Definisi Dasar Hukum Rukun dan Syarat Qa

Definisi, Dasar Hukum , Rukun dan Syarat Qardh
Makalah ini di susun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih mu’amalah
Dosen Pengampu Imam Mustofa, M.S.I.

Disusun oleh:
Bagus Setiawan

1502100246

Kelas C

S1 PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2016

BAB I
PEMBAHASAN

Definisi, Dasar Hukum , Rukun dan Syarat Qardh


A. Pengertian Qardh (Utang Piutang)
Secara etiomologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai–
yaqridhu, yang berarti dia memutuskan nya. Qardh adalah bentuk masdar yang
berate memutuskan. Dikatakan , qaradhu asy-sya bil- miqradh. Atau memutus
sesuatu yang digunting. Al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik
yang dibayar.
Adapun qardh secara terminalogis adalah memberikan harta kepada orang
yang akan memanfaaatkannya dan mengembalikan gantikan nya di kemudian
hari. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah ,qardh adalah penyediaan dana
atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam kompilasi
hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif dalam akad pijam meminjam antara
nasabah dan lembaga keuangan syariah. 1
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikannya secara bahasa sebagai potongan,
maksudnya

adalah


harta

yang

dipinjamkan

kepada

seseorang

yang

membutuhkan. Harta tersebut merupakan potongan atau bagian dari harta
orang yang member pinjaman tersebut.
Ulama secara umum mendefinisikan qardh adalah harta yang diberikan atau
dipinjamkan oleh seseorang (debitur) kepada orang lain, pinjaman tersebut

1

Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm. 333-334


2

dimaksudkan

untuk

membantu

pihak

peminjam,

dan

dia

harus

mengembalikannya dengan nilai yang sama. 2

Qardh dalam kompilasi hukum ekonomi syariah pasal 20 di definisikan
sebagai penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah
dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan
pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangkau waktu tertentu3
Definisi yang berkembang di kalangan fuqaha adalah sebagai berikut :
Al-qardh adalah “penyerahan (pemilikkan) harta al-misliyat kepada orang lain
untuk ditagih pengembaliannya”, atau dengan pengertian lain,”suatu akad yang
bertujuan untuk menyerahkan harta misliyat kepada pihak lain untuk
dikembalikan yang sejenis dengannya .
Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya utang piutang
merupakan bentuk muamalah yang bercorak ta‟awun (pertolongan) kepada
pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran islam (al-quran dan
al-hadist) sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotong royong seperti ini.
Bahkan al-quran menyebut piutang untuk menolong atau meringankan orang
lain yang membutuhkan dengan istilah “menghutangkan pada allah dengan
hutang baik.”
“Barang siapa yang menghutangkan (karena allah) dengan hutang yang baik
maka allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan ia akan
memperoleh pahala yang banyak.. (Al-hadid:11).4
Menurut Muhammad Muslehuddin, Qardh merupakan suatu jenis pinjaman

pendahuluan untuk kepentingan peminjaman. Ini meliputi semua bentuk barang
yang bernilai dan bayarannya juga sama dengan apa yang dipinjamkan.
2

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh,(Beiru: Dar Al-Fikr,2004), V/3786 sebagaimana
dikutip oleh Imam Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),Hlm.168169
3
Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Maah,Sunan Ibni Majah, (Digital Library, al-Maktabah alSyamilah al-Isdar al-Sani,2005),VII/378, hadis nomor 2524 sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.169
4
Sulaiman Rasyid,”Fi ih Islam”,(Bandung:Sinar Baru Algensindo,2013),hlm.170-171

3

Peminjam tidak mendapatkan nilai yang berlebih karena itu akan merupakan
riba yang dilarang dengan keras.5
Dengan demikian dalam Qardh tidak ada imbalan atau tambahan nilai
pengembalian.6
Tujuan dan hikmah dibolehkannya utang-piutang itu adalah memberi
kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan hidup, karena diantara umat

manusia itu ada yang berkecukupan dan ada yang berkekurangan. Orang yang
berkekurangan dapat memanfaatkan utang dari pihak yang berkecukupan. 7
B. Dasar Hukum Qardh
Dasar hukum qardh adalah alquran ,hadist dan ijma.
a. Dalil al quran
1. firman Allah dalam QS.Albaqarah 245:
Siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik(menafkahkan harta dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang

banyak.

Sisi

pengendalian dari ayat diatas bahwa Allah SWT menyerupakan amal
sholeh dan memberi infak sabililah dengan harta yang dipinjam kan dan
menyerupakan pembalasan nya yang berlipat ganda kepada pembayar
utang.amal tersebut pinjaman utang karena orang yang berbuat baik
melakukan nya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang
yang mengutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.8

2. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 12;
5

Muhammad Muslehuddin, “Sistem Perbankan Dalam Islam, Rineka Cipta”,Jakarta, 2004, hal. 78 sebagaimana
dikutip oleh Andita Yuni Santoso, Pelaksanaan Akad Pembiayaan Qardh Pada Bank Bri Syariah Cabang

Semarang” ,( Universitas Diponegoro S emarang,2005),hlm. 30

Atang Abd Hakim,”Fi ih Pe ba ka Sya iah(T a sfo asi Fi ih Mua alah Kedala Pe atu a
Perundang-undangan , Ba du g:PT Refika Adita ,
,hl . 66
7
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh”,( Jakarta: Prenada Media, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005), hlm.
223 sebagaimana dikutip oleh Nu Hali ah, Studi Analisis Terhadap Praktek Akad Qardh Wal Ijarah Pada
Pe biayaa Tala ga Haji Di Ba k Sya i’ah Ma di i Caba g Se a a g”,( Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang,2009),hlm.14
8
Pasal 20 ayat (36) Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana dikutip oleh Ma da i, Fiqih
Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.334


6

4

“sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul ku dan kamu bantu mereka dan kamu
pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik; sesungguhnya aku akan
menutupi dosa- dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan kumasukkan
kedalam surge yang mengalir air di dalamnya sungai- sungai”.9

Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan
terjerumus dalam kesulitan bila membayar utangnya, tannguhkan
penagihan sampai dia lapang. Jangan menagihnya jika kamu mengetahui
dia sempit, apalagi memaksanya dengan sesuatu yang amat dia
butuhkan. Yang menangguhkan itu pinjamannya dinilai sebagai qardh
hasan, yakni pinjaman yang baik. Setiap detik ia mengangguhkan dan
menahan diri untuk tidak menagih, setiap saat itu pula Allah memberinya
ganjaran sehingga berlipat ganda ganjaran itu. Yang lebih baik dari yang
meminjamkan adalah menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu.
Kalau demikian, jika kamu mengetahui bahwa hal tersebut lebih baik,

bergegaslah meringankan yang berutang atau membebaskannya dari
utang.10
3. ‫قر ض ل له ذاال ذى من‬

‫ك ري م‬

‫أجر ول ه ل ه ف ي ض ع فه حس نا ق ر ضا ي‬

Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah umat Islam diseru
untuk ”meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta
di jalan Allah. Selaras dengan itu, manusia juga diseru untuk
”meminjamkan sesame manusia”, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society). Kata dza di atas (dalam lafad man dza)
berfungsi sebagai penguat dorongan berinfak. Ayat ini dikemas dalam
bentuk pertanyaan dengan tujuan mendorong siapa pun yang biasa
berinfak untuk terus meningkatkan infaknya apalagi yang belum terbiasa,
9

Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Maah,Sunan Ibni Majah, (Digital Library, al-Maktabah alSyamilah al-Isdar al-Sani,2005),VII/378, hadis nomor 2524 sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.170

10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol.1: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qu ’a
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 727-728 Sebagaimana dikutip oleh Amala Shabrina, Optimalisasi
Pinjaman Kebajikan (Al-Qardh) Pada BMT(Studi pada BMT UMJ, Ciputat)”(Jaka ta:Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri (Uin), 2013),hlm. 26

5

karena Allah menjanjikan balasan yang berlipat ganda. Yang dimaksud
dengan “pahala yang mulia” dalam ayat di atas adalahpengampunan
dosa-dosa.

11

b. Dalil hadist
1.

Riwayat imam muslim yang bersumber dari Abu Rafi‟ r.a sebgai
berikut; “sesungguhnya Rasulullah SAW berutang seekor unta muda
kepada seseorang laki- laki. Kemudian diberikan kepada beliau

seekor unta shadaqah. Beliau memerintahkan Abu Rafi‟ kembali
kepada beliau dan berkata , saya tidak menemukan diantara untaunta tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun. Beliau
menjawab, berikan lah unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang
adalah paling baik dalam membayar utang”(HR.Muslim) . Ibnu Majah
meriwayatkan hadist yang bersumber dari Ibnu Mas‟ud ra. Dari Nabi
Saw, bersabda : “Tidaklah seseorang muslim memberi pinjaman
kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan pinjaman itu
(berkedudukan) seperti sedekah satu kali”. (HR. Ibnu Majah).12

2. Hadist riwayat ibnu mas‟ud;
“ dari ibnu mas‟ud, sesungguhnya nabi Muhamad Saw. Bersabda :
tidaklah seorang muslim member pinjaman kepada orang muslim
yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu seperti sedekah sekali.13
3. Hadist riwayat Annas Bin Malik
“dari Annas Bin Malik ia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda : saat
malam isra‟ Mir‟aj aku melihat dipintu surge tertulis “sedekah dilipat
gandakan sepuluh kali, dan qardh (pinjaman) dilipat gandakan
delapan belas kali : aku bertanya kepada jibril wahai jibril kenapa
qardh lebih utama darpada sedekah? Jibril menjawab “karena
11

M. Quraish Shahab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, hlm.22 sebagaimana di
kutip oleh Burhanudin,” Pemahaman Dan Penerapan Al-Qard{ Al-Hasa Pada Kjks B t Ha iva”,( Fakultas
“ya i’ah Da Huku Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,2012),hlm. 11-12
12

Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
Malikiyah tidak mensyaratkan yang demikian. Sebagimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh
Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.334-335.
13
Ibid.,VII/378 Nomor 2524 sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,”Fi ih Mu’a alah
Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.170

6

didalam

sedekah

pengemis

meminta

sedangkan

dia

punya,

sedangkan orang yang meminjam, tidaklah ia meminjam kecuali
karena ada kebutuhan.14
4. Hadist Riwayat Ibnu majah
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalaf
Al Asqalani berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'la berkata,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Yasir dari Qais bin
Rumi ia berkata, "Sulaiman bin Udzunan meminjami Alqamah seribu
dirham sampai waktu yang telah ditentukan, ketika waktu yang telah
ditentukan habis, Sulaiman meminta dan memaksa agar ia
melunasinya, Alqamah pun membayarnya. Namun seakan-akan
Alqamah marah hingga ia berdiam diri selama beberapa bulan.
Kemudian Alqamah datang kembali kepadanya dan berkata, "Pinjami
aku seribu dirham sampai batas waktu yang telah engkau berikan
kepadaku dulu." Sulaiman menjawab, "Baiklah, dan dengan rasa
hormat wahai Ummu Utbah, berikanlah kantung milikmu yang tertutup
itu." Ia pun datang dengan membawa kantung tersebut, kemudian
Sulaiman berkata, "Demi Allah, sesungguhnya itu adalah dirhamdirham milikmu yang pernah engkau bayarkan kepadaku, aku tidak
merubah dirham itu sedikitpun." Alqamah berkata, "Demi Allah, apa
yang mendorongmu melakukan inikepadaku?" ia menjawab, "Karena
sesuatu yang aku dengar darimu." Ia bertanya, "Apa yang kamu
dengar dariku?" ia menjawab, "Aku mendengarmu menyebutkan dari
Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman
kepada orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang
pertama." Ia berkata, "Seperti itu pula yang di beritakan Ibnu Mas'ud
kepadaku." (HR.Ibnu Majah)
Hadits ini menyatakan sangat besar pahala yang diperoleh
oleh seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang yang
Ibid.,VII/379 Nomor 2525 sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,”Fi ih Mu’a alah
Ko te po e ”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.170

14

7

memerlukan. Ibnu Ruslan berkata, “Kita boleh berhutang kepada
seseorang bila kita memerlukannya dan berhutang itu bukanlah suatu
keburukan. Nabi Saw. sendiri pernah berhutang. 15
c. Dalil ijma‟
bahawa semua kaum muslimin telah sepakat dibolehkannya utang
piutang.16 Hukum qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqaridh dan
mubah bagi muqtaridh. Hadistnya yang artinya :
“ Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw. Telah bersabda”barang
siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesuahan dari kesusahankesusahan dunia, niscaya allah melepakan dia dari kesusahan-kesusahan
hari kiamat. Barang siapa member kelonggaran pada seseorang yang
kesusahan niscaya allah akan memberikan kelonggaran baginya didunia dan
diakhirat, dan barang siapa yang menutupi (aib) seseorang muslim niscaya
allah menutupi aibnya didunia dan diakhirat dan allah selamanya menolong
hambanya, selama hambanya mau menolong saudarang”. (HR. Muslim) 17
C. Rukun dan Syarat Transaksi Qardh
1. Rukun Qardh ada 3, yaitu :
a. Shighat
Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab dan Qabul. Tidak ada
pervedaan diantara fukahah bahwa ijab qabul itu sah dengan lafadzh
utang dan dengan semua lafadzh yang menunjukkan maknanya,
seperti kata, “aku memberimu utang,” atau “aku mengutangimu.”
Demikian pula qabul sah dengan semua lafadzh yang menunjukkan
15

Teu gku Muha
ad Hasbi Ash “hiddie y, Koleksi Hadis-hadis Huku Vol.7”, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001), hlm.122-123 Sebagaimana dikutip oleh Amala Shabrina, Optimalisasi Pinjaman
Kebajikan (Al-Qardh) Pada BMT(Studi pada BMT UMJ, Ciputat)”(Jaka ta:Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri (Uin), 2013),hlm. 29
16

Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
Malikiyah tidak mensyaratkan yang demikian. Sebagimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh
Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.335.
17
Abu Ishaq Asy-Syirazi, Ar-Muhadzdzab,juz 11, hlm.302 sebagaimana dikutip oleh Rachmat
“yafe’,”Fi ih Mua alah”,(Bandung:CV Pustaka Setia,2001),hlm. 153

8

kerelaan, seperti “aku berutang” atau ”aku menerima,” atau ”aku
ridho” dan lain sebagainya.
b. „Aqidain
Yang dimaksud dengan „aqidain (;dua pihak yang melakukan
transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syaratsyarat bagi pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan
pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
c. Harta yang diutangkan
Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut :
1. Harta berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang
satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang
mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang
yang dapat ditakar, ditimbang, ditanam, dan dihitung.
2. Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah
mengutangkan manfaat (jasa).
3. Harta yang diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan
diketahui sifatnya.18
Syarat Qardh :
1. Karena

utang

piutang

sesungguhnya

merupakan

sebuah

transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul
yang jelas sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafadzh
qard, salaf atau yang sepadan dengannya. Masing-masing pihak
harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum dan
berdasarkan iradah (kehendak bebas).
2. Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawim.
Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi objek utang
18

Hal i i pe dapat dikala ga Mazhab Ha afiyah da Ha abilah, seda gka kala ga “afii’iyah da
Malikiyah tidak mensyaratkan yang demikian. Sebagimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh
Ma da i, Fi ih Eko o i Sya iah”,(Jakarta:Kencana, 2012),Hlm.335

9

piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mazhab.
Menuru fuqaha mazhab akad utang piutang hanya berlaku pada
harta

benda

al-misliyat

yakni

harta

benda

yang

banyak

padanannya, yang lazimnya dihitung melalui timbangan, takaran
dan satuan. Sedangkan harta benda al-kimyyat tidak sah
dijadikan objek utang piutang seperti hasil seni, rumah, tanah,
hewan, dan lain-lain.
3. Akad utang

piutang

tidak

boleh dikaitkan dengan suatu

persyaratan diluar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan
pihak

muqridh

persyaratan

(pihak

memberikan

yang

menghutanginya).

keuntungan

Misalnya

(manfaat)

apapun

bentuknya atau tambahan, fuqaha sepakat yang demikian ini
haram hukumnya. Jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan
dalam akad atau jika hal itu telah menjadi uruf kebiasaan
dimasyarakat.19
Menurut fuqaha malikyyah membedakan utang piutang yang
bersumber dari jual beli dan utang piutang (al-qardh). Dalam hal
utang bersumber dari jual beli penambahan pembayaran yang
tidak dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang
piutang

al-qardh

penambahan

pembayaran

yang

tidak

dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, hukumnya dalah haram. Penambahan
tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan dimasyarakat
baru boleh diterima.
Penambahan pelunasan utang yang diperjanjikan oleh
muqtaridh (pihak yang berutang), menurut sya‟fiah pihak yang

Ghuf o A. Mas’adi,”Fi ih Mua alah Ko tekstual , Jaka ta:PT Raja G afi do Pe sada,
173

19

,hl .

10

mengutanginya

makruh

menerimanya

sedangkan

menurut

hanabilah pihak yang mengutangi dibolehkan menerimanya. 20
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar
ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh, yaitu;
1. Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab qabul atau bentuk lain
yang dapat menggantikan nya. Seperti muatah(akad dengan
tindakan atau saling memberi dan saling mengerti).
2. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum
(berakal, baligh, dan tanpa paksaaan). Berdasarkan syarat ini ,
maka qardh sebagai akad tabrrau‟(berderma/social), maka akad
qardh yang dilakukan anak kecil , oran gila, orag bodoh atau
orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3. Menurut kalangan Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah
harta

yang

ada

padanannya

dipasaran,

atau

padanan

nilainya (mistil), sementara menurut jumhur ulama, harta yang
dipinjamkan dalam qardh dapat berupa harta apa saja yang dapat
dijadikan tanggungan.
4. Ukuran, jumlah jenis, dan kualitas harta yang dipinjamkan harus
jelas agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari
perselisihan diantara para pihak yang melakukan akad qardh.
Al-zuhaili juga menjelaskan dua syarat lain dalam akad qardh,
pertama, qardh tidak boleh mendatangkan keuntungan atau
manfaat bagi pihak yang meminjamkan. Kedua, akad qardh tidak
dibarengi dengan transaksi lain , seperti jual beli dan lain nya.
Pasal 612 kompilasi hukum

ekonomi syariah (KHES)

menyebutkan bahwa pihak peminjam harus mengembalikan
pinjaman nya sebagaimana waktu yang telah ditentukan dan
Ghuf o A. Mas’adi,”Fi ih Mua alah Ko tekstual , Jaka ta:PT Raja G afi do Pe sada,
174

20

,hl .

11

disepakati oleh para pihak. Namun

, dalam qardh , pihak

peminjam tidak mengulur – ngulur waktu pengembalian pinjaman
ketika dia sudah mampu untuk mengembalikan.
Ketentuan lain adalah pasal 614 KHES yang menyebutkan bahwa
dalam akad qardh, pihak yang meminjamkan dapat meminta
jaminan kepada pihak yang meminjam. Hal ini diperlukan untuk
menghindari penyalahgunaan pinjaman atau qardh.
Berbagai syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan diatas harus
terpenuhi saat akad qardh. Sah atau tidaknya suatu akad
tergantung terpenuhi rukun , syarat dan ketentuan yang berlaku.21

Ibid.,V/3796-3797 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,”Fi ih Mu’a alah Ko te po e ”,
(Jakarta:Rajawali Pers,2016),hlm.173

21

12

BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang
mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan
pertolongan berupa materi, dan sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan
manfaat bagi pemberi utang maupun bagi penerima utang. Qardh diperbolehkan
selama tidak ada unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak.

13

DAFTAR PUSTAKA

Andita Yuni Santoso,” Pelaksanaan Akad Pembiayaan Qardh Pada Bank Bri
Syariah Cabang Semarang” ,( Universitas Diponegoro S emarang,2005)

Amala Shabrina, “Optimalisasi Pinjaman Kebajikan (Al-Qardh) Pada
BMT(Studi pada BMT UMJ, Ciputat)”(Jakarta:Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri (Uin), 2013)
Atang Abd Hakim,”Fiqih Perbankan Syariah(Transformasi Fiqih Muamalah
Kedalam Peraturan Perundang-undangan)”,(Bandung:PT Refika Aditam,2011)
Burhanudin,” Pemahaman Dan Penerapan Al-Qard{ Al-Hasan Pada Kjks Bmt
Haniva”,( Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta,2012)
Ghufron A. Mas‟adi,”Fiqih Muamalah Kontekstual”,(Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,2002)
Mardani, “Fiqih Ekonomi Syariah”,(Jakarta:Kencana, 2012)
Nur Halimah,” Studi Analisis Terhadap Praktek Akad Qardh Wal Ijarah Pada
Pembiayaan Talangan Haji Di Bank Syari’ah Mandiri Cabang Semarang”,( Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang,2009)
Rachmat Syafe‟,”Fiqih Muamalah”,(Bandung:CV Pustaka Setia,2001)
Sulaiman Rasyid,”Fiqih Islam”,(Bandung:Sinar Baru Algensindo,2013)
Imam Mustofa,”Fiqih Mu’amalah Kontemporer”, (Jakarta:Rajawali Pers,2016)

14