Kejadian Keloid Menurut Golongan Darah Pada Pasien Pasca Luka Di RSUP H.Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keloid
2.1.1 Definisi Keloid
Keloid adalah tumor jinak jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan meluas melewati
defek asal. (Ajab K, 2006). Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi area luka /
cederapada kulit yang menyembuh,sedangkan keloidosis yaitu keloid multipel atau
pertumbuhan berulang keloid meski tidak pada tempat yang sama. (Gentur S,2011).

2.1.2 Keloid versus Hipertropik Skar.
‘The cheloide’ Istilah ini diciptakan pada tahun 1802 untuk menggambarkan ekstensi lateral
yang sering diamati dalam bekas luka, yang menyerupai kaki kepiting tumbuh menjadi
jaringan normal (Urioste, Arndt & Dover 1999). Keloid biasanya dibandingkan dengan
bekas luka hipertropik, dan memiliki beberapa kesamaan seperti peningkatan sekresi kolagen
dan penampilan yang sama. Namun, tidak seperti bekas luka hipertropik yang terbatas pada
daerah cedera, keloid dapat meluas melewati batas-batas luka asli. Selain itu, bekas luka
hipertropik biasanya mereda dengan waktu, sedangkan keloid terus berkembang dari waktu,
tanpa fase diam atau regresi (Nemeth 1993). Sementara bekas luka hipertropik biasanya
berkembang dalam beberapa minggu setelah cedera kulit, keloid biasanya menunjukkan
onset yang tertunda, biasanya terbentuk beberapa bulan setelah trauma kulit (Marneros &

Krieg 2004).

Tabel 1. Perbedaan antara hipertropik skar dengan keloid
Clinical Features of Hypertrophic Scars

Incidence

Hypertrophic scarring

Keloids

40% to 70% following
surgery, up to 91% following
burn injury

6% to 16% In African
populations

Equal in sex distribution with highest incidence in the second to
third decade


Universitas Sumatera Utara

Predilection sites

Shoulders, neck, presternum,
knees and ankles

Anterior chest, shoulders,
earlobes, upper arms and
cheeks

Less affected: eyelids, cornea, palms, mucous membranes,
genitalia and soles
Time course

Appearance

Histological characteristics


Within 4 to 8 weeks following
wounding, rapid growth phase
for up to 6 months, then
regression over a period of a
few years

Within years after minor injuries
or spontaneous formation on the
midchest in the absence of any
known injury. Persistence for
long periods of time.

Low recurrence rates after
excision of the original
hypertrophic scar

High recurrence rates following
excision

Do not extend beyond the

initial site of injury

Primarily fine, well-organized,
wavy type III collagen bundles
oriented parallel to epidermis
surface with abundant nodules
containing myofibroblasts and
plentiful acidic
mucopolysaccharide.
Proliferating cell nuclear
antigen (PCNA)/p53level/ATP expression low

Projects beyond the original
wound margins

Disorganized, large, thick, type I
and III hypocellular collagen
bundles with no nodules or excess
myofibroblasts. Poor
vascularization with widely

scattered dilated blood vessels.
PCNA/p53-level/ATP expression
high

(dikutip dari Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms and Current and
Emerging Treatment Strategies, Gauglitz Gerd G., et al)and Keloids
Catures of Hypertrophic Scars
and Keloids Clinical Features of Hypertrophic Scars
2.1.3 Etiologi Keloid
Etiologi keloid tidak diketahui tetapi sejumlah faktor pencetus misalnya operasi, tato, gigitan,
vaksinasi, trauma tumpul, luka bakar dan luka tindik pada daun telinga. Terdapat peran
growth factor pada pembentukan keloid,yaitu peningkatan kadar TGF – beta. (Gentur
S,2011). Keloid mungkin terjadi spontan atau mungkin familial. Demikian pula banyak

Universitas Sumatera Utara

penyakit dermatologis lainnya yang berhubungan dengan pembentukan keloid. Berbagai
modalitas pengobatan dengan sukses dilaporkan meliputi terapi kompresi, steroid intralesi,
krioterapi, eksisi bedah, radiasi, interferon, 5 – fluorouracil, bleomycin, gel silikon, UV-A1
terapi, methotrexate, Quercetin dan terapi laser. (Ajab K, 2006)


2.1.4 Epidemiologi
Hal ini tidak terdokumentasi dengan baik bagaimana keloid terjadi pada populasi umum
tetapi telah dilaporkan berbagai kejadian yang lebih 16% dari kalangan orang dewasa di Zaire
dan kurang dari 1% di antara orang dewasa di Inggris (English & Shenefelt 1999). Hal ini
diterima secara luas bahwa populasi kulit hitam memiliki kejadian keloid yang lebih tinggi
daripada populasi berkulit terang, dengan rasio kejadian yang dilaporkan antara kedua
kelompok mulai 2 : 1 – 19 : 1 (Atiyeh, Costagliola & Hayek ,2005). Di antara orang-orang
Asia, kejadian keloid tampaknya lebih umum di Cina (Shaffer, Taylor & Bolden, 2002).
Kedua warisan genetik autosomal dominan dan autosomal resesif telah diusulkan
tetapi tidak dikonfirmasi dan beberapa data menunjukkan terjadinya keloid secara familial
(Bloom 1956; Omo-Dare 1975).
Perbedaan terjadinya keloid berdasarkan jenis kelamin belum terbukti meyakinkan
(Marneros & Krieg 2004). Namun, kasus yang paling banyak dilaporkan terjadi di individu
antara 10 dan 30 tahun (Rockwell, Cohen & Ehrlich 1989). Kadar hormon yang sedang
dalam tingkat tinggi pada usia ini, menunjukkan bahwa mereka mungkin memiliki beberapa
pengaruh pada pembentukan keloid. Hipotesis ini didukung oleh data yang menunjukkan
peningkatan pengikatan androgen dalam jaringan keloid (Ford et al , 1983;. Schierle, Scholz
& Lemperle 1997). Selain itu, beberapa laporan menunjukkan bahwa keloid muncul lebih
sering pada masa pubertas, membesar selama kehamilan, dan mengecil setelah menopause

(Moustafa, Abdel-Fattah & Abdel-Fattah, 1975). Namun, penjelasan lain seperti peningkatan
neo-angiogenesis selama kehamilan juga mungkin terjadi (Seifert & Mrowietz , 2009).
Glikosiltransferase sebagai enzim yang berperan dalam pembentukan polisakarida
yang menjadi dasar penggolongan darah sistem ABO, ternyata berhubungan dengan sintesis
glikosaminoglikan. Sintesis glikosaminoglikan yang berlebih akan meningkatkan risiko
munculnya keloid. Permasalahannya hubungan antara golongan darah dengan timbulnya
keloid sampai saat ini masih belum jelas. Keloid yang muncul sebagai manifestasi dari
penyembuhan luka dapat

mengganggu penampilan

secara estetika dan menimbulkan

gangguan psikologis pada penderitanya. Gangguan psikologis dan estetika akibat keloid

Universitas Sumatera Utara

lebih berat dibandingkan akibat jaringan parut yang lain, yaitu parut hipertropik. Keloid
mempunyai kecenderungan untuk terus membesar melewati batas tepi luka (Hillmer, 2002).
2.1.5 Gambaran Klinis

Keloid umumnya dianggap sebagai hasil dari penyembuhan luka yang berlebihan, meskipun
beberapa juga percaya bekas luka ini menjadi jenis tumor jinak berserat (Slemp & Kirschner
2006). Keloid ditandai oleh pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrosa padat ditambah
dengan deposisi berlebihan komponen matriks ekstraseluler (ECM) seperti kolagen dan
fibronectin (Rockwell, Cohen & Ehrlich 1989; Babu, Diegelmann & Oliver 1989). Keloid
hanya terjadi pada manusia, dan dapat terjadi bahkan dari luka kulit paling kecil, seperti
gigitan serangga atau jerawat (Urioste, Arndt & Dover 1999).
Keloid sering terkait dengan gatal-gatal, rasa sakit , bila melibatkan kulit di atasnya
sendi, terbatas rentang gerak (Lee et al. 2004). Untuk alasan yang tidak diketahui, keloid
lebih sering terjadi pada dada, bahu, punggung bagian atas, belakang leher, dan telinga
(Bayat et al. 2004). Jaringan parut keloid pada kornea juga telah diamati (Shukla, Arora &
Arora 1975).

Gambar 1. Pembentukan keloid di berbagai tempat tubuh dan pada pasien yang berbeda
(Marneros & Krieg 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Histopatologi
Kulit normal mengandung bundelan kolagen yang berbeda yang berjalan sejajar dengan

permukaan epitel.

Di bekas luka hipertrofik, berkas-berkas kolagen datar, kurang berbatas

tegas, dan disusun dalam pola bergelombang.

Dalam keloid, bundel kolagen tebal dan

secara acak berorientasi melingkar (Rockwell, Cohen & Ehrlich 1989). Formasi keloid
ditandai dengan angiogenesis aktif dan hipoksia (Appleton, Brown & Willoughby 1996).
Oklusi beberapa microvessels oleh sel endotel yang berlebihan dapat menyebabkan
kondisi hipoksia lokal dan apoptosis (Kischer 1982).

2.1.7 Karakteristik Keloid

A. Peningkatan Selularitas
1. Lebih banyak sel secara histologi
2. Peningkatan kandungan DNA
3. Peningkatan aktivitas metabolik


B. Konten Proteoglikan Abnormal
1. Peningkatan kandungan proteoglikan
2. Peningkatan kadar air
3. Peningkatan ditandai di kondroitin-4 konten sulfat

C.Sintesis Kolagen Abnormal
1. Peningkatan sintesis kolagen dalam jaringan dan fibroblas keloid
2. Peningkatan jenis-III sintesis kolagen
3. Peningkatan kolagen terlarut
4. Kolagen cross-link yang masih imatur

D. Degradasi Kolagen Abnormal
1. Peningkatan konten kolagenase
2. Peningkatan isi α 1 -antitrypsin dan α 2 -macroglobulin
2.1.8 Etiologi
Beberapa faktor etiologi terjadinya keloid spontan tanpa adanya trauma jarang meskipun
beberapa kasus telah dilaporkan (Shaffer, Taylor & Masak-Bolden 2002). Namun, kejadian

Universitas Sumatera Utara


spontan seperti itu bisa menjadi hasil dari anak di bawah umur,akibat trauma yang diabaikan
pada kulit (Marneros & Krieg 2004).
Namun, telapak kaki dan telapak tangan yang merupakan lokasi tinggi ketegangan
kulit jarang menjadi tempat pembentukan keloid, dan tempat yang paling terpengaruh adalah
daun telinga yang berada di bawah tekanan minimal (Seifert & Mrowietz, 2009).
Peran faktor imunologi dalam pembentukan keloid belum diteliti secara rinci dan
masih harus dijelaskan. Infiltrasi sel kekebalan pada keloid termasuk limfosit T dan sel
dendritik

( Santucci et al . 2001) dan peningkatan jumlah makrofag , epidermal sel-sel

langerhans dan sel mast telah dicatat juga ( Niessen et al , 2004; . Smith , Smith & Finn ,
1987) . Beberapa penulis telah melaporkan hubungan dengan membran sel protein , seperti
HLA - DRB - 16 , B - 14 , dan BMW - 16 ( Datubo - Brown , 1990) , peningkatan tingkat
jaringan dari IgG , IgA , dan IgM ( Kischer et al . 1983) , dan respon imun yang abnormal
untuk sebum ( Yagi , Dafalla & Osman 1979) . Hipotesis sebum memberikan penjelasan
untuk adanya keloid di lokasi anatomi yang memiliki sedikit kelenjar sebaceous , seperti
telapak tangan dan kaki ( Seifert & Mrowietz 2009). Cedera dermal pada unit pilosebasea ke
sirkulasi sistemik, memulai respon imun yang diperantarai sel pada orang yang memiliki T
limfosit yang peka terhadap sebum. Yang berperan berikutnya sitokin , termasuk berbagai
interleukin dan TGF - beta , merangsang kemotaksis dari sel mast dan produksi kolagen oleh
fibroblas. Hipotesis ini juga memberikan alasan yang masuk akal mengapa hanya manusia ,
satu-satunya mamalia dengan kelenjar sebaceous, dipengaruhi oleh keloid jaringan parut ( Al
- Attar et al . 2006 ).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa banyak sitokin yang berbeda dan faktor
pertumbuhan yang terlibat dalam pembentukan keloid. Beberapa molekul penting yang
meningkat dalam keloid termasuk faktor pertumbuhan transformasi beta ( TGF - β ) ( Lee et
al . 1999) , interleukin - 6 ( IL - 6 ) ( Ghazizadeh , 2007) dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular ( VEGF ) ( Ong et al . 2007). Fibroblas keloid juga lebih responsif dalam tes
mitogenik untuk faktor pertumbuhan platelet derived ( PDGF ) ( Haisa , Okochi &
Grotendorst 1994) .
Faktor lain yang mungkin mendasari pertumbuhan dan pembentukan keloid adalah
resistensi terhadap apoptosis.

Fibroblas keloid ditemukan lebih tahan terhadap Fase

dimediasi apoptosis ( Chodon et al . 2000) dan yang berlebih dari reseptor insulin-like growth
factor- 1( IGF - 1 ) menghambat ceramid -induced apoptosis ( Ishihara et al . 2000). Selain
itu penurunan ekspresi gen proapoptotik ( Sayah et al . 1999) dan peningkatan ekspresi
inhibitor dari apoptosis ( Messadi et al . 2004) juga telah diamati pada keloid fibroblas.

Universitas Sumatera Utara

Hipoksia jaringan bisa menjadi faktor lain untuk patogenesis peningkatan tingkat
penanda hipoksia , hipoksia diinduksi faktor - 1α ( HIF - 1α ) terdeteksi pada keloid jaringan
dan hipoksia tampaknya meningkatkan ekspresi plasminogen activator inhibitor – 1 ( PAI - 1
) ( Zhang et al . 2003). Peningkatan aktivitas PAI - 1 berkorelasi dengan tingginya ekspresi
kolagen gel fibrin fibroblas pada keloid ( Tuan et al . 2003). Hipoksia –derivat VEGF juga
meningkat pada keloid ( Wu et al . 2004) .
Sementara sebagian besar penelitian in vitro fokus pada fibroblast keloid , bukti
terbaru menunjukkan interaksi antara keratinosit dan fibroblast di keloid . Untuk menguji
epitel - mesenchymal cross-talk di kulit , percobaan menggunakan keratinosit normal atau
keloid co -kultur dengan fibroblast normal atau keloid, keratinosit keloid menginduksi
terjadinya proliferasi fibroblas

keloid

ke tingkat yang lebih besar daripada keratinosit

normal, sedangkan proliferasi paling terlihat di fibroblas keloid tanpa keratinoctyes ( Lim et
al 2001; . Funayama et al . 2003). Selain itu , co- kultur normal atau keloid fibroblast dengan
keratinosit keloid mengakibatkan peningkatan ekspresi kolagen I dan III dibandingkan
dengan non co – kultur ( Lim et al . 2002) . Data ini menunjukkan bahwa interaksi epitel –
mesenchymal dapat memberikan kontribusi untuk patogenesis keloid.

2.1.9 Penatalaksanaan
Seperti banyak penyakit lainnya, pengobatan terbaik untuk keloid adalah pencegahan.
meskipun banyak modalitas pengobatan yang berbeda telah diusulkan, tak ada satupun yang
terbukti optimal. Bedah eksisi keloid yang dikaitkan dengan tingkat kekambuhan tinggi dan
karena itu harus dikombinasikan dengan beberapa terapi tambahan lainnya. Ini termasuk
terapi kompresi, terpal silikon, cryotherapy, radiasi atau terapi laser (Slemp & Kirschner
2006; Louw 2007).
Sayangnya, ada banyak kelemahan dari metode kompresi ini.
dibatasi oleh kemampuan untuk menyesuaikan

Terapi akhirnya

memadai garmen kedaerah cedera dan

ketidaknyamanan pasien sering mengurangi kepatuhan (Cheng et al. 1984). Keberhasilan
terpal silikon juga dibatasi oleh kepatuhan pasien, dan silikon dapat menyebabkan efek
samping, termasuk maserasi kulit dan ekskoriasi (Slemp & Kirschner 2006). Cryotherapy
dapat menyebabkan hipopigmentasi permanen akibat sensitivitas melanosit dan karena itu
kurang diminati pada pasien dengan kulit gelap (Louw 2007).

Universitas Sumatera Utara

Di sisi lain, terapi radiasi menyebabkan hiperpigmentasi dan membawa risiko radiasi
yang menyebabkan keganasan (Wolfram et al. 2009). Efikasi perawatan laser rendah dengan
tingkat kekambuhan 50% (Apfelberg et al. 1989).
Terapi farmakologis lain yang paling terkenal untuk mengurangi tingkat kekambuhan
adalah dengan penerapan kortikosteroid.

Potensi efek samping suntikan kortikosteroid

termasuk rasa sakit , atrofi kulit , pembentukan talangiectasia , depigmentasi , dan infeksi (
Urioste , Arndt & Dover 1999) . Pengobatan dengan interferon, yang merupakan sitokin
yang disekresikan oleh sel T -helper , dapat membantu mengurangi fibrosis , tetapi
pengobatan juga telah dilaporkan beberapa keberhasilan , tetapi memiliki efek samping yang
parah termasuk demam , menggigil , berkeringat di malam hari , kelelahan , mialgia dan sakit
kepala ( Wolfram et al . 2009).
5-Fluorouracil adalah senyawa lain yang telah berhasil digunakan sebagai agen
antiproliferatif suntikan bisa menyakitkan dan purpura dan ulkus telah dilaporkan ( Wolfram
et al . 2009 ) .
Efek samping dari perawatan di atas meskipun , pada akhirnya , tidak ada metode di
atas benar-benar efektif dalam mencegah kambuhnya keloid . Banyak upaya telah dilakukan
dengan tujuan utama mencari alternatif yang terbaik. Penelitian diarahkan untuk mengetahui
distribusi timbulnya keloid menurut golongan darah pada pasien

pasca luka di RSUP

H..Adam Malik Medan.
.
2.2. Penyembuhan Luka
Untuk memahami mekanisme yang mendasari keterlibatan dalam kondisi patologis seperti
jaringan parut dan fibrosis, hal ini berguna untuk review pertama apa yang diketahui tentang
respon jaringan normal terhadap cedera. Setelah melukai, serangkaian tertib acara dipicu,
dengan hasil akhir yang diinginkan menjadi pemulihan struktur anatomi dan fungsi. Peristiwa
ini dapat dikelompokkan menjadi empat tahap yang berbeda tetapi tumpang tindih,
hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodeling (Mast , 1992).

2.2.1. Hemostasis dan peradangan
Kaskade penyembuhan dimulai dengan agregasi trombosit di lokasi luka dan pelepasan
faktor pembekuan. Hal ini menyebabkan pembentukan bekuan fibrin untuk plug luka (Clark
2001).

Pada saat yang sama, faktor pertumbuhan dan sitokin dilepaskan dari serum

pembuluh darah yang terganggu dan terjadi degranulasi trombosit (Werner & Grose , 2003).

Universitas Sumatera Utara

Setelah hemostasis, neutrofil menyusup ke lokasi luka dan monosit diaktifkan
menjadi makrofag luka. Sel-sel inflamasi ini melayani dua tujuan: pertama sebagai sarana
untuk menghilangkan bahan asing, bakteri dan rusak komponen matriks oleh fagositosis, dan
kedua sebagai sumber faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk memulai tahap berikutnya
dari proses penyembuhan (Sylvia 2003; Diegelmann, Cohen & Kaplan 1981).

2.2.2. Proliferasi
Pada fase proliferatif , sel dominan di lokasi luka adalah fibroblast dermal ( Stadelmann ,
Digenis & Tobin 1998) .

Sel ini bertanggung jawab untuk memproduksi kolagen dan

komponen matriks ekstraseluler lainnya yang diperlukan untuk mengembalikan struktur dan
fungsi dari cedera jaringan. Setidaknya 23 jenis kolagen telah diidentifikasi tetapi tipe I
adalah dominan dalam jaringan parut kulit ( Prockop & Kivirikko 1995) . Juga selama ini
fase , keratinosit pada epidermis berkembang biak dan bermigrasi dari tepi luka
menyebabkan proses reepithelialization ( Santoro & Gaudino 2005). Selain itu, faktor-faktor
lokal dalam lingkungan mikro luka seperti pH rendah dan kurangnya tekanan oksigen
memulai pelepasan faktor angiogenik yang menyebabkan migrasi dan proliferasi sel endotel (
Knighton et al . 1983) . Angiogenesis besar mengarah pada pembentukan pembuluh darah
baru , dan jaringan ikat luka yang dihasilkan dikenal sebagai granulasi jaringan karena
penampilan granular dari banyak kapiler ( Werner & Grose . 2003). Sekitar seminggu setelah
luka telah terjadi , fibroblas dibedakan menjadi myofibroblasts dan luka mulai berkontraksi .
Myofibroblasts berisi sama jenis aktin seperti yang ditemukan dalam sel-sel otot polos , aktin
otot alpha - halus ( α - SMA ) untuk menghasilkan kekuatan lebih selama kontraktur ( Hinz ,
2006 ) .

2.2.3. Remodelling
Pada tahap akhir, kolagen mengalami silang untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitas.
Tahap ini ditandai dengan sintesis kolagen terus menerus dan katabolisme kolagen akhirnya
mengakibatkan bekas luka normal (Taman 1999). Proses ini membutuhkan keseimbangan
antara matriks biosintesis dan degradasi matriks. Sebuah gangguan dalam keseimbangan ini
baik karena deposisi matriks yang berlebihan atau penurunan degradasi matriks menyebabkan
keloid dan bekas luka hipertrofik (Raghow 1994).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1: Skema representasi dari berbagai tahap perbaikan luka (Werner & Grose.
2003). A: 12-24 jam setelah cedera daerah terluka diisi dengan bekuan darah. neutrofil
menyerang ke dalam bekuan darah. B: pada hari 3-7 setelah cedera, makrofag yang melimpah
di jaringan luka. Sel endotel bermigrasi ke dalam gumpalan, mereka berkembang biak dan
membentuk pembuluh darah baru. fibroblas bermigrasi ke jaringan luka, di mana mereka
berkembang biak dan deposito matriks ekstraseluler. Keratinosit berkembang biak di tepi
luka dan bermigrasi di atas matriks sementara. C: 1-2 minggu setelah cedera luka sudah
benar-benar diisi dengan jaringan granulasi. Luka benar-benar ditutupi dengan neoepidermis.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Kejadian Keloid menurut Golongan Darah
Alloantigen sel darah merah terdapat pada permukaan membran sel darah merah dan epitel
tertentu sel. Beberapa penelitian telah mendokumentasikan hubungan antara golongan darah
dan penyakit kulit tertentu (Abas, 2012).
Di India, Ramakrishnan et al. pada tahun 1974 telah menemukan bahwa ada lebih
banyak pasien golongan darah A yang menimbulkan koloid dibandingkan dengan golongan
darah lainnya (Abas, 2012).
Adanya kasus penyakit keloid familial, onset penyakit pada anak kembar, dan
prevalensi tinggi di beberapa kelompok etnis merupakan alasan yang kuat untuk mendukung
predisposisi genetik terhadap timbulnya keloid. Metode penurunannya adalah autosomal
dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap di kebanyakan penelitian di orang AfrikaAmerika dan Asia. Kelemahan gen dari keloid terletak pada kromosom 2q23 pada orang
Jepang, dan pada kromosom 7p11 pada orang Afrika-Amerika (Abas, 2012).
Meskipun tidak ada pewarisan yang telah diidentifikasi, pola telah diidentifikasi,
keloid berhubungan dengan golongan darah A dan antigen leukosit manusia antigen (HLA)B14, B21-,-BW35, -DR5,-DRB1,-DQA1,-DQB1, dan-DQW3. Penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa mutasi dari gen CDC2L1 yang mengkode protein-a kinase penting
untuk kontrol siklus sel dan berkorelasi dengan pembentukan keloid (Melinda, 2013).
Hasil penelitian di RSU DR.Sutomo Surabaya,didapatkan golongan darah yang
terbanyak menimbulkan keloid pasca luka adalah golongan darah B (Perdanakesuma
D,Gayatri,2009),
sampai saat ini di RSUP H.Adam Malik Medan belum ada penelitian mengenai distribusi
timbulnya keloid menurut golongan darah pada pasien pasca luka di RSUP H..Adam Malik
Medan.

Universitas Sumatera Utara