Isu Lokalitas Sejarah dan Religiusitas d

Isu Lokalitas, Sejarah, dan Religiusitas
dalam Film Animasi Indonesia
Oleh: Ardiyansah
azkanin@gmail.com

Perbendaharaan tanda-tanda visual sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi media
baru. Produksi film animasi yang sebelumnya rumit, kompleks dan hanya mampu dikerjakan
oleh studio-studio (bermodal) besar, kini relatif terjangkau bahkan untuk dikerjakan secara
individual. Terjadi proses demokratisasi, dimana informasi dan gagasan yang disampaikan
melalui film animasi tidak lagi dimonopoli oleh pihak-pihak yang menguasai modal. Siapa saja
dengan ketrampilan tertentu dapat membangun dan menyebarkan gagasan melalui film animasi.
Demokratisasi teknologi mendorong perkembangan animasi menjadi sangat eksploratif
dan majemuk. Animasi kini dapat berupa film, game, media pembelajaran, visual effect, dan lainlain yang dapat ditemukan di berbagai media seperti televisi, bioskop, smart phone, tablet, aneka
gadget dan produk-produk teknolog iterbaru termasuk live performance.
Meskipun demikian, nasib animasi (atau tepatnya: film animasi) masih identik “hanya”
sebagai tontonan anak-anak. Hal ini disebabkan kebanyakan film animasi populer lebih mengekspos konten bermuatan komedi dengan menampilkan karakter-karakter yang sepintas hanya
cocok bagi anak-anak. Film animasi cenderung dianggap sebagai hiburan ringan dengan
mengesampingkan potensi film animasi sebagai media komunikasi massa yang sama kuatnya
dengan media lain. Bahkan dengan fitur yang dimilikinya, film animasi memiliki keunggulan
untuk mengkomunikasikan gagasan melalui tanda-tanda visual secara lebih gamblang dan relatif
tanpa batas. Animasi mampu menggambarkan hal-hal yang mustahil disampaikan melalui media

komunikasi lainnya. Hal ini seperti dikatakan oleh Walt Disney, tokoh animasi terkemuka yang
masyhur:
“Animation can explain whatever the mind of man can conceive. This facility makes it the
most versatile and explicit means of communication yet devised for quick mass
appreciation.”
Film animasi tidak hanya sekedar menghibur, tetapi memenuhi seluruh fungsi
komunikasi massa menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney, yaitu: untuk membujuk (to
persuade), untuk menghibur (to entertain), memberikan informasi (to inform), dan menyebarkan
budaya (transmission of the culture).
Demokratisasi dalam produksi film animasi yang disebabkan makin terjangkaunya
teknologi digital (CGI/ Computer Generated Imagery) dan akses terhadap khalayak yang
terutama difasilitasi Internet, memicu kreativitas dan produktivitas film animasi. Bermunculan
beragam sub-genre, tema, dan eksplorasi teknik dalam film animasi yang saling“berdialog” dan
bertukar makna satu sama lain. Proses ini tidak hanya menghasilkan film animasi populer, tetapi
juga film animasi “alternatif” yang mengusung tema-tema minor, perlawanan, dan bahkan tabu
yang sengaja diangkat untuk tujuan tertentu. Film animasi seperti Fantastic Planet (La Planète

Sauvage), Persepolis, La Maison en Petits Cubes (Tsumiki no Ie), Minoru: Memory of Exile, dan
masih banyak lagi yang serupa, adalah beberapa contoh film animasi yang mengusung tematema diluar kebiasaan film animasi populer.


Kegairahan produksi film animasi dunia juga dirasakan di Indonesia. Dalam 5 (lima)
tahun terakhir, sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia seperti berlomba-lomba membuka
peminatan animasi. Di beberapa tempat, animasi bahkan telah diajarkan sejak usia dini.
Kompetisi dan festival film animasi diselenggarakan dan dirayakan mulai dari tingkat daerah
hingga nasional.

Meskipun kebangkitan industri film animasi di Indonesia secara umum berkembang
melalui jalur-jalur informal seperti komunitas dan pergaulan antar sesama pegiat animasi dari
berbagai belahan dunia melalui internet, industri animasi di Indonesia menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Banyak studio animasi di Indonesia dipercaya
mengerjakan berbagai proyek dari dalam dan luar negeri dengan berbagai skala produksi.
Animator dan pekerja kreatif terkait dari Indonesia juga banyak terlibat dalam proyek-proyek
film animasi prestisius seperti The Adventures of Tintin, Star Wars, Iron Man, atau
Transformers. Hal ini menunjukkan potensi besar industri animasi di Indonesia. Meskipun harus
diakui, potensi tersebut belum terkelola dengan baik dan cenderung jalan sendiri-sendiri.
Dari sisi konten, perkembangan film animasi di Indonesia juga menunjukkan gejala
membaik. Tema film animasi Indonesia kini beragam mulai dari komedi ringan hingga tematema satir bermuatan politik yang relatif kurang populer. Fenomena ini menunjukkan bahwa
konten film animasi Indonesia kontemporer semakin kaya.
Diantara tema-tema tersebut, yang paling menonjol saat ini adalah film animasi yang
mengangkat isu-isu lokalitas, sejarah, dan religiusitas. Film animasi lokal seperti berusaha

memberi “perlawanan” pada dominasi film animasi asing (yang isinya acap dituduh kurang
sesuai dengan “budaya bangsa”) yang lebih dulu mengakar bahkan turut membentuk wajah
beberapa generasi di Indonesia. Ada upaya menggunakan film animasi untuk merekonstruksi
nilai-nilai budaya dan identitas ke-Indonesia-an melalui “tanda-tanda” yang diyakini oleh
kelompok-kelompok penggagas film animasi tersebut sebagai representasi Indonesia.
Isu lokalitas berkaitan dengan identitas kedaerahan, kesukuan, atau fenomena sosial
tertentu yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Selain dongeng atau cerita-cerita rakyat,
kemunculan tanda-tanda visual kontemporer seperti bajaj, peci, baju koko, batik, wayang, bakso,
dan atribut-atribut khas lainnya dalam film animasi Indonesia, merupakan representasi kelompok
tertentu dalam rangka merekonstruksi identitas mereka melalui makna yang dibangun oleh
tanda-tanda visual. Lokalitas juga seringkali hadir dalam film animasi Indonesia sebagai
gagasan, nilai atau pesan tertentu yang tak kasat mata.
Sejarah menjadi tema lain yang paling banyak diangkat dalam film animasi Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengangkat kembali nilainilai luhur yang dianggap telah memudar sebagai konsekuensi perubahan jaman. Nilai-nilai

berupa kepahlawanan, kesetiaan, dan cinta Tanah Air menjadi isu sentral dalam film animasi
bertema sejarah tersebut.
Selain kedua tema tersebut diatas, yang patut kita perhatikan juga adalah semaraknya
produksi film animasi yang dimaksudkan sebagai rangkaian ekspresi religiusitas. Film animasi
tersebut biasanya memuat konten keagamaan secara lugas dan sengaja dimaksudkan sebagai

media pengabaran atau dakwah. Film animasi bertema religius ini diproduksi oleh kelompokkelompok agama atau kelompok ideologis tertentu dalam rangka membangun media alternatif
untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara lebih menghibur dan sekaligus
menunjukkan eksistensi (atau relevansi?) mereka dalam masyarakat teknologi yang cenderung
menegasikan peran agama.
Tema lokalitas, sejarah, dan religiusitas memang mendominasi narasi film animasi
Indonesia kontemporer. Meskipun demikian, tidak berarti tema-tema lain menjadi tidak
berkembang. Kita masih dapat menjumpai film animasi Indonesia yang mengusung tema fantasi
hingga abstrak yang kurang populer, meskipun kuantitas dan kualitasnya belum signifikan.
Pembahasan inipun belum meliputi animasi dalam iklan, multimedia, atau yang sifatnya
eksperimental. Betapapun, keragaman tersebut merupakan kekayaan ekspresi budaya yang patut
mendapatkan perhatian.
...
Disajikan dalam Diskusi Panel: Menuju Masa Depan Budaya Popular Indonesia.
Korea - ASEAN 25th Anniversary. New Icon: Pop in Asia.
Galeri Salihara 30/08/2014
Ardiyansah