Analisis Rasio Keuangan Terhadap Pertumbuhan Laba Pada Industri Textile yang Go Public di BEI (periode 2008-2012)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada umumnya masyarakat mengukur keberhasilan suatu perusahaan berdasarkan kinerja perusahaan tersebut. Kinerja perusahaan dapat dinilai melalui laporan keuangan yang disajikan secara teratur setiap periode (Juliana dan Sulardi, 2003). Brigham dan Enhardt (2003) menyatakan bahwa “informasi akuntasi mengenai kegiatan operasi perusahaan dan posisi keuangan perusahaan dapat diperoleh dari laporan keuangan”. Informasi akuntansi dalam laporan keuangan sangat penting bagi para pelaku bisnis seperti investor dalam pengambilan keputusan. Karena para investor akan menanamkan modalnya pada perusahaan yang memberikan return yang tinggi.

Agar bermanfaat informasi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Informasi dikatakan relevan jika dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka dalam mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini, atau masa yang akan datang, menegaskan atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu.

Financian Accounting Standards Board – FASB (1978), Statement Of Financial Accounting Concepts No.1, menyatakan bahwa fokus utama laporan keuangan adalah laba, jadi informasi laporan keuangan seharusnya mempunyai kemampuan untuk memprediksi laba dimasa depan. Laba sebagai suatu pengukuran kinerja perusahaan merefleksikan terjadinya proses peningkatan atau


(2)

penurunan modal dari berbagai sumber transaksi (Takarini dan Ekawati,2003). Laba perusahaan diharapkan akan mengalami kenaikan disetiap periode, sehingga dibutuhkan estimasi laba yang akan dicapai perusahaan untuk periode yang akan datang. Estimasi terhadap laba dapat dilakukan dengan menganalisis laporan keuangan.

Analisis laporan keuangan yang dilakukan dapat berupa perhitungan dan interprestasi melalui rasio keuangan. Jika rasio keuangan dapat dijadikan sebagai prediktor pertumbuhan laba di masa yang akan datang, temuan ini merupakan pengetahuan yang cukup berguna bagi para pemakai laporan keuangan yang secara riil, maupun potensial yang berkepentingan dengan suatu perusahaan.

Rasio keuangan yang dipakai memprediksi pertumbuhan laba dalam penelitian ini adalah rasio likuiditas, solvabilitas, aktivitas, dan profitabilitas. Rasio likuiditas diwakili oleh Working Capital to Total Assets, rasio solvabilitas/ leverage diwakili oleh Debt to Equity Ratio, rasio aktivitas diwakili oleh Total Assets Turnover, dan rasio profitabilitas diwakili oleh Net Profit Margin dan Gross Profit Margin.

Working Capital To Total Asset (WCTA) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas dari total aktiva dan posisi modal kerja (netto). Semakin tinggi WCTA maka semakin besar modal kerja yang diperoleh perusahaan dibanding total aktivanya. Dengan modal kerja yang besar, maka kegiatan operasional perusahaan menjadi lancar sehingga pendapatan yang diperoleh meningkat dan ini mengakibatkan laba yang diperoleh meningkat (Reksoprayitno, 1991). Namun terdapat ketidaksamaan diantara peneliti mengenai WCTA,


(3)

penelitian yang dilakukan Takarini dan Ekawati (2003)menunjukkan rasio likuiditas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba satu tahun mendatang. Namun penelitian yang dilakukan Mahfoedz (1994) dan Suwarno (2004) menunjukkan bahwa WCTA tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba untuk satu tahun mendatang.

Debt to Equity Ratio (DER) adalah salah satu rasio solvabilitas yang digunakan untuk mengukur modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan kewajiban atau hutang. Semakin tinggi DER menunjukkan semakin tinggi penggunaan hutang sebagai sumber pendanaan perusahaan. Hal ini dapat menimbulkan resiko yang cukup besar bagi perusahaan ketika perusahaan tidak mampu membayar kewajiban tersebut pada saat jatuh tempo, sehingga akan mengganggu kontinuitas operasi perusahaan. Penelitian Indarti (2000) menunjukkan bahwa DER berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan laba. Sedangkan penelitian Dwi Raharja dan Kusumaning (2004) menunjukkan bahwa DER tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba.

Selain itu, perusahaan akan dihadapkan pada biaya bunga yang tinggi sehingga dapat menurunkan laba perusahaan. Total Assets Turnover (TAT) berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan menggunakan total aktivanya dalam menghasilkan penjualan bersih (Ang, 1997). TAT mencerminkan efisiensi manajemen investasi dalam setiap pos aktiva. Semakin besar TAT maka semakin efisien penggunaan seluruh aktiva perusahaan untuk menunjang kegiatan penjualan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan semakin baik sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Penelitian Ou (1990) dan Asyik dan


(4)

Soelistyo (2000) menunjukkan bahwa TAT berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suwarno (2004), Takarini dan Ekawati (2003), Juliana dan Sulardi (2003) serta Meythi (2005) yang menunjukkan bahwa TAT tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba.

Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan pendapatan bersihnya terhadap total penjualan bersih yang dicapai perusahaan (Riyanto, 1995). Semakin tinggi NPM maka semakin meningkat laba bersih yang dicapai perusahaan terhadap penjualan bersihnya. Meningkatnya NPM akan meningkatkan daya tarik investor untuk menginvestasikan modalnya, sehingga laba perusahaan akan meningkat (Reksoprayitno, 1991). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asyik dan Soelistyo (2000) dan Suwarno (2004) yang menunjukkan bahwa NPM berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan. Namun berbeda dengan hasil penelitian Meythi (2005), Takarini dan Ekawati (2003) dan Juliana dan Sulardi (2003) menunjukkan bahwa NPM tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan.

Gross Profit Margin (GPM) adalah perbandingan antara laba kotor (penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan) dengan penjualan bersih. Data gross profit margin ratio dari beberapa periode akan dapat memberikan informasi tentang kecenderungan GPM yang diperoleh dan bila dibandingkan standar rasio akan diketahui apakah margin yang diperoleh perusahaan sudah tinggi atau


(5)

GPM berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan. Sedangkan penelitian Meythi (2005) dan Usman (2003) menunjukkan bahwa GPM tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan.

Berdasarkan bukti empiris yang menghubungkan antara rasio keuangan (WCTA, DER, TAT, NPM dan GPM) terhadap pertumbuhan laba dan penelitian-penelitian terdahulu (research gap) masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali pengaruh rasio-rasio keuangan tersebut terhadap pertumbuhan laba terutama pada industri textile di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008 sampai dengan 2012. Pemilihan perusahaan textile di BEI dikarenakan industri textile merupakan industri yang turut berperan dalam membangun perekonomian Indonesia. Selain itu industri textile merupakan perusahaan yang berorientasi pada laba. Laba mempunyai peranan yang sangat dominan dalam sebuah perusahaan untuk menentukan apakah perusahaan tersebut akan pailit atau dapat terus bertahan di dunia perindustrian.

Industri textile dan produk textile (TPT) mulai tumbuh lamban serta terbatas dan hanya mampu memenuhi pasar domestik di Indonesia pada tahun 1970-1985 dengan masuknya investasi hulu ( spinning dan man-made fiber making) dengan segmen pasar rendah-menengah. Tahun 1986-1997 TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dan terus meningkat. Pada periode ini Indonesia berhasil membuktikan industri textile sebagai penghasil devisa negara sektor non-migas. Pada periode ini pakaian menjadi komoditi primadona. Tahun 1998-2002 merupakan periode


(6)

paling sulit. Pada tahun 1997 krisis moneter melanda negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Hal ini seharusnya membuat produk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia lebih kompetitif bagi konsumen luar negeri, karena harga TPT Indonesia menjadi lebih murah. Namun kenyataannya nilai ekspor TPT menurun hingga US$ 1,3 miliar pada tahun 1997 (CIC, 2001). Hal ini terus berlangsung hingga tahun 2002. Periode 2003-2006 merupakan periode outstanding rehabilitation, normalization, dan expansion. Pada periode ini dilakukan upaya revitalisasi stagnant yang disebabkan muliti-kendala, antara lain (1) sulitnya pembiayaan, dan (2) iklim usaha yang tidak kondusif. Periode 2007 hingga sekarang dimulai restrukturisasi permesinan industri textile Indonesia. Meskipun tingkat kinerja yang dihasilkan tidak kostan, namun pada tahun 2011 pertumbuhan industri textile mencapai 7,5%. Tahun 2012, pertumbuhan industri textile masih positif meskipun nilainya lebih rendah dibandingkan tahun 2011. Asosiasi pertekstilan Indonesia (API) mencatat, hingga akhir tahun 2012 jumlah unit usaha TPT di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 5%, yang semula 2.886 unit usaha kini menjadi 2916 unit usaha hingga akhir febuari 2013. Meskipun demikian, industri textile juga menghadapi tantangan. Perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara telah memberikan tekanan terhadap pangsa pasar produk dalam negeri Indonesia, meski demikian industri textile tidak dapat ditinggalkan (Ade,2011). Hal ini menunjukkan industri textile belum mampu mengelola modal dan SDM secara baik untuk meningkatkan laba perusahaan.


(7)

Penelitian ini adalah penelitian replika yang dilakukan oleh Cahyaningrum (2012) “Analisis Manfaat Rasio Keuangan Dalam Memprediksi Pertumbuhan Laba (Studi Kasus: Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2005 sampai dengan 2010)”. Hasil pengujian menunjukkan seluruh variabel independen dalam penelitian ini hanya menyumbang 33,5% dari keseluruhan variabel independen. Artinya masih terdapat 66,5% variabel-variabel independen lain yang belum diketahui dan diteliti secara ilmiah mempengaruhi pertumbuhan laba. Penelitian ini tidak dapat berlaku secara umum karena hanya dapat digeneralisasi pada objek yang diteliti dan pada periode amatan, tidak pada objek yang lain.

Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek penelitian dan tahun penelitian, serta penambahan variabel berupa gross profit margin. Penambahan variabel ini dikarenakan gross profit margin menggambarkan efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksinya, mengindikasikan kemampuan untuk berproduksi secara efisien. Dan penambahan variabel tersebut untuk memperkuat alasan pengaruh rasio profitabilitas terhadap pertumbuhan laba selain NPM.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS RASIO KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN LABA PADA INDUSTRI TEXTILE YANG GO PUBLIC DI BEI (PERIODE 2008-2012)”


(8)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah Working Capital To Total Asset, Debt to Equity Ratio, Total Assets Turnover, Net Profit Margin, dan Gross Profit Margin berpengaruh baik secara simultan maupun parsial terhadap pertumbuhan laba pada industri textile?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh Working Capital ToTotal Asset, Debt to Equity Ratio, Total Assets Turnover, Net Profit Margin, dan Gross Profit Margin terhadap pertumbuhan laba pada industri textile baik secara simultan maupun secara parsial.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan apabila ditanya pendapatnya mengenai analisis manfaat rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba pada industri textile yang go public di BEI (periode 2008-2012)

2. Bagi Emiten, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan di dalam pengambilan keputusan dalam bidang keuangan terutama dalam rangka memaksimumkan laba perusahaan dengan memperhatikan faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini.


(9)

3. Bagi Investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan investasi pada industri textile di Bursa Efek Indonesia (BEI).

4. Bagi Pihak Lain, Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi penelitian sejenis dengan objek yang sama di masa yang akan datang.


(1)

Soelistyo (2000) menunjukkan bahwa TAT berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suwarno (2004), Takarini dan Ekawati (2003), Juliana dan Sulardi (2003) serta Meythi (2005) yang menunjukkan bahwa TAT tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba.

Net Profit Margin (NPM) merupakan rasio yang mengukur kemampuan

perusahaan menghasilkan pendapatan bersihnya terhadap total penjualan bersih yang dicapai perusahaan (Riyanto, 1995). Semakin tinggi NPM maka semakin meningkat laba bersih yang dicapai perusahaan terhadap penjualan bersihnya. Meningkatnya NPM akan meningkatkan daya tarik investor untuk menginvestasikan modalnya, sehingga laba perusahaan akan meningkat (Reksoprayitno, 1991). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asyik dan Soelistyo (2000) dan Suwarno (2004) yang menunjukkan bahwa NPM berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan. Namun berbeda dengan hasil penelitian Meythi (2005), Takarini dan Ekawati (2003) dan Juliana dan Sulardi (2003) menunjukkan bahwa NPM tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan.

Gross Profit Margin (GPM) adalah perbandingan antara laba kotor

(penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan) dengan penjualan bersih. Data gross profit margin ratio dari beberapa periode akan dapat memberikan informasi tentang kecenderungan GPM yang diperoleh dan bila dibandingkan standar rasio akan diketahui apakah margin yang diperoleh perusahaan sudah tinggi atau sebaliknya. Didalam penelitian Juliana dan Sulardi (2003) menunjukkan bahwa


(2)

GPM berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan. Sedangkan penelitian Meythi (2005) dan Usman (2003) menunjukkan bahwa GPM tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan laba satu tahun ke depan.

Berdasarkan bukti empiris yang menghubungkan antara rasio keuangan (WCTA, DER, TAT, NPM dan GPM) terhadap pertumbuhan laba dan penelitian-penelitian terdahulu (research gap) masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali pengaruh rasio-rasio keuangan tersebut terhadap pertumbuhan laba terutama pada industri textile di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2008 sampai dengan 2012. Pemilihan perusahaan textile di BEI dikarenakan industri textile merupakan industri yang turut berperan dalam membangun perekonomian Indonesia. Selain itu industri

textile merupakan perusahaan yang berorientasi pada laba. Laba mempunyai

peranan yang sangat dominan dalam sebuah perusahaan untuk menentukan apakah perusahaan tersebut akan pailit atau dapat terus bertahan di dunia perindustrian.

Industri textile dan produk textile (TPT) mulai tumbuh lamban serta terbatas dan hanya mampu memenuhi pasar domestik di Indonesia pada tahun 1970-1985 dengan masuknya investasi hulu ( spinning dan man-made fiber making) dengan segmen pasar rendah-menengah. Tahun 1986-1997 TPT Indonesia mulai tumbuh pesat dan terus meningkat. Pada periode ini Indonesia berhasil membuktikan industri textile sebagai penghasil devisa negara sektor non-migas. Pada periode ini


(3)

paling sulit. Pada tahun 1997 krisis moneter melanda negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Hal ini seharusnya membuat produk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia lebih kompetitif bagi konsumen luar negeri, karena harga TPT Indonesia menjadi lebih murah. Namun kenyataannya nilai ekspor TPT menurun hingga US$ 1,3 miliar pada tahun 1997 (CIC, 2001). Hal ini terus berlangsung hingga tahun 2002. Periode 2003-2006 merupakan periode outstanding rehabilitation, normalization,

dan expansion. Pada periode ini dilakukan upaya revitalisasi stagnant yang

disebabkan muliti-kendala, antara lain (1) sulitnya pembiayaan, dan (2) iklim usaha yang tidak kondusif. Periode 2007 hingga sekarang dimulai restrukturisasi permesinan industri textile Indonesia. Meskipun tingkat kinerja yang dihasilkan tidak kostan, namun pada tahun 2011 pertumbuhan industri textile mencapai 7,5%. Tahun 2012, pertumbuhan industri textile masih positif meskipun nilainya lebih rendah dibandingkan tahun 2011. Asosiasi pertekstilan Indonesia (API) mencatat, hingga akhir tahun 2012 jumlah unit usaha TPT di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 5%, yang semula 2.886 unit usaha kini menjadi 2916 unit usaha hingga akhir febuari 2013. Meskipun demikian, industri textile juga menghadapi tantangan. Perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara telah memberikan tekanan terhadap pangsa pasar produk dalam negeri Indonesia, meski demikian industri textile tidak dapat ditinggalkan (Ade,2011). Hal ini menunjukkan industri textile belum mampu mengelola modal dan SDM secara baik untuk meningkatkan laba perusahaan.


(4)

Penelitian ini adalah penelitian replika yang dilakukan oleh Cahyaningrum (2012) “Analisis Manfaat Rasio Keuangan Dalam Memprediksi Pertumbuhan Laba (Studi Kasus: Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2005 sampai dengan 2010)”. Hasil pengujian menunjukkan seluruh variabel independen dalam penelitian ini hanya menyumbang 33,5% dari keseluruhan variabel independen. Artinya masih terdapat 66,5% variabel-variabel independen lain yang belum diketahui dan diteliti secara ilmiah mempengaruhi pertumbuhan laba. Penelitian ini tidak dapat berlaku secara umum karena hanya dapat digeneralisasi pada objek yang diteliti dan pada periode amatan, tidak pada objek yang lain.

Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek penelitian dan tahun penelitian, serta penambahan variabel berupa gross profit

margin. Penambahan variabel ini dikarenakan gross profit margin

menggambarkan efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksinya, mengindikasikan kemampuan untuk berproduksi secara efisien. Dan penambahan variabel tersebut untuk memperkuat alasan pengaruh rasio profitabilitas terhadap pertumbuhan laba selain NPM.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS RASIO KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN LABA PADA INDUSTRI TEXTILE YANG GO PUBLIC DI BEI (PERIODE 2008-2012)”


(5)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah Working Capital To Total Asset, Debt to Equity

Ratio, Total Assets Turnover, Net Profit Margin, dan Gross Profit Margin

berpengaruh baik secara simultan maupun parsial terhadap pertumbuhan laba pada industri textile?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh Working Capital ToTotal Asset, Debt to Equity Ratio, Total Assets

Turnover, Net Profit Margin, dan Gross Profit Margin terhadap pertumbuhan laba

pada industri textile baik secara simultan maupun secara parsial.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan apabila ditanya pendapatnya mengenai analisis manfaat rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba pada industri

textile yang go public di BEI (periode 2008-2012)

2. Bagi Emiten, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan di dalam pengambilan keputusan dalam bidang keuangan terutama dalam rangka memaksimumkan laba perusahaan dengan memperhatikan faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini.


(6)

3. Bagi Investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan investasi pada industri textile di Bursa Efek Indonesia (BEI).

4. Bagi Pihak Lain, Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi penelitian sejenis dengan objek yang sama di masa yang akan datang.