Strategi Adaptasi Keluarga Nelayan di Kampung Nelayan Seberang Medan Belawan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu masalah klasik yang dihadapi oleh

berbagai negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri jumlah
penduduk miskin pada maret 2013 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen dan kembali mengalami kenaikan
pada september 2013 sebanyak 0,48 juta orang sehingga mencapai 28,55 juta
orang penduduk yang dikategorikan miskin di Indonesia. 1 Data tersebut
menggambarkan masih banyaknya penduduk Indonesia yang mengalami
kemiskinan. Salah satu kelompok yang tergolong di dalamnya adalah kelompok
nelayan yang secara umum mata pencaharian nelayan merupakan lapisan sosial
paling miskin dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (Kusnadi, 2008).
Selain itu, Kusnadi (2004) secara tersirat menjelaskan bahwa zaman orde
baru merupakan zaman kelam bagi nelayan di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh
orientasi pembangunan pemerintah berdasarkan perspektif daratan. Artinya bahwa
sektor-sektor yang ada di daratan seperti pertanian dan perindustrian

dikembangkan dengan cara sedemikian rupa sehingga terkesan mengabaikan
sektor

kelautan.

Sekalipun

terlihat

secara

umum

pemerintah

kurang

memperhatikan kehidupan nelayan dan sektor kelautan, namun secara nasional
pemerintah juga mencoba melakukan pembangunan di sektor ini dengan
meluncurkan program revolusi biru pada tahun 1970-an. Tujuan utama program


1

http://www.bps.go.id diakses 15 Maret 2015

1

ini pada hakekatnya sama dengan konsep revolusi hijau, yaitu berupaya
meningkatkan kesejahteraan nelayan di pesisir Indonesia.
Secara prinsipil, program revolusi biru atau blue revolution merupakan
modernisasi perikanan Indonesia dengan memberikan bantuan perahu motor dan
teknologi alat tangkap yang lebih baik guna menunjang peningkatan produktifitas
hasil penangkapan nelayan. Dalam jangka pendek, pengaruh program revolusi
biru tersebut berdampak baik pada peningkatan produktifitas perikanan serta
peningkatan pendapatan bagi masyarakat nelayan. Namun, ketidakcakapan
pemerintah memandang laut sebagai sumberdaya yang bersifat terbuka (common
Property) mengakibatkan kualitas daya dukung lingkungan lautan memburuk.
Dengan sifat sumber daya yang bisa dieksploitasi oleh siapa saja serta hanya
berorientasi pada peningkatan produktifitas semata tanpa diimbangi dengan upaya
pelestariannya, maka kondisi sumberdaya laut semakin tahun semakin menurun

produktifitasnya. Pada sebuah tulisan lainnya, Kusnadi (2008) menyebutkan
bahwa ada empat aspek yang harus dicermati dalam eksploitasi sumber daya
perikanan yang terjadi yaitu sebagai berikut :
1) Keserakahan sosial atas sumber daya perikanan, yang mendorong setiap
individu berkuasa penuh atas sumber daya tersebut. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat. Tekanantekanan penduduk terhadap sumber daya perikanan semakin meningkat
seiring bertambahnya penduduk yang bermatapencaharian nelayan

dan

keserakahan itu akan terus berkembang karena disemai dalam ranah
pembangunan yang kapitalistik

2

2) Gejala ketimpangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada
tumbuhnya kesenjangan sosial ekonomi antar pengguna sumber daya
perikanan. Para pengguna sumber daya bukan berasal dari kelompok sosial
yang homogen, akan tetapi dari kelompok sosial yang heterogen yang juga
cenderung saling berhadap-hadapan. Di satu sisi terdapat nelayan modern

yang memiliki modal besar serta alat-alat penangkapan yang canggih dan di
sisi lainnya terdapat nelayan tradisional yang memiliki modal kecil dengan
alat-alat tangkap sederhana. Hal ini tentu menjadikan keduanya memiliki
jangkauan kapasitas yang berbeda dalam mengeksploitasi sumber daya
perikanan yang ada.
3) Penyatuan antara keserakahan sosial dengan perbedaan kapasitas teknologi
serta modal, dan akses antar pengguna sumber daya perikanan berpotensi
menimbulkan konflik pengelolaan sumber daya. Latar belakang konflik itu
disebabkan karena terjadi kecemburuan sosial, yang dipicu oleh kenyataan
bahwa salah satu pihak memperoleh bagian yang terbesar dari eksploitasi
sumber daya perikanan sedangkan pihak lain malah sebaliknya.
4) Hasrat untuk menguasai atau menaklukkan sumber daya perikanan biasanya
disertai dengan tindakan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara
penangkapan yang merusak lingkungan, semata-mata untuk memenuhi
keinginan dan kepentingan ekonomi nelayan tanpa berfikir panjang akan
dampak-dampak yang akan diterima dikemudian hari.
Keserakahan sosial, ketimpangan modal dan teknologi penangkapan serta
hasrat untuk menguasai sumber daya perikanan dengan menghalalkan segala cara,
seperti penggunaan bahan peledak, penggunaan pukat harimau, membuat banyak


3

terumbu karang sebagai tempat perkembangbiakan ikan rusak. Tidak hanya itu,
kerusakan ekosistem pesisir terutama kawasan hutan mangrove yang secara
biologis memiliki peran yang relatif sama dengan terumbu karang juga ikut
memperburuk situasi. Kerusakan pada dua jenis ekosistem tersebut dalam jangka
panjang telah memberi dampak pada penurunan jumlah ikan dan biota air.
Dampak lanjutan dari kondisi demikian adalah produktifitas penangkapan nelayan
menjadi menurun yang kemudian menjebak nelayan dalam perangkap
kemiskinan.
Sekalipun demikian, kondisi kemiskinan yang terjadi pada komunitas
nelayan, dalam pandangan banyak ahli dinilai terjadi bukan semata-mata karena
faktor sumber daya perikanan yang semakin menurun. Kemiskinan terjadi di
banyak komunitas nelayan juga dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang sangat
kompleks yang saling mengikat satu dengan lainnya yang membuat nelayan
terperangkap dalam jerat kemiskinan (Chambers, 1987). Apa yang dilihat
Chambers tenyata juga diamini oleh Kusnadi. Pada sebuah tulisannya, Kusnadi
(2004) menjelaskan ada banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan
yang dikategorikan ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal, adalah
faktor yang berkaitan dengan kondisi sumber daya manusia nelayan dan aktifitas

kerja mereka. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berkaitan dengan
kondisi di luar diri dan akivitas kerja nelayan.
Kehadiran kedua faktor tersebut semakin diperburuk dengan adanya
ketidak-pedulian serta regulasi khusus dari pemerintah dalam mengatur
penyelesaian benang kusut kemiskinan di komunitas nelayan. Kalaupun
regulasinya ada, namun pengawasan atas implementasinya tidak berjalan dengan

4

baik. Menyikapi kondisi dan dinamika kehidupannya yang relatif tidak bisa
diprediksi ditambah dengan kondisi kemiskinan yang menjerat serta ditambah
rendahnya penegakan hukum, maka nelayan dituntut untuk memiliki mekanisme
adaptasi untuk menjamin keberlangsungan hidupnya.
Kajian yang pernah dilakukan sebelumnya mengungkapkan bahwa,
hubungan kerjasama nelayan buruh dengan nelayan kaya yang memiliki perahu
dan alat tangkap perikanan yang dikenal dengan relasi patron-klien adalah salah
satu bentuk adaptasi yang paling umum dipraktekkan oleh masyarakat nelayan.
Sydel (dalam McGlynn dan Athur: 2000) menyebutkan bahwa relasi Patron-Klien
merupakan hubungan kontraktual antara orang-orang dengan status dan kekuasaan
yang tidak sama, yang memberlakukan kewajiban-kewajiban timbal balik dari

jenis yang berbeda pada masing-masing pihak. Minimum, yang diberikan adalah
perlindungan dan pertolongan di satu pihak dan kesetiaan di pihak lain yang
dilandasi atas dasar landasan pribadi dan berhadapan muka serta berkelanjutan.
Hubungan patron-klien ini terbentuk sebagai jaminan bagi nelayan buruh
dalam mengantisipasi masa paceklik seperti tidak bisa melaut akibat cuaca yang
buruk. Hubungan patron-klien dalam masyarakat nelayan melibatkan Nelayan
kaya yang memiliki perahu dan alat tangkap perikanan dengan nelayan biasa. Pola
adapatasi lainnya yang juga dipraktekkan oleh nelayan dalam menyiasati kondisi
sosial, ekonomi dan budaya yang ada adalah dengan mendorong tenaga produktif
di rumah tangga nelayan (istri dan anak) untuk ikut mencari nafkah sekalipun
kedudukannya sebagai pendamping bukan yang utama (Helmi dan Arif Satria, 2012).

5

Gambaran kondisi nelayan yang begitu penuh dengan ketikapastian
pendapatan serta carut marut kemiskinan yang digambarkan di atas ternyata juga
ditemukan di komunitas nelayan yang ada di Kota Medan termasuk di Kampung
Nelayan Seberang Kecamatan Medan Belawan. Kondisi kehidupan nelayan di
Kota Medan paling tidak tergambar dari hasil kajian yang dilakukan oleh Zulkifli
(1988). Dalam Penelitiannya, Zulkifli menggambarkan bahwa relasi patron-klien

di Desa Bagan Deli adalah pola adaptasi yang dapat dijumpai di kehidupan
nelayan. Ia juga menjelaskan bahwa dalam rlasi patron – klien yang ada di Bagan
Deli, terdapat kerja sama antara dua pihak yang tidak sederajat baik dari segi
kekuasaan maupun penghasilan. Nelayan Kaya (pemborong) berperan sebagai
patron dan nelayan biasa menjadi klien. Kerjasama tersebut bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi masing-masing pihak. Nelayan Kaya (pemborong)
memberikan bantuan keuangan kepada nelayan biasa pada saat masa paceklik
dimana nelayan biasa tidak melaut ataupun pada saat nelayan mendapatkan
kesulitan. Sedangkan nelayan biasa sebagai penerima bantuan membalas kebaikan
pemborong dengan menjual ikan atau membawa peralatan penangkapan milik
pemborong secara tetap serta merelakan tenaganya untuk membantu pemborong
pada saat dibutuhkan.
Khusus di Kampung Nelayan Seberang, berdasarkan data prasurvey yang
dilakukan juga menunjukan adanya pola adaptasi nelayan berupa kegiatan
mendiversifikasi mata pencaharian atau penganekaragaman pendapatan di luar
sektor perikanan. Kegiatan itu terutama dipraktekkan di masa paceklik terjadi.
Masa-masa paceklik yang dimaksudkan yaitu ketika sedang tidak musim ikan atau
pasang mati yang memberikan pilihan kepada nelayan untuk tidak melaut. Hal ini

6


tentunya berdampak pada keberlanjutan kehidupan mereka ketika tidak ada lagi
pendapatan yang bisa diperoleh ketika tidak melaut. Oleh karena itu, berbagai
upaya

adaptasi

dilakukan sebagai

upaya

mempertahankan hidup serta

keberlanjutan kehidupan di masa mendatang. Kondisi unik lainnya dari kehidupan
masyarakat di Kampung Nelayan Seberang adalah adanya fakta bahwa kawasan
ini berada di areal yang merupakan kawasan hutan mangrove. Sampai dengan saat
ini penduduk di Kampung Nelayan Seberang berjumlah hampir 800 kepala
keluarga. Semakin berkurangnya luasan hutan mangrove sebagai kawasan
perkembangbiakan berbagai jenis ikan serta penahan abrasi sebagai akibat alih
fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman telah berdampak pada penurunan

kuantitas sumber daya perikanan. Selain itu, kawasan pemukiman di Kampung
Nelayan Seberang sendiri berada dalam kawasan yang oleh negara hak
penguasaannya dimiliki oleh PT. Pelindo I sebagai otoritas yang mengelola
Pelabuhan Belawan. Ini artinya secara hukum, para penduduk yang sudah lebih
dari tiga generasi yang tinggal di kawasan ini, sewaktu-waktu dapat ”digusur”
oleh pihak negara melalui PT. Pelindo I.
Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan di atas, maka dalam
pandangan peneliti menjadi sangat relevan membahas kehidupan nelayan di
Kampung Nelayan Seberang terutama dilihat dari pola adaptasinya. Mengingat
ada banyak kemungkinan yang harus dihadapi nelayan di sana mulai dari
ketidakpastian pendapatan hingga ketidakpastian kepemilikan lahan, yang
mendorong mereka untuk membangun strategi adaptasi untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu, usaha menggali dan menarasikan pola adaptasi keluarga nelayan
di Kampung Nalayan Seberang terutama dengan menggunakan sudut pandang

7

Antropologi menjadi sebuah hal yang menarik. Hal inilah yang secara akademis
mendorong peneliti melakukan penelitian dengan tema mengungkap strategi
adaptasi nelayan di Kampung Nelayan Seberang, Kelurahan Belawan I

Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.

1.2

Tinjauan Pustaka
Kemiskinan merupakan salah satu masalah klasik yang selalu dihadapi

oleh manusia karena melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia (Soetrisno,
2001). Soejadi (dalam Soetrisno, 2001) juga mengatakan bahwa meskipun
kemiskinan adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh masyarakat, tetapi dalam
kenyataannya selalu saja kemiskinan itu menampakkan diri di banyak tempat,
baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pembicaraan tentang kemiskinan kerpa
dimulai dari pembahasan menyangkut arti miskin. Banyak para ahli yang telah
mendefinisikan apa itu kemiskinan. Sebut saja Suparlan (1993) yang
mendifinisikan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu
adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang
bersangkutan.

Sedangkan

Faturrahman

dan

Marcelinus

Molo

(1994)

mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau rumah tangga
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Berdasarkan defenisi berapa ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
sebagian para ahli melihat kemiskinan sebagai fenomena ekonomi. Hal ini paling
tidak ditandai dengan adanya kondisi individu atau rumah tangga yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan dasar baik sandang, pangan dan papan. Pandangan para ahli

8

seperti demikian tentunya tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya juga
salah. Hal ini dikarenakan upaya memahami kemiskinan tidak bisa hanya dilihat
dari aspek ekonomi semata melainkan juga harus dilihat dari berbagai aspek yang
berhubungan dengan kemiskinan itu sendiri termasuk aspek sosialnya. John
Friedman sebagaimana yang dikutip Ala (1981) menyebutkan bahwa kemiskinan
adalah ketidaksamaan dan atau ketidakmampuan individu untuk mengakumulasi
basis kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu
menurut Friedman meliputi hal-hal berikut. Pertama, penguasaan atas aset,
misalnya, tanah, perumahan, peralatan dan sebagainya. Kedua, sumber keuangan,
seperti pemasukan yang memadai. Ketiga, organisasi sosial bersama, seperti
koperasi. Keempat, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang,
pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang
berguna untuk kehidupan.
Dalam memahami penyebab terjadinya kemiskinan itu sendiri di
masyarakat berdasarkan studi-studi yang dilakukan oleh para peneliti dapat di
kelompokkan ke dalam dua teori besar yaitu teori struktural dan teori kultural.
Penyebab

kemiskinan

berdasarkan

teori

struktural

beranggapan

bahwa

kemiskinan terjadi akibat dari ketimpangan yang terjadi antara individu maupun
antara kelompok berupa ketimpangan dalam struktur sosial. Ketimpangan dalam
struktur tersebut berimbas juga pada ketidakmerataan dalam mengakses ekonomi
maupun politik. Hal itu membuat perbedaan yang tajam antara masyarakat yang
miskin dengan masyarakat yang kaya. Upaya yang sedikit lebih jelas dalam
membedah kemiskinan dapat dilihat dari publikasi yang dirangkum oleh Alfian,
Mely G. Tan, dan Selo Soemardjan (1980). Dalam sebuah tulisan, mereka

9

menjelaskan bahwa kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam suatu
masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup
melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya.
Tidak hanya itu, kemiskinan struktural ini juga terjadi akibat dari
kegagalan pemerintah dalam pembangunan. Penjelasan yang bisa menjadi contoh
dari pernyataan ini adalah munculnya fenomena nelayan yang menjadi semakin
miskin sebagai akibat rusaknya sumberdaya perikanan yang menjadi tempat
mereka menggantungkan hidup. Revolusi biru atau blue revolution di akhir tahun
1970 an dengan memberikan bantuan berupa perahu dan alat tangkap yang lebih
baik dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas nelayan. Dalam jangka
pendek, program itu memang menghasilkan peningkatan pada pendapatan
nelayan. Namun, dalam jangka panjang program tersebut malah menyumbang
kerusakan pada ekosistem laut. Akibat dari penggunaan teknologi penangkapan
yang cnderung desktruktif, maka pada akhirnya hasil tangkap nelayan yang
sebelumnya bisa memenuhi kebutuhan hidup menjadi semakin berkurang. Pada
gilirannya, nelayan kembali terjebak ke dalam kemiskinan karena pendapatan
sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pandangan besar lain yang juga dikaitkan dengan penyebab kemiskinan
yang terjadi di masyarakat yaitu teori kultural. Tokoh besar di belakang teori ini
adalah Oscar Lewis yang turut mendobrak pandangan sempit pengkotakan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu antropologi. Dengan pendekatannya, antropologi
masa kini berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang tidak hanya berfokus
mempelajari masyarakat dan kebudayaan sederhana namun sudah mulai
merambah pada masalah implikasi yang ditimbulkan oleh kebijakan negara

10

melalui pembangunan di perkotaan. Karya Oscar Lewis tentang Kisah Lima
Keluarga di Meksiko jelas menggambarkan tentang bagaimana antropologi
digunakan dalam melihat fenomena miskin di perkotaan di Meksiko yang
kondisinya jauh lebih kompleks.
Suparlan (1988) dalam kata pengantar buku karangan Oscar edisi Bahasa
Indonesia menyebutkan bahwa Oscar tidak melihat kemiskinan sebagai masalah
ekonomi, yaitu tidak dikuasainya sumber-sumber produksi dan distribusi bendabenda dan jasa ekonomi oleh orang miskin; tidak juga melihat adanya
ketergantungan antar negara atau antar satuan produksi dan antar masyarakat; dan
juga

tidak

melihatnya

sebagai

pertentangan

kelas,

sebagaimana

yang

dikembangkan ilmuan sosial Marxis. Akan tetapi Oscar melihat kemiskinan
sebagai cara hidup atau kebudayaan dan unit sasarnya adalah mikro, yaitu
keluarga. Keluarga dilihat sebagai kesatuan sosial terkecil dan sebagai pranata
sosial pendukung kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan menjadi lestari di dalam
masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi yang
sebagian besar berlaku dalam keluarga. Pola-pola sosialisasi yang berlandaskan
pada kebudayaannya yang berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap
lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari. Lebih lanjut, Oscar Lewis juga
mengungkapkan bahwa munculnya kebudayaan yang berpotensi mendorong
pelestarian kemiskinan hanya akan terjadi dalam masyarakat yang berkarakteristik
sebagai berikut:


Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk
keuntungan



Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran tinggi

11



Upah buruh rendah



Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi
sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa
pemerintah



Sistem keluarga bilateral lebih menonjol



Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan
penumpukan harta dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap
hemat, serta ada anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil
ketidaksanggupan

pribadi/memang

pada

dasarnya

sudah

rendah

kedudukannya. (dalam Suparlan, 1984)
Kedua teori besar tentang penyebab kemiskinan tentunya dapat digunakan
untuk memahami kemiskinan di masyarakat Indonesia seperti yang terjadi pada
nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan secara umum merupakan lapisan sosial
paling miskin dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (Kusnadi, 2008).
Dalam banyak kajian yang dilakukan selalu terungkap bahwa kehidupan nelayan
di Indonesia identik dengan masalah kemiskinan. Hal ini paling tidak dapat dlihat
dari beberapa kajian yang pernah dilakukan oleh berbagai peneliti dari disiplin
ilmu yang berbeda. Kajian Musawwir (2009) tentang kemiskinan nelayan
tradisional yang ada di Desa Padang Panjang Aceh Barat. Dalam kajianya,
Musawwir menemukan kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional
disebabkan oleh tiga faktor yaitu; faktor sumberdaya manusia nelayan, faktor
ekonomi dan faktor kelembagaan. Lebih lanjut Musawwir menjelaskan rendahnya
kualitas sumber daya manusia ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan,
tidak dimilikinya keterampilan alternatif dan kurangnya pekerjaan alternatif

12

(sampingan) oleh nelayan. Lemahnya ekonomi nelayan ditandai dengan tidak
dimilikinya aset-aset produksi seperti modal, tanah dan teknologi yang modern
oleh nelayan. Sedangkan lemahnya peranan kelembagaan ditandai dengan masih
lemahnya peranan lembaga yang ada dalam meningkatkan ekonomi nelayan
tradisional di Desa Padang Panjang. Hal ini terlihat dari aktivitas koperasi yang
ada hanya bergerak di bidang usaha simpan pinjam semata tanpa bisa
mengembangkan fungsinya sebagai lembaga yang bisa membantu nelayan
untuk memasarkan hasil tangkapan laut dan produk olahannya.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikaji oleh Musawwir, Alfian Helmi
dan Arif Satria (2012) yang mengkaji kondisi masyarakat nelayan di Desa Pulau
Panjang, Kalimantan Selatan juga memperlihatkan hal yang relatif sama. Nelayan
di daerah tersebut digambarkan melakukan berbagai upaya adaptasi untuk
bertahan hidup akibat perubahan ekologis yang terjadi di lingkungan mereka (laut
dan pesisir). Perubahan ekologis yang terjadi di Desa Pulau Panjang meliputi dua
aspek. Pertama, perubahan ekosistem mangrove. Kedua, perubahan ekosistem
terumbu karang. Munculnya pelabuhan khusus akibat adanya perkembangan
tambang batu bara, pembukaan tambak udang, penebangan liar, dan pendirian
bangunan di kawasan pesisir yang telah menyebabkan terjadinya kerusakan di
ekosistem

mangrove

dan

ekosistem

terumbu

karang.

Kerusakan

itu

mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman ikan di Desa Pulau Panjang, yang
berimbas pada hilangnya mata pencaharian masyarakat, serta menurunnya
kesempatan berusaha. Kondisi ini tentunya berdampak pada penurunan
pendapatan bagi nelayan yang semakin lama semakin kecil untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari.

13

Kemiskinan yang selalu menjadi kajian setiap kali membahas kehidupan
nelayan tentunya menggambarkan betapa sulitnya kehidupan para nelayan di
berbagai tempat di Indonesia. Kondisi ekonomi nelayan saat ini sangat jauh
berbeda dengan ekonomi nelayan beberapa puluh tahun yang lalu. Dahulu,
melimpahnya sumberdaya perikanan yang ada di perairan Indonesia menjadikan
nelayan bisa hidup dengan menyandarkan diri pada hasil tangkapannya. Narasi
tentang perubahan kehidupan ekonomi nelayan dapat dilihat dari publikasi Pudjo
Sumedi (1988) tentang nelayan di Desa Kirwodono. Disebutkan bahwa Desa
Kirwodono hingga akhir 1960-an dalah desa nelayan terbesar dan makmur di
wilayah Merakngigel, Jawa Timur. Para nelayan masih ingat, cukup dengan tiga
jam berlayar dari pantai mereka sudah dapat menangkap ikan seperti tongkol,
lemuru dan kembung yang harga jualnya baik. Namun keadaan itu berubah pada
awal tahun 1970-an dengan kedatangan perahu mesin dengan pukat cincin di
Merakngigel yang lebih menjanjikan mendapatkan banyak tangkapan. Sehingga
tenaga kerja dari Desa Kirwodono beralih profesi dengan menjadi tenaga kerja di
perahu mesin milik para pengusaha Cina itu. Akibatnya perahu yang digerakkan
dengan layar yang biasa mereka gunakan sebelum berpindah ke perahu mesin
ditinggalkan sejalan dengan robohnya usaha nelayan di Kirwodono.
Lebih lanjut Pujo Sumedi menjelaskan seiring dengan robohnya usaha
nelayan di Kirdowono berdampak pada kehidupan mereka yang semakin lama
semakin miskin. Untuk mengatasi kemiskinan itu, para nelayan di Kirdowono
melakukan

berbagai

upaya

dalam

mempertahankan

hidupnya.

Seperti

memobilisasi anggota keluarga untuk bekerja, membentuk hubungan patron-klien
sebagai jaminan bagi nelayan dikala musim paceklik datang, bahkan sampai

14

mendatangi dukun ataupun menziarahi kuburan para wali yang diyakini memiliki
kekuatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perahu dan pelayaran mereka
mendapatkan hasil maksimal. Upaya-upaya yang dilakukan nelayan di kirdowono
dengan kondisi perubahan ekonomi masyarakat menjadi miskin tersebut
merupakan upaya adaptasi dalam mempertahankan hidup mereka.
Adaptasi dan perubahan itu sendiri merupakan dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Artinya ketika adanya perubahan, maka di
situlah mahkluk hidup akan melakukan adaptasi sebagai bentuk penyesuaian
dengan perubahan kondisi-kondisi yang ada. Dalam sebuah tulisan, Alland pernah
mengungkapkan pengertian tentang adaptasi. Pengertian yang relatif sama dengan
pemikiran Alland juga diungkapkan oleh Barlett. Secara ringkas keduanya
menyatakan bahwa adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh
manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik
fisik maupun sosial (dalam Helmi dan Satria : 2012). Selain itu, adaptasi berkaitan
dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu
dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk
menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya seperti kondisi kemiskinan yang
dialami oleh para nelayan.
Dalam ranah ilmu sosial sendiri, ada banyak ahli yang menawarkan upaya
penjelasan tentang bagaimana proses adaptasi itu terjadi dengan menggunakan
beragam presektif. Salah satu ide yang tampaknya bisa diadopsi dalam melihat
strategi adaptasi nelayan sebagai fokus dari penelitian ini adalah ide James C.
Scott. Salah satu tulisan Scott dalam bukunya Moral Ekonomi Petani: Pergerakan
dan Subsistensi di Asia Tenggara (1981), Scott mencoba mengulas tentang

15

bagaimana

petani

beradaptasi

dengan

kemiskinan

yang

terjadi

dalam

kehidupannya. Melalui teorinya tentang “etika subsistensi” Scott mencoba
mengatakan bahwa segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di
pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari
penguasa mereka lebih didasarkan pada prinsip bahwa mereka (petani) memilih
memproduksinya berdasarkan sumberdaya yang mereka miliki. Pandangan seperti
inilah disebut-nya sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai
warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial
saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang
mencengkam.
Dalam karyanya tersebut Scott juga melihat munculnya struktur sosial
masyarakat sebagai bentuk adaptasi petani dalam bertahan hidup berupa hubungan
patron-klien antara petani penyewa lahan dan petani pemilik lahan. Kelompok
petani yang tidak memiliki lahan, memiliki kecenderungan untuk lebih suka
menyewa lahan kepada petani pemilik tanah daripada menjadi buruh tani dan
hanya menjual tenaganya ke para tuan tanah. Secara terselubung, pilihan mereka
yang lebih suka menyewa tanah telah memberikan keuntungan secara tidak
langsung yaitu, kedekatan. Hubungan petani penyewa yang terasa lebih dekat
dengan mereka para pemilik lahan. Dalam konteks dimana pemilik lahan menjadi
tempat untuk mengamankan tingkat kebutuhan dasar mereka ketika terjadi masamasa sulit atau gagal panen. Ini ditampilkan dalam kondisi saat panen tidak
berhasil, maka patron yang dalam hal ini pemilik lahan akan bersedia membantu
petani penyewa dengan terlebih dahulu memberikan pinjaman. Dalam analisanya,

16

Scott menjelaskan bahwa kondisi hubungan yang seperti inilah kemudian
menciptakan sebuah sistem hubungan normatif tentang makna keadilan.
Pergulatan lanjutan tentang bagaimana petani merespon kondisi sosial
yang dihadapinya- dalam hal ini kemiskinan- dapat pula dilihat dari karya Scott
lainnya. Pada buku Senjata orang-orang kalah, Scott memaparkan bahwa demi
tetap terjaminnya moral ekonomi petani yang di dalamnya terkandung etika
subsisten, mereka meresponnya dengan berbagai cara bahkan dengan diam dan
menghindar sebagai bentuk perlawanan. Hal ini disadari atas dasar resiko besar
yang akan ditanggung oleh para petani jika melakukan perlawanan secara frontal.
Sehingga mereka memilih perlawanan yang secara kasat mata bukan merupakan
sebuah perlawanan, akan tetapi lebih kepada bentuk kepasrahan yang mereka
lakukan dalam diam dan menghindar. Lebih lanjut Scott membuktikan bahwa apa
yang disebut sebagai „kepasrahan dalam diam dan menghindar” bukanlah benarbenar kepasrahan, melainkan sebagai bentuk aksi perlawanan yang telah
diimplementasikannya dari „bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian‟
(Brechtian modes of resistance). Dalam penjelasannya mengenai bentuk
perjuangan kelas gaya Brechtian, perlawanan kaum tani dianggap sebagai senjatasenjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan.
Secara tanpa disadari, perlawanan dengan diam terwujud dengan tindakan
menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, memfitnah,
pembakaran, sabotase, dan sebagainya.
Penggunaan ide Scott dalam buku Moral Ekonomi Petani dan Senjatanya
Orang Kalah untuk melihat kehidupan komunitas nelayan di Kampung Nelayan
Seberang terlihat jelas benang merahnya. Pilihan penduduk Kampung Nelayan

17

Seberang untuk tetap memilih tinggal di lokasi yang merupakan lahan negara
tanpa alas hak hukum yang jelas tentunya berimplikasi pada ketidapastian. Namun
keputusan untuk tetap tinggal dan menetap tampaknya masih menjadi pilihan bagi
mereka. Karenanya, upaya mendeskripsikan bagaimana strategi adaptasi
komunitas nelayan miskin untuk bertahan hidup sebagai bentuk perlawanan
terhadap struktur sosial menjadi tujuan yang hendak digambarkan melalui
penelitian ini. Guna mempermudah memahami kerangka fikir dalam penelitian ini
dengan didasarkan pada ide yang sudah dinarasikan sebelumnya dapat dilihat
pada bagan berikut ini:

Struktural
Masyarakat
Kampung Nelayan
Seberang

Kultural

Kemiskinan

- Nilai Sosial
- Struktur Sosial
- Pranata Sosial

-Ekonomi
-Sosial Budaya
-Lingkungan

Bertahan
Hidup

Adaptasi

Gambar 1.1. Bagan Alur Fikir Penelitian

1.3

Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan di bagian

sebelumnya,

diketahui dengan jelas bahwa kehadiran keluarga nelayan di

Kampung Nelayan Seberang dilihat sebagai sebuah pilihan yang dimaksudkan
untuk keluar dari kondisi kemiskinan yang terjadi di tempat tinggal sebelumnya.
Namun demikian, bila melihat beberapa indikator kemiskinan yang lazim
digunakan, kondisi kehidupan nelayan di Kampung Nelayan Seberang juga tidak

18

bisa dikatakan bebas dari kemiskinan. Atas dasar kenyataan tersebut, maka
rumusan

masalah

dalam

penelitian

ini

adalah

berfokus

pada

upaya

menggambarkan kondisi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Kampung
Nelayan Seberang dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh keluarga
nelayan untuk bertahan hidup dengan kondisi kemiskinan yang ada. Secara
sederhana, untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini
maka pertanyaan yang diharapkan akan bisa dijawab melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi sistem sosial dan budaya masyarakat di Kampung
Nelayan Seberang dikaitkan dengan kondisi kemiskinan yang ada?
2. Bagaimana bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh
keluarga nelayan dalam menghadapi perubahan hidup terkait dengan
pilihan mereka untuk tinggal dan menetap di Kampung Nelayan
Seberang ?

1.4

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sistem sosial

dan budaya masyarakat di Kampung Nelayan Seberang dalam kaitannya dengan
kondisi kemiskinan yang ada. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui bagaimana bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di
Kampung Nelayan Seberang dalam menghadapi perubahan hidup serta kaitannya
dengan pemilihan Kampung Nelayan Seberang sebagai tempat tinggal.

19

1.4.2

Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat dari penelitian ini secara akademis diharapkan

memberikan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan
nelayan dan strategi adaptasi yang diterapkannya dalam menghadapi kesulitan
hidup. Secara Praktis penelitian ini diharapkan menjadi gambaran bagi
pemerintah, khususnya pemerintahan Sumatera Utara untuk menentukan
kebijakan yang tepat sasaran dalam upaya pengentasan kemiskinan khususnya
pada masyarakat nelayan.

1.5

Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Maleong (2013) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian
yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya
secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode alamiah.

1.5.1. Jenis Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi kedalam dua jenis data
yaitu data primer dan data sekunder.
1) Data Primer
Data primer merupakan data pokok atau data utama dari sebuah penelitian.
Data pokok yang akan dicari dalam penelitian ini berfokus pada penyebab
kemiskinan yang terjadi di Kampung Nelayan Seberang serta strategi adaptasi

20

yang dilakukan oleh keluarga nelayan yang ada di daerah tersebut untuk bertahan
hidup. Data tentang kondisi struktur sosial, kemiskinan serta startegi adaptasi
yang hendak dicari mencakup nilai, bentuk dan dasar serta pandangan penduduk
terhadap bangunan stratifikasi yang ada, ragam dan sistem mata pencaharian yang
dimiliki masyarakat, pola pengelolaan pendapatan di keluarga dan lainnya. Selain
itu, untuk memperkecil kemungkinan adanya bagian data yang terlewatkan
peneliti juga menggunakan rekaman berupa rekaman suara dan catatan lapangan
atau Field Note yang akan membantu pendokumentasian penelitian.
2) Data Sekunder
Data Sekunder dapat diartikan sebagai data pelengkap untuk melengkapi
data penelitian yang tentunya disesuaikan dengan pembahasan penelitian. Data ini
dapat diperoleh dari buku, majalah, artikel serta dokumentasi berupa foto-foto
yang ada di lokasi yang dianggap relevan dengan penelitian.

1.5.2. Metode Pengumpulan Data
1) Observasi/ Pengamatan
Obeservasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan panca indra
(Bungin, 2007:115). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui
observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama,
merasakan, serta

berada

dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan

(Bungin, 2007:116).

21

Proses observasi atau pengamatan dalam penelitian ini dimulai dari
kegiatan prasurvey yang dilakukan beberapa waktu sebelum proposal ini
dirancang serta diintensifkan selama tiga hari sebelum keluarnya surat izin ke
lapangan yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kota
Medan. Pada saat pertama kali peneliti melakukan kunjungan prasurvey ke lokasi
tepatnya tanggal 16 Mei 2015, ada sedikit rasa cemas dan takut yang peneliti
rasakan. Hal itu terjadi karena peneliti tidak mengantongi izin atau surat apapun
dari pemerintah setempat maupun dari kampus. Rasa cemas dan takut itu muncul
karena ada kekhawatiran bahwa masyarakat di Kampung Nelayan tidak akan
menerima kedatangan peneliti dengan baik. Berbekal sedikit kebulatan tekad serta
keberanian, peneliti tetap pergi menuju ke Kampung Nelayan Seberang.
Kampung Nelayan Seberang sendiri merupakan tempat yang asing dan
baru bagi peneliti, karna ini baru kali pertama peneliti menjejaki daerah ini.
Kampung nelayan itu sendiri berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan
terletak di seberang kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan. Dan hal ini
juga yang menjadikan Kampung Nelayan termasuk bagian dari Kelurahan
Belawan I tepatnya lingkungan XII Kelurahan Belawan I. Perjalanan ke Lokasi
penelitian ini dari tempat tinggal peneliti di Jalan Merpati Kecamatan Medan
Sunggal dibutuhkan waktu lebih kurang 60 Menit menggunakan sepeda motor
menuju dermaga di Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan. Kemudian
perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal motor sebagai moda transportasi yang
digunakan menuju Kampung Nelayan yang terlihat berada tidak jauh dari
seberang dermaga. Oleh karena itu, sepeda motor pun harus dititipkan di tempat
parkir yang telah tersedia di tepian dermaga. Di tepian dermaga itu, peneliti tidak

22

hanya melihat banyak sepeda motor yang terparkir, akan tetapi juga melihat
beberapa mobil diparkir di sana. Selain itu, banyak orang-orang yang berlalu
lalang di tepian dermaga dengan alat pancing dalam ransel yang mereka bawa.
Air laut yang mulai pasang pada siang itu menggenangi jalanan di tepian
dermaga. Namun tak menyurutkan tekad peneliti untuk tetap melanjutkan
perjalanan ke Kampung Nelayan Seberang. Kapal Motor sebagai moda
transportasi menuju Kampung Nelayan Seberang itu telah berbaris rapi menunggu
para penumpang menaiki kapal mereka. Peneliti pun kemudian ditanya oleh salah
satu orang paruh baya “mau kemana dek?” saya pun menjawab “mau ke
Kampung Nelayan Seberang Pak.” Kemudian bapak itu mengarahkan telunjuknya
ke salah satu kapal motor yang terparkir di tepian dermaga itu. Peneliti pun
menganggukkan kepala seolah telah mengerti apa yang coba dikatakan bapak
paruh baya dengan gerakan jari tangannya itu. Tanpa berfikir panjang peneliti dan
sahabat peneliti yang juga ikut menemani masuk ke kapal motor itu yang juga
disambut ramah oleh seorang penumpang perempuan paruh baya yang juga
kebetulan menunggu kapal motor lepas landas.
Kapal motor itu sendiri tidaklah begitu besar kira-kira panjang 10 meter
dan lebar 3 meter dengan beratapkan triplek dan seng untuk melindungi
penumpang dari panas matahari maupun hujan. Mesin yang digunakan untuk
menjalankan kapal itu menggunakan mesin dongfeng atau sering kita sebut mesin
dompeng yang berbahan bakar solar. Setelah peneliti dengan sahabat peneliti
masuk ke dalam kapal motor tersebut, penumpang perempuan yang bersama kami
itu memanggil salah seorang pria paruh baya yang berada tidak jauh dari kapal
yang kami tumpangi. Ternyata pria itu adalah juru mudi perahu yang akan

23

membawa kami ke Kampung Nelayan yang berada tidak jauh di seberang
dermaga. Dengan cekatan sang laki-laki paruh baya tadi menghidupkan mesin
dompeng yang berada didekat tempat duduk peneliti. Mesin hidup dan kapal
kami pun bergerak perlahan menuju Kampung Nelayan Seberang dimana itu
merupakan lokasi penelitian ini akan berlangsung.
Di dalam Kapal Motor itu peneliti yang duduk di atas sebuah papan
panjang yang dijejerkan mengikuti panjang kapal dengan perempuan paruh baya
yang persis-nya duduk di sisi kanan peneliti. Kemudian peneliti pun melontarkan
beberapa pertanyaan kepadanya. Nama perempuan paruh baya itu Lia yang
berasal dari pulau jawa tepatnya di Kota Malang. Kak Lia adalah panggilan yang
peneliti sematkan padanya. Walaupun umurnya yang hampir separuh abad, tapi
panggilan itu peneliti rasa cocok untuk dirinya yang masih cukup muda ketika
peneliti harus menggailnya dengan sebutan “ibu”. Kak Lia merupakan pendatang
di Kampung Nelayan yang baru beberapa tahun tinggal disana karena ikut dengan
suami. Sebelumnya dia menyangka tujuan peneliti ke Kampung Nelayan
Seberang untuk memancing. Karena pada hari libur dan weekend banyak orangorang dari luar daerah belawan datang ke Kampung Nelayan. Karena disana
merupakan salah satu spot favorit para pemancing yang masih terdapat banyak
ikan. Namun peneliti menyangkal hal itu dan mengatakan bahwa maksud dan
tujuan peneliti disana untuk melakukan penelitian. Kak Lia mengangguk pelan
petanda mengerti dengan yang peneliti bicarakan. Hasil perbincangan selanjutnya
peneliti akhirnya mengetahui bahwa Kak Lia adalah seorang sarjana tamatan dari
salah satu universitas yang ada di Kota Malang. Kemudian peneliti menanyakan
perihal suaminya yang tinggal di Kampung Nelayan itu. Dia menunjuk juru

24

kemudi perahu itu dan mengatakan “itu suami saya” dengan sedikit canggung
peneliti mulai terseyum kepada sang juru kemudi itu dan berkata “maaf ya bang,
saya gak tau kalau abang suami kak Lia”. Sang juru kemudian tersenyum
menanggapi permintaan maaf saya.
Setelah beberapa menit mengarungi lautan, rumah-rumah terapung yang
samar-samar terlihat dari tepian dermaga tempat kami berangkat tadi mulai
tampak jelas. Rumah-rumah yang terbuat dari papan itu berjejeran dan saling
berdempetan itu terlihat seperti mengikuti alur muara sungai yang mulai kami
lalui. Di antara rumah-rumah yang berjejeran itu terdapat jembatan kayu sebagai
penghubung rumah satu dengan rumah lainnya. Kapal kami mulai merapat ke
pinggir kanan muara mengantarkan Kak Lia yang rumahnya berada tepat di
pinggiran muara sungai itu. Kemudian tak jauh dari rumah Kak Lia, tepatnya
dermaga yang terbuat dari beton yang berada di depan bangunan Sekolah Dasar
kami pun turun dari perahu dan membayar ongkos Rp. 5.000 untuk setiap orang
sambil tak lupa peneliti mengucapkan terima kasih kepada sang juru kemudi kapal
motor yang telah mengantarkan kami. Pada hari itu kegiatan peneliti hanya
berjalan menyusuri gang demi gang yang ada di Kampung Nelayan Seberang
sembari melakukan observasi. Pada kunjungan di hari berikutnya, peneliti sudah
merasa lebih percaya diri sekalipun surat ijin penelitian belum kunjung
dikeluarkan oleh instansi terkait.
Secara umum pada observasi pada fase prasurvey ini, peneliti mengamati
kondisi umum Kampung Nelayan Seberang dalam kaitannya dengan kondisi
wilayah lain di sekitarnya. Kegiatan observasi pada masa prasurvey juga
bersamaan dengan upaya peneliti membangun rapport yang baik agar kehadiran

25

penelitian tidak dianggap asing nantinya. Hal ini paling tidak dirasakan
manfaatnya oleh peneliti saat pengumpulan data berlangsung. Perlu pula
disampaikan saat observasi di fase prasurvey berlangsung, peneliti berulang kali
ikut menyeberang dari Kota Medan ke Kampung Nelayan Seberang dengan
menggunakan perahu yang berbeda. Tindakan ini dilakukan semata-mata untuk
membiasakan warga dengan kehadiran peneliti. Dipilihnya perahu penyeberangan
sebagai media membangun rapport sebab untuk mencapai lokasi penelitian,
perahu bermotor yang “mangkal” di pelabuhan rakyat wilayah adalah salah satu
pilihan yang efektif dan efesien dari segi waktu dan biaya. Mengingat intensitas
penyeberangan yang cukup tinggi yang dalam pengamatan peneliti bisa mencapai
lebih dari sepuluh kali pulang pergi sementara terdapat puluhan perahu, maka
pemanfaatan sarana transportasi publik ini sebagai media memperkenalkan diri
adalah hal yang paling mudah dilakukan.
Observasi ini kemudian berlanjut ke tahap penelitian dan ini ditandai
dengan keluarnya surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kota Medan. Pada fase ini, pengumpulan data melalui
observasi lebih kepada upaya mengumpulkan data pola interaksi antara anggota
masyarakat serta kondisi pemukiman secara umum. Secara umum melalui
pengamatan di fase lanjutan ini peneliti melihat bahwa kondisi rumah-rumah di
Kampung Nelayan Seberang sebagian besar merupakan rumah non permanen
yang berbahan kayu dan papan. Pola bangunan yang berupa rumah panggung
dengan tiang-tiang kayu sebagai pasaknya menjadikan kampung ini seperti
terapung di atas air jika dilihat dari seberang terutama saat surutnya air laut.

26

Pengamatan yang dilakukan memberikan pengertian bagi peneliti tentang
posisi dan letak lokasi Kampung Nelayan Seberang secara umum dikaitkan
dengan kondisi ekosistem sekitarnya terutama kaitannya dengan kawasan hutan
mangrove di muara sungai Batang Serai. Tidak hanya itu saja, dari observasi
tersebut peneliti juga melihat intraksi-interaksi yang terjadi antar warga Kampung
Nelayan Seberang yang sebagian besar mata pencaharian utamanya adalah
nelayan itu. Interaksi tersebut terjadi dari aktivitas yang dilakukan oleh warga
dalam kesehariannya yang ditandai dengan komunikasi antara satu dengan lainnya
baik itu di rumah, perkumpulan, maupun di warung-warung. Selain itu, aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh warga Kampung Nelayan Seberang dalam
kesehariannya tidak luput dari pengamatan yang dilakukan.
Intensitas pengamatan semakin tinggi saat peneliti melakukan metode “life
in” selama seminggu. Selama tinggal bersama dengan masyarakat, peneliti
melihat berbagai aktivitas yang dilakukan oleh keluarga nelayan. Sesudah masa
life in selesai, peneliti juga tetap melakukan pengamatan di lokasi penelitian,
hanya saja intensitasnya berkurang. Selama hampir 4 minggu, peneliti kerap
datang ke lokasi di pagi hari dan kembali ke Medan di sore hari. Rata-rata dalam
seminggu, peneliti melakukan kegiatan ini selam 3 sampai dengan 4 hari. Hanya
saja jadwal kegiatan pengamatan di fase sesusah life in dapat dikatakan tidak
terjadwal. Sekalipun demikian, pengamatan di fase ini cukup membantu peneliti
dalam melengkapi berbagai data yang diperlukan untuk membentuk gambaran
yang jauh lebih jelas tentang kondisi ekonomi sosial dan budaya masyarakat
nelayan. Bila merujuk pada tanggal pengumpulan data dengan pengamatan

27

terutama di fase life in dimulai pada tanggal 23 Mei sampai dengan tanggal 30
Mei 2015.
2) Wawancara
Wawancara itu sendiri diartikan sebagai Tanya jawab antara peneliti
dengan informan yang akan diteliti. Untuk mendapatkan data yang lebih banyak
dan bervariasi dari informan maka diperlukan wawancara mendalam atau sering
disebut dengan istilah dept Interview untuk mengorek lebih dalam pengetahuan
maupun

pengalaman

informan.

Dalam

melakukan

wawancara,

peneliti

menggunakan interview guide atau pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk
menfokuskan pertanyaan dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.
Wawancara dilakukan beberapa kali sampai data yang ingin didapat
terpenuhi untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Hasil dari wawancara
yang telah dilakukan telah mampu membantu penulis untuk menjelaskan
penyebab terjadinya kemiskinan di Kampung Nelayan serta membantu
menggambarkan bagaimana bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh keluarga
nelayan dalam menghadapi perubahan hidup berupa kemiskinan. Tidak hanya itu,
gambaran umum tentang kondisi struktur sosial yang berlaku di masyarakat juga
tergambarkan dengan baik melalui wawancara mendalam yang dilakukan.
Wawancara sebagai salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini melibatkan sejumlah orang yang akan diwawancarai sebagai informan. Perlu
pula disampaikan bahwa kegiatan wawancara dalam penelitian ini dapat dibagi
atas fase penelitian yang dilakukan. Sejalan dengan fase yang dijelaskan
sebelumnya, saat kegiatan prasurvey berlangsung, peneliti juga telah melakukan
wawancara secara bebas. Wawancara pada fase ini lebih banyak ditujukan untuk

28

tujuan mengidentifikasi tokoh atau individu yang secara khusus memiliki peran
tersendiri di masyarakat dan membantu memetakan kondisi desa secara umum.
Pengalaman melakukan wawancara di fase ini dalam cacatan peneliti
dimulai pada hari pertama kegiatan prasurvey yaitu pada hari Sabtu tanggal
16 Mei 2015. Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari kakek Mispar
tentang adanya beberapa tokoh masyarakat yang sebaiknya peneliti wawancarai,
salah satunya yaitu kepala lingkungan Kampung Nelayan Seberang. Kemudian
penelitipun akhirnya berupaya melakukan wawancara pada kepala lingkungan di
Kampung Nelayan Seberang yang bernama Pak Safaruddin. Usaha menemui Pak
Safaruddin dimulai saat peneliti sampai di Kampung Nelayan Seberang pada hari
kedua prasurvey sekitar pukul 10.10 WIB. Setelah bertanya kepada beberapa
warga, peneliti akhirnya bisa menemukan rumah Bapak Shafaruddin yang
ternyata terletak di pinggiran muara di Belawan. Di dekat rumah Pak Kepala
Lingkungan (Kepling) itu peneliti melihat banyak orang berkumpul memperbaiki
alat tangkap untuk melaut (menangkap ikan). Setelah memperkenalkan diri
kepada Pak Kepling, beliau mengajak peneliti duduk di teras rumah yang terbuat
dari papan-papan yang disatukan itu. Kemudian peneliti mulai melakukan
wawancara terkait dengan penelitian yang dilakukan di Kampung Nelayan
Seberang.
Wawancara yang berlangsung lebih kurang 1 jam itu memberikan
pengalaman yang menarik bagi peneliti terkait berbagai hal yang jarang diketahui
orang tentang Kampung Nelayan Seberang. Salah satu hal yang menarik itu
adalah warga kampung nelayan terbagi ke dalam dua wilayah administrasi yang
berbeda. Hal ini dibuktikan dengan adanya Dusun XII dan Lingkungan XII di

29

Kampung Nelayan Seberang.

Dusun XII itu sendiri termasuk bagian dari

Kabupaten Deli Serdang sedangkan Lingkungan XII itu termasuk bagian dari
Kota Medan tepatnya bagian dari Kecamatan Medan Belawan. Dari penjelasan
Pak Shafaruddin terdapat lebih kurang 800 Kepala Keluarga di Kampung Nelayan
Seberang dan 40 an Kepala Keluarga termasuk di Dusun XII yang merupakan
wilayah Kab. Deli Serdang. Meskipun begitu, tidak ada batasan yang jelas antara
wilayah Deli Serdang dengan wilayah kota Medan.
Sementara itu aktifitas wawancara lainnya berlangsung seiring dengan
berlangsungnya fase life in dan sesudahnya. Pada fase life in ini,

metode

wawancara yang pakai oleh peneliti adalah wawancara mendalam. Wawancara ini
dilakukan terhadap beberapa informan. Informan dalam penelitian ini dibagi ke
dalam dua bentuk yaitu; informan biasa dan informan kunci. Ada beberapa
kriteria khusus yang harus dipenuhi sebagai informan, baik informan biasa
maupun informan kunci. Untuk informan biasa kriteria yang harus dipenuhi yaitu
informan merupakan orang yang mengetahui tentang kondisi Kampung Nelayan
Seberang walaupun bukan warga Kampung Nelayan Seberang. Sedangkan untuk
informan kunci, selain kriteria informan yang harus merupakan masyarakat yang
tinggal dan menetap di Kampung Nelayan Seberang juga ada beberapa kriteria
khusus yang harus dipenuhi sebagai sumber data primer untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini. Kriteria-kriteria informan Kunci itu adalah
sebagai berikut :


Lamanya informan menetap di Kampung Nelayan Seberang. Semakin
lama seorang informan tinggal di Kampung Nelayan Seberang maka akan
semakin banyak informasi yang akan didapat dari informan terkait dengan

30

dinamika kehidupan yang terjadi di Kampung Nelayan Seberang serta
sejarah terbentuknya kampung nelayan.


Kedudukan sosial informan dalam masyarakat. Artinya, informan kunci
merupakan mereka yang dapat mewakili lapisan-lapisan sosial masyarakat
di Kampung Nelayan Seberang.
Dalam penelitian ini jumlah informan kunci ada 7 orang informan yang

keseluruhannya bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Informan kunci dari
penelitian ini terdiri dari berbagai latar belakang kehidupan dan kedudukan sosial
yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dua orang informan merupakan to