Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

KOMPOSIT
Komposit adalah perpaduan dari dua material atau lebih yang memiliki

komponen penyusun yang berbeda sehingga menjadi suatu material baru yang
memiliki potensi yang lebih baik dan unggul dari kedua bahan awalnya. Perpaduan
material tersebut terjadi dalam skala makroskopis dan terjadi ikatan permukaan
pada masing-masing material penyusunnya [32]. Bahan komposit terdiri dari
matriks yang merupakan fase tersebar dan pengisi sebagai fase terdispersi, dimana
kedua fase ini dipisahkan oleh interface [33]. Sifat bahan komposit sangat
dipengaruhi oleh sifat dan distribusi unsur penyusun, serta interaksi antara
keduanya. Parameter penting lain yang mungkin mempengaruhi sifat bahan
komposit adalah bentuk, ukuran, orientasi dan distribusi dari penguat (filler) dan
berbagai ciri-ciri dari matriks [34].

2.1.1


Matriks
Matriks merupakan salah satu komponen penyusun komposit yang bersifat

perekat dan pelindung filler (pengisi) dari kerusakan internal. Matriks akan selalu
menjaga filler atau bahan penguat tetap pada tempatnya, membantu distribusi
beban, melindungi filament di dalam struktur, mengendalikan sifat elektrik dan
kimia dari komposit, serta membawa regangan interlaminer. Matriks merupakan
penyusun utama dengan fraksi volume tersebar. Berdasarkan matriks, komposit
dapat diklasifikasikan sebagai berikut [32] :
1. Komposit Matriks Logam (menggunakan logam sebagai matriks)
2. Komposit Matriks Polimer (menggunakan polimer sebagai matriks)
3. Komposit Matriks Keramik (menggunakan keramik sebagai matriks)

2.1.2

Reinforcement (Penguat)
Penguat atau reinforcement merupakan sebuah pengisi (filler) dalam

komposit. Filler dimasukkan ke dalam matriks untuk mengurangi kontraksi


7
Universitas Sumatera Utara

polimerisasi, mengurangi koefisien muai termis komposit, meningkatkan sifat
mekanis komposit antara lain kekuatan dan kekerasan, mengurangi penyerapan air,
kelunakan dan pewarnaan [32,35].

2.2

BIOKOMPOSIT
Biokomposit adalah suatu material komposit yang merupakan gabungan

dari polimer alami sebagai fase organic dan penguat/pengisi sebagai fase
anorganiknya. Dalam pembuatan suatu biokomposit, penggunaan bahan pengisi
berskala nano menunjukkan perbaikan pada sifat fisik dan mekanik seperti tensile
strength, thermal stability bila dibandingkan dengan material konvensional lainnya.
Sifat biokomposit sangan dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan
pengisinya. Karena itu, struktur dan sifat fungsional biokomposit dapat dibuat
sesuai dengan keinginan dengan memlih bahan pengisinya [32].
Biokomposit dengan pengisi yang berukuran nano dapat disebut sebagai

bionanokomposit. Bionanokomposit merupakan material lanjut (advanced
material) yang salah satu atau semua komponennya terbuat dari bahan hayati dan
salah satunya memiliki ukuran berskala nanometer (10-9 meter). Teknologi ini
berguna untuk meningkatkan sifat individu bahan dalam hal kekuatan, struktur dan
stabilitas sehingga nantinya material yang baru akan memiliki kualitas yang lebih
baik dibandingkan dengan material penyusunnya. Perbedaan nanopartikel dengan
material sejenis yang lebih besar adalah dengan ukuran yang kecil, material
nanopartikel memiliki perbandingan luas permukaan dan volume yang lebih besar.
Ini membuat nanopartikel bersifat lebih reaktif. Ukuran filler yang kecil akan
meningkatkan interaksi antara filler dengan matriks. Interaksi tersebut mampu
mereduksi mobilitas polimer sebagai matriks sehingga meningkatkan kekuatan
komposit [36]

2.3

BIOPLASTIK
Plastik merupakan material yang dapat diolah menjadi berbagai jenis

barang, sifatnya lebih ringan dan harganya lebih murah daripada kebanyakan
material lainnya. Oleh karena itu plastik adalah pilihan pertama dalam banyak

aplikasi industri dan komersial [37]. Namun penggunaan plastik konvensional

8
Universitas Sumatera Utara

memiliki banyak kelemahan, yaitu proses produksi plastik membutuhkan sejumlah
besar energi, menghasilkan limbah yang merupakan hasil samping produksi plastik,
dan penggunaan bahan yang tidak mudah terurai. Dalam rangka menggeser
produksi plastik secara berkelanjutan, penelitian dilakukan untuk menentukan jenis
sumber daya terbarukan yang dapat dikonversi ke dalam bentuk plastik [38]. Plastik
ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah bioplastik (biodegradable plastic)
merupakan plastik yang dapat diuraikan oleh jamur atau mikroorganisme di dalam
tanah sehingga akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh plastik
sintetik. Menurut standar ASTM D-5488-94d, biodegradable berarti kemampuan
suatu bahan mengalami dekomposisi menjadi karbon dioksida, air, metana,
senyawa anorganik, atau biomassa, dimana mekanisme yang dominan adalah
aktivitas enzimatik dari suatu mikroorganisme yang dapat diukur dengan tes standar
pada rentang waktu tertentu [39]. Produksi bioplastik akan dapat membantu
meringankan krisis energi serta mengurangi ketergantungan masyarakat pada bahan
bakar fosil. Bioplastik memiliki beberapa sifat yang luar biasa yang membuatnya

cocok untuk aplikasi yang berbeda [6]. Saat ini para ilmuwan dan teknisi kreatif
tidak hanya mencoba mengadaptasikan bioplastik untuk mesin konvensional, tetapi
juga menemukan penggunaan baru dari bioplastik tersebut. Sebagai contoh, bahan
kemasan, sendok garpu sekali pakai dan pot bunga yang terbuat dari bioplastik pun
sudah tersedia [37].
Sekitar 265.000.000 ton plastik diproduksi dan digunakan setiap tahun. Saat
ini bioplastik dari sumber daya terbarukan hanya menyumbangkan bagian yang
sangat kecil dari total penjualan pasar (lebih kecil dari 1%), namun kemajuan pesat
dibidang bioteknologi dan biokimia lebih lanjut akan mendorong pasar ini
berkembang pesat [2]. Kemasan makanan dan edible film (film plastik yang terbuat
dari bahan yang dapat dimakan) adalah dua aplikasi utama dari polimer
biodegradable berbasis pati dalam industri makanan. Persyaratan untuk produk
kemasan makanan adalah menjaga makanan tetap segar, meningkatkan
karakteristik organoleptik makanan seperti penampilan, bau dan rasa, dan
menyediakan keamanan pangan [40]. Hingga hari ini, kapasitas produksi bioplastik
telah diperluas dengan angka pertumbuhan dua digit setiap tahun [2]. Hal ini

9
Universitas Sumatera Utara


menunjukkan adanya potensi bagi industri bioplastik untuk berkembang menjadi
industri besar dimasa yang akan datang.
Bioplastik merupakan bahan polimer. Polimer adalah suatu senyawa kimia
yang terdiri dari rantai molekul atau cabang (makromolekul), yang terdiri dari unit
yang sama atau mirip, yang disebut monomer. Bioplastik dapat diklasifikasikan
berdasarkan aspek-aspek berikut:
1. Polimer yang didasarkan pada bahan baku terbarukan :
a . Polimer berbasis biomassa alam
Polimer yang dihasilkan oleh organisme hidup (hewan, tumbuhan,
alga,

mikroorganisme)

yaitu

selulosa,

pati,

protein,


atau

polyhydroxyalkanoat dari bakteri
b . Polimer berbasis biomassa sintetik
Polimer yang monomernya didasarkan pada bahan baku terbarukan
tetapi yang polimerisasinya membutuhkan transformasi kimia, mis PLA,
etilena, poliamida
2 . Polimer yang meliputi " biofunctionality " :
a . Polimer untuk aplikasi biomedis
b . Polimer biodegradable
Polimer yang digunakan dalam produk biodegradable dan karena itu dapat
didaur ulang secara organik [41].
Kebanyakan bioplastik merupakan campuran yang mengandung komponen
sintetik, seperti polimer dan aditif, untuk meningkatkan sifat fungsional produk jadi
dan untuk memperluas jangkauan aplikasi. Jika bahan aditif dan pigmen yang
digunakan juga dapat dibuat dari sumber daya terbarukan, maka dapat diperoleh
polimer dengan biodegradasi berat sekitar 100 % dari senyawa. Tujuan bioplastik
adalah untuk meniru siklus hidup biomassa, yang meliputi konservasi sumber daya
fosil, air dan produksi CO2. Kecepatan biodegradasi bioplastik tergantung pada

suhu (50 - 70 oC), kelembaban, jumlah dan jenis mikroba. Degradasi berlangsung
cepat hanya jika ketiga persyaratan tersebut tersedia. Umumnya di rumah atau di
supermarket biodegradasi terjadi sangat rendah dibandingkan dengan jika dalam
kondisi pengomposan. Dalam industri pengomposan bioplastik diubah menjadi
biomassa, air dan CO2 dalam waktu sekitar 6 - 12 minggu [42].

10
Universitas Sumatera Utara

2.4

SAGU (Metroxylon sp)
Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, genus

Metroxylon dari ordo Spadiciflorae dan pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati
dari batang tanaman sagu. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah
Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan Arenga microcarpha (sagu baruk)
yang tumbuh di lahan kering. Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg sagu,
sehingga setiap hektar tanaman sagu mampu memproduksi 20-25 ton per hektar.
Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Wahono Sumaryono, kadar pati kering
dalam sagu mampu mencapai 25 ton per hektar, yakni jauh diatas kandungan pati
beras yang hanya 6 ton per hektar dan pati jagung yang hanya 5,5 ton per hektar.
Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi
sagu nasional saat ini (2006) mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai
sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional [24].
Berikut komposisi kimia dan sifat fungsional pati dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia dan Sifat Fungsional Pati [11]
Parameter

Pati Sagu

Kadar Air (%)

11,58

Kadar Pati (%)

82,94


Kadar Amilosa (%)

28,11

Kadar Amilopektin (%)

71,89

WHC (g/g)

2,15

OHC (g/g)

2,41

Sagu merupakan salah satu tanaman yang memiliki kadar pati yang tinggi.
Pati merupakan komponen paling besar yang terdapat didalam sagu. Yuniarty, dkk.
(2014) dalam penelitiannya yang berjudul sintesis dan karakterisasi bioplastik

berbasis pati sagu (Metroxylon sp) mendapat kadar pati sagu sebesar 82,94%[11].
Kandungan pati yang tinggi inilah yang dapat menjadi bahan baku untuk pembuatan
bioplastik.

11
Universitas Sumatera Utara

2.5

PATI
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri atas

amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan
α-(1→4) unit glukosa. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6.000 unit
glukosa, bergantung pada sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1→4)
unit glukosa dengan rantai samping α-(1→6) unit glukosa. Dalam suatu molekul
pati, ikatan α-(1→6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara
4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin,
sangat banyak dengan derajat polimerisasi 105 – 3 x 106 unit glukosa [43]. Struktur
molekul dari amilosa dan amilopektin ditunjukkan pada gambar 2.1.
Sejumlah besar pati terakumulasi sebagai granula (butiran) yang tidak larut
dalam air. Bentuk dan diameter granula ini tergantung pada asal tumbuhan [44].
Granula pati tersebut terdiri atas daerah amorf dan kristal. Di dalam pati yang
terdapat pada umbi dan akar, daerah kristalin terdiri dari amilopektin, sedangkan
amilosa terdapat di daerah amorf.

Di dalam pati sereal, amilopektin juga

merupakan komponen yang paling penting dari daerah kristalin. Amilosa dalam pati
sereal bergabung dengan lipid dari struktur kristal yang lemah dan memperkuat
granula tersebut. Sementara amilopektin larut dalam air, amilosa dan granula pati
sendiri tidak larut dalam air dingin. Hal ini meyebabkan relatif mudah untuk
mengekstrak granula pati dari sumber tanaman. Ketika suspensi pati dalam air
dipanaskan, butiran pertama membengkak sampai tercapai suatu titik di mana
pembengkakan ireversibel. Proses pembengkakan ini disebut gelatinisasi. Selama
proses ini, amilosa terekstrak keluar dari granul dan menyebabkan peningkatan
viskositas suspensi. Peningkatan suhu lebih lanjut kemudian menyebabkan
pembengkakan maksimum butiran dan meningkatkan viskositas. Akhirnya, butiran
pecah menghasilkan dispersi koloid kental. Pendinginan selanjutnya koloid hasil
dispersi pati tersebut menghasilkan bentuk gel yang elastik [45].
Pati adalah bahan baku yang paling menarik untuk pengembangan dan
produksi bioplastik. Pati tersimpan dalam berbagai tanaman dalam bentuk butiran
mikroskopis. Pati benar-benar bersifat biodegradable dalam berbagai kondisi
lingkungan. Pati dapat dihidrolisis menjadi glukosa oleh mikroorganisme atau
enzim, dan kemudian dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air [46]. Perlu

12
Universitas Sumatera Utara

dicatat bahwa karbon dioksida akan didaur ulang menjadi pati lagi oleh tanaman
dan sinar matahari [47]. Karena kemampuannya terdegradasi secara alami ini pati
mulai banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik yang ramah
lingkungan.

Gambar 2.1 Struktur Molekul Amilosa dan Amilopektin [40]

2.6

ROTAN
Salah satu sumber hayati terbesar yang terdapat di Indonesia yaitu rotan.

Sebanyak 10 persen hutan di Indonesia terdiri dari rotan. Berdasarkan Direktorat
Bina Produksi Kehutanan, luas hutan Indonesia yaitu sekitar 143 juta hektar,
dimana sebanyak 13,40 juta hektar ditumbuhi oleh tanaman rotan [17].
Semakin tingginya ketersediaan limbah rotan, menjadikan sumber daya
alam ini dapat direkayasa menjadi produk teknologi nasional menggunakan sistem
nanoteknologi [18]. Kulit rotan terdiri atas selulosa 37,6%, hemiselulosa 41% dan
lignin 22,6% [19]. Kandungan selulosa dari rotan inilah yang dapat dijadikan
nanokristalin selulosa. Selulosa merupakan polimer alam dengan jumlah banyak
yang mempunyai beberapa sifat unggul seperti densitas yang rendah, kaku dan

13
Universitas Sumatera Utara

biodegradable. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, selulosa dapat dijadikan bahan
pengisi organik yang menjanjikan [48].

2.7

SELULOSA
Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam.

Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Selulosa tersusun dari
unit-unit anhidroglukopiranosa yang tersambung dengan ikatan β-1,4-glikosidik
membentuk

suatu

rantai

makromolekul

tidak

bercabang.

Setiap

unit

anhidroglukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil, seperti yang terlihat pada
gambar 2.2. Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10O5)n dengan n ~ 1500 dan
berat molekul ~ 243.000 [49].

Gambar 2.2 Struktur Selulosa [50]
Selulosa merupakan polimer yang relatif stabil dikarenakan adanya ikatan
hidrogen. Selulosa tidak larut dalam pelarut air dan tidak memiliki titik leleh. Serat
selulosa juga memiliki fleksibilitas dan elastisitas yang baiksehingga dapat
mempertahankan aspect ratio (perbandingan panjang terhadap diameter (P/d)) yang
tinggi selama proses produksi. Selulosa nanoserat memiliki beberapa keuntungan
seperti: densitas rendah, sumber yang dapat diperbaharui, biodegradable,
mengurangi emisi karbondioksida di alam, kekuatan dan modulus yang tinggi,
permukaan yang relatif reaktif sehingga dapat digunakan untuk grafting beberapa
gugus kimia, dan harga yang murah [49].
Bagian mikrofibril yang banyak mengandung jembatan hidrogen antar
molekul selulosa bersifat sangat kuat dan tidak dapat ditembus dengan air. Bagian
ini disebut sebagai bagian berkristal dari selulosa, sedangkan bagian lainnya yang
sedikit atau sama sekali tidak mengandung jembatan hidrogen disebut bagian
amorf. Menurut Tsao (1978) perbandingan bagian kristal dan bagian amorf adalah
85 persen dan 15 persen. Struktur berkristal dari selulosa merupakan hambatan
utama dalam proses hidrolisis.

14
Universitas Sumatera Utara

Menurut Sjostrom (1981), selulosa dapat dibedakan berdasarkan derajat
polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%
yaitu [51]:
1.

Selulosa α (Alpha cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat
polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu
tingkat kemurnian selulosa.

2.

Selulosa β (Betha cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila
dinetralkan.

3.

Selulosa µ (Gamma cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP nya kurang dari 15.
Selulosa terdiri dari dua bagian yaitu amorf dan kristal. Selulosa dapat

ditemukan dalam bentuk mikrofibril kristalin selulosa I, II, III, dan IV. Fraksi kristal
dinyatakan dalam persentase sebagai indeks kristalinitas. Penentuan struktur
selulosa bisa dilakukan dengan difraksi X-Ray, NMR, dan FTIR [52; 53].
Selulosa I merupakan bentuk asli selulosa yang terdiri dari dua Kristal
allomorf, yaitu Iα dan Iβ. Berdasarkan pengujian difraksi elektron selulosa
Iαmemiliki satu unit sel triklinik, sedangkan selulosa Iβ memiliki dua unit sel
monoklinik, keduanya tersusun dalam satu susunan rantai paralel, dengan rasio
berbeda dalam satu serat, tergantung pada asalnya. Selulosa Iα banyak terdapat pada
selulosa bakteri dan valonia, sedangkan Iβ pada selulosa kapas atau kayu [52].
Selain selulosa I, terdapat selulosa II yang terbentuk dengan pengendapan
selulosa dari larutan ke dalam medium air pada suhu kamar atau sedikit lebih tinggi
dari suhu kamar pada proses pemintalan serat selulosa buatan manusia secara
teknis. Selulosa II ini juga diperoleh dari proses merserisasi kapas, yang terjadi
melalui pembentukan natrium selulosa melalui interaksi polimer dengan cairan
natrium hidroksida dan peruraian dengan netralisasi atau penghilangan natrium
hidroksida. Proses transformasi dari selulosa I menjadi selulosa II biasanya
irreversible, walaupun ada yang menyatakan bahwa natrium selulosa dapat
diretransformasi sebagian menjadi selulosa I. Sistem ikatan hidrogen selulosa II

15
Universitas Sumatera Utara

lebih rumit daripada selulosa I dan menghasilkan densitas tautan silang
intermolekul yang lebih tinggi [49; 52].

2.8

SELULOSA NANO KRISTAL
Proses utama untuk menghasilkan selulosa nanokristal dari serat selulosa

adalah berdasarkan hidrolisis asam. Bagian amorf akan lebih mudah dihidrolisis,
sedangkan bagian kristal yang lebih tahan terhadap serangan asam akan tersisa [54].
Beberapa metode umum yang digunakan untuk mendapatkan selulosa
nanokristal yaitu [92]:
1. Metode kimia, yaitu dengan menggunakan metode hidrolisis asam
menggunakan asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4) untuk menghilangkan sisi
amorf yang terdapat pada selulosa dan metode pelarut alkali yang bertujuan untuk
menghilangkan lignin dan hemiselulosa yang terdapat pada selulosa.
2. Metode mekanik, yaitu dengan menggunakan proses ultrasonikasi untuk
mendapatkan selulosa yang berukuran nano.
3. Metode biologis, yaitu dengan menggunakan enzim dan bakteri seperti
trichoderma ressei maupun bakteri acetobacter xylinum yang digunakan untuk
mengurangi ukuran dari selulosa yang dihasilkan.
Pada penelitian ini digunakan metode kimia dan metode mekanik seperti yang
dilakukan oleh Fenny, et. al. (2013), menggunakan asam sulfat (H2SO4) 45% dan
proses ultrasonikasi. Prosedur khas yang dilakukan untuk menghasilkan selulosa
nanokristal adalah menghidrolisis selulosa murni dengan asam kuat dalam kondisi
temperatur, pengadukan, dan waktu yang terkendali. Proses kimia dimulai dengan
penghilangan ikatan antar polisakarida pada permukaan serat selulosa dan diikuti
dengan pecah dan rusaknya bagian amorf sehingga melepaskan bagian kristal
selulosa. Setelah hidrolisis dilakukan, suspensi yang dihasilkan diencerkan dengan
air, dan dicuci dengan beberapa kali sentrifugasi. Kemudian dialisis dilakukan
untuk menghilangkan molekul asam bebas dari dispersi dan memisahkan partikel
yang berukuran lebih kecil dan lebih besar dari pori-pori membran dialisis yang
digunakan. Tahap selanjutnya adalah proses mekanik seperti ultrasonikasi yang
akan menghilangkan pengotor yang masih melekat pada selulosa nanokristal
sehingga diperoleh nanokristal yang terdispersi dalam suspensi yang stabil.

16
Universitas Sumatera Utara

Struktur, sifat, dan tahap pemisahan tergantung pada asam mineral dan konsentrasi
yang digunakan, temperatur dan waktu hidrolisis, serta intensitas ultrasonikasi
[16,51].

2.9

GLISEROL
Cairan yang tidak berwarna, tidak berbau, cairan kental dengan rasa manis

biasanya dikenal dengan Gliserol (1,2,3-propanetriol). Gliserol berasal dari kata
Yunani yang berarti “manis”, glykys, dan istilah gliserin, gliserin, dan gliserol.
Gliserin pada umumnya merujuk kepada solusi komersial gliserol dalam air yang
komponen utamanya adalah gliserol. Gliserol mentah adalah 70-80% murni dan
sering terkonsentrasi dan dimurnikan sebelum penjualan secara komersial dengan
kemurnian 95,5-99% [20]. Gliserol dapat diproduksi baik oleh fermentasi mikroba
atau sintesis kimia dari bahan baku petrokimia [61].
Gliserol diidentifikasi pada tahun 1779 oleh kimiawan Swedia Carl W
Scheele yang menemukan cairan transparan, cairan baru yang manis dengan
memanaskan minyak zaitun dengan litharge (PbO, digunakan dalam glasir timbal
pada keramik). Penelitiannya menunjukkan bahwa gliserol larut dalam air dan
alkohol, sedikit larut dalam banyak pelarut umum seperti eter dan dioksan, tetapi
tidak larut dalam hidrokarbon. Dalam kondisi anhidrat murni, gliserol memiliki
berat jenis 1,261 g/mL, titik leleh 18,2 oC dan titik didih 290 oC di bawah tekanan
atmosfer normal, disertai dengan dekomposisi. Pada suhu rendah, gliserol dapat
membentuk kristal yang meleleh pada 17,9 oC.
Gliserol telah dikenal dan digunakan lebih dari 1500 tahun, termasuk aplikasi
sebagai bahan atau pengisi dalam kosmetik, perlengkapan mandi, produk perawatan
pribadi, formulasi farmasi dan bahan makanan. Selain itu, gliserol sangat stabil di
bawah kondisi penyimpanan yang normal, kompatibel dengan banyak bahan kimia
lainnya, hampir non-iritasi dalam berbagai penggunaannya, dan tidak berdampak
negatif pada lingkungan [62].

Gambar 2.3 Struktur Gliserol [62]

17
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Sifat Fisikokimia Gliserol Pada Suhu 20 oC [62]
Chemical Formula

C3H5(OH)3

Molecular Mass

60,05 g mol-1

Density

1,051 g cm-3

Viscosity

1,2 Pa.s

Melting Point

18,2 oC

Boiling Point

290 oC

Food Energy

4,32 kcal g-1

Flash Point

160 oC (closed cup)

Surface Tension

64,00 mN m-1

Temperature Coefficient

-0,0598 mN (mK)-1

Penggunaan gliserol ini sendiri diaplikasikan dalam pembuatan bioplastik
seperti yang dilakukan Yuniarty, et.al. (2014), yaitu sintesis dan karakterisasi
bioplastik berbasis pati sagu (Metroxylon sp) dengan asam asetat dan gliserol
menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan asam asetat dan gliserol dapat
meningkatkan sifat fisik dan mekanik bioplastik [7]. Selanjutnya yaitu penelitian
Ahmad, et.al. (2011), tentang studi biodegradable dari pati sagu dengan plasticizer
gliserol dan citric acid didapat hasil terbaik terhadap kekuatan tarik yaitu pada
konsentrasi gliserol 30%, [9].

2.10

ASAM SITRAT
Asam sitrat merupakan bahan alternatif yang mudah diperoleh dengan

harga yang terjangkau. Asam sitrat (C6H8O7) merupakan pelarut organik yang
bersifat polar. Golongan asam ini jika dikombinasikan dengan air dapat melarutkan
zat-zat yang dapat larut pada pelarut polar [63].

Gambar 2.4 Struktur Asam Sitrat [90]

18
Universitas Sumatera Utara

Asam sitrat dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendamping plasticizer (coplasticizer). Dimana, gugus karboksil dari asam sitrat akan membentuk ikatan
hidrogen yang kuat dengan gugus hidroksil dari pati. Gugus karboksil pada asam
sitrat tidak hanya mengubah sifat-sifat materialnya, tetapi juga akan membentuk
ikatan sambung silang (cross linking) yang menyebabkan peningkatan sifat fisik
dan mekanaik dari produk yang dihasilkan [9,13].
Tabel 2.3 Sifat Fisikokimia Asam Asetat [64]
Chemical Formula

C6H8O7

Molecular Mass

192 g mol-1

Density

1,665 g cm-3

Melting Point

153 oC

Boiling Point

175 oC

pH value

2,2 at 0,1 N

Penggunaan asam sitrat ini sendiri diaplikasikan dalam pembuatan bioplastik
seperti yang dilakukan Rui Shi, dkk., (2007) melakukan penelitian mengenai
karakterisasi asam sitrat dan gliserol pada campuran lelehan pati jagung dengan
komposisi gliserol 30% (w/w%) dan asam sitrat 0% - 40% (w/w%) [13]. Kemudian,
Zuraida, dkk., (2012) membuat bioplastik dari pati sagu dengan plasticizer gliserol
dan meneliti pengaruh asam sitrat (0-40% w/wt%) dan air (0-40% w/wt%) sebagai
aditif sekunder [9]. Dimana kedua penelitian tersebut menghasilkan bioplastik
dengan kekuatan mekanik yang baik dengan adanya penambahan asam sitrat.

2.11

KARAKTERISASI HASIL PENELITIAN

2.11.1 Karakterisasi Biokomposit dan Selulosa Nanokristal
Beberapa pengujian/karakterisasi yang dilakukan pada biokomposit dan
selulosa nanokristal adalah sebagai berikut:

A.

Analisis TEM (Transmission Electron Microscopy)
Analisis TEM (Transmission Electron Microscopy) dilakukan untuk

menyelidiki ukuran dan morfologi pada selulosa nanokristal (NCC). Pengujian
dilakukan dengan menggunakan mikroskop Philips yang beroperasi pada tegangan

19
Universitas Sumatera Utara

100 kV. Tetesan suspensi yang telah diencerkan kemudian diendapkan pada
lempengan tembaga yang ditutupi dengan film karbon tipis. Untuk meningkatkan
kontras, selulosa nanokristal ditetesi dengan larutan uranyl acetate 2 wt%
(organologram) pada air deionisasi selama 1 menit lalu dikeringkan pada suhu
kamar [56].

B.

Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)
SEM merupakan alat yang dapat digunakan untuk mempelajari atau

mengamati rincian bentuk maupun struktur mikro permukaan suatu objek yang
tidak dapat dilihat dengan mata atau dengan mikroskop optik. SEM digunakan
untuk mengamati struktur micron, topografi, morfologi, fraktografi sampel padatan
dari bahan logam, polimer atau keramik [2]. Hasil analisis SEM juga
memperlihatkan penyebaran partikel pengisi pada matriks sehingga dapat diketahui
distribusi partikel pada matriks tersebar dengan merata atau tidak [57]. Struktur
morfologi campuran polimer adalah karakteristik yang sangat penting untuk
memahami banyak sifat dari campuran polimer, terutama sifat mekanik [56].

C.

X-Ray Diffraction (XRD)
X-Ray Diffraction (XRD) bertujuan untuk menganalisis struktur kristal.

Prinsip kerja dari XRD adalah difraksi sinar X yang disebabkan adanya hubungan
fasa tertentu antara dua gerak gelombang atau lebih sehingga paduan gelombang
tersebut saling menguatkan. Sinar X dihamburkan oleh atom-atom dalam zat padat
material. Ketika sinar X jatuh pada kristal dari material maka akan terjadi hambura
ke segala arah yang bersifat koheren. Sifat hamburan sinar X yang koheren
mengakibatkan sifat saling menguatkan atau saling melemahkan pada paduan
gelomabang [57]. Rumus perhitungan indeks kristalinitas dari sampel adalah
sebagai berikut [51]:

Keterangan:

CrI = [

I002 -IAM
] x 100
I002

(2.1)

Crl = Derajat relatif kristalinitas
I002 = Intensitas maksimum dari difraksi pola 0 0 2
IAM = Intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 12-18o

20
Universitas Sumatera Utara

D.

Analisis FT-IR (Fourier Transform Infrared)
FT-IR merupakan metode yang menggunakan spektroskopi inframerah.

Pada spektroskopi inframerah, radiasi inframerah dilewatkan pada sampel.
Sebagian

radiasi

inframerah

diserap

oleh

sampel

dan

sebagian

lagi

dilewatkan/ditransmisikan. Hasil dari spektrum merupakan besarnya absorpsi
molekul dan transmisi yang membentuk sidik jari molekul dari suatu sampel.
Seperti sidik jari pada umumnya, struktur sidik jari dari spektrum inframerah yang
dihasilkan tidak ada yang sama. Inilah yang membuat spektroskopi inframerah
berguna untuk beberapa jenis analisis. Manfaat informasi/data yang dapat diketahui
dari FT-IR untuk dianalisis adalah identifikasi material yang tidak dikeahui,
menentukan kualitas sampel dan menentukan banyaknya komponen dalam suatu
campuran [58].

E.

Uji Densitas
Kerapatan merupakan sifat fisik suatu polimer. Kerapatan suatu bahan

berpengaruh terhadap sifat mekanik bahan tersebut, semakin rapat suatu bahan
maka semakin meningkatkan sifat mekaniknya. Sehingga film biokomposit yang
dihasilkan mempunyai kekuatan tarik yang baik. Kerapatan atau densitas ini dapat
didefinisi-kan sebagai berat per satuan volume bahan [7]. Penentuan rapat massa
(densitas) film dilakukan dengan cara film dipotong dengan ukuran dan tebal
tertentu, kemudian dihitung volumenya. Potongan film ditimbang dan rapat massa
film ditentukan dengan membagi massa potongan uji dengan volumenya (g/cm3)
[4].

Dimana :

�=

� = rapat massa/densitas (g/cm3)



(2.2)



m = massa sampel (g)

v = volume sampel (cm3)
Standar yang digunakan adalah ASTM D792-91, 1991.

F.

Sifat Kekuatan Tarik dan Pemanjangan Saat Putus
Uji Kekuatan Mekanik yang diberikan pada bahan adalah uji kekuatan tarik

(tensile strength), pemanjangan pada saat putus (elongation at break). Sampel film

21
Universitas Sumatera Utara

plastik diuji berdasarkan pada ASTM D-638. Metode pengujian ini mencakup
penentuan tarik yang sifat plastik diperkuat dalam bentuk standar dumbbell shaped
yang ketika diuji di bawah kondisi yang ditentukan dari pretreatment, suhu,
kelembaban, dan kecepatan mesin uji. Metode uji ini dapat digunakan untuk
pengujian bahan dari setiap ketebalan sampai 14 mm (0,55 in.). Namun, untuk
pengujian spesimen dalam bentuk lembaran tipis, termasuk film yang kurang dari
1,0 mm (0.04 in.) Ketebalan, Metode Uji D 882 adalah metode yang paling tepat.
Bahan dengan ketebalan lebih besar dari 14 mm (0,55 in.) harus dikurangi oleh
mesin [30].
Rumus perhitungan terhadap hasil pengujian kekuatan tarik (tensile strength) dari
sampel adalah sebagai berikut [67] :
a.

Kekuatan Tarik (Tensile Strength) adalah gaya per unit luas dari material yang
menerima gaya tersebut. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

σ

Fmaks
Ao

(2.3)

Keterangan :

σ

= Engineering Stress (N/m2)

Fmaks = Gaya tarik yang diberikan kepada penampang spesimen (N)
Ao

= Luas penampang mula-mula spesimen sebelum diberikan
pembebanan (m2)

b.

Pemanjangan Saat Putus (Elongation at Break) adalah peningkatan panjang
material saat diuji dengan beban tarik. Adapun rumusnya adalah sebagai
berikut:
Elongasi(%) =

∆l
l0

× 100%

(2.4)

Keterangan :

G.

∆l

= Perubahan panjang (cm)

l0

= Panjang awal (cm)

Uji Penyerapan Air
Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu

persentase penggembungan plastik oleh adanya air [59]. Uji ini dilakukan untuk

22
Universitas Sumatera Utara

mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan
dalam polimer yang ditentukan melalui persentase penambahan berat polimer
setelah mengalami penggembungan. Proses terdifusinya molekul pelarut kedalam
polimer akan menghasilkan gel yang menggembung [60].
Prosedur uji ketahanan air pada sampel bioplastik adalah sebagai berikut :
berat awal sampel yang akan diuji ditimbang (Wo). Lalu Isi suatu wadah
(botol/gelas/mangkok) dengan air aquades. Letakkan sampel plastik ke dalam
wadah tersebut. Setelah 10 detik angkat dari dalam wadah berisi aquades, timbang
berat sampel (W) yang telah direndam dalam wadah. Rendam kembali sampel ke
dalam wadah tersebut, angkat sampel tiap 10 detik, timbang berat sampel. Lakukan
hal yang sama hingga diperoleh berat akhir sampel yang konstan. Air yang diserap
oleh sampel dihitung melalui persamaan:
Penyerapan Air (%) =

�−��
��

x 100 %

(2.5)

Dimana: Wo = berat sampel kering
W = berat sampel setelah direndam air [7]
Standar yang digunakan adalah ASTM D570-98, 2005.

23
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 1 22

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 6

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp) Chapter III V

0 2 38

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 8

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 18

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 21

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 6

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 16