebun lada, kebun cengkeh, kebun kebun
pala, kebun sawit dan lain-lain 90. Dan masih banyak lagi kenduri-kenduri lainnya.
Uleebalang sebagai pemimpin menjadi tamu yang sangat dihormati dalam
kenduri, tempat duduk uleebalang juga sangat dibedakan dengan masyarakat. Tak
jarang pula uleebalang menyumbangkan seekor kerbau atau sapi untuk
pelaksanaan kenduri 91. Begitu juga halnya dengan kenduri yang lain, seperti
kenduri blang yang merupakan kenduri yang diadakan ketika hendak membajak
sawah. Rakyat Aceh meyakini bahwa dengan mengadakan kenduri sebagai
88

Algemene Secretarie No. 8850
LK. Ara, Ensiklopedi Aceh: Adat, Hikayat dan Sastra, Banda Aceh:
Yayasan Mata Air Jernih, 2008, hlm.197.
90
Ibid., hlm. 198.
91
H.M Zainuddin, op.cit., hlm. 364.
89

Universitas Sumatera Utara

perwujudan rasa syukur terhadap nikmat Allah. Maka, rezeki akan bertambah
hasil panen pun akan memuaskan. Kenduri ini juga menyembelih kerbau atau
lembu, ada lembu yang diperoleh dari hasil yang dikutip dari setiap warga ada
juga lembu yang dihadiahkan oleh uleebalang. Karena sebagian dari tanah sawah
merupakan tanah milik uleebalang juga 92.
Uleebalang diistimewakan bukan hanya ketika kenduri saja. Bahkan,
ketika berkunjung ke gampong atau juga mukim. cara masyarakat memberikan
tanda hormatnya kepada uleebalang adalah dengan bersalam dan mencium tangan
uleebalang. Terdapat juga tradisi yang memberikan buah tangan kepada
uleebalang, berupa tebu yang masih berdaun dan kelapa muda. Juga berlaku
kepada keturunan uleebalang 93.
Dalam proses pernikahan, masyarakat akan sangat merasa senang dan
sangat bangga apabila dihadiri oleh uleebalang. Mereka memuliakan dan
menghormati uleebalangnya. Jika uleebalang menghadiri pernikahan maka
uleebalang akan diistimewakan dengan menggelar kain yang berwarna kuning
atau yang disebut dengan Kain Jajakan sebagai tempat yang dilalui oleh
uleebalang. Kain Jajakan tersebut hanya boleh dilalui oleh uleebalang,
uleebalang juga dipayungi dengan payung berwarna kuning.
Masyarakat juga mengenal tradisi “meu urup”, yaitu tradisi untuk
menolong atau membantu uleebalang 94. Dua hal yang dikenal dalam tradisi ini

92

Ibid., hlm. 363.
Ibid., hlm. 366.
94
Ibid., hlm. 367.

93

Universitas Sumatera Utara

yaitu membantu (uleebalang) memagar kota dan mengerjakan sawah milik
peribadi uleebalang. Banyak orang yang menjadi tanggungan uleebalang dan
untuk memberinya makan berasal dari sebagian hasil sawah yang dikerjakan
rakyat. Diantaranya, tamu yang sering datang siang malam, baik tamu yang
bersangkutan dengan pekerjaan atau hanya sekedar berkunjung. Orang-orang
lanjut usia yang sudah tidak memiliki keluarga, orang-orang yang menjaga
pertahanan (perbatasan) nanggro dan lain sebagainya
Kebiasaan meu urup sejak dahulu kala memang diterima dengan baik oleh
rakyat. Namun lambat laun, terutama setelah Belanda masuk, untuk mendapat
keuntungan yang besar, uleebalang mulai menyalahgunakan kekuasaannya. Meu
urup bukan hanya direalisasikan untuk kedua hal yang telah disebut di atas,
namun juga untuk mengerjakan sawah-sawah yang lain dan juga membersihkan
kebun-kebun milik uleebalang.
Selain hubungan dengan masyarakat diatur dalam adat, maka pendapatan
uleebalang juga diatur di dalam adat yaitu : (1) denda-denda yang diperolehnya
dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh rakyatnya, (2) 1% daripada tanah
sawah yang dijual, (3) 10% dari warisan-warisan yang dibagikan kepada yang
berhak, (4) menarik satu ringgit dari setiap kapal yang memasuki daerah
kenegeriannya, 5% dari pedagang asing dan 2,5% dari pedagang dalam negeri
sendiri, (5) iuran terhadap pengunjung-pengunjung pasar, (6) sawah-sawah atau
kebun-kebun yang sudah tidak dikerjakan lagi oleh pemiliknya dan tidak
memberikan kabar apapun, (7) warisan dari orang-orang asing dan tidak
mempunyai keluarga di Aceh, (8) pemberian wajib kepala-kepala yang di bawah

Universitas Sumatera Utara

uleebalang untuk perayaan penting bagi keluarga uleebalang, (9) tenaga kerja dari
orang-orang hukuman yang tidak membayar denda, (10) kerja bakti untuk sawahsawahnya, benteng dan rumah-rumahnya 95
Uleebalang telah diberikan kekuasaan yang besar oleh Sultan. Bahkan,
bisa dikatakan bahwa ia adalah penguasa tunggal di nanggroe yang dipimpinnya.
Wewenang yang besar terhadap nanggroe membuat uleebalang bebas
memperluas usahanya dan menjadikan uleebalang sebagai pengusaha atas
komoditi tradisional dari daerahnya. Seperti lada, dan juga pinang 96. Teuku
Keumangan yaitu uleebalang di daerah Pidie. Ia memiliki ½ luas lahan dari
keseluruhan lahan sawah di Pidie.
Samalanga juga memiliki lahan sawah yang sangat luas. Pada umumnya
pemilik lahan tersebut adalah uleebalang, jika ada rakyat yang ingin menggarap
sawah maka ia harus menyewa kepada uleebalang kemudian memberikan pajak
sawah setiap tahunnya kepada uleebalang.
Selain menyewakan lahan sawah kepada rakyatnya, uleebalang juga
dikenal dengan pemilik modal (peutuha pangkai). Sistem pemberian modal
kepada rakyat melalui orang yang dipercaya uleebalang dan juga dijadikan
sebagai pemimpin dalam menggarap lahan, orang kepercayaan uleebalang
tersebut dinamakan peutuha seuneubok 97. Selanjutnya peutuha seuneubok akan

95

Ibrahim Alfian, 1987. op.cit., hlm. 41.
Antony Reid, op.cit., hlm. 22.
97
J. Kreemer, op.cit., hlm. 36.

96

Universitas Sumatera Utara

memberikan modal tersebut langsung kepada orang yang menggaraplahan yang
dinamakan aneuk seuneubok.
Setelah perkebunan yang diusahan oleh rakyat telah membuahkan hasil,
maka rakyatpun memiliki kewajiban untuk menyerahkan pajaknya kepada
uleebalang. Jika rakyat menaman lada maka pajak yang ditetapkan adalah
perpikul lada 98. Proses menyerahkan pajak sama halnya juga dengan proses
memberikan modal. Yaitu melalui orang kepercayaan uleebalang yaitu peutuha
seuneubok.
Mengelola/menjual hasil bumi juga menjadi monopoli uleebalang.
Uleebalang Samalanga melalui utusannya mengumpulkan berbagai hasil bumi di
muara-muara sungai yang terdapat di pesisir Samalanga. Hasil bumi rakyat
dengan harga yang ditentukan uleebalang, setelah itu uleebalang membawanya ke
pelabuhan Kutaraja dengan harga yang lebih tinggi.
Uleebalang Samalanga juga memanfaatkan kegiatan impor barang. Salah
satu komoditi yang selalu diimpor ke Aceh umumnya dan ke Samalanga
khususnya adalah opium (rakyat Aceh menyebutnya dengan nama apion si kra’).
Opium biasanya diimpor dari India melalui Singapura dan Penang 99. Dan Seluruh
bea cukai impor jatuh ke tangan uleebalang.

98
99

Ibid., hlm. 37.
Ibid., hlm. 131.

Universitas Sumatera Utara

Ekspor impor juga dilakukan dengan negara-negara Asia lainnya seperti
Cina, Gujarat, Penang, Malaysia 100. Semua perdagangan dilakukan dengan bebas
oleh tiap-tiap daerah yang dikuasai oleh syah bandar dan juga uleebalang. Sejak
masa pemerintahan Sultan Iskandar muda sistem perdagangan sudah berubah,
sultan memusatkan kegiatan perdagangan di pelabuhan Kutaraja Ulelhee.
Aceh banyak mengimpor berbagai jenis kain dari India, seperti kain sutra.
Jika komoditi lain masuk ke pelabuhan di seluruh Aceh juga termasuk pelabuhan
yang ada di Samalanga. Maka para pedagang harus membayarnya dalam bentuk
uang, lain halnya dengan kain dari India, pajak yang diserahkan berupa kain itu
sendiri dan diserahkan kepada kepala adat (uleebalang) sebanyak 7 lembar 101.
Kain-kain sutera yang didapatkan dari pedagang-pedang India bernilai
cukup tinggi pada zamannya. Kemudian kain itu dijadikan bahan untuk pakaian.
Pada umumnya golongan uleebalang memakai pakaian yang tertutup sampai
pundak 102 dan memakai penutup kepala yang dililitkan dengan sehelai kain
berukuran panjang. Masyarakat pada umumnya berjalan tanpa alas kaki, lain
halnya dengan uleebalang, mereka sudah menggunakan alas kaki semacam sandal
(1688).
Makanan yang mereka makan juga berbeda dengan masyarakat. Unggas,
ikan dan daging kerbau adalah makanan khas bagi uleebalang. Salah satu
100

Arun K. Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics: 16001641. U.S.A: University Microfilms, 1962. hlm. 101.
101
Ibid., hlm. 114.
102
Chareles. R. Beamer, The Acehnese-Dutch War and its Effec For
Acehnese People: Their Land, Costumes and Institutions. Dalam Conference On
Modern Indonesian History, July 18 -19, 1975. hlm. 50.

Universitas Sumatera Utara

kebiasaan yang terdapat pada umumnya uleebalang di Aceh dan juga uleebalang
Samalanga adalah, mereka membiarkan kuku ibu jari dan kuku kelingking
tumbuh panjang 103, jika mereka menghisap tembakau (rokok) maka mereka
menggunakan gulyun (alat penghisap rokok).
Rumah tinggal untuk rakyat biasa hanya terbuat dari bambu sebagai
dindingnya dan daun nipah sebagai atapnya. Walaupun menggunakan bahan yang
sederhana, masyarakat membuat rumah sesuai dengan bentuk rumah adat Aceh
yang kita kenal sekarang. Berbeda dengan uleebalang Samalanga, sekitar tahun
1830, telah membangun rumah yang berbentuk rumah adat Aceh yang
sebenarnya. Bahan yang digunakan untuk membangun rumah berupa kayu yang
berkualitas tinggi dan terlihat sangat mewah, rumah tersebut kini ditempati oleh
keturunan uleebalang yaitu Pocut Naimah 104.
Bentuk bangunan rumah bisa dipertahankan hingga sekarang, tanpa diubah
sedikitpun. Selain rumah yang ditempati oleh Pocut Naimah, ketika itu juga
dibangun rumah-rumah untuk keturunan uleebalang lainnya, salah satunya Rumoh
Seuntot yang berbentuk sama dengan rumah Pocut Naimah. Hanya saja rumahrumah tersebut tidak dapat kita temukan lagi sekarang ini, karena telah
dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1877, karena rumah tersebut dijadikan
sebagai benteng pertahanan oleh rakyat Samalanga 105.
2.4. Simbol-simbol yang Melekat pada Uleebalang
103

Denys Lombard, op.cit., hlm. 75.
Wawancara, dengan Pocut Naimah, Gampoeng Baroe, Samalanga. 3
Desember 2016.
105
De Expeditie Naar Samalanga in 1877. op.cit., hlm. 12.
104

Universitas Sumatera Utara

Uleebalang menjadi pemimpin nanggroe bersifat turun-menurun. Jika
seorang uleebalang telah meninggal atau sudah tidak mampu lagi menjalankan
pemerintahannya, maka kedudukannya akan diturunkan kepada anak laki-laki
sulungnya. Salah satu simbol atau tanda yang menandakan bahwa mereka adalah
keturuna uleebalang adalah pemberian nama. Jika mereka memiliki anak laki-laki
maka di depan nama mereka akan diberi gelar teuku, jika perempuan diberikan
gelar cut 106.
Pemberian gelar di Aceh jika dibandingkan dengan pemberian gelar pada
bangsawan Jawa memiliki sedikit perbedaan. Di Jawa ada kemungkinan
seseorang memiliki dua gelar di depan namanya, artinya menggandengkan gelar
keturunan dan gelar jabatan 107. Misalnya Raden Tumenggung Tirtadiningrat.
Raden merupakan gelar yang diberikan kepada bangsawan Jawa karena memang
ia keturunan seorang raja. Sedangkan Tumenggung gelar yang diberikan karena
jabatannya pada pemerintahan. Hal ini terjadi karena di Jawa, yang menjadi
bangsawan atau priyayi bukan hanya dari keturunan raja saja, melainkan yang
mempunyai kedudukan pada pemerintahan juga disebut bangsawan/priyayi.
Priyayi asli keturunan raja dinamakan priyayi luhur, sedangkan yang bukan dari
keturunan raja dinamakan priyayi kecil 108.
Di Aceh, teuku dan cut selalu digunakan oleh keturunan bangsawan, tanpa
menggunakan gelar pada jabatannya, yaitu uleebalang. Hal ini terjadi karena yang

106

Nama teuku dan cut berlaku sama untuk keturunan uleebalang seluruh

107

Sartono Kartodirdjo, 1993, op.cit., hlm. 46.
Ibid., hlm. 7.

Aceh
108

Universitas Sumatera Utara

disebut dengan bangsawan dan yang akan menjadi bangsawan di Aceh hanyalah
keturunan bangsawan itu sendiri. Dengan kata lain jika seseorang telah menjadi
rakyat biasa dari lahir maka hingga akhir hidupnya juga akan menjadi rakyat biasa
seperti pada umumnya. Bahkan sistem dinasti yang dijalankan oleh uleebalang
lebih kuat jika dibandingkan dengan sultan yang memimpin seluruh Aceh.
Gelar tersebut akan diberikan kepada seluruh keturunan uleebalang. tidak
terpusat pada istri yang pertama saja. Uleebalang juga pada umumnya memiliki
istri lebih dari satu, karena jika seorang pemimpin mempunyai istri lebih dari satu
merupakan suatu bukti bahwa pemimpin tersebut masih mampu berkuasa dan
masih mampu memimpin.
Tujuan lain mempunyai istri lebih dari satu adalah untuk menjalin kerja
sama dan hubungan politik yang baik dengan tokoh-tokoh yang ada di daerah asal
istri tersebut 109. Konsep perkawinan tradisional seperti itu masih berlaku pada
uleebalang seluruh Aceh, termasuk uleebalang Samalanga. Bahkan hingga saat
sekarang ini sebagian kecil dari mereka masih menjalankan kebiasaan ini.
Teuku Chik Raja Bugis merupakan uleebalang Samalanga ketika awal
kedatangan Belanda. Ia memiliki tiga orang istri, dan ketiga istrinya juga berdarah
bangsawan yaitu; Cut Nyak Simplah, Cut Nyak Banting dan Pocut Geudik. Dari
pernikahannya dengan Cut Nyak Banting memiliki 5 anak perempuan dan 2 anak
laki-laki yang salah satunya menjadi penerus tahtanya yaitu Teuku Muhammad
Ali Basya.

109

Sartono Kartodirdjo, 1993, op.cit., hlm. 180.

Universitas Sumatera Utara

Teuku Muhammad Ali Basya memiliki empat orang istri, yaitu: Cut Nyak
Po (keturunan uleebalang dari Peurlak), Pocut Ti Hawa (keturunan uleebalang
dari Ndjong), Pocut Kandjian dan Pocut Sabawa. Setelah Teuku Ali Basja yang
meneruskan tahtanya adalah putra sulungnya yang bernama Teuku Bahrumsyah
dan dilanjutkan oleh Teuku Zainal Abidin. Teuku Bahrumsyah dan Teuku Zainal
Abidin, hanya memiliki masing-masing satu orang istri, dan berasal dari
keturunan bangsawan 110. Selain itu sebagai simbol kebesarannya, uleebalang
memiliki siwah. Siwah itu akan selalu dibawa kemanapun uleebalang pergi,
dengan menyelipkan siwah di pinggang uleebalang.

110

Berdasarkan silsilah yang dibuat oleh Lembaga Adat dan Kebudayaan

Aceh

Universitas Sumatera Utara