Analisa Balok Prategang Jembatan Jl. Sudirman dan Dibandingkan Menggunakan Balok Komposit Baja- Beton (Studi Kasus)
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Umum
Balok merupakan komponen struktur jembatan yang penting. Balok pada
jembatan ini berfungsi untuk memikul sekaligus menyalurkan beban dari lantai
kendaraan ke kolom-kolom jembatan atau disebut dengan pier.
Balok jembatan yang sering kita jumpai dapat berupa baja ataupun beton
bertulang. Balok dengan bahan baja umumnya dijumpai pada jembatan komposit
yaitu balok baja yang digabungkan dengan slab beton di atasnya, sedangkan balok
beton bertulang biasa banyak dijumpai pada jembatan dengan bentang pendek.
Balok beton bertulang biasa memiliki keterbatasan bila digunakan untuk
bentang yang panjang. Balok dengan bentang yang panjang akan mengakibatkan
beban yang lebih besar pula.Hal ini akan berpengaruh pada penampang balok
beton yang lebih besar lagi, sehingga tidak efisien dalam memikul beban serta
dalam biaya konstruksi.
Sebagaimana kita ketahui sifat alami beton adalah lemah terhadap Tarik,
namun kuat dalam keadaan tekan. Menurut Edward G. Nawy (2001), kuat tarik
beton bervariasi antara 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Karena rendahnya
kuat tarik pada beton, maka retak akibat lentur sering terjadi meskipun
pembebanan masih rendah.
8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang [Budiadi, 2008]
Untuk meminimalisir keretakan yang terjadi akibat tarik tersebut,
diberikan gaya eksentris dalam arah longitudinal elemen struktur tersebut. Gaya
ini bekerja dengan mengurangi tegangan tarik yang terjadi pada daerah tumpuan
dan daerah kritis pada saat beban bekerja. Akibat gaya ini hampir semua elemen
beton memikul tekan pada saat semua beban rencana bekerja di struktur tersebut.
Gaya longitudinal di atas disebut gaya pratekan, yaitu gaya tekan yang
mengakibatkan tegangan awal pada penampang di sepanjang bentang sebelum
beban rencana bekerja.
Banyak buku yang menyebutkan nama yang berbeda sebagai penggagas
pratekan ini, namun menurut Andri Budiadi (2008) system penegangan ini mulai
digunakan pada tahun 1886 saat PH. Jackson dari Amerika Serikat membuat
konstruksi pelat atap.
Gambar 2.2 Struktur Beton Pratekan Pertama oleh Jackson, 1886 [Budiadi,2008]
9
Universitas Sumatera Utara
Atas gagasan inilah konsep gelagar beton bertulang konvensional
berkembang pesat menjadi beton prategang. Dengan konsep ini penggunaan beton
pada konstruksi jembatan tidak lagi hanya sebatas beton dengan gelagar pendek
namun mampu menghasilkan jembatan beton dengan gelagar menengah hingga
panjang.
Sehingga dapat kita simpulkan beton prategang adalah beton yang diberi
tegangan awal sebelum beban bekerja untuk mengimbangi beban luar yang akan
dipikulkan kepadanya, sehingga seluruh komponen beton dapat bekerja secara
optimal. Yang dimaksudkan optimal yaitu keseluruhan beton menerima gaya
tekan sehingga sifat alami beton bekerja optimal yaitu kuat terhadap tekan.
Menurut Manual Bina Marga,Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk
Jembatan (2011), beberapa keuntungan digunakannya sistem beton pratekan
adalah:
1. Terhindar dari retak terbuka di daerah tarik, sehingga dengan demikian
beton pratekan lebih tahan terhadap penetrasi klorida
2. Lebih kedap air, sehingga air pada plat jembatan tidak mudah meresap.
3. Dapat diperoleh defleksi struktur yang lebih kecil sehingga terbetuknya
lawan lendut (chamber) dari konfigurasi layout kabel prategang sepanjang
elemen.
4. Penampang struktur lebih kecil/langsing karena seluruh luas penampang
dapat digunakan secara efektif.
5. Memungkinkan bentang yang lebih panjang dibandingkan beton bertulang.
10
Universitas Sumatera Utara
6. Karena kabel prategang menggunakan mutu baja tinggi, sehingga
kapasitas penampangnya jauh lebih besar daripada tulangan biasa dengan
luas tulangan yang sama
2.2 Proses Pencetakan Beton
Salah satu butir pekerjaan pada proyek yaitu pencetakan beton. Beradasarkan
tempat pencetakannya, balok girder dibedakan atas dua jenis:
1.
Cast in Place
Pada metode ini beton dicetak langsung di lapangan. Metode ini
membutuhkan waktu pelaksanaan konstruksi yang lebih lama, sebab beton yang
dicetak harus ditunggu sampai umur rencana kemudian dapat mengerjakan
kostruksi diatasnya. Namun metode ini sangat efisien untuk proyek dengan akses
transportasi yang sulit.
Gambar 2.3 Pencetakan Beton di lapangan
11
Universitas Sumatera Utara
2.
Precast
Precast merupakan metode pencetakan beton yang dilakukan di pabrik.
Pada metode ini, beton telah dikerjakan terlebih dahulu di pabrik meskipun
pekerjaan di lapangan belum sampai pada tahap teresebut. Beton yang telah
dicetak di pabrik akan dikirim ke lokasi proyek dengan menggunakan flat bed jika
umur rencana sudah memenuhi.
Metode ini sangat baik diterapkan di lapangan sehingga dapat
mengefisienkan waktu pelaksanaan konstruksi.Metode ini juga cocok untuk
proyek dengan lahan yang sempit, dimana tidak tersedianya lahan untuk
pencetakan balok di lapangan.Kekurangan dari metode ini tidak bisa dipakai jika
akses menuju proyek tidak memadai. Hal ini akan menghambat pengiriman beton
dari pabrik menuju proyek.
Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik [Wika Beton]
2.3 Proses Penarikan Kabel (Stressing)
Ada dua metode yang digunakan dalam pemberian tegangan kabel pada
beton, yaitu Pre-Tension (pratarik) dan Post-Tension (pascatarik).
12
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Pratarik
Metode ini biasanya dilakukan di pabrik. Pada metode ini kabel ditarik
terlebih dahulu, kemudian beton dicor pada cetakan bersamaan dengan kabel
tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai kekuatan rencana, maka kabel di
potong. Pada saat baja mengalami kontraksi, maka beton akan tertekan. Metode
ini tidak menggunakan duct, yaitu saluran kabel di dalam beton.Metode ini hanya
bisa dilakukan untuk tendon yang lurus saja, dan tidak memungkinkan untuk
tendon berbentuk kurva karena pengerjaan yang sulit.
a. Kabel di tarik dan diangkur
b. Beton dicorbersamaan dengan kabel dan dibiarkan mengeras
c. Kabel dipotong dan beton akan mengalami gaya tekan
Gambar 2.5 Metode Penarikan Kabel Pratarik
13
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pascatarik
Proses penarikan kabel metode ini biasanya dilakukan di lapangan.
Penarikan dilakukan setelah beton mengeras. Dengan metode ini memungkinkan
membentuk kabel menjadi kurva karena sebelum beton dicor, terlebih dahulu
disediakan duct (saluran kabel). Dengan adanya duct ini kita dapat membentuk
alur kabel nantinya setelah beton mengeras.
a. Kabel Dimasukkan ke Dalam Duct Setelah Beton Mengeras
b. Kabel Ditarik
d. Kabel Diangkur dan Di-grouting
Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik
2.4 Jenis Balok Girder
Berdasarkan bentuk tampang, girder beton jembatan secara umum
dibedakan atas 3 jenis yaitu PCI girder, PCU girder, dan box girder.
2.4.1 PCI Girder
PCI girder (Precast-Prestress Concrete I Girder) yaitu balok girder yang
memiliki tampang bentuk huruf I. PCI girder ini terdiri atas beberapa buah balok
14
Universitas Sumatera Utara
dalam satu bentang jembatan. Contoh struktur yang menggunakan PCI girder
yaitu pada Jembatan Sudirman ini dan banyak konstruksi lainnya.
Gambar 2.7 Bentuk tampang balok girder PCI Girder
2.4.2 PCU Girder
PCU (Precast-Prestress Concrete U Girder) adalah balok girder yang
memiliki bentuk tampang huruf U. Sama halnya seperti I girder, dalam satu
bentang jembatan terdiri atas beberapa balok girder (balok segmental). Salah satu
contoh penggunaan PCU girder ini adalah pada jembatan fly-over Amplas Medan.
Jenis yang terakhir adalah box girder.
Gambar 2.8 Bentuk tampang balok girder PCU Girder [Wika Beton]
15
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Box Girder
Box girder adalah jenis girder yang memiliki bentuk tampang box persegi.
Contoh penggunaan box girder adalah pada jembatan fly-over Simpang Pos
Medan.
Bentuk tampang tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girderBox Girder [https://dukenmarga.
wordpress.com/category/sipil/]
2.5 Peraturan Pembebanan
Sebelum melakukan perhitungan analisa struktur, hal yang terlebih dahulu
dilakukan yaitu menganalisa beban-beban yang akan bekerja. Peraturan
pembebanan yang tersedia sangatlah banyak, sehingga terkadang menyulitkan
perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturanperaturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI
2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan
dalam menganalisa beban-beban rencana.
Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Beban mati
2. Beban hidup
16
Universitas Sumatera Utara
3. Beban kejut
2.5.1 Beban mati
Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal
dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala
unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati (kN/m3)
No. Bahan
1
Campuran aluminium
2
Lapisan permukaan
Berat/ Satuan Isi Kerapatan Massa
(kN/m3)
(kg/m3)
26,7
2720
22,0
2240
71,0
7200
17,2
1760
18,8-22,7
1920-2320
beraspal
3
Besi tuang
4
Timbunan tanah
dipadatkan
5
Kerikil dipadatkan
6
Aspal beton
22,0
2240
7
Beton ringan
12,25-19,6
1250-2000
8
Beton
22,0-25,0
2240-2560
9
Beton prategang
25,0-26,0
2560-2640
10
Beton bertulang
23,5-25,5
2400-2600
11
Timbal
111
11400
12
Lempung lepas
12,5
1280
17
Universitas Sumatera Utara
13
Batu pasangan
23,5
2400
14
Neoprin
11,3
1150
15
Pasir kering
15,7-17,2
1600-1760
16
Pasir basah
18,0-18,8
1840-1920
17
Lumpur lunak
17,2
1760
18
Baja
77,0
7850
19
Kayu (ringan)
7,8
800
20
Kayu (keras)
11,0
1120
21
Air murni
9,8
1000
22
Air garam
10,0
1025
23
Besi tempa
75,5
7680
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer
dan beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat
sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing
gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang
berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah
pelat dicor.
2.5.2 Beban hidup
Beban hidup yang harus ditinjau dalam perencanaan beban jembatan
terdiri atas dua yaitu beban truk “T” dan beban lajur “D”.
18
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan
bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek.
2.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum
lajur lalulintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana
Tipe Jembatan (1)
Lebar Jalur Kendaraan Jumlah Lajur Lalu Lintas
(m) (2)
Rencana (n1)
Satu lajur
4,0 - 5,0
1
Dua arah, tanpa median
5,5 – 8,25
2 (3)
11,3 – 15,0
4
8,25 – 11,25
3
11,3 – 15,0
4
15,1 – 18,75
5
18,8 – 22,5
6
Banyak arah
CATATAN (1)
Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang.
CATATAN (2)
Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau
rintangan
untuk
satu
arah
atau
jarak
antara
kerb/rintangan/median untuk banyak arah.
CATATAN (3)
Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur adalah 6,0 m. Lebar
jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh
19
Universitas Sumatera Utara
karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi
seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.5.2.2 Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan
pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam
perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk
tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan
maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 2.10 Pembebanan truk “T” (500 kN) [RSNI T-02-2005]
Faktor penyebaran beban truk “T” pada arah melintang gelagar jembatan disajikan
dalam tabel berikut:
20
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis bangunan
atas
Jembatan jalur tunggal
Jembatan jalur majemuk
S/4,2
S/3,4
(bila S>3,0 m lihat catatan 1)
(bila S>4,3 m lihat catatan 1)
S/4,0
S/3,6
(bila S>1,8 m lihat catatan 1)
(bila S>3,0 m lihat catatan 1)
S/4,8
S/4,2
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
(bila S>4,9 m lihat catatan 1)
Lantai papan kayu
S/2,4
S/2,2
Lantai baja
gelombang tebal
50 mm atau lebih
S/3,3
S/2,7
S/2,6
S/2,4
S/3,6
S/3,0
(bila S>3,6 m lihat catatan 1)
(bila S>3,2 m lihat catatan 1)
Pelat lantai beton
di atas:
- balok baja I atau
balok beton
pratekan
- balok beton
bertulang T
- balok kayu
Kisi-kisi baja
kurang dari
tebal 100 mm
tebal 100
mm atau lebih
CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban
roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai balok
sederhana
CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang
disebabkan oleh S/factor ≥ 0,5
CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
21
Universitas Sumatera Utara
Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut:
a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa
peninggian), S = bentang bersih
b. Untuk [pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau
tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan
tumpuan.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil pengaruh antara beban
kendaraan yang bergerak dengan jembatan.Untuk pembebanan truk ditetapkan
sebesar 30%. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas
permukaan tanah.
2.5.2.3 Beban lajur “D”
Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur
kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu
iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada
besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.
a. Beban terbagi rata
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang
bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa
L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah
Dengan:
q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan (kPa)
22
Universitas Sumatera Utara
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.11 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani
[RSNI T-02-2005]
b. Beban garis
Beban ini dilambangkan p kN/m dengan arah yang tegak lurus terhadap arus
lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.
Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam
gambar berikut
Gambar 2.12 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D”
[RSNI T-02-2005]
23
Universitas Sumatera Utara
Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 2.13 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005]
Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut:
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan
pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (table 2.2)
dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar
n1x2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN,
kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n1 x 2,75 m.
3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan
dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan
pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%.
Susunan pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
24
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.14 Penyebaran pembebanan arah melintang
2.6 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi beban rencana dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompokkelompok yaitu:
a. Kombinasi dalam batas daya layan
b. Kombinasi dalam batas ultimit
c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja
Faktor beban yang digunakan untuk menghitung aksi rencana disajikan dalam
table berikut:
25
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Faktor Pembebanan
Pasal
No
Faktor Beban pada Keadaan
Batass
Aksi
Nama
Simbol
(1)
Lamanya
waktu (3)
Daya
Layan
K S;xx;
Ultimit K U;;XX;
Normal
Terkurangi
5.2
Berat Sendiri
PMS
Tetap
1,0
*(3)
*(3)
5.3
Beban Mati
Tambahan
Tetap
1,0/1,3
(3)
2,0/1,4
(3)
0,7/0,8
PMA
5.4
Penyusutan
dan Rangkak
PSR
Tetap
1,0
1,0
N/A
5.5
Prategang
PPR
Tetap
1,0
1,0
N/A
5.6
Tekanan Tanah
PTA
Tetap
1,0
*(3)
*(3)
5.7
Beban
Pelaksanaan
Tetap
PPL
Tetap
1,0
1,25
N/A
6.3
Beban Lajur
“D”
TTD
Trans
1,0
1,8
N/A
6.4
Beban Truk
“T”
TTT
Trans
1,0
1,8
N/A
6.7
Gaya Rem
TTB
Trans
1,0
1,8
N/A
6.8
Gaya
Sentrifugal
TTR
Trans
1,0
1,8
N/A
6.9
Beban Trotoar
TTP
Trans
1,0
1,8
N/A
6.10
Beban-Beban
Tumbukan
TTC
Trans
*(3)
*(3)
N/A
7.2
Penurunan
PES
Tetap
1,0
N/A
N/A
7.3
Temperatur
TET
Trans
1,0
1,2
0,8
7.4
Aliran/Benda
Hanyutan
TEF
Trans
1,0
*(3)
N/A
(3)
26
Universitas Sumatera Utara
7.5
Hidro/Daya
Apung
TEU
Trans
1,0
1,0
1,0
7.6
Angin
TEW
Trans
1,0
1,2
N/A
7.7
Gempa
TEQ
Trans
N/A
1,0
N/A
8.1
Gesekan
TBF
Trans
1,0
1,3
0,8
8.2
Getaran
TVI
Trans
1,0
N/A
N/A
8.3
Pelaksanaan
TCL
Trans
*(3)
*(3)
*(3)
CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk
beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk PMS = berat
sendiri nominal, P*MS= Berat sendiri rencana
CATATAN (2) Trans = transien
CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai
CATATAN (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana
pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor
beban yang cocok adalah nol
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri
Faktor Beban
Jangka
Waktu
KU;;MS;
KS;;MS;
Biasa
Terkurangi
Baja, aluminium
1,0
1,1
0,9
Beton pracetak
1,0
1,2
0,85
Beton dicor di tempat
1,0
1,3
0,75
Kayu
1,0
1,4
0,7
Tetap
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
27
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan
Faktor Beban
Jangka
Waktu
KU;;MA;
KS;;MA;
Biasa
Terkurangi
Keadaan umum
1,0 (1)
2,0
0,7
Keadaan khusus
1,0
1,4
0,8
Tetap
CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.7 Kabel prategang
2.7.1 Daerah aman kabel
Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel
ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan
yang melebihi tegangan izinnya.
Untuk mendapatkan daerah aman kabel dilakukan langkah-langkah perhitungan
berikut:
Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb)
Wa =
dan
Wb =
Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas
yb = jarak pusat berat ke serat bawah
Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ( ka dan kb)
Ka =
dan
Kb =
Dimana : Ac = Luas penampang
28
Universitas Sumatera Utara
Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)
Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok
dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi
tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan)
K’a = max dari nilai
σ
σ
atau
σ
σ
Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan =
K’b = min dari nilai
σ
σ
atau
σ
σ
Dimana σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel =
Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut
Eoa = k’a + Mmax/P
Eob = k’b + MDL/Pi
Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar
berikut
Gambar 2.15 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel [Binamarga 2011]
29
Universitas Sumatera Utara
(a) Desain normal; (b) desain optimum (hanya ada satu solusi P dan eo); (c)
Penampang tidak kuat (preliminary)
Gambar 2.16 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]
2.7.2 Kehilangan gaya prategang
Kehilangan gaya prategang ada yang bersifat segera (short term) dan kehilangan
yang bergantung waktu (long term).
2.7.2.1 Short term
2.7.2.1.1 Kehilangan akibat gesekan
Bila kabel lurus atau agak melengkung ditarik, maka gesekan terhadap
dinding saluran atau kisi-kisi penyekat akan mengakibatkan kehilangan tegangan
30
Universitas Sumatera Utara
yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak ( Raju, N Krishna
1988).
Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus
berikut:
f0 = fx e(µα+KL)
Dimana :
f0 = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating
fx= tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon
e= nilai dasar logaritmik natural naverian
µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material
nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari
titik jacking
K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material
nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking
Nilai-nilai koefisien µ
0,55 untuk baja yang bergerak pada beton yang licin
0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran
0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton
0,25 untuk baja yang bergerak pada timah
0,18-0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak di dalam selongsong baja persegi
panjang yang tegar
31
Universitas Sumatera Utara
0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur
jarak ke arah lateral
Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyondan
Cooley
Nilai-nilai koefisien K
0,15 per 100 m untuk kondisi normal
1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getarangetaran hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya (Raju, N
Krishna 1988)
2.7.2.1.2 Kehilangan akibat slip pengangkuran
Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur
yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang
pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat
adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada
kabel.
Menurut Bina Marga (2011), besarnya slip angkur tergantung pada sistem
prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut:
√
32
Universitas Sumatera Utara
Dimana
∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur
d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan
x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur
L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilangan
diketahui
∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm
Gambar 2.17 Slip angkur
2.7.2.1.3 Kehilangan akibat pemendekan elastis
Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan
mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini
akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton
tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke
balok tersebut.
Kehilangan pemendekan beton pasca-tarik akibat pemendekan elastis tidak
ada jika kabel ditarik secara bersamaan. Namun jika penarikan dilakukan secara
tidak bersamaan, kehilangan gaya pratekan sebesar ½ kali nilai pra-tarik.
33
Universitas Sumatera Utara
Tegangan di level prategang:
Fcsj =
Dimana: Pi
: Gaya pratekan saat initial
Acj : Luas beton saat jacking
exj
: eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking
rj
: jari-jari girasi saat jacking
Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking
Icj
:Inersia beton saat jacking
Kehilangan tegangan pada beton pra tarik
dimana: Eps : modulus elastisitas kabel
Eci : modulus elastisitas beton saat transfer
Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak
bersamaan per 1 tendon diperoleh
jumlah penarikan
∆fES=
∑
34
Universitas Sumatera Utara
2.7.2.2 Long term
2.7.2.2.1 Kehilangan akibat penyusutan
Beton yang tidak terendam air secara terus menerus (kelembaban 100%)
akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.
Menurut bina marga 021/BM/2011 besarnya susut yang terjadi pada beton
dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
Proporsi campuran
Jenis agregat
Rasio w/c
Jenis semen
Jenis dan waktu curing
Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan (V/S)
Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan
Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI (Prestressed
Concrete Institute) yaitu:
(
)
Dimana: Ksh = konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk posttension nilainya diberikan pada tabel di bawah
Eps = Modulus elastisitas baja prategang (MPa)
Rh = Kelembaban relative (%)
V/S = volume/luas permukaan (inci)
35
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 Tabel Ksh untuk pasca-tarik
t (hari)
Ksh
1
3
0.92 0.85
5
0.8
7
10
20
30
60
0.77 0.73 0.64 0.58 0.45
Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir
curing dan pengerjaan stressing
2.7.2.2.2 Kehilangan akibat rangkak
Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat,
peristiwa ini disebut rangkak.
Menurut bina marga 021/BM/2011 regangan pada beton umumnya
disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat
rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu (time-dependent), sedangkan
regangan akibat beban disebut regangan seketika.
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan
rumus AASHTO (CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004) berikut:
∆fcr = 12 fcs – 7 ∆fcdp ≥ 0
Catt: fcs
= tegangan beton di level pusat prategang
∆fcdp = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat
beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat
gaya pratekan diaplikasikan
2.7.2.2.3 Kehilangan akibat relaksasi baja
Relaksasi diartikan sebagai penurunan tegangan secara perlahan terhadap
regangan yang konstan. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi tidak
hanya bergantung lamanya waktu diaplikasikan gaya prategang, tetapi juga
36
Universitas Sumatera Utara
bergantung terhadap rasio fpi/fpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh
baja.
Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung
menggunakan rumus
Δfr =
untuk baja stress-relieved
Δfr =
untuk baja low-relaxation
Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval (jam)
fpi= tegangan awal baja prategang (MPa)
Δfr = Kehilangan akibat relaksasi (MPa)
2.8. Tegangan dan lendutan
Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:
1. Tegangan pada saat kondisi awal
Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat
sendiri balok pada saat transfer
2. Tegangan pada saat kondisi layan
Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok.
Diagram tegangan pada kedua kondisi di atas dapat dilihat pada gambar
berikut.
37
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.18 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang
Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah
sebagai berikut:
Kondisi awal:
̅̅̅̅ ……….(1.7.3.1)
̅̅̅̅……….(1.7.3.2)
38
Universitas Sumatera Utara
Kondisi Layan:
̅̅̅̅………..(1.7.3.3)
̅̅̅̅ ……….(1.7.3.4)
Dimana:
√
̅̅̅̅
̅̅̅̅
̅̅̅̅
̅̅̅̅
(tegangan izin tarik kondisi awal)
(tegangan izin tekan kondisi awal)
√
(tegangan izin tarik kondisi layan)
(tegangan izin tekan kondisi layan)
Mmin= Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen
akibat berat sendiri balok pada saat transfer.
Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan
Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol. Lendutan
yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada
021/BM/2011 sebagai berikut.
Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang)
Jenis Elemen
Bentang
sederhana atau
menerus
Kantilever
Defleksi yang
ditinjau
Defleksi maksimum yang diizinkan
Beban kendaraan
Defleksi akibat
l/800
beban hidup layan
dan beban impak
l/400
Beban kendaraan
+ pejalan kaki
l/1000
l/375
39
Universitas Sumatera Utara
2.9 Sistem Komposit
2.9.1 Pengertian
Konstruksi balok komposit adalah sebuah konstruksi yang bahan-bahannya
terdiri dari dua jenis material yang berbeda sifatnya, yang disatukan sedemikian
rupa, sehingga bekerja sama memikul beban, dimana sebelum menyatu salah satu
dari kedua-dua bahan tadi mampu memikul beban tertentu.
Konstruksi komposit bias merupakan perpaduan antara baja dengan beton,
kayu dengan beton, dan lain-lain. Kostruksi komposit dibuat sedemikian rupa
dengan memanfaatkan keunggulan dari masing-masing bahan, dari kedua jenis
bahan yang berbeda tadi, terutama dalam kemampuannya memikul gaya tarik dan
gaya tekan. Hal ini dapat dijumpai pada baja dan beton.
Secara umum telah diketahui bahwa baja adalah bahan yang sangat kuat
terhadap gaya tarik dan kuat juga terhadap gaya tekan. Namun diketahui pula
bahwa gaya tekan yang dapat dipikul sangat erat kaitannya dengan kelangsingan
profil. Sebaliknya, beton sangat kuat memikul gaya tekan dan sangat lemah
terhadap gaya tarik, sehingga sangat ideal untuk memikul gaya tekan saja, baik
akibat gaya normal atau akibat momen lentur. Maka, untuk bangunan yang
memakai lantai beton, baik jembatan atau gedung, alangkah idealnya bila
dikompositkan dengan balok baja.
40
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Aksi Komposit
Gambar 2.19 Skema Aksi Komposit
Aksi komposit terjadi apabila dua batang/bagian struktur pemikul beban,
misalnya konstruksi lantai beton dan balok profil baja, dihubungkan secara
komposit menjadi satu, sehingga dapat melentur secara menyatu.
Aksi komposit dapat terjadi apabila anggapan-anggapan berikut ini dapat
dipenuhi atau mendekati keadaan sebenarnya antara lain :
a. Lantai beton dengan balok profil baja dihubungkan dengan penghubung
geser secara tepat pada seluruh batangnya.
b. Gaya geser pada penghubung geser adalah sebanding secara
proporsional dengan beban pada penghubung geser.
c. Distribusi tegangan adalah linier di setiap penampang.
41
Universitas Sumatera Utara
d. Lantai beton dan balok baja tidak akan terpisah secara vertical di bagian
maupun sepanjang batangan.
2.9.3 Pra Dimensi
Menurut peraturan AASHTO, tinggi balok gabungan :
Tinggi gelagar baja ( h ) + plat beton ( tb )
= L / 25
Tinggi gelagar baja ( h )
= L / 30
Dimana : L : panjang bentang dimuati
2.9.4 Lebar Efektif
Penentuan lebar efektif pelat beton berdasarkan nilai yang terkecil adalah :
B Mu
2.1
Dengan : Фb = 0,90
Mn = tahanan momen nominal
Mu = momen lentur akibat beben terfaktor
Kondisi batas yang diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal sebuah
balok adalah :
1. kelelehan penampang
2. tekuk
a. Lokal (sayap dan badan)
b. tekuk lateral torsi
Bahaya tekuk lokal pada balok yang menerima lentur terjadi di bagian pelat
penampanf yang menerima tekan. Batas maksimum rasio lebar tebal pelat badan
maupun pelat sayap akan lebih besar dibandingkan rasio untuk batang tekan.
Batasan kelangsingan penampang baja WF adalah sebagai berikut :
1. Pelat sayap
2. Pelat badan
√
√
√
√
2.2
2.3
Penampang balok lentur sebagai fungsi parameter kelangsingan :
1. Penampang kompak (
)
49
Universitas Sumatera Utara
Mn = Mp = Zx.fy
2.4
Dimana : Zx = modulus penampang plastis (mm3)
fy = tegangan leleh penampang (MPa)
2. Penampang tak kompak (
)
Mn = Mr = Sx.(fy - fr)
2.5
Dimana : fy = tegangan leleh
fr = tegangan sisa
Sx = modulus penampang elastis
Besarnya tegangan sisa fr = 70 MPa untuk penampang gilas panas, dan 115 MPa
untuk penampang dilas. Bagi penampang tak kompak yang mempunyai
, maka besarnya tahanan nominal,
2.6
Mn =
3. Penampang langsing (
Mn = M r
)
2.7
Kondisi batas tekuk torsi ditinjau dengan membagi jenis balok menurut
panjang bentang yang tak terkekang secara lateral L. Pemasangan penopang
lateral dengan jarak L yang semakin pendek akan meningkatkan nilai Mn. pada
bentang yanmg sangat pendek, nilai kuat lentur nominal dapat mencapai momen
plastis penampang Mp.
50
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.20 Kondisi batas tekuk lentur torsi pada balok lentur
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Untuk penampang baja WF dan kanal ganda, nilai batas Lp dan Lr adalah sebagai
berikut :
Lp
= 1,76 ry √
Lr
=
2.8
)√
(
√
(
)
2.9
Dimana :
ry = jari-jari girasi penampang = √
Iy = momen inersia penampang
E = modulus elastisitas penampang
fy = tegangan leleh penampang
fr = tegangan sisa penampang
X1
=
√
2.10
Sx = modulus panampang elastis pada arah sumbu x
51
Universitas Sumatera Utara
G = modulus geser bahan = 80000 MPa
J = momen inersia polar atau konstanta puntir torsi = ∑
b = panjang bagian penampang
t = tebal penampang
X2
=
2.11
Cw = momen inersia pilin (warping) atau konstanta puntir
lengkung
Cw =
dan h adalah jarak antar titik berat pelat sayap.
Kuat lentur nominal balok baja, Mn ditentukan oleh beberapa kondisi batas, yaitu :
a. Kondisi leleh penuh (L ≤ Lp)
Mn = Mp = Zx.fy
2.12
b. Kondisi tekuk torsi lateral inelastik (Lp < L< Lr)
Mn
(
=
Dimana :
)
2.13
Cb = faktor pengali momen lentur nominal
Cb
2.14
=
Mmax = momen maksimum pada bentang yang ditinjau
MA
= momen pada ¼ bentang tak terkekang
MB
= momen pada tengah bentang tak terkekang
MC
= momen pada ¾ bentang tak terkekang
c. Kondisi tekuk torsi lateral elastik (L ≥ Lr)
Mn = Mcr =
√
2.15
52
Universitas Sumatera Utara
2.9.8.2 Komponen Memikul Geser
Pelat badan sebuah balok baja yang memikul gaya geser terfaktor, Vu
harus direncanakan sedemikian rupa sehingga selalu terpenuhi hubungan :
Vu ≤ Фv.Vn
2.16
Dimana :
Фv = faktor reduksi kuat geser, diambil 0,9
Vn = kuat geser nominal, dianggap disumbangkan hanya oleh badan.
Kuat geser nominal balok baja, Vn untuk profil WF dan C ganda kompak (
)
ditentukan oleh kondisi batas leleh atau tekuk pada pelat badan.
a. leleh pada pelat badan (Plastik sempurna)
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.17
Maka kuat geser nominal dengan leleh pada pelat badan dihitung sebagai berikut :
Vn
= 0,6.fyw.Aw
2.18
Dengan :
kn
=
a
= Jarak antar pengaku lateral pada penampang
fy
= tegangan leleh pelat badan
Aw
= luas kotor pelat badan
b. tekuk inelastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
√
2.19
53
Universitas Sumatera Utara
Maka kuat geser nominal dengan tekuk inelastik pada pelat badan dihitung
sebagai berikut :
[
√
]
2.20
c. tekuk elastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.21
Maka kuat geser nominal dengan tekuk elastik pada pelat badan dihitung sebagai
berikut :
2.22
2.9.8.3 Kuat lentur nominal
Kuat lentur nominal dari suatu komponen struktur komposit (untuk
momen positif)
a. Untuk
Mn
≤
√
2.27
Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan distribusi
tegangan plastis
Фb = 0,85
b. Untuk
Mn
2.28
Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan superposisi
tegangan-tegangan elastis yang memperhitungkan pengaruh tumpuan
sementara (perancah)
Фb = 0,90
54
Universitas Sumatera Utara
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.21 Kuat lentur nominal berdasarkan distribusi tegangan plastis
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Kuat lentur nominal yang dihitung berdasarkan distribusi tegangan plastis,
dapat dikategorikan menjadi dua kasus sebagai berikut :
1. Sumbu netral plastis jatuh pada pelat beton
Dengan mengacu pada gambar 2.21, maka besar gaya tekan C adalah :
C = 0,85 . f’c . α . bE
2.29
Gaya tarik T pada profil baja adalah sebesar :
T = As . fy
2.30
Dari keseimbangan gaya C = T, maka diperoleh :
α=
2.31
Kuat lentur nominal dapat dihitung dari gambar 2.9.a :
M n = C . d1
Atau
= T . d1 = As . fy .
2.32
2.33
Jika dari hasil perhitungan persamaan 2.9 ternyata a > ts, maka asumsi harus
diubah. Hasil ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk
mengimbangi gaya tarik yang timbul pada profil baja.
55
Universitas Sumatera Utara
2. Sumbu netral plastis jatuh pada profil baja
Apabila ke dalam balok tegangan beton, α, ternyata melebihi tebal pelat
beton, maka distribusi tegangan dapat ditunjukkan seperti pada gambar 2.9.c. gaya
tekan, Cc, yang bekerja pada beton adalah sebesar :
Cc = 0,85 . f’c . bE . ts
2.34
Dari keseimbangan gaya, diperoleh hubungan :
T’ = Cc + Cs
2.35
Besar T’ sekarang lebih kecil daripada As . fy, yaitu :
T’ = As . fy - Cs
2.36
Dengan menyamakan persamaan 2.13 dan 2.14 diperoleh
Cs =
2.37
Atau dengan mensubtitusikan persamaan 2.12, diperoleh bentuk :
2.38
Cs =
Kuat lentur nominal diperoleh dengan memperhatikan gambar 2.9.c :
Mn = Cc . d’2 + Cs . d”2
2.39
2.9.8.4 Konsep Dasar LRFD
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja
adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja / working stress design
(Allowable Stress Design / ASD) dan perencanaan kondisi batas / limit states
design (Load and Resistance Factor Design/ LRFD).
Metode ASD dalam perencanaan struktur baja telah digunakan dalam
kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dalam 20 tahun terakhir prinsif
56
Universitas Sumatera Utara
perencanaan struktur baja mulai beralih ke konsep LRFD yang jauh lebih rasional
dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.
Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh,
terkecuali untuk situasi-situasi tidak umum yang tidak diatur dalam peraturan.
Metode LRFD untuk perencanaan struktur baja yang diatur dalam SNI 03-17292002, berdasarkan pada metode First Order Second Moment (FOSM) yang
menggunakan karakteristik statistik yang lebih mudah dari tahanan dan beban.
2.9.8.4.1 Desain LRFD struktur baja
Secara umum suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
ФRn ≥ ∑γi . Qi
2.42
Bagian kiri dari persamaan 2.1 merepresentasikan tahanan atau kekuatan
dari sebuah komponen atau sistem struktur. Dan bagian kanan persamaan
menyatakan beban yang harus dipikul struktur tersebut, jika tahanan nominal Rn
dikalikan suatu faktor tahanan Ф maka akan diperoleh tahanan rencana. Namun
demikian, berbagai macam beban (beban mati, beban hidup, gempa dan lain-lain)
pada bagian kanan persamaan 2.42 dikalikan suatu faktor beban γi untuk
mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑γi . Qi.
2.9.8.4.2 Faktor tahanan
Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD,
ditentukan dalam tabel berikut :
Tabel 2.9Faktor reduksi (Ф) untuk keadaan kekuatan batas
Kuat rencana untuk
Faktor reduksi
Komponen struktur yang memikul lentur :
57
Universitas Sumatera Utara
Balok
0,90
Balok pelat berdinding penuh
0,90
Pelat badan yang memikul geser
0,90
0,90
Pelat badan pada tumpuan
0,90
pengaku
Komponen struktur yang memikul gaya tekan aksial :
Kuat penampang
0,85
Kuat komponen struktur
0,85
Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial :
Terhadap kuat tarik leleh
0,90
Terhadap kuat tarik fraktur
0,75
Komponen struktur yang memikul aksi-aksi
kombinasi :
0,90
Kuat lentur atau geser
Kuat tarik
Kuat tekan
0,90
0,85
Komponen struktur komposit :
Kuat tekan
0,85
Kuat tumpu beton
0,60
Kuat lentur dengan distribusi tegangan plastik
0,85
Kuat lentur dengan distribusi tegangan elastik
0,90
Sambungan baut :
Baut yang memikul geser
0,75
Baut yang memikul tarik
0,75
Baut yang memikul kombinasi geser dan tarik
0,75
Lapis yang memikul tumpu
0,75
Sambungan las :
Las tumpul penetrasi penuh
0,90
Las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian
0,75
Las pengisi
0,75
(Sumber :Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan gedung,
SNI 03-1729-2002)
58
Universitas Sumatera Utara
STUDI PUSTAKA
2.1 Umum
Balok merupakan komponen struktur jembatan yang penting. Balok pada
jembatan ini berfungsi untuk memikul sekaligus menyalurkan beban dari lantai
kendaraan ke kolom-kolom jembatan atau disebut dengan pier.
Balok jembatan yang sering kita jumpai dapat berupa baja ataupun beton
bertulang. Balok dengan bahan baja umumnya dijumpai pada jembatan komposit
yaitu balok baja yang digabungkan dengan slab beton di atasnya, sedangkan balok
beton bertulang biasa banyak dijumpai pada jembatan dengan bentang pendek.
Balok beton bertulang biasa memiliki keterbatasan bila digunakan untuk
bentang yang panjang. Balok dengan bentang yang panjang akan mengakibatkan
beban yang lebih besar pula.Hal ini akan berpengaruh pada penampang balok
beton yang lebih besar lagi, sehingga tidak efisien dalam memikul beban serta
dalam biaya konstruksi.
Sebagaimana kita ketahui sifat alami beton adalah lemah terhadap Tarik,
namun kuat dalam keadaan tekan. Menurut Edward G. Nawy (2001), kuat tarik
beton bervariasi antara 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Karena rendahnya
kuat tarik pada beton, maka retak akibat lentur sering terjadi meskipun
pembebanan masih rendah.
8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang [Budiadi, 2008]
Untuk meminimalisir keretakan yang terjadi akibat tarik tersebut,
diberikan gaya eksentris dalam arah longitudinal elemen struktur tersebut. Gaya
ini bekerja dengan mengurangi tegangan tarik yang terjadi pada daerah tumpuan
dan daerah kritis pada saat beban bekerja. Akibat gaya ini hampir semua elemen
beton memikul tekan pada saat semua beban rencana bekerja di struktur tersebut.
Gaya longitudinal di atas disebut gaya pratekan, yaitu gaya tekan yang
mengakibatkan tegangan awal pada penampang di sepanjang bentang sebelum
beban rencana bekerja.
Banyak buku yang menyebutkan nama yang berbeda sebagai penggagas
pratekan ini, namun menurut Andri Budiadi (2008) system penegangan ini mulai
digunakan pada tahun 1886 saat PH. Jackson dari Amerika Serikat membuat
konstruksi pelat atap.
Gambar 2.2 Struktur Beton Pratekan Pertama oleh Jackson, 1886 [Budiadi,2008]
9
Universitas Sumatera Utara
Atas gagasan inilah konsep gelagar beton bertulang konvensional
berkembang pesat menjadi beton prategang. Dengan konsep ini penggunaan beton
pada konstruksi jembatan tidak lagi hanya sebatas beton dengan gelagar pendek
namun mampu menghasilkan jembatan beton dengan gelagar menengah hingga
panjang.
Sehingga dapat kita simpulkan beton prategang adalah beton yang diberi
tegangan awal sebelum beban bekerja untuk mengimbangi beban luar yang akan
dipikulkan kepadanya, sehingga seluruh komponen beton dapat bekerja secara
optimal. Yang dimaksudkan optimal yaitu keseluruhan beton menerima gaya
tekan sehingga sifat alami beton bekerja optimal yaitu kuat terhadap tekan.
Menurut Manual Bina Marga,Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk
Jembatan (2011), beberapa keuntungan digunakannya sistem beton pratekan
adalah:
1. Terhindar dari retak terbuka di daerah tarik, sehingga dengan demikian
beton pratekan lebih tahan terhadap penetrasi klorida
2. Lebih kedap air, sehingga air pada plat jembatan tidak mudah meresap.
3. Dapat diperoleh defleksi struktur yang lebih kecil sehingga terbetuknya
lawan lendut (chamber) dari konfigurasi layout kabel prategang sepanjang
elemen.
4. Penampang struktur lebih kecil/langsing karena seluruh luas penampang
dapat digunakan secara efektif.
5. Memungkinkan bentang yang lebih panjang dibandingkan beton bertulang.
10
Universitas Sumatera Utara
6. Karena kabel prategang menggunakan mutu baja tinggi, sehingga
kapasitas penampangnya jauh lebih besar daripada tulangan biasa dengan
luas tulangan yang sama
2.2 Proses Pencetakan Beton
Salah satu butir pekerjaan pada proyek yaitu pencetakan beton. Beradasarkan
tempat pencetakannya, balok girder dibedakan atas dua jenis:
1.
Cast in Place
Pada metode ini beton dicetak langsung di lapangan. Metode ini
membutuhkan waktu pelaksanaan konstruksi yang lebih lama, sebab beton yang
dicetak harus ditunggu sampai umur rencana kemudian dapat mengerjakan
kostruksi diatasnya. Namun metode ini sangat efisien untuk proyek dengan akses
transportasi yang sulit.
Gambar 2.3 Pencetakan Beton di lapangan
11
Universitas Sumatera Utara
2.
Precast
Precast merupakan metode pencetakan beton yang dilakukan di pabrik.
Pada metode ini, beton telah dikerjakan terlebih dahulu di pabrik meskipun
pekerjaan di lapangan belum sampai pada tahap teresebut. Beton yang telah
dicetak di pabrik akan dikirim ke lokasi proyek dengan menggunakan flat bed jika
umur rencana sudah memenuhi.
Metode ini sangat baik diterapkan di lapangan sehingga dapat
mengefisienkan waktu pelaksanaan konstruksi.Metode ini juga cocok untuk
proyek dengan lahan yang sempit, dimana tidak tersedianya lahan untuk
pencetakan balok di lapangan.Kekurangan dari metode ini tidak bisa dipakai jika
akses menuju proyek tidak memadai. Hal ini akan menghambat pengiriman beton
dari pabrik menuju proyek.
Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik [Wika Beton]
2.3 Proses Penarikan Kabel (Stressing)
Ada dua metode yang digunakan dalam pemberian tegangan kabel pada
beton, yaitu Pre-Tension (pratarik) dan Post-Tension (pascatarik).
12
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Pratarik
Metode ini biasanya dilakukan di pabrik. Pada metode ini kabel ditarik
terlebih dahulu, kemudian beton dicor pada cetakan bersamaan dengan kabel
tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai kekuatan rencana, maka kabel di
potong. Pada saat baja mengalami kontraksi, maka beton akan tertekan. Metode
ini tidak menggunakan duct, yaitu saluran kabel di dalam beton.Metode ini hanya
bisa dilakukan untuk tendon yang lurus saja, dan tidak memungkinkan untuk
tendon berbentuk kurva karena pengerjaan yang sulit.
a. Kabel di tarik dan diangkur
b. Beton dicorbersamaan dengan kabel dan dibiarkan mengeras
c. Kabel dipotong dan beton akan mengalami gaya tekan
Gambar 2.5 Metode Penarikan Kabel Pratarik
13
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pascatarik
Proses penarikan kabel metode ini biasanya dilakukan di lapangan.
Penarikan dilakukan setelah beton mengeras. Dengan metode ini memungkinkan
membentuk kabel menjadi kurva karena sebelum beton dicor, terlebih dahulu
disediakan duct (saluran kabel). Dengan adanya duct ini kita dapat membentuk
alur kabel nantinya setelah beton mengeras.
a. Kabel Dimasukkan ke Dalam Duct Setelah Beton Mengeras
b. Kabel Ditarik
d. Kabel Diangkur dan Di-grouting
Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik
2.4 Jenis Balok Girder
Berdasarkan bentuk tampang, girder beton jembatan secara umum
dibedakan atas 3 jenis yaitu PCI girder, PCU girder, dan box girder.
2.4.1 PCI Girder
PCI girder (Precast-Prestress Concrete I Girder) yaitu balok girder yang
memiliki tampang bentuk huruf I. PCI girder ini terdiri atas beberapa buah balok
14
Universitas Sumatera Utara
dalam satu bentang jembatan. Contoh struktur yang menggunakan PCI girder
yaitu pada Jembatan Sudirman ini dan banyak konstruksi lainnya.
Gambar 2.7 Bentuk tampang balok girder PCI Girder
2.4.2 PCU Girder
PCU (Precast-Prestress Concrete U Girder) adalah balok girder yang
memiliki bentuk tampang huruf U. Sama halnya seperti I girder, dalam satu
bentang jembatan terdiri atas beberapa balok girder (balok segmental). Salah satu
contoh penggunaan PCU girder ini adalah pada jembatan fly-over Amplas Medan.
Jenis yang terakhir adalah box girder.
Gambar 2.8 Bentuk tampang balok girder PCU Girder [Wika Beton]
15
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Box Girder
Box girder adalah jenis girder yang memiliki bentuk tampang box persegi.
Contoh penggunaan box girder adalah pada jembatan fly-over Simpang Pos
Medan.
Bentuk tampang tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girderBox Girder [https://dukenmarga.
wordpress.com/category/sipil/]
2.5 Peraturan Pembebanan
Sebelum melakukan perhitungan analisa struktur, hal yang terlebih dahulu
dilakukan yaitu menganalisa beban-beban yang akan bekerja. Peraturan
pembebanan yang tersedia sangatlah banyak, sehingga terkadang menyulitkan
perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturanperaturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI
2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan
dalam menganalisa beban-beban rencana.
Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Beban mati
2. Beban hidup
16
Universitas Sumatera Utara
3. Beban kejut
2.5.1 Beban mati
Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal
dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala
unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati (kN/m3)
No. Bahan
1
Campuran aluminium
2
Lapisan permukaan
Berat/ Satuan Isi Kerapatan Massa
(kN/m3)
(kg/m3)
26,7
2720
22,0
2240
71,0
7200
17,2
1760
18,8-22,7
1920-2320
beraspal
3
Besi tuang
4
Timbunan tanah
dipadatkan
5
Kerikil dipadatkan
6
Aspal beton
22,0
2240
7
Beton ringan
12,25-19,6
1250-2000
8
Beton
22,0-25,0
2240-2560
9
Beton prategang
25,0-26,0
2560-2640
10
Beton bertulang
23,5-25,5
2400-2600
11
Timbal
111
11400
12
Lempung lepas
12,5
1280
17
Universitas Sumatera Utara
13
Batu pasangan
23,5
2400
14
Neoprin
11,3
1150
15
Pasir kering
15,7-17,2
1600-1760
16
Pasir basah
18,0-18,8
1840-1920
17
Lumpur lunak
17,2
1760
18
Baja
77,0
7850
19
Kayu (ringan)
7,8
800
20
Kayu (keras)
11,0
1120
21
Air murni
9,8
1000
22
Air garam
10,0
1025
23
Besi tempa
75,5
7680
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer
dan beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat
sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing
gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang
berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah
pelat dicor.
2.5.2 Beban hidup
Beban hidup yang harus ditinjau dalam perencanaan beban jembatan
terdiri atas dua yaitu beban truk “T” dan beban lajur “D”.
18
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan
bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek.
2.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum
lajur lalulintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana
Tipe Jembatan (1)
Lebar Jalur Kendaraan Jumlah Lajur Lalu Lintas
(m) (2)
Rencana (n1)
Satu lajur
4,0 - 5,0
1
Dua arah, tanpa median
5,5 – 8,25
2 (3)
11,3 – 15,0
4
8,25 – 11,25
3
11,3 – 15,0
4
15,1 – 18,75
5
18,8 – 22,5
6
Banyak arah
CATATAN (1)
Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus
ditentukan oleh instansi yang berwenang.
CATATAN (2)
Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau
rintangan
untuk
satu
arah
atau
jarak
antara
kerb/rintangan/median untuk banyak arah.
CATATAN (3)
Lebar minimum yang aman untuk dua-lajur adalah 6,0 m. Lebar
jembatan antara 5,0 m sampai 6,0 m harus dihindari oleh
19
Universitas Sumatera Utara
karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi
seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.5.2.2 Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan
pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam
perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk
tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan
maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 2.10 Pembebanan truk “T” (500 kN) [RSNI T-02-2005]
Faktor penyebaran beban truk “T” pada arah melintang gelagar jembatan disajikan
dalam tabel berikut:
20
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis bangunan
atas
Jembatan jalur tunggal
Jembatan jalur majemuk
S/4,2
S/3,4
(bila S>3,0 m lihat catatan 1)
(bila S>4,3 m lihat catatan 1)
S/4,0
S/3,6
(bila S>1,8 m lihat catatan 1)
(bila S>3,0 m lihat catatan 1)
S/4,8
S/4,2
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
(bila S>4,9 m lihat catatan 1)
Lantai papan kayu
S/2,4
S/2,2
Lantai baja
gelombang tebal
50 mm atau lebih
S/3,3
S/2,7
S/2,6
S/2,4
S/3,6
S/3,0
(bila S>3,6 m lihat catatan 1)
(bila S>3,2 m lihat catatan 1)
Pelat lantai beton
di atas:
- balok baja I atau
balok beton
pratekan
- balok beton
bertulang T
- balok kayu
Kisi-kisi baja
kurang dari
tebal 100 mm
tebal 100
mm atau lebih
CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban
roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai balok
sederhana
CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang
disebabkan oleh S/factor ≥ 0,5
CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
21
Universitas Sumatera Utara
Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut:
a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa
peninggian), S = bentang bersih
b. Untuk [pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau
tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan
tumpuan.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil pengaruh antara beban
kendaraan yang bergerak dengan jembatan.Untuk pembebanan truk ditetapkan
sebesar 30%. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas
permukaan tanah.
2.5.2.3 Beban lajur “D”
Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur
kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu
iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada
besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.
a. Beban terbagi rata
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang
bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa
L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah
Dengan:
q adalah intensitas beban terbagi rata dalam arah memanjang jembatan (kPa)
22
Universitas Sumatera Utara
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.11 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani
[RSNI T-02-2005]
b. Beban garis
Beban ini dilambangkan p kN/m dengan arah yang tegak lurus terhadap arus
lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.
Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam
gambar berikut
Gambar 2.12 Faktor beban dinamis untuk beban garis terbagi rata “D”
[RSNI T-02-2005]
23
Universitas Sumatera Utara
Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 2.13 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005]
Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut:
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan
pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (table 2.2)
dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar
n1x2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN,
kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n1 x 2,75 m.
3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan
dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan
pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%.
Susunan pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
24
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.14 Penyebaran pembebanan arah melintang
2.6 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi beban rencana dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompokkelompok yaitu:
a. Kombinasi dalam batas daya layan
b. Kombinasi dalam batas ultimit
c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja
Faktor beban yang digunakan untuk menghitung aksi rencana disajikan dalam
table berikut:
25
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Faktor Pembebanan
Pasal
No
Faktor Beban pada Keadaan
Batass
Aksi
Nama
Simbol
(1)
Lamanya
waktu (3)
Daya
Layan
K S;xx;
Ultimit K U;;XX;
Normal
Terkurangi
5.2
Berat Sendiri
PMS
Tetap
1,0
*(3)
*(3)
5.3
Beban Mati
Tambahan
Tetap
1,0/1,3
(3)
2,0/1,4
(3)
0,7/0,8
PMA
5.4
Penyusutan
dan Rangkak
PSR
Tetap
1,0
1,0
N/A
5.5
Prategang
PPR
Tetap
1,0
1,0
N/A
5.6
Tekanan Tanah
PTA
Tetap
1,0
*(3)
*(3)
5.7
Beban
Pelaksanaan
Tetap
PPL
Tetap
1,0
1,25
N/A
6.3
Beban Lajur
“D”
TTD
Trans
1,0
1,8
N/A
6.4
Beban Truk
“T”
TTT
Trans
1,0
1,8
N/A
6.7
Gaya Rem
TTB
Trans
1,0
1,8
N/A
6.8
Gaya
Sentrifugal
TTR
Trans
1,0
1,8
N/A
6.9
Beban Trotoar
TTP
Trans
1,0
1,8
N/A
6.10
Beban-Beban
Tumbukan
TTC
Trans
*(3)
*(3)
N/A
7.2
Penurunan
PES
Tetap
1,0
N/A
N/A
7.3
Temperatur
TET
Trans
1,0
1,2
0,8
7.4
Aliran/Benda
Hanyutan
TEF
Trans
1,0
*(3)
N/A
(3)
26
Universitas Sumatera Utara
7.5
Hidro/Daya
Apung
TEU
Trans
1,0
1,0
1,0
7.6
Angin
TEW
Trans
1,0
1,2
N/A
7.7
Gempa
TEQ
Trans
N/A
1,0
N/A
8.1
Gesekan
TBF
Trans
1,0
1,3
0,8
8.2
Getaran
TVI
Trans
1,0
N/A
N/A
8.3
Pelaksanaan
TCL
Trans
*(3)
*(3)
*(3)
CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk
beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk PMS = berat
sendiri nominal, P*MS= Berat sendiri rencana
CATATAN (2) Trans = transien
CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai
CATATAN (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana
pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor
beban yang cocok adalah nol
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri
Faktor Beban
Jangka
Waktu
KU;;MS;
KS;;MS;
Biasa
Terkurangi
Baja, aluminium
1,0
1,1
0,9
Beton pracetak
1,0
1,2
0,85
Beton dicor di tempat
1,0
1,3
0,75
Kayu
1,0
1,4
0,7
Tetap
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
27
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan
Faktor Beban
Jangka
Waktu
KU;;MA;
KS;;MA;
Biasa
Terkurangi
Keadaan umum
1,0 (1)
2,0
0,7
Keadaan khusus
1,0
1,4
0,8
Tetap
CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.7 Kabel prategang
2.7.1 Daerah aman kabel
Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel
ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan
yang melebihi tegangan izinnya.
Untuk mendapatkan daerah aman kabel dilakukan langkah-langkah perhitungan
berikut:
Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb)
Wa =
dan
Wb =
Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas
yb = jarak pusat berat ke serat bawah
Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ( ka dan kb)
Ka =
dan
Kb =
Dimana : Ac = Luas penampang
28
Universitas Sumatera Utara
Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)
Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok
dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi
tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan)
K’a = max dari nilai
σ
σ
atau
σ
σ
Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan =
K’b = min dari nilai
σ
σ
atau
σ
σ
Dimana σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel =
Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut
Eoa = k’a + Mmax/P
Eob = k’b + MDL/Pi
Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar
berikut
Gambar 2.15 Hubungan limit kern dan daerah aman kabel [Binamarga 2011]
29
Universitas Sumatera Utara
(a) Desain normal; (b) desain optimum (hanya ada satu solusi P dan eo); (c)
Penampang tidak kuat (preliminary)
Gambar 2.16 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]
2.7.2 Kehilangan gaya prategang
Kehilangan gaya prategang ada yang bersifat segera (short term) dan kehilangan
yang bergantung waktu (long term).
2.7.2.1 Short term
2.7.2.1.1 Kehilangan akibat gesekan
Bila kabel lurus atau agak melengkung ditarik, maka gesekan terhadap
dinding saluran atau kisi-kisi penyekat akan mengakibatkan kehilangan tegangan
30
Universitas Sumatera Utara
yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak ( Raju, N Krishna
1988).
Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus
berikut:
f0 = fx e(µα+KL)
Dimana :
f0 = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating
fx= tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon
e= nilai dasar logaritmik natural naverian
µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material
nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari
titik jacking
K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material
nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking
Nilai-nilai koefisien µ
0,55 untuk baja yang bergerak pada beton yang licin
0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran
0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton
0,25 untuk baja yang bergerak pada timah
0,18-0,30 untuk kabel tali kawat berlapis banyak di dalam selongsong baja persegi
panjang yang tegar
31
Universitas Sumatera Utara
0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur
jarak ke arah lateral
Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyondan
Cooley
Nilai-nilai koefisien K
0,15 per 100 m untuk kondisi normal
1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getarangetaran hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya (Raju, N
Krishna 1988)
2.7.2.1.2 Kehilangan akibat slip pengangkuran
Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur
yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang
pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat
adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada
kabel.
Menurut Bina Marga (2011), besarnya slip angkur tergantung pada sistem
prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut:
√
32
Universitas Sumatera Utara
Dimana
∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur
d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan
x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur
L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilangan
diketahui
∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm
Gambar 2.17 Slip angkur
2.7.2.1.3 Kehilangan akibat pemendekan elastis
Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan
mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini
akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton
tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke
balok tersebut.
Kehilangan pemendekan beton pasca-tarik akibat pemendekan elastis tidak
ada jika kabel ditarik secara bersamaan. Namun jika penarikan dilakukan secara
tidak bersamaan, kehilangan gaya pratekan sebesar ½ kali nilai pra-tarik.
33
Universitas Sumatera Utara
Tegangan di level prategang:
Fcsj =
Dimana: Pi
: Gaya pratekan saat initial
Acj : Luas beton saat jacking
exj
: eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking
rj
: jari-jari girasi saat jacking
Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking
Icj
:Inersia beton saat jacking
Kehilangan tegangan pada beton pra tarik
dimana: Eps : modulus elastisitas kabel
Eci : modulus elastisitas beton saat transfer
Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak
bersamaan per 1 tendon diperoleh
jumlah penarikan
∆fES=
∑
34
Universitas Sumatera Utara
2.7.2.2 Long term
2.7.2.2.1 Kehilangan akibat penyusutan
Beton yang tidak terendam air secara terus menerus (kelembaban 100%)
akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.
Menurut bina marga 021/BM/2011 besarnya susut yang terjadi pada beton
dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
Proporsi campuran
Jenis agregat
Rasio w/c
Jenis semen
Jenis dan waktu curing
Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan (V/S)
Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan
Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI (Prestressed
Concrete Institute) yaitu:
(
)
Dimana: Ksh = konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk posttension nilainya diberikan pada tabel di bawah
Eps = Modulus elastisitas baja prategang (MPa)
Rh = Kelembaban relative (%)
V/S = volume/luas permukaan (inci)
35
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 Tabel Ksh untuk pasca-tarik
t (hari)
Ksh
1
3
0.92 0.85
5
0.8
7
10
20
30
60
0.77 0.73 0.64 0.58 0.45
Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir
curing dan pengerjaan stressing
2.7.2.2.2 Kehilangan akibat rangkak
Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat,
peristiwa ini disebut rangkak.
Menurut bina marga 021/BM/2011 regangan pada beton umumnya
disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat
rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu (time-dependent), sedangkan
regangan akibat beban disebut regangan seketika.
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan
rumus AASHTO (CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004) berikut:
∆fcr = 12 fcs – 7 ∆fcdp ≥ 0
Catt: fcs
= tegangan beton di level pusat prategang
∆fcdp = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat
beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat
gaya pratekan diaplikasikan
2.7.2.2.3 Kehilangan akibat relaksasi baja
Relaksasi diartikan sebagai penurunan tegangan secara perlahan terhadap
regangan yang konstan. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi tidak
hanya bergantung lamanya waktu diaplikasikan gaya prategang, tetapi juga
36
Universitas Sumatera Utara
bergantung terhadap rasio fpi/fpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh
baja.
Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung
menggunakan rumus
Δfr =
untuk baja stress-relieved
Δfr =
untuk baja low-relaxation
Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval (jam)
fpi= tegangan awal baja prategang (MPa)
Δfr = Kehilangan akibat relaksasi (MPa)
2.8. Tegangan dan lendutan
Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:
1. Tegangan pada saat kondisi awal
Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat
sendiri balok pada saat transfer
2. Tegangan pada saat kondisi layan
Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok.
Diagram tegangan pada kedua kondisi di atas dapat dilihat pada gambar
berikut.
37
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.18 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang
Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah
sebagai berikut:
Kondisi awal:
̅̅̅̅ ……….(1.7.3.1)
̅̅̅̅……….(1.7.3.2)
38
Universitas Sumatera Utara
Kondisi Layan:
̅̅̅̅………..(1.7.3.3)
̅̅̅̅ ……….(1.7.3.4)
Dimana:
√
̅̅̅̅
̅̅̅̅
̅̅̅̅
̅̅̅̅
(tegangan izin tarik kondisi awal)
(tegangan izin tekan kondisi awal)
√
(tegangan izin tarik kondisi layan)
(tegangan izin tekan kondisi layan)
Mmin= Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen
akibat berat sendiri balok pada saat transfer.
Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan
Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol. Lendutan
yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada
021/BM/2011 sebagai berikut.
Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang)
Jenis Elemen
Bentang
sederhana atau
menerus
Kantilever
Defleksi yang
ditinjau
Defleksi maksimum yang diizinkan
Beban kendaraan
Defleksi akibat
l/800
beban hidup layan
dan beban impak
l/400
Beban kendaraan
+ pejalan kaki
l/1000
l/375
39
Universitas Sumatera Utara
2.9 Sistem Komposit
2.9.1 Pengertian
Konstruksi balok komposit adalah sebuah konstruksi yang bahan-bahannya
terdiri dari dua jenis material yang berbeda sifatnya, yang disatukan sedemikian
rupa, sehingga bekerja sama memikul beban, dimana sebelum menyatu salah satu
dari kedua-dua bahan tadi mampu memikul beban tertentu.
Konstruksi komposit bias merupakan perpaduan antara baja dengan beton,
kayu dengan beton, dan lain-lain. Kostruksi komposit dibuat sedemikian rupa
dengan memanfaatkan keunggulan dari masing-masing bahan, dari kedua jenis
bahan yang berbeda tadi, terutama dalam kemampuannya memikul gaya tarik dan
gaya tekan. Hal ini dapat dijumpai pada baja dan beton.
Secara umum telah diketahui bahwa baja adalah bahan yang sangat kuat
terhadap gaya tarik dan kuat juga terhadap gaya tekan. Namun diketahui pula
bahwa gaya tekan yang dapat dipikul sangat erat kaitannya dengan kelangsingan
profil. Sebaliknya, beton sangat kuat memikul gaya tekan dan sangat lemah
terhadap gaya tarik, sehingga sangat ideal untuk memikul gaya tekan saja, baik
akibat gaya normal atau akibat momen lentur. Maka, untuk bangunan yang
memakai lantai beton, baik jembatan atau gedung, alangkah idealnya bila
dikompositkan dengan balok baja.
40
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Aksi Komposit
Gambar 2.19 Skema Aksi Komposit
Aksi komposit terjadi apabila dua batang/bagian struktur pemikul beban,
misalnya konstruksi lantai beton dan balok profil baja, dihubungkan secara
komposit menjadi satu, sehingga dapat melentur secara menyatu.
Aksi komposit dapat terjadi apabila anggapan-anggapan berikut ini dapat
dipenuhi atau mendekati keadaan sebenarnya antara lain :
a. Lantai beton dengan balok profil baja dihubungkan dengan penghubung
geser secara tepat pada seluruh batangnya.
b. Gaya geser pada penghubung geser adalah sebanding secara
proporsional dengan beban pada penghubung geser.
c. Distribusi tegangan adalah linier di setiap penampang.
41
Universitas Sumatera Utara
d. Lantai beton dan balok baja tidak akan terpisah secara vertical di bagian
maupun sepanjang batangan.
2.9.3 Pra Dimensi
Menurut peraturan AASHTO, tinggi balok gabungan :
Tinggi gelagar baja ( h ) + plat beton ( tb )
= L / 25
Tinggi gelagar baja ( h )
= L / 30
Dimana : L : panjang bentang dimuati
2.9.4 Lebar Efektif
Penentuan lebar efektif pelat beton berdasarkan nilai yang terkecil adalah :
B Mu
2.1
Dengan : Фb = 0,90
Mn = tahanan momen nominal
Mu = momen lentur akibat beben terfaktor
Kondisi batas yang diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal sebuah
balok adalah :
1. kelelehan penampang
2. tekuk
a. Lokal (sayap dan badan)
b. tekuk lateral torsi
Bahaya tekuk lokal pada balok yang menerima lentur terjadi di bagian pelat
penampanf yang menerima tekan. Batas maksimum rasio lebar tebal pelat badan
maupun pelat sayap akan lebih besar dibandingkan rasio untuk batang tekan.
Batasan kelangsingan penampang baja WF adalah sebagai berikut :
1. Pelat sayap
2. Pelat badan
√
√
√
√
2.2
2.3
Penampang balok lentur sebagai fungsi parameter kelangsingan :
1. Penampang kompak (
)
49
Universitas Sumatera Utara
Mn = Mp = Zx.fy
2.4
Dimana : Zx = modulus penampang plastis (mm3)
fy = tegangan leleh penampang (MPa)
2. Penampang tak kompak (
)
Mn = Mr = Sx.(fy - fr)
2.5
Dimana : fy = tegangan leleh
fr = tegangan sisa
Sx = modulus penampang elastis
Besarnya tegangan sisa fr = 70 MPa untuk penampang gilas panas, dan 115 MPa
untuk penampang dilas. Bagi penampang tak kompak yang mempunyai
, maka besarnya tahanan nominal,
2.6
Mn =
3. Penampang langsing (
Mn = M r
)
2.7
Kondisi batas tekuk torsi ditinjau dengan membagi jenis balok menurut
panjang bentang yang tak terkekang secara lateral L. Pemasangan penopang
lateral dengan jarak L yang semakin pendek akan meningkatkan nilai Mn. pada
bentang yanmg sangat pendek, nilai kuat lentur nominal dapat mencapai momen
plastis penampang Mp.
50
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.20 Kondisi batas tekuk lentur torsi pada balok lentur
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Untuk penampang baja WF dan kanal ganda, nilai batas Lp dan Lr adalah sebagai
berikut :
Lp
= 1,76 ry √
Lr
=
2.8
)√
(
√
(
)
2.9
Dimana :
ry = jari-jari girasi penampang = √
Iy = momen inersia penampang
E = modulus elastisitas penampang
fy = tegangan leleh penampang
fr = tegangan sisa penampang
X1
=
√
2.10
Sx = modulus panampang elastis pada arah sumbu x
51
Universitas Sumatera Utara
G = modulus geser bahan = 80000 MPa
J = momen inersia polar atau konstanta puntir torsi = ∑
b = panjang bagian penampang
t = tebal penampang
X2
=
2.11
Cw = momen inersia pilin (warping) atau konstanta puntir
lengkung
Cw =
dan h adalah jarak antar titik berat pelat sayap.
Kuat lentur nominal balok baja, Mn ditentukan oleh beberapa kondisi batas, yaitu :
a. Kondisi leleh penuh (L ≤ Lp)
Mn = Mp = Zx.fy
2.12
b. Kondisi tekuk torsi lateral inelastik (Lp < L< Lr)
Mn
(
=
Dimana :
)
2.13
Cb = faktor pengali momen lentur nominal
Cb
2.14
=
Mmax = momen maksimum pada bentang yang ditinjau
MA
= momen pada ¼ bentang tak terkekang
MB
= momen pada tengah bentang tak terkekang
MC
= momen pada ¾ bentang tak terkekang
c. Kondisi tekuk torsi lateral elastik (L ≥ Lr)
Mn = Mcr =
√
2.15
52
Universitas Sumatera Utara
2.9.8.2 Komponen Memikul Geser
Pelat badan sebuah balok baja yang memikul gaya geser terfaktor, Vu
harus direncanakan sedemikian rupa sehingga selalu terpenuhi hubungan :
Vu ≤ Фv.Vn
2.16
Dimana :
Фv = faktor reduksi kuat geser, diambil 0,9
Vn = kuat geser nominal, dianggap disumbangkan hanya oleh badan.
Kuat geser nominal balok baja, Vn untuk profil WF dan C ganda kompak (
)
ditentukan oleh kondisi batas leleh atau tekuk pada pelat badan.
a. leleh pada pelat badan (Plastik sempurna)
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.17
Maka kuat geser nominal dengan leleh pada pelat badan dihitung sebagai berikut :
Vn
= 0,6.fyw.Aw
2.18
Dengan :
kn
=
a
= Jarak antar pengaku lateral pada penampang
fy
= tegangan leleh pelat badan
Aw
= luas kotor pelat badan
b. tekuk inelastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
√
2.19
53
Universitas Sumatera Utara
Maka kuat geser nominal dengan tekuk inelastik pada pelat badan dihitung
sebagai berikut :
[
√
]
2.20
c. tekuk elastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.21
Maka kuat geser nominal dengan tekuk elastik pada pelat badan dihitung sebagai
berikut :
2.22
2.9.8.3 Kuat lentur nominal
Kuat lentur nominal dari suatu komponen struktur komposit (untuk
momen positif)
a. Untuk
Mn
≤
√
2.27
Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan distribusi
tegangan plastis
Фb = 0,85
b. Untuk
Mn
2.28
Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan superposisi
tegangan-tegangan elastis yang memperhitungkan pengaruh tumpuan
sementara (perancah)
Фb = 0,90
54
Universitas Sumatera Utara
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.21 Kuat lentur nominal berdasarkan distribusi tegangan plastis
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Kuat lentur nominal yang dihitung berdasarkan distribusi tegangan plastis,
dapat dikategorikan menjadi dua kasus sebagai berikut :
1. Sumbu netral plastis jatuh pada pelat beton
Dengan mengacu pada gambar 2.21, maka besar gaya tekan C adalah :
C = 0,85 . f’c . α . bE
2.29
Gaya tarik T pada profil baja adalah sebesar :
T = As . fy
2.30
Dari keseimbangan gaya C = T, maka diperoleh :
α=
2.31
Kuat lentur nominal dapat dihitung dari gambar 2.9.a :
M n = C . d1
Atau
= T . d1 = As . fy .
2.32
2.33
Jika dari hasil perhitungan persamaan 2.9 ternyata a > ts, maka asumsi harus
diubah. Hasil ini menyatakan bahwa pelat beton tidak cukup kuat untuk
mengimbangi gaya tarik yang timbul pada profil baja.
55
Universitas Sumatera Utara
2. Sumbu netral plastis jatuh pada profil baja
Apabila ke dalam balok tegangan beton, α, ternyata melebihi tebal pelat
beton, maka distribusi tegangan dapat ditunjukkan seperti pada gambar 2.9.c. gaya
tekan, Cc, yang bekerja pada beton adalah sebesar :
Cc = 0,85 . f’c . bE . ts
2.34
Dari keseimbangan gaya, diperoleh hubungan :
T’ = Cc + Cs
2.35
Besar T’ sekarang lebih kecil daripada As . fy, yaitu :
T’ = As . fy - Cs
2.36
Dengan menyamakan persamaan 2.13 dan 2.14 diperoleh
Cs =
2.37
Atau dengan mensubtitusikan persamaan 2.12, diperoleh bentuk :
2.38
Cs =
Kuat lentur nominal diperoleh dengan memperhatikan gambar 2.9.c :
Mn = Cc . d’2 + Cs . d”2
2.39
2.9.8.4 Konsep Dasar LRFD
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja
adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja / working stress design
(Allowable Stress Design / ASD) dan perencanaan kondisi batas / limit states
design (Load and Resistance Factor Design/ LRFD).
Metode ASD dalam perencanaan struktur baja telah digunakan dalam
kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dalam 20 tahun terakhir prinsif
56
Universitas Sumatera Utara
perencanaan struktur baja mulai beralih ke konsep LRFD yang jauh lebih rasional
dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.
Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh,
terkecuali untuk situasi-situasi tidak umum yang tidak diatur dalam peraturan.
Metode LRFD untuk perencanaan struktur baja yang diatur dalam SNI 03-17292002, berdasarkan pada metode First Order Second Moment (FOSM) yang
menggunakan karakteristik statistik yang lebih mudah dari tahanan dan beban.
2.9.8.4.1 Desain LRFD struktur baja
Secara umum suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
ФRn ≥ ∑γi . Qi
2.42
Bagian kiri dari persamaan 2.1 merepresentasikan tahanan atau kekuatan
dari sebuah komponen atau sistem struktur. Dan bagian kanan persamaan
menyatakan beban yang harus dipikul struktur tersebut, jika tahanan nominal Rn
dikalikan suatu faktor tahanan Ф maka akan diperoleh tahanan rencana. Namun
demikian, berbagai macam beban (beban mati, beban hidup, gempa dan lain-lain)
pada bagian kanan persamaan 2.42 dikalikan suatu faktor beban γi untuk
mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑γi . Qi.
2.9.8.4.2 Faktor tahanan
Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD,
ditentukan dalam tabel berikut :
Tabel 2.9Faktor reduksi (Ф) untuk keadaan kekuatan batas
Kuat rencana untuk
Faktor reduksi
Komponen struktur yang memikul lentur :
57
Universitas Sumatera Utara
Balok
0,90
Balok pelat berdinding penuh
0,90
Pelat badan yang memikul geser
0,90
0,90
Pelat badan pada tumpuan
0,90
pengaku
Komponen struktur yang memikul gaya tekan aksial :
Kuat penampang
0,85
Kuat komponen struktur
0,85
Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial :
Terhadap kuat tarik leleh
0,90
Terhadap kuat tarik fraktur
0,75
Komponen struktur yang memikul aksi-aksi
kombinasi :
0,90
Kuat lentur atau geser
Kuat tarik
Kuat tekan
0,90
0,85
Komponen struktur komposit :
Kuat tekan
0,85
Kuat tumpu beton
0,60
Kuat lentur dengan distribusi tegangan plastik
0,85
Kuat lentur dengan distribusi tegangan elastik
0,90
Sambungan baut :
Baut yang memikul geser
0,75
Baut yang memikul tarik
0,75
Baut yang memikul kombinasi geser dan tarik
0,75
Lapis yang memikul tumpu
0,75
Sambungan las :
Las tumpul penetrasi penuh
0,90
Las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian
0,75
Las pengisi
0,75
(Sumber :Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan gedung,
SNI 03-1729-2002)
58
Universitas Sumatera Utara