Relasi Agama dan Negara docx

RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM AL-QUR’AN

DISUSUN OLEH :

Putri Puspita
Erika Sita Prasasti
Tiara Azaria Amanda
Tiara Marisa
Tiara Manisha

Ilmu Politik 2A

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

1. PENDAHULUAN
Berbicara masalah negara dan agama, tentu tidak serta merta menarik satu kesimpulan.
Banyak sekali perdebatan dari banyak kalangan terutama mereka yang bergelut pada korelasi

antara negara dan agama. Islam sebagai agama yang sejarahnya awal kemunculannya berawal
dari masalah politik yang kemudian baru menyentuh persoalan agama, ini merupakan satu
prestasi bahwa Islam telah lebih dulu membicarakan masalah politik.
Berawal dari ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan kemudian membentuk
satu negara yang di sebut Negara Madinah, yang kita kenal prestasi terbesar dari pemerintahan
Nabi Muhammad SAW dalam memimpin Negara Madinah adalah Piagam Madinah. Piagam ini
adalah bentuk konkrit dari Islam bukan sebatas ajaran tentang tauhid, melainkan Islam juga
sebagai agama yang komprehensif, yang mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya atau
penganutnya, bahkan lebih dari itu, Islam dalam sejarahnya mengatur pemerintahan dan urusan
negara serta kaitannya dengan politik.
Membicarakan tentang masalah negara dan agama, tentu tidak akan ada habisnya. Bagai
dua mata koin yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Negara membutuhkan agama
sebagai petunjuk dan aturan bagaimana warga negara dalam satu negara melakukan hubungan
interaksi berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan agama, agama membutuhkan negara
untuk keberlangsungan agama dalam satu negara.
Berkenaan dengan masalah negara, terutamanya Islam, bagaimana konsep negara dalam
Al-Quran ? sebagai kitab suci dan tuntunan umat Islam. Dan apakah ada konsep partai politik
dalam Islam ? mengingat di Indonesia sendiri banyak kita jumpai partai politik yang mengklaim
bahwa dirinya adalah partai politik Islam.


2. PEMBAHASAN

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat
(Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diartikan sebagai
organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu,
hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. 1 Negara dalam
bahasa Arab dikenal dengan kata dawlah. Kata dawlah secara etimologi merupakan mashdar
(kata benda) dari fi’il madhi (kata kerja lampau) dala yang berarti berubah-ubah.2 Jamak dari
dawlah ialah duwal yang berarti negara, bangsa, pemerintahan.3 Seorang pakar bahasa abad ke-7,
Zayn al-Din al-Razi, menyebutkan bahwa dawlah menunjukkan banyak arti. Pertama, dawlah
dalam konteks peperangan berarti sebuah pasukan yang menguasai pasukan lain. Ia mengatakan
kanat lana ‘alayhim dawlah yang berarti kami mempunyai kekuasaan terhadap mereka. Kedua,
dawlah dalam konteks harta berarti mengumpulkannya. Sebenarnya, istilah dawlah secara
tersirat terdapat dalam Al-Qur’an pada surat Al-Hasyr ayat 7 mengenai pengumpulan harta
rampasan tanpa terjadi peperangan (al-fay’).4

Artinya : Harta rampasan fa-i yang diberikan Allah SWT kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari
penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah SWT, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang

1 A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), h. 120.
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab — Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 132,
dalam Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi Al-Din Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 24.
3 Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer: Arab — Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h. 918, dalam Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi AlDin Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009, h. 24.
4 Zayn al-Din al-Razi, Mukhtar al-Shihah, (Kairo: Dar al-Salam, 2007), h. 190, dalam
Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi Al-Din Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 24.

diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah SWT . Sungguh, Allah SWT sangat keras
hukumannya.5
Islam recognizes a number of principles such as al-‘adl (justice), syura (consultation),
al-musawa (equality), huriyya (freedom), voluntarism, etc. These have been the fundamental
bases for those who argue that Islam is compatible with democracy.6 (Islam mengenal beberapa
konsep pokok seperti al-‘adl (keadilan), syura (musyawarah), al-musawa (kesederajatan),
huriyya (kebebasan), voluntarisme, dan lain-lain. Hal-hal tersebut menjadi dasar fundamental

dalam mempertanyakan apakah Islam sesuai dengan demokrasi) (Terjemahan oleh penulis).
Dewasa ini terdapat dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda. Beberapa
kalangan Muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; Syari’ah harus diterima
sebagai konstitusi negara, bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang
negara, bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak
mengenal batas-batas politik atau kedaerahan dan bahwa saat itu mengakui prinsip syura
(musyawarah) aplikasi prinsip itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal diskursus
politik dewasa ini. Dengan kata lain, dalam konteks pandangan semacam ini sistem politik
modern dimana banyak negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan
politiknya. Diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. Pada ujung
spektrum yang lain, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam tidak
mengemukakan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan
oleh ummah.7
Menurut aliran pemikiran ini, bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan
dalam kitab sesempurna Al-Qur’an. Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam Al-Qur’an
yang merujuk atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapanungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka,
jelas bahwa Al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu politik. Namun demikian, penting untuk
dicatat bahwa pendapat seperti ini juga mengakui bahwa Al-Qur’an mengandung nilai-nilai dan
ajaran-ajaran yang bersifat etis mengenai aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran
ini mencangkup prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.8

Memang kalau kita buka Al-Qur’an, kita tidak akan menemukan di dalamnya petunjukpetunjuk untuk merancangkan Anggaran Belanja Negara, tak ada di dalamnya cara-cara
mengatur contingenteering, tidak bersua di dalamnya peraturan valuta dan aturan devisa dan
5 Al-Qur’an dicetak oleh Syamiil Qur’an. Terjemahan Al-Quran dari Kementerian
Agama Republik Indonesia.
6 Lihat tulisan Bahtiar Effendy, Islam and Democracy in Indonesia: Prospects and
Challenges.
7 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 15.
8 Ahmad Syafii Maarif, "Islam as the Basis of State," h. 33. Jika dokumen politik yang
paling awal dalam sejarah Islam diteliti lebih cermat, dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip
tersebut telah ditegaskan dalam Piagam Madinah (al-Mitsaq al-Madinah), dalam Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, h. 15.

lain-lain yang semacam itu. Semua ini sudah tentu tidak ada, dan memang tidak perlu diatur
dengan Wahyu Ilahi yang bersifat kekal, yang diatur oleh Islam ialah dasar dan pokok-pokok
mengatur masyarakat dan beberapa sifat yang perlu ada pada seorang Kepala Negara.9
Ketiadaan adanya perintah mendirikan Daulah Islam dalam Al-Qur’an dan Hadist bukan
berarti tidak ada perintah untuk mendirikannya. Ibn Khaldun mengatakan negara merupakan hal
penting, karena hanya dalam sebuah negara hukum-hukum Allah dapat diaplikasikan. Begitu
juga dengan undang-undang yang bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala aspek,
baik ibadah, tata cara hidup, juga yang berhubungan dengan negara pun dapat dilaksanakan. 10

Hanya Tuhan yang tahu segala hal yang berhubungan dengan akhirat, manusia hanya mengetahui
hal-hal yang bersifat duniawi, seperti yang diterangkan dalam surat Ar-Rum ayat 7 :

Artinya : Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap
(kehidupan) akhirat mereka lalai.11
Dikalangan umat Islam, terdapat tiga pendapat tentang hubungan antara Islam dan
ketatanegaraan. Pendapat pertama menjelaskan bahwa Islam bukan semata-mata sebagai agama
tetapi juga lengkap dengan pengaturan kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam hanya memiliki arti sebagai agama, tidak ada
hubungannya dengan urusan kenegaraan. Dan pendapat ketiga mengatakan bahwa di dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.12
Dalam Al-Quran juga sudah dijelaskan mengenai musyawarah yang konsepnya hampir
sama dengan sistem demokrasi. Konsep musyawarah dijelaskan didalam surat Al-Imran ayat 159
yang berbunyi :

h. 447.

9 Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Kramat Kwitang: Penerbit Bulan Bintang, 1955),


10 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Kairo: al-Daral-Dzahabiyyah, 2006), h. 211, dalam
Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi Al-Din Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 40.
11Al-Qur’an dicetak oleh Syamiil Qur’an. Terjemahan Al-Quran dari Kementerian
Agama Republik Indonesia.
12 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-Press, 1993), h. 3.

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”13
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an tentang bagaimana kita harus mentaati
pemimpin, yang dijelaskan dalam surat Al-Nissa:59 yang berbunyi:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu,
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”14
Musyawarah telah menjadi konsep fundamental bagi agama Islam yang juga dianut
dalam konsep bernegara. Ketika masa kekuasaan Nabi Muhammad SAW, umat Islam mulai
hidup bernegara setelah Nabi hijrah ke Madinah. Adanya Islam dan Yahudi menjadikan Madinah
sebagai kota yang majemuk. Untuk mengatur kehidupan dan hubungan antar komunitas di
Madinah yang majemuk, Nabi Muhammad membuat suatu piagam yang dikenal dengan Piagam
Madinah.15 Piagam Madinah merupakan konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam
yang pertama yang didirikan Nabi di Madinah. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang
13 Al-Qur’an dicetak oleh Syamiil Qur’an. Terjemahan Al-Quran dari Kementerian
Agama Republik Indonesia.
14 Ibid.
15 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 9.

mengatur tentang kehidupan antar komunitas atau kelompok di Madinah. Berikut adalah
beberapa point dalam Piagam Madinah:
1. Sesungguhnya mereka (Muslimin Quraisy dan Yasrib) satu umat, lain dari [komunitas]
manusia yang lain.
2. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan [kebiasaan] mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanandengan cara

yang baik dan adil di antara mukminin.
3. Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang
di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
4. Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran [membunuh]
orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk [membunuh]
orang beriman.
5. Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat.
Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
6. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan,
sepanjang [mukminin] tidak terzalimi dan ditentang [olehnya].
7. Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, peyelesaiannya menurut [ketentuan] Allah ‘azza
wa jalla dan [keputusan] Muhammad SAW.
8. Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
9. Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi
agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga [kebebasan ini berlaku]
bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal
demikian akan merusak diri dan keluarganya.
10. Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar
[berpergian] aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim da
khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Muhammad

Rasulullah SAW.16
Piagam Madinah banyak dikatakan oleh pakar politik sebagai konstitusi negara Islam
yang pertama, tidak menyebut agama negara.17 Meskipun tidak menyebutkan soal agama dan
negara secara gamblang, tetapi persoalan agama dalam negara tetap tercantum dalam Piagam
Madinah. Adanya persoalan Islam yang disinggung dalam bernegara menyebabkan terbentuknya
konsep Negara Islam.
Menurut Al-Nabhani bentuk Daulah Islam berbeda dengan bentuk pemerintahan mana
pun. Daulah Islam tegak di atas empat fondasi dasar. Pertama, kedaulatan di tangan syara’ (al16 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UIPress, 1995), h. 47-57.
17 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 10.

Siyadah li al-syar’i), bukan di tangan rakyat sebagaimana sistem demokrasi. Kedua,
kepemimpinan dalam pemerintahan adalah milik umat (al-Sulthan li al-ummah). Ketiga, memilih
seorang khilafah adalah wajib (nashb khalifah wahid fardh). Keempat, hak mengadopsi hukum
hanya bagi khalifah saja (haqq al-tabanni li al-khalifah wahdah).18 Al-Nabhani menegaskan
sistem pemerintahan Islam tidak bersifat teokrasi (pemerintahan Tuhan) atau nubuwwah
(kenabian). Daulah Islam adalah Dawlah Basyariyyah atau pemerintahan manusiawi.19 Dalam
kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam, al-Nabhawi menolak jika pemerintahan Islam disamakan
dengan monarki. Sistem monarki menetapkan sistem waris antar putra mahkota sedangkan dalam
sistem Islam pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha
dan kebebasan memilih. Demikian pula dengan sistem republik. Sistem republik berdiri di atas

pilar demokrasi yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, sementara dalam pemerintahan
Islam, kedaulatan berada di tangan syara’.20
Persoalan konsep negara Islam turut mewarnai sejarah Indonesia seperti yang dikatakan
Bahtiar Effendy dalam Islam and Democracy in Indonesia: Prospects and Challenges. Ia
mengatakan: Indonesia, being the largest Muslim country, was a democratic country from 19501957/1959. Albeit briefly and ineffectively, but democratic nonetheless. Interestingly, it was the
Islamic party like Masyumi which championed democracy. This party had never engaged in a
theological debate regarding the compatibility of democracy with Islam. (Indonesia, sebagai
negara berpenduduk Muslim terbesar, adalah negara demokrasi dari 1950-1957/1959. Meskipun
singkat dan tidak efektif, tetapi bagaimanapun juga demokratis. Menariknya, ialah partai Islam
seperti Masyumi yang memperjuangkan demokrasi. Partai ini tidak pernah terlibat dalam
perdebatan teologis mengenai kompatibilitas demokrasi dengan Islam) (Terjemahan oleh
penulis).
Masyumi tidak dapat dilepaskan dari peran Mohammad Natsir yang sangat signifikan
karena posisinya sebagai pemimpin. Natsir pada dasarnya anti komunis, keterlibatannya
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), disebabkan karena kegusarannya pada
pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Perbedaan pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke
pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Penghujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan
nasionalisme-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat
dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam.21

18 Al-Nabhani, Nizham al-Hukm, h. 44, dalam Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi AlDin Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009, h. 51.
19 Al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II, h.103, dalam Wahyu Ihsan,
Konsep Dawlah Taqi Al-Din Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 55.
20 Al-Nabhani, Nizham al-Hukm, h. 30, dalam Wahyu Ihsan, Konsep Dawlah Taqi AlDin Al-Nabhani, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009, h. 57.
21 Tim Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir, Natsir: Politik Santun di antara
Dua Rezim, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 3.

Selama periode konstituante (1956-1959), penampilan Natsir yang mewakili Masyumi
sangat mengesankan Adnan Buyung Nasution. Masyumi bertujuan menegakkan kedaulatan
rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. 22
Sebagian orang menuduh cita-cita negara berdasarkan syariat Islam tidak dapat dikompromikan.
Hal itu pula yang menjadi alasan pembubaran konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Padahal, Natsir sebenarnya telah menerima negara Pancasila.23
Menurut Natsir, konstituante adalah tempat yang dijanjikan oleh Proklamasi. Jika
keadaan negara sudah aman, akan dibentuk konstituante sebagai tempat perjuangan menentukan
dasar negara. Natsir yakin bahwa hidup adalah totalitas di bawah kedaulatan Tuhan. Termasuk
kehidupan bernegara. Indonesia bukanlah negara yang sekuler melainkan negara yang mengakui
Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menurut Natsir, dasar negara harus Islam. Jika ajaran
Islam ditinggalkan sebagai dasar negara, seperti ibarat melompat ke tempat yang gelap setelah
mengalami terang-benderang. Selain itu jika kelak Indonesia mulai menjauhi tujuan awalnya,
maka ada tempat kembali yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Pancasila merupakan buatan
manusia, yang tak memberikan cukup pegangan terutama tentang ketuhanan dan agama. Jika
umat Islam dipaksa menerima Pancasila sebagai dasar negara, mereka seperti masuk ke ruang
hampa, tidak berpegangan dengan apa pun. Natsir memakai istilah bentuk dan isi tidak dapat
dipisahkan. Bentuknya negara dan isinya masyarakat. Pikiran untuk memisahkan negara dengan
agama sama sekali tidak dapat ditoleransi oleh umat Islam karena bertentangan dengan ajaran
kedaulatan Tuhan. Namun dengan landasan pemikiran demikian, Masyumi tidak bisa mencapai
dua pertiga suara di konstituante. Sebenarnya suara yang menghendaki Pancasila sebagai dasar
negara juga tidak mencapai dua pertiga, tetapi para pimpinan konstituante diam-diam masih
berunding mencari modus yang acceptable dengan landasan demokrasi. Mereka sepakat
demokrasi harus dijaga demi menyelamatkan konsep pluralisme, menyelamatkan cita-cita negara
hukum. Waktu itu pihak Natsir sudah sampai kesadaran bahwa mereka kalah dan tidak ada
gunanya memaksakan dasar negara Islam.24
Polemik antara Natsir dan Soekarno bermula pada artikel Soekarno “Apa Sebab Turki
Memisah Agama dan Negara”. Soekarno merujuk pengalaman Turki Modern di bawah Kemal
Attaturk dengan konsep negara sekulernya.25 Ir. Soekarno berkata: “Tak ada ijma’ ulama”
tentang “agama dan negara harus bersatu”. Tetapi tak ada pula ijma’ ulama yang mengatakan
bahwa agama dan negara tidak harus bersatu.26 Bagi kita kaum Muslimin, “Negara” bukanlah
suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Negara bukanlah tujuan, tetapi alat. Urusan
ketatanegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan.
Sheikh Abdarrazik menurut Ir. Soekarno berkata, bahwa Nabi hanyalah mendirikan agama saja,
190.

h. 135.

22 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h.
23 Tim Edisi Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir, Op.Cit., h 83.
24 Ibid.
25 A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
26 Mohammad Natsir, Capita Selecta, h. 440.

tidak mendirikan negara. Memang negara tidak diperintahkan oleh Rasulullah, dengan atau tanpa
Islam, negara bisa berdiri sendiri sebelum dan sesudah Islam, dimana saja ada segolongan
manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.27
Soekarno berpendapat: “Berjuanglah mencapai kemerdekaan Indonesia dengan dasar
nasionalisme. Adapun agama adalah pilihan dan tanggung jawab masing-masing diri. Pendapat
Soekarno tersebut ditanggapi Natsir yang tegas berpendirian bahwa “Islam bukanlah sematamata suatu agama, melinkan suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi,
sosial dan kebudayaan.” Bagi Natsir: “Islam merupakan sumber segala perjuangan atau revolusi
itu sendiri. Sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan”. Natsir melihat Islam “Tidak
memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan”, sedangkan nasionalisme “hanyalah suatu
langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan
manusia di bawah lindungan dan keridhaan Ilahi.”28
Keputusan pemisahan negara dan agama seperti yang dideklarasikan Turki dan Tunisia
semakin gencar diperbincangkan. Keputusan ini dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan
posisi geografis. Dari posisi geografis, Turki berada diantara peradaban Muslim, Timur Tengah,
dan Barat. Nilai-nilai budaya Barat juga menyebar cepat terlebih di kerajaan Turki Utsmani.
Berbeda dengan Turki yang memisahkan persoalan agama dan negara, Arab Saudi dikenal
dengan negara yang nilai Islamnya sangat kental. Arab Saudi mengintegrasikan politik dengan
agama, Al-Qur'an dan Hadits sebagai konstitusi. Ada pula negara yang tanpa deklarasi jelas
mengenai pemisahan politik dari agama, seperti Mesir, Suriah, dan Indonesia termasuk di
dalamnya.
Indonesia has been a democratic nation. In addition to the fact that Indonesia is now the
third largest democratic country in the world, it is also the biggest democratic Muslim country. It
would be unproductive to dwell on the religious issues, trying to sort out what kind of Islamic
principle are comfortable with democratic values, but it will be more productive to engage in
more concrete and practical activities aiming at strengthening Muslims social capital of
democracy. (Indonesia telah menjadi bangsa yang demokratis. Selain fakta bahwa kini Indonesia
adalah negara demokratis ketiga terbesar di dunia, juga Indonesia juga merupakan negara
Muslim demokratis terbesar. Tidak penting untuk mempermasalahkan isu-isu agama, apakah
prinsip Islam sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, tetapi lebih penting untuk terlibat dalam
aktivitas nyata dan praktis yang bertujuan memperkuat sumber daya Muslim) (Terjemahan oleh
penulis).29
Bertolak dari Islam dan demokrasi ini muncullah partai-partai Islam. Partai-partai Islam
sudah bermunculan sejak zaman penjajahan. Tetapi saat itu, partai politik Islam masih terpusat
pada usaha pembebasan Indonesia dari penjajahan sehingga terlihat seperti partai nasionalis.
27 Ibid., h. 442.
28 Drs. Armein Daulay, Msi., Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid: Suatu Pandangan Politik, (Tangerang Selatan: Mega Kreasi Media, 2010), h. 39.
29 Lihat tulisan Bahtiar Effendy, Islam and Democracy in Indonesia: Prospects and
Challenges.

Penonjolan Islam oleh partai-partai politik Islam hanya sebatas syiar, simbol atau slogan tanpa
uraian yang rinci.30
Partai Islam menurut Abdul Qadim Zallum adalah partai yang berdiri di atas dasar akidah
Islam, yang mengadopsi berbagai ide, hukum dan solusi yang islami, yang metode
perjuangannya adalah metode perjuangan Rasulullah.31 Ziyad Ghazzal mendefinisikan partai
Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang bertujuan
melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
Berangkat dari dua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa poin yang
menjadi identitas pokok partai Islam. Pertama, partai Islam wajib berasaskan akidah Islam,
dengan kata lain ideologi partai harus Islam. Kedua, partai Islam wajib mengadopsi fikrah (ide)
dan thariqah (metode perjuangan) yang berasal dari Islam dan biasanya terwujud dari penentuan
tujuan dan langkah-langkah (program) dalam mencapai tujuan. Ketiga, partai Islam wajib
beranggotakan Muslim saja. Masalah keanggotaan ini menunjukkan jenis ikatan yang
menyatukan seluruh anggota partai menjadi satu-kesatuan integral. Keanggotaan non-Muslim
sebenarnya tidak sejalan dengan identitas pokok sebuah partai Islam, khususnya dengan asas
partainya yaitu akidah Islam.32
Terdapat dua unsur pokok yang membuat sebuah partai disebut sebagai partai Islam, yang
pertama partai tersebut mengadopsi Islam sebagai dasar partai seperti yang diungkapkan dalam
dokumen resmi masing-masing. Kedua, partai tersebut menggunakan simbol yang identik
dengan Islam.33
Hukum mendirikan partai Islam adalah wajib. Tetapi kewajibannya bukanlah wajib ‘ain
melainkan wajib kifayah. Artinya, jika ditengah umat Islam sudah ada satu partai yang mampu
menjalankan tugasnya, berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam untuk mendirikan umat
Islam. Tapi jika ditengah umat Islam tak ada satupun partai yang mampu menjalankan
pemerintahan dengan baik sementara umat Islam tidak mendirikan partai Islam maka berdosalah
seluruh umat Islam.34
Hak setiap warga negara untuk berpolitik juga sudah dijelaskan secara tegas dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28C (2) dan 28D (3). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa
seseorang berhak untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya serta memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tidak terkecuali untuk mendirikan partai politik
yang berasaskan Islam. Terlebih lagi setelah berakhirnya masa Orde Baru dan dihapuskannya
Undang-Undang Keormasan 1985, partai-partai Islam mulai bermunculan di Indonesia.
30 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h.
189.

31Masyru’ Qanun al-Ahzab fi Dawlah al-Khilafah, h. 39.
32 Ta’rif Hizb at-Tahrir, Beirut: Darul Ummah, 2010, h. 9.
33 A.M.Fatwa, Satu Islam Multipartai, (Bandung : Mizan, 2000), h. 12-13.
34 Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dutsur, 2010, h. 104.

Dalilnya dalam firman Allah SWT :

Artinya: Hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran:104).35
Kemunculan partai-partai Islam di Indonesia dimulai sejak berkahirnya masa Orde Baru
dan ketika Presiden Habibie memutuskan untuk meninggalkan sistem tri-partai (Golkar, PPP,
PDI) yang secara paksa diterapkan Soeharto.36 Pembentukan partai-partai Islam saat itu ditambah
dengan adanya penghapusan Undang-Undang Keormasan 1985 yang mewajibkan setiap
organisasi politik maupun sosial dan keagamaan untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
organisasinya.
Selain partai Islam, seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada juga partai politik di Indonesia yang disebut
partai “Muslim” atau partai yang “berorientasi kepada kelompok Muslim tertentu”, atau partai
yang berbasiskan kalangan Muslim tertentu atau partai yang berbasiskan massa Islam.37 Partai
yang termasuk kategori ini di Indonesia, misalnya PKB dan PAN. Kedua partai ini berkaitan erat
dengan organisasi sosial-keagamaan Muslim. PKB dapat dikatakan sebagai “sayap politik” NU,
sedangkan PAN didukung banyak warga Muhammadiyah yang merupakan sayap modernisme
Islam Indonesia.38
Pendapat bahwa kaum Muslim banyak yang mendukung pembentukan “negara Islam” di
Indonesia membuat partai politik Islam kurang mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia.
Namun gagasan ini telah dibantah oleh banyak umat Muslim di Indonesia. Beberapa gagasan
yang mendukung bantahan tentang pembentukan negara Islam diantaranya, gagasan Nurcholish
Madjid tentang “Islam yes, partai Islam No”, ataupun gagasan Abdurrahman Wahid tentang
“Pribumisasi Islam”.39 Menurut Nurcholish Madjid, sudah jelas bahwa ummat Islam tidak
tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam. Hal ini disebabkan karena partai
sebagai wadah untuk memperjuangkan ide-ide Islam itu sendiri berada dalam posisi yang

35Al-Qur’an dicetak oleh Syamiil Qur’an. Terjemahan Al-Quran dari Kementerian
Agama Republik Indonesia.
36 A.M.Fatwa, Satu Islam Multipartai, h. 12.
37 Ibid., h. 13.
38 Ibid.
39 Ibid., h. 14.

beranggapan bahwa ide tersebut tidak menarik. Hal ini disebabkan karena partai-partai Islam
tidak berhasil membangun image positif dan simpatik.40
Untuk waktu yang cukup lama menjelang kemerdekaan Indonesia, pemerintah
memandang partai-partai Islam dapat mengganggu landasan ideologi negara dan dicurigai
menentang ideologi Pancasila. Hal ini mendorong pemikir dan aktivis politik Islam baru untuk
mengubah politik Islam, melalui tiga mazhab pemikiran baru yang dikembangkan: pembaruan
keagamaan; pembangunan politik/birokrasi; dan transformasi sosial-kemasyarakatan.41
Ada dua hal yang menarik untuk dijadikan pertimbangan, pada masa sebelumnya baik
pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, tidak ada gejala pembedaan yang seperti itu. Pada
masa Orde Lama, partai-partai yang berasaskan Islam bersatu padu memperjuangkan ideologi
Islam sebagai dasar negara. Kedua, artikulasi politik partai Islam pada masa reformasi ini
menunjukkan perbedaan yang cukup tajam terutama tentang sifat partai dan perjuangan ideologi
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.

40 Drs. Armein Daulay, Msi., Gagasan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish
Madjid: Suatu Pandangan Politik, h. 107.
41 Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam, (Bandung: Mizan, 2000), h. 207.

3. KESIMPULAN

Istilah negara (dawlah) memang tidak ditemukan dalam kitab Al-Qur’an yang sempurna,
hanya terdapat ungkapan yang merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas yang hanya bersifat
insidental dan tidak berpengaruh terhadap teori politik. Namun didalam Al-Qur’an mengajarkan
tentang aktivitas sosial dan politik manusia seperti keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan
kebebasan.
Tidak adanya perintah untuk mendirikan dawlah dalam Al-Qur’an bukan berarti tidak
diharuskan mendirikannya. Ibn Khaldun mengatakan bahwa negara adalah hal yang penting
karena hanya didalam negara, hkum Allah dapat diaplikasikan.
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW juga telah dibentuk suatu perjanjian
yang berbentuk sebuah konstitusi atau Undang-Undang, yang disebut sebagai Piagam Madinnah.
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa Nabi pun sebuah Undang-Undang sudah dapat dibuat
dan diterapkan dengan sangat baik dalam menjaga hubungan baik antara umat Islam dan Yahudi.
Di Indonesia, persoalan konsep negara Islam telah menjadi suatu perbincangan hangat
sejak periode konstituante (1956-1959), dimana Mohammad Natsir yang mewakili Masyumi
ingin menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Islam sebagai dasar negaranya. Namun tidak
bisa direalisasikan karena tidak bisa mencapai dua pertiga suara di konstituante.
Saat ini Indonesia sudah menjadi negara demokratis ketiga terbesar di dunia. Dari Islam
dan demokrasi, muncullah partai-partai Islam di Indonesia. Sebenarnya partai Islam di Indonesia
sudah muncul sejak zaman penjajahan, namun saat itu hanya terpusat pada usaha memerdekakan
Indonesia dari penjajah. Partai islam di Indonesia mulai menemukan momentumnya lagi sejak
masa Orde Baru berakhir dan dihapusnya Undang-Undang Keormasan 1985. Selain dari partai
Islam yang memang berasaskan Islam, ada juga partai yang berbasiskan kalangan Muslim.
Misalnya saja PKB dan PAN yang berkaitan erat dengan oraganisasi sosial-keagamaan Muslim.
Memang saat ini partai Islam hanya mendapat sebagian simpati masyarakat saja, tetapi dengan
adanya partai Islam ini diharapkan dapat mewakili masyarakat Muslim Indonesia.