Tokoh islam dan pemikiran pemikirannya (1)

Tokoh islam dan pemikiran-pemikirannya

Ibnu Sina , nama asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibnu bdullah ibnu Sina. Di
Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal dengan sebutan Avicenna. Ia lahir di sebuah desa
Afsyana, di daerah dekat Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan tahun 980 M.
Saat ia lahir kota kelahirannya sedang dalam keadaan kacau, karena saat itu
kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di
bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334
H, hingga tahun 447 H.
Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari
sejak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di
zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lainlain. Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan
atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih
kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22 tahun,
ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis
ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama alQanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah
Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian
Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran)
mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan
meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.

Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya
selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah ’Abu Abdallah
Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat
menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna dari sang guru,
bahkan melebihi pengetahuan sang guru. Ibnu Sina juga secara tidak langsung
berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang
budinya kepada guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami
Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal
diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al-Farabi. Sirajuddin

Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang
pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah
lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya
telah dirintis al-Farabidan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.
Kehebatan Ibnu sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem,
tetapi sistem yang is miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan jenis jiwa
yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi Intelektual
Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak

hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad pertengahan, karena itu
terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert
Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh
ibnu sina.
Ibnu sina mempelajari beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain:
a)

Ilmu-ilmu agama. Dimulainya quran pada tahun 375 h, sewaktu umurnya baru 5

tahun. Kemudian terus mempelajari ilmu-ilmu islam yang lainnya, seperti tafsir, fikih,
ushuluddin, tasawuf dan yang lainnya. Pada waktu ia baru mencapai usia 10 tahun,
ibnu sina sudah hafal kitab suci alquran, dan telah menguasai segala cabang ilmu
agama.
b) Ilmu filsafah. Di usia 10 tahun ibnu sina belajar kepada saudagar rempah-rempah
untuk mempelajari “ilmu hitung india”.
c) Ilmu politik. Ilmu politik sudah dipekenalkan kepada ibnu sina di usia muda.
Ayahnya adalah seorang terkemuka dari aliran “isma`illiyah” dari partai syi`ah. Ibnu
sina selalu disuruh duduk mendengarkan segala uraian politik mereka. Saudaranya
abdul harist mengikuti aliran ayahnya, menjadi pengikut yang setia dari partai
isma`illiyah, tetapi ibnu sina tidak pernah tertarik kepeda aliran itu.

d) Ilmu kedokteran. Di dalam tingkat terakhir, ibnu sia tertarik kepada ilmu
kedokteran. Dipelajarinya ilmu itu sewaktu umurnya 18 tahun. Dan dalam waktu 18
bulan selesailah ilmu itu dikuasainya. Sehingga orang-orang merasa kagum atas
prestasi ibnu sina. Dan tak lama setelah gurunya al natali tidak dapat lagi
menyainginya dalam bidang logika sehingga ibnu sina terdesak mundur pada sumber
penemuannya sendiri. Dari logika ia beralih pada studi fisika, metafisika, dan

kedokteran seluruhnya atas usaha sendiri, dan ia mendapat kedudukan yang demikian
tinggi dalam kedokteran, sehingga pada usia 16 tahun ia telah menjadi penasehat
banyak dokter senior.
Di dalam kehidupannya selama ia menuntut ilmu, ia juga menyibukkan
dirinya untuk menulis beberapa buku. Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan
antara 100 sampai 250 buah judul. Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara
lain:
a. As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat dan Timur.
Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada
tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal
keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam bahasa

Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun
1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
b.

An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni As-

Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu
ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.
c.

Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik,

bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Sedangkan
sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian diterbitkan lagi di
Kairo

pada

tahun


1947

M

di

bawah

asuhan

Dr.

Sulaiman

Dunya.

d. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak
jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada
memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai
tasawuf. Tetapi menurut carlos nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari

filsafat barat.
e. Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku
ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard

untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah
diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya
yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr AlQadar, Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya
adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah
Al-’Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi
ke dalam bahasa perancis.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satusatunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang
lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad. . Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:

a. Filsafat wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu
Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya,

sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat
dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa
Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan
demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan,
timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwajiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langitlangit.
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada
pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang tuhan sebagaimana yang
tercantum dalam al quran, maha agung, maha besar, bijaksana, hidup, dan yang
lainnya. . Perkataannya dari Tuhannlah Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama,
sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan

tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada
dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh
Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia,
inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua
melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan
tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai
inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para

filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia
memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan
akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud
Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang
mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada,
bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang
Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan
eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak
ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya.
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah,
maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil
adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni
mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi
wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam
menetapkan Yang Pertama Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap
wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu
makhluk-Nya.

Sebagai


menggambarkannya

pembuktian

dalam

Surat

dari
Fushshilat

wacana
ayat

di

atas,

53


yang

al-Qur’an
artinya:

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran
itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”

Dalam membuktikan bahwa allah maha esa, maha mengetahui, maha besar
dan yang lainnya, maka ibnu sina pernah menghadapi tiga buah pernyataan yang
berlawanan. Pernyataan tersebut yaitu:
1. Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan, bahwa tuhan
berada di luar alam.
2. Tesis al quran yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala
yang tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau
lebih besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-nya, itulah
seterang-terangnya bukti” (surat 34/4).

3. Tentang pendapat plato dan neoplatenis, yang mengatakan bahwa
tuhan adalah prinsip pertama, yang maha esa dan dia jauh dari apa
yang dapat disifatkan oleh pengetahuan, sebab dengan meletakan
kepada tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat rangkap yaitu tahu
dan pengetahuan.
Terhadap persoalan ini, ibnu sina telah menyatakan pendapat aristoteles
dengan ajaran islam yaitu diambilnya dari aristoteles, bahwa tuhan itu adalah akal
murni, karena ia berpikir dalam dirinya sendiri. Kemudian tuhan sebagai yang
dijelaskan aristoteles itu, ditambahkannya, bahwa tuhan itu mengetahui selain dari
dirinya sendiri. Tuhan mengetahui dasar pertama dari makhluk, hukum alam semesta
sebagai hukum kebaikan yang berada dalam keseluruhannya.
Dalam al najat ibnu sina berkata : “kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya
sendiri, dia tahu bahwa dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu
yang keluar daripada nya”. Yang pertama itu, mengenal dirinya dan tahu hukum
kebaikan yang terdapat dalam keseluruhannya. Jawaban ini adalah kesimpulan
jawaban ketiga di atas.
Walaupun dikatakan, ibnu sina telah memberikan pikirannya yang sedemikian
pengertian halus, suatu teori tentang ilmu tuhan pada khususnya. Terhadap akal dan
suasaba langit, tuhan mengetahui setiap individunya, sebab mereka bukanlah jenis.
Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu tuhan tentang kekhususan adalah
didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu bekehendak kepada
hubungan sebab dan akibat. Tuhan mengetahui setiap benda khusus dengan jalan
universal.

b. filsafat jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan
tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini.
Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian
tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir,
yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles
menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk
dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan
suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya
untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan
jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi
sebagai pembuka mata. Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat
di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa
dalam tiga bagian :
 Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah).
 Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah).
 Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah).
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya.
Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu
dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan
dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan
mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu
tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang
berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan
filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa
maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak

dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19
M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya,
seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger
Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang
hakikat dan adanya jiwa.
c.

Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi

adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki
akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof
mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam
yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di
antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akalakal tersebut seperti di bawah ini
i. Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii. Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk
berpikir tentang hal-hal abstrak.
iii. Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal
abstrak.
iv. Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya
dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang
abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah
yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu
fa’aala).
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang
terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal
materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika
manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia
agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi
nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu
besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan
Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan.

Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada
pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk
beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan
ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun
demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan,
juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun
sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan
moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan
sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan
wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak
mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang
berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul
daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan
ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua,
selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak
rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Selanjutnya ada
manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan,
tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara
tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi
yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak
keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang
lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan
sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang
telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan
demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu
sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh
sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial
adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).

Sumber buku

: FILSAFAT ISLAM oleh Drs. Sudarsono, SH. M.Si.

Penerbit

: RINEKA CIPTA.