Kehidupan Sosial Uleebalang Aceh, Samalanga (1873-1946) Chapter III VI

BAB III
SAMALANGA DI BAWAH KEKUASAAN BELANDA
3.1. Penaklukan Samalanga
Pada 24 Januari 1874, Belanda berhasil merebut dalam (istana) sultan
Aceh 111. Sultan pun terpaksa mundur ke arah Leung Bata. Tidak lama kemudian
pusat Kerajaan Aceh dipindahkan ke Keumala (Pidie) 112. Meskipun Belanda baru
menguasai dalam saja, mereka sudah ingin memproklamirkan bahwa Kerajaan
Aceh telah ditaklukkan. Belanda juga berharap bahwa dengan direbutnya dalam
bisa membuat rakyat Aceh di luar Aceh Besar juga mengakui kedaulatan Belanda.
Jika keinginannya ini tidak tercapai maka Belanda akan menggunakan cara
kekerasan juga.
Ternyata apa yang diinginkan oleh Belanda sangat berlawanan dengan
tekad rakyat Aceh. Rakyat bertekad kuat untuk melawan Belanda yang mereka
anggap sebagai kaum kafir yang harus dilawan dengan cara apapun, mengingat
rakyat Aceh kala itu memegang teguh ajaran Islam dengan sangat fanatik.
Mereka menanamkan idiologi perang sabil (perang di jalan Allah), yaitu perang
untuk membela agama Allah yaitu Islam. Orang yang bergabung memerangi
kaum kafir akan mendapatkan syurga Allah dan segala keistimewaannya.
Melihat tekad rakyat Aceh yang sangat kuat untuk tetap melawan
Belanda dan sangat bersikeras untuk tidak mau mengakui kedaulatan Belanda
terhadap Aceh. Maka Belanda pun mengambil tindakan kekerasan yaitu dengan


111
112

Ibid., hlm. 68.
Muhammad Said, op.cit., hlm. 138.

Universitas Sumatera Utara

peperangan. Peperangan dilakukuan ke daerah luar Aceh Besar seperti Pantai
Barat, Timur dan Utara Aceh. Salah satu daerah atau nanggro yang yang berada
di Pantai utara Aceh yang sangat menonjol melawan Belanda adalah Samalanga.
Belanda mulai menyerang Samalanga pada tahun 1877 113. Melalui pantai
Kuala Tamboa 114. Blokade arah jalan darat melalui gampong Pengelik115.
Uleebalang yang menguasai Samalanga ketika itu adalah Teuku Chik Raja
Bugis 116. Untuk melawan pasukan Belanda, Teuku Chik Raja Bugis mengerahkan
pasukan sejumlah 30.000 orang 117.
Belanda mengerahkan pasukan sejumlah 3 batalion, setiap batalion terdiri
dari 3 kompi yang masing-masing berjumlah 150 orang. Kapal perang yang
dibawa menuju Samalanga adalah Metalen kuis, Citadel van antwerpen, Sambas,

Banda, Amboina, Palembang, Semarang, Borneo dan Sumatera 118. Dan juga kapal
Watergeus pada 15 Oktober 1877 119 dipimpin oleh kolonel Van der Heijden.
Kemungkinan pihak Samalanga telah mendengar bahwa akan ada
serangan dari Belanda. Maka rakyat Samalanga juga sudah bersiap-siap untuk

113

Sebelum melakukan penyerangan ke Samalanga, terlebih dahulu
Belanda mencari tau keadaan Samalanga melalui seorang penghianat bernama
Soetan Maharadja.
114
Jules Garnier, De Verovering Van Kota Blang Temoelit, Samalangan
Op 27 Agustus 1877, Rotterdam: Nijgh & van Ditmar (Drukker), 1887, hlm. 2.
115
Atjeh: Verzameling Van Bulletins Loopende Van 13 April 1873 Tot 27
Februari 1880. Landsdrukkerij. 1880
116
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,
hlm 97. Sumber lain (Doup, hlm. 11) mengatakan, bahwa Teuku Chik Raja
Bugisadalah seorang pecandu opium.

117
Atjeh Zaken No. 01168
118
Jules Garnier, op.cit., hlm. 6.
119
Atjeh Zaken no. 01942

Universitas Sumatera Utara

melawan Belanda dengan cara membuat parit-parit yang dipasangi bambu-bambu
yang sangat tajam 120. Di berapa gampong juga telah terdapat benteng
pertahanan 121. Pertahanan yang paling kuat bagi Samalanga adalah di benteng
Bateilek, dengan pertahanan puluhan ribu prajurit lengkap dengan senjata, pagar
bambu yang berduri, menyerupai hutan yang tidak akan mudah dilewati oleh
Belanda 122.
Rakyat Samalanga dipimpin oleh Teuku Chik Raja Bugis dan adik
perempuannya yang bernama Pocut Meuligo. Ia adalah sosok wanita yang sangat
benci terhadap Belanda, hal ini terlihat dari kegigihannya yang selalu
mengirimkan baik dana maupun pasukan ketika terjadi peperangan di Aceh Besar
pada 1873, dan memerintahkan seluruh rakyat Samalanga bagi yang sudah bisa

berperang maka ikutlah berperang 123.
Teuku Chik Raja Bugis juga menyerahkan sebagian besar urusannya
kepada kerabat perempuannya itu. Karena sebelum terjadi peperangan di
Samalanga, Teuku Chik Raja bugis aktif dalam perang di Aceh Besar 124. Jumlah
pejuang yang dikerahkan Teuku Chik Raja Bugis juga cukup banyak, namun tak
dapat mengimbangi pasukan Belanda.

120

Jules Garnier, op.cit., hlm. 9.
De Expeditie Naar Samalanga in 1877. hlm. 4.
122
Atjeh Zaken 01242
123
J.P Schoemaker, op.cit., hlm. 53.
124
De Expeditie Naar Samalanga in 1877, op.cit., hlm. 1.

121


Universitas Sumatera Utara

Pada satu peristiwa penyerangan pejuang tersebut berjumlah sekitar 40
orang dengan memakai senjata klewang 125. Dalam peristiwa penyerangan pos
Belanda yang pertama, menurut catatan Belanda, setelah terjadi pertempuran
sengit itu, terdapat 3 korban tewas dan 9 luka-luka pada pihak serdadu Belanda.
Termasuk seorang Letnan B.M. Leussen. Dalam peperangan yang pertama ini,
pihak Samalanga sering mengadakan pertempuran secara tiba-tiba dan
menyebabkan banyak korban berjatuhan di pihak Belanda.
Selain ke 2 uleebalang tersebut, peperangan juga dipimpin oleh kelompok
lain, yang peranan sangat besar dalam perstiwa perang sabil di Aceh, bahkan lebih
besar peranannya dibandingkan dengan uleebalang. Mereka adalah kelompok
ulama. Ulama-ulama yang memimpin perang di Samalanga yaitu: Tgk Hadji
Aron, Tgk Moekib, Tgk Jit, Tgk Djeulanga, Tgk Di Loeeng Keubeue, Tgk Di
Pulobaroh, Tgk Di Pakoe, Habib ahmad dan Habib Alooe 126. Peranan uleebalang
ditambah bantuan ulama yang menyerukan perang fisabilillah dan mampu
mengikutsertakan banyak masyarakat Samalanga.
Meskipun banyak kerugian yang dialami Belanda selama perang
Samalanga. Baik kerugian secara materi maupun korban jiwa, Belanda mampu
menembus satu persatu benteng pertahanan rakyat Samalanga. Satu-satunya

benteng pertahanan yang belum bisa dikuasai Belanda adalah benteng Bateilek
dan akan ditaklukkan pada agresi berikutnya.

125
126

Senjata Tradisional Aceh
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden. op.cit.,

hlm. 107.

Universitas Sumatera Utara

Belanda telah memberikan pilihan kepada T. Chik Raja Bugis dan Pocut
Meuligo agar mengakui kedaulatan Belanda. Namun tawaran itu ditolak mentahmentah olehnya, akhirnya Belanda mengambil tindakan lain, yaitu memblokade
pantai-pantai yang biasa berfungsi sebagai sarana ekspor-impor komoditi di
Samalanga, dan dialihkan ke pelabuhan Ulelhe sebagai pelabuhan pusat. Sehingga
membuat perekonomian Samalanga mengalami kelumpuhan.
Namun di sisi lain, uleebalang Samalanga melihat kejayaan daerah Idi,
yang perekonomian dan perdagangannya sangat lancar. Tanpa gangguan dari

Belanda. Pelabuhan di wilayah Idi tidak diblokade oleh Belanda, karena sejak
awal Belanda memerangi daerah luar Aceh Besar, uleebalang Idi sudah terlebih
dahulu menyetujui dan mengakui kedaulatan Belanda. Dengan pertimbangan yang
berat setelah sebulan terjadi peperangan maka T. Chik Raja Bugis menyerah dan
menandatangani perjanjian secara serentak dengan 7 uleebalang nanggroe
tetangganya 127.
Setelah perjanjian panjang ditanda-tangani, maka Belanda memenuhi
janjinya. Yaitu, membuka kembali pelabuhan di Samalanga yang sebelumnya
telah ditutup oleh Belanda, hingga kegiatan perekonomian dapat berjalan kembali
seperti semula. Sejak perjanjian panjang yang pertama ini, bisa dikatakan tidak
adalagi peperangan secara fisik antara Samalanga dan Belanda, namun Belanda
mulai mengintervensi segala keputusan maupun tindakan uleebalang mengenai
segala hal yang menyangkut Samalanga.

127

Algemenesecretarie Aceh No 2431

Universitas Sumatera Utara


Perjanjian damai tersebut bertahan hanya kurang dari 3 tahun saja. Pada
1880 pihak Belanda yang memulai dan memancing pertikaian, dengan menyerang
secara tiba-tiba suatu daerah yang memang belum pernah diserang oleh Belanda
sebelumnya. Yaitu, gampong Cok Merak. Sebelumnya panglima militer Aceh,
Van Der Hijden mengatakan belum waktunya mengirimkan pasukan ke
Samalanga hanya karena masalah kecil seperti itu.
Karena peperangan di Aceh Besar juga masih sangat memerlukan prajurit.
Namun dengan desakan dari pemerintah sipil Belanda, maka keputusan Van Der
Heijden pun berubah dengan kembali mengirim pasukan yang jumlahnya 4
kompi. Total keseluruhannya berjumlah 32 orang perwira dan 1200 serdadu.
Peperangan kembali terjadi pada tahun 1880 di bawah komando Mayor W. A.
Schamilau 128.
Belanda melancarkan peperangan juga sambil mengadakan perjanjian lagi
dengan uleebalang. Tawaran tersebut ditolak oleh uleebalang Samalanga. Karena
uleebalang yakin bahwa pejuang dari Samalanga pasti bisa bertahan dari serangan
Belanda. Dan masih memiliki benteng pertahanan yang kuat di Bateilek. Benteng
Bateilek memang merupakan benteng yang sangat berperan bagi rakyat Aceh.
benteng Bateilek bertahan hampir 30 tahun dari serangan Belanda dan akhirnya
pada 1900 Belanda berhasil menjatuhkannya.
Penguasaan benteng oleh Belanda menyebabkan uleebalang Samalanga

kembali untuk kedua kalinya menandatangani perjanjian dengan Belanda.
128

Reisverslag Van De Kol.B.D.J.H.J.Brendgen, Door Aceh Van 30 Maart
Tot 20 Mei 1974. hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian ditandatangani oleh Teuku Ali Basya. Isi perjanjian panjang yang ia
tanda tangani sama dengan apa yang ditandatangani oleh pendahulunya. Dalam
sumber lain mengatakan bahwa antara tahun 1899-1900 uleebalang di Pantai
Utara Aceh (termasuk Samalanga) menyerah untuk selama-lamanya 129.
3.2. Sistem Pemerintahan Kolonial di Samalanga
Kehadiran sistem pemerintahan kolonial di Aceh tidak menghilangkan
pemimpin tradisional. Bahkan Belanda menggunakan cara kerjasama dengan
uleebalang untuk memuluskan tujuan penjajahannya. Belanda menyadari bahwa
keberadaan uleebalang sangat perlu untuk keberlangsungan Belanda menguasai
Aceh secara keseluruhan.
Heather Sutherland berpendapat, dalam bukunya mengenai priyai Jawa
(juga di Aceh) sebagai berikut; Keyakinan umum di kalangan penguasa-penguasa

kolonial, bahwa penghormatan rakyat kepada pejabat pribumi yang menjamin
keselamatan kehadiran Belanda di Jawa, paling baik dapat dipertahankan dengan
menjaga agar korps itu tetap tradisional 130.
Uleebalang tetaplah menjadi uleebalang, namun setelah menandatangani
perjanjian memerintah sebagai wakil Belanda di nanggronya masing-masing.
Bidang legislatif, diatur berdasarkan adat-istiadat yang berdasarkan pengertiannya
sendiri.

Di

bidang

yudikatif,

dibentuk

lembaga

peradilan,


disebut

landschaapsrecht. Uleebalang memiliki wewenang menjatuhkan hukuman apa
pun kepada pihak-pihak yang tidak disukainya, sehingga cukup membawa
129
130

Jongejans, op.cit., hlm. 20.
Heather Sutherland, op.cit., hlm. 250.

Universitas Sumatera Utara

penderitaan dan malapetaka bagi rakyat. Kekuasaan lembaga peradilan ini cukup
luas, tidak hanya di bidang sipil dan pidana, tetapi juga meliputi masalah
keagamaan serta masalah nikah, pasah, talak, dan rujuk 131
Untuk memudahkan urusan pemerintahan, pada tahun 1878 pemerintah
Hindia-Belanda memutuskan untuk menyerahkan pemerintahan Aceh kepada
Gubernur sipil dan militer 132. Dan dibantu oleh asisten residen juga kontrolir.
Pada tahun 1936 Aceh dijadikan keresidenan. Residen Aceh yang pertama adalah
J. Jongejans (1936-1940) 133. Sebelum Aceh dijadikan keresidenan, Belanda sudah
membentuk dan mengelompokkan pemerintahan Aceh kedalam 5 afdeeling
(dipimpin oleh seorang yang dinamakan asisten residen dari kalangan Belanda).
Kelima afdeeling itu adalah

(1) Afdeeling Grote Atjeh, terdiri dari 4

onderafdeeling (dipimpin oleh seorang kontrolir dari kalangan Belanda), yaitu;
Kutaraja, Seulimum, Lhoknga dan Sabang. (2) Afdeeling Noord Kust van Atjeh,
terdiri dari 6 onderafdeeling yaitu: Pidie, Meurdue, Bireuen, Lhokseumawe dan
Lhoksukon dan Takengon (3) Afdeeling Ostkust van Atjeh terdiri dari 4
onderafdeeling, yaitu; Idi, Langsa, Tamiang dan Serbojadji. (4) Afdeeling West
Kust van Atjeh terdiri dari 5 onderafdeeling yaitu: Pulo Raja. Meulaboh,

131

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, Bertarung Untuk Kepentingan
Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Dearah, Jakarta: Grafiti. 1992, hlm.
16.
132
J. Jongejans, op.cit., hlm. 304.
133
Munawiyah, op.cit., hlm. 77.

Universitas Sumatera Utara

Tapaktuan, Simeulue dan Singkil. (6) Afdeeling Alaslanden yang membawahi
onderafdeeling Kutacane 134.
Langkah selanjutnya adalah membagi Aceh secara keseluruhan menjadi 2
sistem pemerintahan. Yaitu

sistem pemerintahan

langsung

dan

sistem

pemerintahan tidak langsung. Pemerintahan langsung artinya, daerah yang
langsung diperintah oleh Belanda, meliputi Aceh Besar, Singkil dan juga ibukota
afdeeling dan onderafdeeling (Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi,
Langsa, Kuala Simpang, Calang, Meulaboh dan Tapaktuan) .
Pemerintahan tidak langsung yaitu pemerintahan yang diperintah oleh
uleebalang atau juga disebut swantara/zelfbestuur yang telah menandatangani
perjanjian dan kedudukannya telah dikukuhkan oleh pemerintah (Hindia
Belanda) 135. Salah satu daerah pemerintahan tidak langsung adalah Samalanga.
Yang berada di bawah kekuasaan afedeling Noordkust van Atjeh dan
onderafdeeling Bireuen. Selain Samalanga, Peusangan dan Gelumpang Dua 136
juga berada di bawah onderafdeeling Bireuen.
Perjanjian dengan Belanda telah membuat uleebalang harus mengikuti
sistem yang dijalankan oleh kolonial. Loyalitas dan kesetian uleebalang selalu
dipantau oleh Belanda melalui kontrolir yang terdapat pada setiap daerah, jika ada
uleebalang yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh Belanda, maka tidak

134

A. Kruisheer, op.cit., hlm. 282-295.
J. Jongejans, op.cit., hlm. 312.
136
J. Kreemer, Atjeh; Algemeen Samenfattend Overzicht van Land en Volk
van Atjeh en Onderhoorigheden. Jilid 1, Leiden: E. J. BRILL, 1922, hlm. 73.
135

Universitas Sumatera Utara

jarang dari mereka yang langsung dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh
keturunan uleebalang itu sendiri 137.
Proses memecat atau melantik uleebalang juga sudah dikuasai oleh
Belanda dan tidak harus menerima sarakata lagi dari sultan. Namun bukan hanya
kekerabatan saja yang dijadikan sebagai syarat menjadi uleebalang pengganti,
kemampuan, loyalitas, integritas juga dipertimbangkan oleh Belanda. Hal ini jauh
berbeda dengan sistem turun temurun yang dijalankan oleh uleebalang sebelum
Belanda masuk.
Sistem terdahulu, mewajibkan uleebalang

memimpin hingga akhir

hayatnya. Walaupun ada diantara mereka yang berbuat tidak sesuai dengan norma
dan keinginan masyarakat, misalnya monopoli dagang dan lain sebagainya.
Apapun tindakan uleebalang yang menyalahi aturan, adat tetap tidak boleh
mengganti uleebalang tersebut. Jika uleebalang melakukan sesuatu yang
dianggap melanggar perjanjian dengan Belanda, maka tak jarang Belanda
langsung mengganti uleebalang yang berbuat curang itu, misalnya, Teuku
Muhammad Thayeb (uleebalang Peurlak), Teuku Umar (uleebalang Keumangan)
yang dipecat Belanda karena melakukan penyelewengan dan zalim selama masa
pemerintahannya 138
Uleebalang Samalanga, Teuku Chik Raja Bugis digantikan karena
meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yaitu Teuku Chik Muhammad Ali

137
138

Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 21.
A. J. Piekaar, op.cit., hlm. 13

Universitas Sumatera Utara

Basyah 139. Jabatan diturunkan kepada Teuku Chik Muhammad Ali Basyah, bukan
serta-merta berdasarkan hubungan darah seperti konsep pada pemerintahan
tradisional. Belanda juga memperhatikan syarat-syarat secara tekhnis lainnya yang
lebih rasional, karena pada saat yang bersamaan, Teuku Sjeh Kobat yang juga
merupakan keturunan Teuku Chik Raja Bugis merasa dirinya layak untuk menjadi
uleebalang Samalanga, dan Belanda mempercayakannya pada Teuku Ali Basja.
Teuku Sjeh Kobat hanya dijadikan imeum mukim di mukim II Teunong 140,
karena Teuku Sjeh Kobat gemar menggunakan candu 141. Namun untuk
menjalankan tugasnya uleebalang masih menggunakan pola lama yaitu dibantu
oleh orang-orang bawahannya yang sama persis seperti sebelum Belanda masuk.
seperti imeum mukim, kadli, keutjik banta dan lain sebagainya.
Guna memperlancar tugas uleebalang, maka pada tahun 1881 142
pemerintah kolonial mengesahkan kekuasaan peradilan kepada uleebalang.
kekuasaan seperti ini semula hanya berlaku di Aceh Besar, hingga akhirnya
berlaku di seluruh daerah Aceh. Peradilan tersebut mempunyai dua tingkatan,
yaitu landschap gerecht dan musapat. Landschap gerecht adalah pengadilan
tingkat pertama. Uleebalang bertindak sebagai hakim tunggal. Sedangkan
musapat adalah pengadilan wilayah yang diketuai oleh kontrolir setempat, dengan
2 orang hakim yang berasal dari uleebalang kenamaan dari daerah tersebut.

139

Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,

hlm. 90.
140
141

Doup, op.cit., hlm. 17.
Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, op.cit.,

hlm. 103.
142

Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan pertama mempunyai hak dan wewenang untuk mengadili
perkara yang tidak mampu didamaikan oleh keutjik dan imeum mukim, dengan
nilai perkara perdata kurang dari f100. Dalam memproses suatu perkara imeum
mukim, keutjik dan tersangka hanya hadir sebagai saksi. Bila perkara yang
diselesaikan berkaitan dengan agama, uleebalang mengundang kadhi sebagai
penasihatnya. Namun kekuasaan pengadilan sepenuhnya berada di tangan
uleebalang. Jika nilai perkara melebihi dari nilai perdata di atas maka perkara ini
akan dibawa ke lembaga peradilan musapat yang akan disidangkan secara teratur.
Sebelum menyidangkan perkaranya, maka pihak berperkara harus
membayarkan uang pengurusan terlebih dahulu, yang jumlahnya 10% dari jumlah
nilai yang diperkarakan. Bagi uleebalang ini juga merupakan pendapatan
tambahan di samping pendapatan tetap lainnya. Disebut sebagai pendapatan tetap
lainnya adalah, karena uleebalang telah dibebankan tugas oleh pemerintah
kolonial maka uleebalang mendapatkan gaji bulanan, yang nilainya variatif
tergantung pada senioritas dan potensi wilayah yang dipimpinnya.
Gajinya berkisar antara f 80 s/d f 239 143. Gaji yang diterima uleebalang
Samalanga juga berkisar antara jumlah di atas, karena hasil bumi Samalanga
hanya lada, pinang, padi dan lain sebagainya. Terdapat perbedaan yang sangat
jauh dengan gaji uleebalang Peurlak yaitu f2000, karena daerahnya memiliki
tambang minyak.

143

Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

Sejak tahun 1912 pemerintah Kolonial-Belanda menetapkan peraturan
baru, dengan cara memperbaiki sistem keuangan di Aceh. Pemerintah HindiaBelanda mendirikan lembaga pemerintahan yang dinamakan landschapkassen,
yaitu kas-kas nanggroe 144. Pada 1 Januari

1912 dengan ketetapan Gubernur

tanggal 14 Oktober 1911 No. 257/P.Z didirikan kas daerah pada seluruh
kenegerian di Aceh, kecuali Peurlak, Trumon dan Goyo lues. Kas-kas tersebut
didirikan di Meurdu, Calang, Simeulu, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Takengon,
Langsa, Tamiang, Serbojadi, Meulaboh, dan Tapaktuan.
Landschapkassen mengelola uang yang diperoleh dari tiap-riap nanggroe
yang terintegrasi kedalamnya. Hasil bumi seperti Lada, Pinang, dan lain-lain akan
dikelola oleh landschapkassen. Selain itu kegiatan ekspor impor juga telah diatur
oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Padahal sebelum Belanda masuk, ekspor
impor merupakan kekuasaan uleebalang sepenuhnya 145.
Kas-kas tersebutlah yang mengatur keuangan tiap nanggro. Kemudian
digunakan bagi pembangunan nanggroe dan menggaji uleebalang. Gaji
uleebalang pada setiap nanggroe tergantung kepada penghasilan di nanggronya
dan keperluan lainnya. Uleebalang telah masuk kedalam sistem pemerintahan
yang dibuat oleh Belanda, namun uleebalang tetap masih menerima hak mereka
sebagai penguasa adat, seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.

144

Kreemer, op.cit., hlm. 155.
Salah satu contohnya seperti impor opium, pada tahun 1919
pemerintahan Hindia-Belanda telah mengeluarkan peraturan yang tertuang dalam
staatblad No. 822. Bahwa setiap proses impor opium harus mendapatkan izin dari
pemerintahan Hindia-Belanda dan mematuhi sarat dan ketentuannya
145

Universitas Sumatera Utara

3.3. Pembangunan Sarana dan Prasarana
Daerah Aceh telah dikuasai Belanda. Sistem pemerintahan juga sudah
dibenahi Belanda. Kini saatnya Belanda meniti tujuan awalnya menjajah, yaitu
ingin mengeruk hasil bumi dari negeri jajahannya dan memperkaya negeri
asalnya. Untuk memperlancar semua usaha Belanda di Aceh, maka sejak awal
meletus perang Aceh dan Belanda, pemerintahan Hindia-Belanda pun sudah
membangun infrastruktur modern di Aceh. Seperti jalan raya, jalan kereta api,
pasar, pelabuhan dan juga berbagai sarana komunikasi.
Infrastruktur

semakin

meningkat

setelah

perang

berakhir,

guna

kepentingan ganda yaitu, ekonomi dan keamanan 146. Selain kedua fungsi tersebut
Gubernur H. N. A. Swart 147 berpendapat, percepatan pembangunan Aceh, guna
menyadarkan rakyat Aceh akan kekuatan kita (Belanda). Dan juga menimbulkan
rasa percaya mereka kepada kita dan juga membuat mereka lupa akan pahitnya
peperangan yang telah kita buat.
Pada awalnya pembangunan infrastruktur hanya di bangun di Aceh besar
saja. Seperti kereta api dari pelabuhan Ulelhe ke Kutaraja sepanjang 5 KM 148,
untuk mengangkut minyak maupun logistik lainnya yang diperlukan oleh

146

Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 11.
Abubakar (alih bahasa/penerjemah) Memori Umum Daerah Aceh oleh
Gubernur H.N.A Swart dan Memori Serah Terima Jabatan Gubernur A.H.
Philips. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1978, hlm. 1.
148
Sudirman, Sejarah Pelabuhan Ulelhe, Banda Aceh: Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, 2007, hlm. 11.
147

Universitas Sumatera Utara

kolonial. Kepala pembangunan dan pengoperasian kereta api Aceh (Atjeh-Tram)
adalah Mayor Caspersz G.P.J 149.
Jalur kereta api tersebut sepanjang 5 KM, yang selesai pada tahun 1875.
Jalur kerata api ini mulai beroperasi rutin pada 1876 150. Tahun 1899
pembangunan kereta api baru mulai dilaksanakan di luar Aceh Besar 151, yaitu
jalan menuju pantai Utara dan Timur Aceh. Pada tahun 1901-1904 pembangunan
rel kereta api telah selesai mulai dari Sigli, Samalanga hingga Lhokseumawe.
Peusahaan kereta api Aceh memiliki tujuh depot lokomotif yang berada di
Kutaraja, Padang Tiji, Sigli, Samalanga, Lhokseumawe, Idi dan Langsa. Untuk
stasiun kereta api, rute Kuta raja menuju Langsa memiliki stasiun di beberapa
daerah yaitu, Kutaraja, Sigli, Samalanga, Bireuen. Lhoksumawe, lhoksukon, Idi
dan Langsa 152.
Pembangunan rel kereta api semakin diperpanjang hingga Pangkalan
Brandan, yang selesai pada 1917 153. Setelah rel kereta api menuju Medan telah
rampung, memudahkan ekspor beras dan juga pinang dari Aceh Utara (juga

149

Caspersz, G. P. J, Eene Verdediging van het Beleid den Exploitatie van
den Atjeh-Tramweg, Koeta-Radja: SN. 1907, hlm. 52.
150
J. Kreemer, Atjeh; Algemeen Samenfattend Overzicht van Land en Volk
van Atjeh en Onderhoorigheden. Jilid II, Leiden: E. J. BRILL. 1922, hlm. 72.
151
Ibid., hlm. 73.
152
Sudirman, op.cit., hlm. 16.
153
Kremeer, op.cit., hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara

Samalanga)

ke

daerah

Sumatera

Timur 154.

Khusus

untuk

Samalanga

menghasilkan beras kering 60 pikol beras/HA 155.
Pasokan beras dari Samalanga semakin meningkat setelah dibangun dua
irigasi di Samalanga. Yaitu irigasi di Paya La’ot dan di sebelah Krueng
Samalanga (Sungai Samalanga) pada tahun 1929-1932 156. Pada tahun yang sama
juga dilakukan pembangunan irigasi di daerah Aceh Utara lainnya, yaitu di
Krueng Jeulanga, Krueng Kiran, Alue Buya, Lhoksukon, Krueng Leubu dan
masih banyak lagi daerah lain yang dibangun irigasi.
Selain

itu

pemerintah

Hindia-Belanda

juga

memperbaiki

sistem

komunikasi, dengan mendirikan kantor pos. Melalui statblaad tahun 1882 nomor
14 kantor pos didirikan di Kutaraja, Ulelhe, Idi dan Lhokseumawe 157. Selain
Lhokseumawe, di Aceh Utara (Bireuen) juga didirikan kantor pos. Untuk
berkomunikasi dengan luar Pulau Sumatera, pemerintah kolonial membangun
kantor telegraf di Penang, untuk kepentingan komunikasi dengan Jawa dan juga
Singapura 158.
Lima tahun kemudian, tahun 1887 di Aceh juga didirikan kantor telegraf
yaitu di Kutaraja. Kemudian pada tahun 1892 telegraf mulai berkembang dan
semakin berkembang dan juga telah didirikan di Sabang, Sigli, Lhokseumawe,
Bireuen,

Langsa,

Kuala

Simpang,

Singkel,

Sinabang

dan

Tapaktuan.

154

A.J. Piekaar, op.cit., hlm. 52.
De Rijkdom van Atjeh: Uit Gegeven Door Het Atjeh-Instituut
Amsterdam 1923, hlm. 23.
156
Abu Bakar, op.cit., hlm. 57.
157
J. Kreemer, op.cit., hlm. 85.
158
Ibid., hlm. 85.
155

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan komunikasi berkembang pesat disepanjang Pantai Utara dan Timur
Aceh. Pada tahun 1899 kawat telepon dari Samalanga telah tersambung ke
Kutaraja 159. Samalanga juga dibangun lapangan udara atas tanah pemberian
uleebalang pada 1928 160.
Oleh karena pendapatan nanggroe tidak stabil, maka sebagian dari dana
pembangunan tersebut dibebankan kepada negara. Hingga akhirnya pada 1925
keluar kebijakan untuk menggabungkan beberapa nanggro menjadi satu, guna
mengurangi anggran nanggro. Pada kasus ini juga terjadi di Samalanga 161, yaitu
meminta Teuku Sabi dari Ulegle dan mukim II menjadi bagian dari Samalanga.
Ternyata kedua belah pihak menolak untuk dijadijkan menjadi satu dengan
berbagai pertimbangan.

159

Ibid., hlm. 89.
Jongejans, op.cit., hlm. 274.
161
Abu Bakar, op.cit., hlm. 23.

160

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KEHIDUPAN ULEEBALANG
Setelah Belanda masuk ada abad ke-19, Aceh mengalami perubahan dan
hkususnya Samalanga. Sarana dan prasarana yang dibangun demi memajukan
perekonomian, ternyata juga menyebabkan banyak perubahan pada masyarakat.
Lembaga-lembaga birokrasi juga mulai dibangun oleh Belanda, dan tentunya akan
sangat membutuhkan banyak pekerja. Jika para pekerja tersebut semua diangkut
dari negeri Belanda maka akan membutuhkan modal yang besar pula. Oleh sebab
itu muncullah inisiatif untuk memberikan pendidikan modern kepada pribumi,
terutama kalangan bangsawan/uleebalang.
Cara-cara seperti inilah yang menyebabkan pergeseran budaya pada
masyarakat pribumi. Kedudukan uleebalang merupakan kedudukan yang paling
rentan atas perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
kebijakan Belanda, berdampak terhadap masyarakat, hubungan sosial uleebalang¸
gaya hidup uleebalang dan lain sebagainya yang akan menjadi fokus pengkajian
dalam bab berikut ini.
4.1. Pendidikan
Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam. Adat dan kebudayaan juga
berasazkan Islam, Islam telah membawa model baru dalam pendidikan di Aceh
(sebelumnya Hindu-Budha). Langkah awal menanamkan pendidikan Islam pada

Universitas Sumatera Utara

rakyat Aceh, terutama anak-anak adalah dengan membiasakan/mengajarkan
pokok-pokok ibadah dalam agama Islam, oleh orang tua masing-masing 162.
Kemudian seiring dengan bertambahnya penduduk di sebuah gampong,
maka sistem pendidikannya pun semakin dibenahi, pada setiap gampong terdapat
sebuah bangunan yang dinamakan meunasah. Gunanya sebagai tempat menuntut
ilmu-ilmu agama terutama bagi anak laki-laki, melakukan ibadah, tempat
musyawarah dan lain sebagainya 163.
Di meunasah, yang bertugas memberikan materi adalah seorang imeum
meunasah, jika sedang menjalankan proses belajar mengajar maka para murid
duduk secara melingkar mengelilingi (tidak menggunakan meja, bangku dan juga
papan tulis) imeum meunasah atau sering disebut dengan tengku, ilmu yang
diajarkan juga hanya sebatas amalan-amalan yang wajib dilakukan dalam agama
Islam, ditambah dengan mengaji Al-qur’an. Tidak ada kurikulum yang mengikat
sistem belajar di meunasah, juga tidak ada jenjang pendidikan. Murid dianggap
tamat jika telah mahir membaca Al-qur’an.
Selanjutnya ada juga yang dinamakan rangkang. Yaitu bangunan yang
didirikan di sekitar Masjid dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang setara
dengan lembaga pendidikan tingkat menengah 164. Kemudian lembaga pendidikan
yang paling dikenal di Aceh adalah yang disebut dengan dayah.

162

Zakaria Ahmad, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah, 1984, hlm. 12.
163
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, Monografi Daerah Istimewa
Aceh, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1979, hlm. 130
164
Zakaria Ahmad, op.cit., hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

Dayah biasanya didirikan oleh seorang yang mendalami Islam dan
mempunyai pengetahuan tentang Islam setingkat lebih tinggi daripada
masyarakat 165. Rangkang dan dayah sudah memberikan pengetahuan yang lebih
luas lagi seperti misalnya ilmu fiqh, nahwu, sharaf, tafsir. Pada tingkat Rangkang
dan dayah, banyak terdapat murid-murid dari luar daerah dayah dan rangkang
tersebut.
Tradisionalisme dayah sangat kuat dipertahankan oleh ulama sebagai
pendiri sekaligus pemimpinnya, tak jarang pula dayah mengisolasi diri dan
membangun dayah jauh dari perkotaan. Mereka mengharamkan semua perubahan
dan memustahilkan semua penemuan yang sifatnya baru. Mereka mengatakan
bahwa penemuan-penemuan baru itu hanyalah untuk orang kafir, sedangkan umat
Islam harus senantiasa berpegang kepada apa yang terdapat dalam kitab-kitab
karangan ulama-ulama terdahulu yang, menurut mereka, telah mencapai derjat
keramat dan mulia di sisi Allah 166.
Sistem seperti tersebut diatas terus berjalan hingga Belanda menguasai
Aceh. Bahkan setelah banyak pembaharuan, pendidikan tradisional juga terbuka
untuk hal-hal yang baru, meskipun proses tersebut memakan waktu panjang.
Pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh pemerintahan
Hindia-Belanda, seperti yang telah dijelaskan di atas juga dilakukan dalam bidang
pendidikan Tujuan utama Belanda mendirikan lembaga pendidikan di Aceh terdiri

165

Isa Sulaiman, op.cit., hlm. 32.
Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah, dalam Agama dan
Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali 1983, hlm. 163.
166

Universitas Sumatera Utara

dari 2 alasan 167 yaitu; (1) sejalan dengan politis etis, yang salah satu tujuannya
adalah untuk mendapatkan pegawai administratif yang terampil, Pegawai-pegawai
yang berasal dari kalangan pribumi dijadikan sebagai aparat yang efektif dalam
melancarkan sistem ekonomi dan struktur birokrasi kolonial. (2) diharapkan
munculnya satu kelompok elit baru yang menganut sistem nilai Belanda. Target
utama dalam program pendidikan adalah kalangan uleebalang 168. Bahkan puteraputeri uleebalang difasilitasi pakaian, uang sekolah dan juga kendaraan antar
jemput dari rumah ke sekolah 169.
Tahun 1900 mulailah diperkenalkan sistem pendidikan pemerintah
kolonial Belanda di Aceh. Pada akhirnya juga didirikan bagi masyarakat biasa.
Sekolah Belanda yang terdapat di Aceh adalah volkschool (dengan masa belajar 3
tahun), Vervolgschool (lama belajar dua atau tiga tahun). Meisjesschool (dengan
masa belajar dua atau tiga tahun). De 2de klassescholen (sekolah-sekolah kelas
dua), (Inlandsche School, Europeesche Lagere School (dengan masa belajar tujuh
tahun), Holandsch Inlandsche School atau H.I.S. (dengan masa belajar tujuh
tahun).
Hollandsch Chienesche School atau H.C.S. (lamanya belajar tujuh tahun)
dan sekolah ini khusus untuk anak-anak orang Cina, Hollandsch Ambosche
School (lamanya belajar juga tujuh tahun dan sekolah ini khusus untuk anak-anak

167

Munawiyah, op.cit., hlm. 137.
Abu Bakar, op.cit., hlm. 45.
169
Ibid., hlm. 46.
168

Universitas Sumatera Utara

orang Ambon yang berdinas pada militer Belanda), dan Voorbereidend Onderwijs
atau yang disebut Frobelschool (sejenis sekolah taman kanak-kanak) 170.
Pada awal berdirinya, sekolah Belanda mengalami berbagai kesulitan di
antaranya, bahasa pengantar, karena guru yang dijadikan sebagai pengajar
kebanyakan berasal dari luar Aceh dan tidak mahir dalam menggunakan bahasa
Aceh. Sehingga pemerintah menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar.
kesulitan selanjutnya datang dari anggapan orang tua, terutama pada kaum
perempuan. Mereka lebih memilih menyerahkan pendidikan putera-puterinya
kepada lembaga pendidikan tradisional, yang proses belajar mengajarnya hanya
sore hari saja, dan waktu selebihnya bisa digunakan untuk membantu orang tua di
rumah dan juga membantu di sawah.
Kesulitan yang paling berat adalah penanaman pemahaman yang telah
dilakukan oleh ulama-ulama yang sangat mereka hargai. Bahwa sekolah yang
dibuat Belanda adalah sekolah kafir 171. Agar sekolah yang didirikan dapat
diterima di masyarakat, Belanda meminta bantuan kepada uleebalang untuk
menjelaskan kepada masyarakatnya, bahwa sekolah Belanda tidak bertentangan
dengan agama. Usaha uleebalang berhasil sedikit demi sedikit.
Sekolah yang didirikan oleh Belanda tersebar keseluruh daerah Aceh. di
nanggro Samalanga terdapat 3 jenis sekolah Belanda yaitu; Volkschool,
Inlandsche Vervolg, Vervorlgschool met Landbouwklas 172. Oleh karena HIS, ELS
(sekolah yang mengutamakan putera-puteri uleebalang) tidak terdapat di

170

Zakaria Ahmad, op.cit., hlm. 40.
Ibid., hlm. 4.
172
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 141.

171

Universitas Sumatera Utara

Samalanga, maka untuk lanjut ke sekolah tersebut harus merantau dari
Samalanga.
Teuku Hamid Azwar dan juga saudara-saudaranya yang lain melewati
pendidikan ELS dan HIS nya di Ulelhe. Sekolah lanjutan (MULO) juga tidak ada
di Samalanga. Satu-satunya (MULO) yang ada di Aceh beradi di Kutaraja,
didirikan pada 1922. Sebagian besar dari keturunan Teuku Bahrumsah juga
mendapatkan pendidikan tertinggi pada sekolah MULO. Untuk mendapat
pendidikan di MULO banyak dari mereka yang berhijrah ke Kutaraja (Banda
Aceh).
Sistem pembelajaran yang diberikan oleh Belanda sudah lebih modern,
denan

menggunakan bangku dan meja belajar. Di sekolah Belanda sudah

mempelajari huruf-huruf latin, karena bagi Belanda untuk masuk kedalam
administrasi pemerintahan Belanda tidak cukup sekedar memahami ajaran agama
saja. Bahkan jabatan yang paling rendah sekalipun harus pandai baca tulis.
Menuntut ilmu di sekolah Belanda membuat keturunan uleebalang
Samalanga mampu memahami baca tulis huruf latin, bahkan terdapat diantara
mereka yaitu Teuku Daud dan Teuku Hamzah yang pandai berbahasa Belanda 173.
Di sisi lain rakyat Aceh meyakini jika mempelajari huruf-huruf latin, maka kelak
di alam baka akan dihukum dengan memotong tangan 174. Bahkan, pada kalangan
masyarakat yang sudah terbuka dan memasukkan putera-puteri mereka ke sekolah

173

Wawancara, dengan Pocut Naimah, Gampoeng Baroe, kec Samalanga
3 Desember 2016.
174
Anthony Reid, 2012. op.cit., hlm. 32.

Universitas Sumatera Utara

Belanda akan mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat sekitar, dengan cara
diejek dan dijauhi 175.
Untuk meningkatkan minat uleebalang memasukkan putera-puteri mereka
masuk

sekolah

milik

pemerintahan

Hindia-Belanda,

maka

pemerintah

memfasilitasi putera-puteri uleebalang dengan kendaraan antar jemput menuju
sekolah. Ilmu yang diberikan pada sekolah-sekolah Belanda jauh berbeda dengan
ilmu yang dipelajari pada sekolah tradisional.
Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ini diantaranya adalah bahasa
Belanda (dalam hal ini sangat ditekankan pada berbicara dan dapat menulis
dengan baik), berhitung, ilmu bumi, sejarah, biologi, melukis dan olah raga.
Pelajaran-pelajaran ini sebagian diberikan dalam bahasa Belanda dan sebagian
dalam bahasa Melayu. Para pendidik/guru pada umumnya terdiri dari orang-orang
pribumi, akan tetapi semua guru kepala pada sekolah ini dipegang oleh orangorang Eropa atau Belanda 176
Uleebalang Samalanga juga tidak meninggalkan pendidikan tradisional
bagi anak-anaknya. Cara yang digunakan Teuku Muhammad Ali Basyah agar
putera-puterinya mendapat pengetahuan agama berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Jika masyarakat mempercayakan meunasah, dayah dan rangkang,
maka Teuku Muhammad Ali Basyah memiliki cara yang khusus dengan meminta
bantuan ulama untuk mengajarkan putera-puterinya ilmu agama.
Ulama-ulama tersebut adalah, Teungku Harun untuk mengajarkan mengaji
Al-qur’an dan tajwidnya, Teungku Abdul Salam Meuraxa, untuk mengajarkan
175
176

Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 143.
Jongejans, op.cit., hlm. 261.

Universitas Sumatera Utara

ilmu tauhid, Teungku Zainun dan Teungku Muhammad, untuk mengajarkan ilmu
fiqh 177. Diluar ilmu agama, untuk mendapatkan pendidikan modern Teuku
Muhammad Ali Basyah mempercayakan kepada sekolah-sekolah Belanda dari
volkschool hingga MULO. Teuku Hamid Azwar adalah salah satu dari putra
Teuku Muhammad Ali Basyah yang mendapatkan pendidikan di MULO.
Teuku Bahrumsyah juga menerapkan hal yang demikian kepada puteraputerinya 178. Yaitu memberikan pendidikan Belanda kepada putera-puterinya
mulai dari voolkschool hingga MULO. Bahkan 2 diantara putra Teuku
Bahrumsyah, yaitu Teuku Iskandar dan Teuku M. Daud mendapat pendidikan di
OSVIA Bandung 179. Namun terdapat perbedaan antara Teuku Bahrumsyah dan
Teuku Muhammad Ali Basyah, Teuku Bahrumsyah lebih memilih pendidikan
meunasah untuk para putera-puterinnya 180.
Pendidikan Belanda yang diterima uleebalang, lingkungan yang dikelilingi
orang-orang Belanda dan komunikasi secara sering dengan Belanda membuat
mereka terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Belanda.
Sehingga sebagian dari mereka meniru pola-pola hidup atau gaya hidup Belanda.
Namun disisi lain, sekolah Belanda juga mendatangkan keuntungan,
dengan menjadikan MULO sebagai sekolah bagi putera-puteri uleebalang. Puteraputeri uleebalang yang berjiwa nasionalis, menjadikan MULO sebagai wadah
yang bisa menyatukan mereka dan melawan segala penjajahan. Misalnya dengan
membentuk satu oraganisasi yang bertujuan untuk memerdekakan Indonesia.
177

A.K. Jakobi, op.cit., hlm.46.
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
179
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
180
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
178

Universitas Sumatera Utara

Salah satu organisasi yang didirikan adalah PARINDRA (Partai Indonesia Raya)
yang salah satu pendirinya adalah Teuku Hamid Azwar.
Teuku Chik Muhammad Ali Basyah juga uleebalang lainnya juga aktif
dalam Sarikat Islam 181. Golongan uleebalang yang telah mendapatkan pendidikan
pada sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda mulai berfikir secara terbuka
dan mulai menerima teori-teori yang lebih modern dan yang mereka anggap
mampu membangun Aceh kelak.
Selain sekolah Belanda, lembaga pendidikan tradisional (dayah) di Aceh
pun mengalami pembaruan, dan awal pembaruan dipelopori oleh Tuanku Raja
Keumala 182, dengan suratnya tanggal 22 Oktober 1915, Tuanku Raja Keumala,
meminta izin kepada Gubernur Militer dan Sipil Swart, untuk mendirikan sebuah
madrasah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), dengan nama Madrasah Khairiyah.
Tahun 1906 Gubernur Militer dan Sipil Swart mengizinkan permintaan
Tuanku Raja Keumala mendirikan juga Madrasah Khairiyah. Dengan mengambil
tempat halaman belakang mesjid Baitur Rahman Kutaraja. Fasilitas untuk
menunjang proeses belajar mengajar juga sudah lebih baik lagi, dengan
menggunakan bangku, meja dan papan tulis, sama halnya dengan sekolah yang
didirikan oleh Belanda 183
Pada akhirnya, dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional juga
mengalami perubahan ke arah yang lebih modern lagi, dan berkembang hingga
keluar Aceh Besar. Pada tahun 1928 didirikan di Idi Madrasah Ahlussunah Wal-

181

A. K. Jakobi, op.cit., hlm. 51.
Ismuha, op.cit., hlm. 22.
183
Ibid., hlm. 24.

182

Universitas Sumatera Utara

jamaah oleh Syed Husin, Al-Islam Peusangan

oleh Teungku Abdulrahman

(1930) di bawah perlindungan penguasa Peusangan, Jamiatuddiniyah Almustaslah didirikan pada 1931 oleh Teungku Syeh Ibrahim di Montasik 184. Di
Samalanga juga berdiri sekolah Islam modern yaitu Madrasah Nasakinah di
bawah pimpinan Teungku Syeh Abdul Hamid 185.
Pemikiran-pemikiran Islam modern masuk ke Aceh, melalui ulama-ulama
reformis yang menuntut ilmu keluar Aceh, seperti ke Sumatera barat dan bahkan
banyak juga yang langsung belajar ke Mekkah. Guna mendalami paham-paham
ulama besar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan reformisreformis lainnya 186.
Teuku Zainal Abidin dan Teuku Zainun juga pernah menuntut ilmu ke
Mekkah 187. Salah satu Ulama Samalanga yang sangat berperan dalam membawa
pembaharuan pendidikan Islam adalah Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga
(ayah Hamid) dan Teungku Raja Bujang Lhokseumawe.
4.2. Kendaraan Pribadi Uleebalang
Sebelum Belanda masuk ke Aceh, transportasi masyarakat Aceh seharihari adalah gerobak yang ditarik oleh tenaga hewan ataupun manusia. Alat
transportasi baik untuk barang ataupun untuk transportasi bagi manusia, alat
transportasi ini hanya mampu mengangkut 300-400 KG barang/manusia 188. Selain
itu, masyarakat menggunakan gajah untuk transportasi militer, baik mengangkut
184

Anthony Reid, 2012. op.cit., hlm. 34.
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 144.
186
Ismuha, op.cit., hlm. 165.
187
Wawancara, dengan Pocut Naimah, Gampoeng Baroe, kec Samalanga.
3 Desember 2016.
188
Kremeer, Jilid II. op.cit., hlm. 79.
185

Universitas Sumatera Utara

pasukan perang dan juga logistik kebutuhan perang. Untuk mengangkut
kebutuhan sehari-hari sebagian dari mereka hanya menggunakan kekuatan sendiri
yaitu dengan menaruh barang bawaan di atas kepala mereka, cara lain dengan
membuat keranjang dari rotan dijadikan sebagai tempat barang dan membawanya
dengan cara meletakkan keranjang tersebut pada badan badian belakang.
Alat transportasi seperti gerobak yang ditarik oleh tenaga hewan umumnya
hanya dimiliki pedagang besar dan uleebalang saja. Jika masyarakat ingin
menggunakan jasa transportasi maka mereka akan menyewanya kepada pemilik
gerobak, biasanya digunakan untuk mengangkut hasil-hasil panen mereka. Biaya
yang dikenakan untuk transportasi tergantung kepada jarak yang ditempuh,
biayanya berkisar antara f 1 s/d f 5 189.
Transportasi mulai berkembang setelah Belanda menyelesaikan proyek
Atjeh-Tram (kereta api aceh), tepatnya pada tahun 1922, jumlah kendaraan
khususnya sepeda (rijwielen) telah masuk ke Aceh dalam jumlah yang besar.
Sepeda berjumlah 982 dan mobil (automobielen) berjumlah 403 (hanya untuk
Pantai Utara dan Timur Aceh) dan 24 buah sepeda motor (motorfietsen) pada
umumnya yang mampu memiliki kendaraan tersebut hanya Belanda dan
uleebalang.
Uleebalang mampu memiliki mobil, sepeda dan sepeda motor melalui
program pinjaman dari landscapekassen pada tiap-tiap daerahnya 190. Pengadaan
kendaraan juga disediakan/disewakan untuk umum, yang mampu mengangkut
sekitar 20 orang sewa, dan tarif ongkosnya juga tergantung jarak yang ditempuh.
189
190

Kremeer, loc. cit.,
Ibid., hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara

Kemajuan-kemajuan dalam bidang transportasi ini memang sangat
dinikmati oleh kalangan uleebalang. Uleebalang Samalanga pada masa
pemerintahan Teuku Bahrumsyah sudah memiliki dua (2) mobil. Salah satunya
milik Teuku Bahrumsyah sendiri dan yang lainnya adalah milik adik laki-lakinya
yaitu

T.

Sulaiman,

dan

mobil

tersebut

kemudian

diberikan

kepada

keturunannya 191. Selain untuk keperluan pekerjaan, mobil juga digunakan untuk
berekreasi.
Uleebalang Samalanga sering malakukan kunjungan ke Aceh Besar
(Nanggro Meuraxa). Tujuan ke Aceh Besar selain berekreasi juga sekaligus
mengunjungi keluarga/kerabat yang ada di Meuraxa, karena memang uleebalang
Samalanga menjalankan kawin politik dengan uleebalang Meuraxa (putri Teuku
Muhammad Ali Basyah dengan putra uleebalang Meuraxa). Anak dan cucu
uleebalang Samalanga juga sudah menggunakan sepeda yang biasa digunakan
untuk pergi mengaji dan sekolah, sedangkan kebanyakan anak-anak pada
umumnya hanya berjalan kaki 192.
Keberadaan transportasi yang disediakan oleh Belanda pada dasarnya
menguntungkan masyarakat, karena dengan adanya alat transportasi yang
selangkah lebih modern untuk mengangkut hasil ladang dan sawah bisa dilakukan
dalam waktu yang lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan kendaraan
tradisional yang memakai kekuatan baik kuda maupun gajah.

191
192

Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

4.3. Kediaman dan Keseharian Uleebalang
Kediaman, rumah ataupun tempat tinggal merupakan suatu unsur yang
sangat kuat untuk menggambarkan kehidupan seseorang. Rumah adat di Aceh
pada umumnya atapnya hanya memakai daun rumbia dan daun nipah yang dijalin
secara rapat 193 dibangun tanpa menggunakan paku, namun hanya menggunakan
sistem ikat dan pasak tiang saja. Rumah Aceh dibangun agak tinggi dan di bawah
rumah biasanya digunakan sebagai lumbung padi dan lain-lain 194. Rumah tersebut
berbeda dengan di Samalanga. Di Samalanga terdapat bangunan rumah yang
dinamakan “rumoh mirah” yang dibangun atas bantuan Belanda 195.
Rumoh mirah merupakan bangunan yang berbentuk seperti bangunan
rumah Belanda, dan juga memakai bahan bangunan berupa batu, semen, pasir dan
juga bahan lainnya. Berbeda dengan masyarakat kebanyakan ketika itu, dan sudah
menjadi rumah adat rakyat Aceh yang hanya berbahan kayu dan

hanya

menggunakan hasil alam saja, seperti daun rumbia, bambu, kayu dan lain
sebagainya.
Di dalam rumoh mirah dibangun beberapa ruangan, seperti ruang tidur,
ruang tamu, balai, teras, dapur dan juga ada ruangan kerja khusus uleebalang.
Rumoh mirah

ditempati oleh keluarga inti uleebalang yang jumlahnya

mencapapai puluhan orang 196. Disekeliling rumoh mirah juga banyak terdapat

193

Moehammad Hosein, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 1970, hlm. 199.
194
Team Monografi Daerah Istimewa Aceh, op.cit., hlm. 72.
195
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
196
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

seperti pondok-pondok kecil sebagai tempat tinggal para pembantu di rumoh
mirah.
Di pondok-pondok tersebut juga tak jarang diisi oleh orang-orang yang
sudah tidak memiliki keluarga, janda ataupun orang yang lanjut usia. Sudah
menjadi tanggung jawab uleebalang untuk menapkahinya 197. Bentuk bangunan
rumoh mirah mirip seperti Pendopo Bupati Bireuen sekarang 198. Putera-puteri
uleebalang yang berumur dibawah 7 tahun masing-masing memiliki pengasuh,
yang berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar rumoh mirah. Pengasuh
mengerjakan segala tugas layaknya seorang ibu yang memandikan, menyuapkan
makan dan mengurusi anak tersebut 199.
Pada sore hari putera-puteri uleebalang mengikuti semacam kegiatan
belajar mengajar di sebuah meunasah (mushola), untuk belajar ilmu agama yang
diajarkan oleh imeum meunasah. Dari rumoh mirah menuju meunasah mereka
menggunakan sepeda 200. Selain pengasuh putera-puteri uleebalang, juga terdapat
pembatu rumah tangga (rakan). Dan orang yang bekerja untuk membersihkan
pekarangan rumah/tanah (ureung keurje lampoh).
Perabotan di dalam rumoh mirah, terlihat seperti perabotan yang
digunakan orang-orang Belanda, seperti sofa dan meja yang dijadikan sebagai
tempat berkumpul keluarga yang menempati rumoh mirah. Lampu yang
digunakan berupa lampu hias yang selain Belanda hanya uleebalang memilikinya.
Selain keluarga inti pembantu yang dipekerjakan untuk mengurusi urusan di
197

Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
Wawancara, dengan Teuku Aznan, Medan, 7 Agustus 2016.
199
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.
200
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.

198

Universitas Sumatera Utara

dalam rumah seperti menyapu, memasak dan lain-lain juga disediakan tempat
tinggal di salah satu sisi rumah. Tidak semua pembatu mau tinggal di dalam
rumoh mirah.
Sebagian dari mereka lebih memilih tinggal disekitar rumoh mirah dengan
berbagai alasan, semua pembantu, pekerja yang tinggal disekitar ataupun di dalam
rumoh mirah¸ biaya makannya ditanggung oleh uleebalang selama mereka masih
mengabdi kepada uleebalang. Mereka yang tidak lagi bekerja dengan uleebalang
maka harus meninggalkan rumah yang telah disediakan uleebalang untuknya.
Selain itu tepat disamping rumoh mirah terdapat semacam kantor atau
tempat uleebalang melakukan tugasnya. Balai tersebut sering digunakan untuk
tempat bermusyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan seperti
perselisihan tanah, pembunuhan dan lain sebagainya 201.
Uleebalang sebagai hakim tunggal namun dibantu oleh penasihatpenasihat lainnya yang terdiri dari imeum mukim, keutcik dan juga ulama
setempat. Dalam bekerja sehari-hari uleebalang menggunakan pakaian yang
dominan berwarna hitam, seperti menggunakan celana panjang berwarna hitam,
sepatu hitam dan terkadang memakai jas dengan baju kemeja di dalam.
Teuku Muhammad Ali Basyah gemar menggunakan pakaian yang hampir
sama juga dengan Teuku Bahrumsyah, yaitu sepatu hitam, celana hitam, baju
hitam dan memakai topi (topi Aceh) 202. Pada saat penabalan Teuku Bahrumsyah
sebagai uleebalang, beliau juga mengenakan pakaian yang sudah modern untuk
masa itu, dengan memakai celana hitam panjang, baju hitam, peci hitan dan
201
202

Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.
Wawancara, dengan Teuku Mizwar, Medan, 5 Agustus 2016.

Universitas Sumatera Utara

sepatu juga berwarna hitam, hanya saja antara baju dan celana dipakaikan lagi
kain sarung secara melingkar, yang panjangnya tidak mencapai lutut 203. Teuku
Bahrumsyah tidak menggunakan topi aceh (Kupiah Meukeutop), namun ia hanya
menggunakan peci hitam, seperti yang kebanyakan kita lihat saat ini 204
Di dalam rumoh mirah juga disediakan meja makan dan bangku untuk
tempat makan uleebalang. Namun uleebalang lebih senang makan bersama
keluarga besar yang disediakan di salah satu sisi rumoh mirah yang berbentuk
balai yang luas. Didalam balai juga disediakan sebuah meja yang menyatu dengan
laintai dan digunakan sebagai tempat menyantap makanan dan duduk secara
bersila mengelilingi meja.
Makanan yang dihidangkan berupa masakan yang khas Aceh. Namun jika
orang-orang dari pemerintahan Belanda datang berkunjung ke rumoh mirah, maka
akan dilayani dan dihidangkan makanan yang bukan masakan khas Aceh, tetapi
makanan yang biasa dimakan oleh Belanda 205. Ketika Belanda datang barulah
uleebalang makan di atas meja dan bangku yang telah disediakan. Namun sangat
disayangkan rumoh mirah tidak dirawat dan tidak ditempati dan kini hanya
pondasi rumah saja yang tersisa.
Selain rumoh