DIKTAT KULIAH TL 3204 (1)

PENGELOLAAN

BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

(B3)

DISIAPKAN OLEH : PROF. ENRI DAMANHURI

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

EDISI SEMESTER II 2009/2010

Halaman 1

DAFTAR ISI DAFTAR ISI 2 KATA PENGANTAR 3 BAGIAN I : PENDAHULUAN

1 Umum 4

2 Kasus kucing menari di Minamata 7

3 Kasus love canal (Amerika Serikat) 8

4 Kasus kabut dioxin si Seveso (Italia) 10

5 Kasus Kepone di Hopewell (Amerika Serikat) 11

6 Kasus laha Stringfellow di Kalifornia 12 BAGIAN II : PERATURAN DALAM PENGELOLAAN B3

1 Umum 13

2 Pengelolaan B3 dalam PP 74/2001 14

3 Karakterisasi B3 menurut PP74/2001 18 BAGIAN III : PERATURAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3

1 Umum 21

2 Pengelolaan limbah B3 dalam PP18/99 jo PP85/99 22

3 Konsep cradle-to-grave Amerika Serikat 30 BAGIAN IV : PELABELAN, PENYIMPANAN DAN PENGANGKUTAN

1 Umum 35

2 Dokumen 35

3 Simbol dan label 36

4 Pengemasan dan pewadahan 40

5 Penyimpanan dan pengumpulan 44

6 Pengangkutan 48 BAGIAN V : SIFAT DAN KARAKTERISTIK BAHAN KIMIA BERBAHAYA

1 Umum 50

2 Kelas kebakaran 51

3 Informasi tingkat bahaya 52

4 Dokumen material safety data sheets (MSDS)

5 Bahan kimia korosif 56

6 Bahan kimia yang reaktif pada air 60

7 Bahan kimia toksik 64

8 Senyawa pengoksidasi 71

9 Beberapa senyawa organik berbahaya 75 BAGIAN VI : LIMBAH RADIOAKTIF

1 Umum 81

2 Sifta-sifat radioaktivitas 81

3 Pengelolaan limbah radioaktif 85 BAGIAN VII LIMBAH MEDIS DAN RUMAH TANGGA

1 Limbah medis 94

2 Limbah berbahaya dari rumah tangga 99

Halaman 2

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk membantu mahasiswa yang mengambil mata kuliah TL- 3204 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kurikulum-2008 pada Program Sarjana Teknik Lingkungan FTSL ITB. Bahan kuliah ini merupakan penyesuaian dari Diktat Kuliah TL-352 Pengelolaan Limbah B3, yang mulai diperkenalkan pada Program Sarjana Teknik Lingkungan ITB Kurikulum 1993. Pada kurikulum-kurikulum sebelum 1993, materi ajar tentang limbah B3 secara terpisah tercakup dalam beberapa mata kuliah yang membahas masalah penanganan limbah. Sejak Kurikulum 2008, materi kuliah Pengelolaan Limbah B3 berganti nama menjadi Pengelolaan B3, yaitu mempertegas bahwa materi kuliah ini bukan hanya membahas limbah, tetapi juga bahan yang berbahaya.

Diktat ini disusun dengan acuan 14 sesi pertemuan tatap muka dalam semester II di ITB, termasuk 3 sesi diskusi tugas di kelas. Beberapa bagian dari diktat ini membahas materi yang akan dibahas lebih rinci lagi dalam mata kuliah yang berada pada semester yang lebih tinggi, sehingga materi yang ada dalam diktat ini dapat dikatakan bersifat umum untuk memberikan gambaran secara utuh tentang Pengelolaan B3.

Untuk penyusunan diktat ini digunakan beberapa rujukan literatur dari negara industri seperti tercantum dalam Daftar Pustaka. Beberapa rujukan yang sangat dominan dalam penyusunan diktat ini dicantumkan secara khusus pada setiap akhir Bagian.

Walaupun diktat ini bertujuan untuk membantu mahasiswa yang mengambil mata kuliah TL-3204 pada Program Sarjana, namun bahan yang diberikan pada Diktat ini relevan untuk digunakan pula pada Program Magister, serta tidak tertutup kemungkinan bahwa diktat ini bisa bermanfaat pula bagi mereka yang berminat dengan masalah bahan dan limbah B-3, sebab sangat jarang sekali bahan ajar ini ditulis secara utuh dalam Bahasa Indonesia. Semoga bermanfat bagi kita semua.

Bandung, Februari 2010

Prof. Enri Damanhuri Program Sarjana Teknik Lingkungan FTSP ITB

Halaman 3

BAGIAN I PENDAHULUAN 1U MUM

Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu. Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya. Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia.

Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China. Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia. Perkembangan industri disamping berdampak positif pada perkembangan ekonomi, juga menimbulkan dampak negatif tidak hanya pada pusat- pusat industri dan daerah sekitarnya tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global.

Menurut World Bank ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan, yaitu : - Kecepatan pertumbuhan sektor industri - Distribusi spasial yang belum merata - Pergeseran jenis industri Sektor lain yang berpotensi dampak negatif pada lingkungan adalah kegiatan pertambangan - perminyakan, kegiatan medis dan kegiatan pertanian

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan UU No. 4/1982), menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik, dengan definisi sebagai bahan berbaya dan beracun. Pasal 58 sampai Pasal 61 UU-32/2009 mengatur larangan membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2001 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), dan PP 18/99 juncto 85/99 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan limbah B3.

Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia, khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturan- peraturan tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di

Halaman 4 Halaman 4

Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan batere merkuri). Namun sebagian besar jenis limbah yang dihasikan, biasanya berasal dari kegiatan industri. Limbah berkatagori non-hazardous tidak perlu ditangani seketat limbah hazardous, walaupun limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 juncto 85/99, padanan kata untuk Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan disingkat menjadi Limbah B3.

Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah perang dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara dramatis, namun pula menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan minyak (petroleum) pada pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk kimia organik disertai limbahnya. Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari gasoline, naphta ke kerosene. Manusia membutuhkan lebih banyak jenis produk baru yang akhirnya menghasilkan limbah yang spesifik. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, industri memfokuskan dirinya pada produksi plastik dan pestisida. Di Amerika Serikat misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun 1984 diprakirakan sekitar 300 juta ton. Dampak negatif akibat limbah tersebut adalah kontaminasi sumber-sumber air, terganggunya kesehataan masyarakat serta penurunan kualitas ekologi lingkungan. Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan obyek dagang yang tidak terpuji, misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke negara yang sedang berkembang, sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan.

Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia and Pasifik secara keseluruhan memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain di dunia, bahkan pertumbuhan industri negara-negara sedang berkembang di wilayah ini lebih menonjol. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan sebuah peluang baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dengan lebih efektif di negara-negara tersebut, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Walaupun demikian, industrialisasi juga menimbulkan dampak secara langsung, tidak hanya pada pusat-pusat industri dan daerah sekitarnya, tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global. Tingginya jumlah limbah industri yang dihasilkan per unit hasil industri merupakan salah satu dari masalah- masalah utama yang ada. Beberapa negara di wilayah ini malah menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi.

Secara keseluruhan, sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran : − Melalui peningkatan kuantitas cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah;

dalam jangka waktu panjang kuantitas cemaran mungkin menurun jika terjadi perubahan yang drastis dengan adanya industri yang lebih bersih lingkungan, atau jika kontribusi sektor industri itu sendiri menurun;

− Melalui perubahan intensitas pencemaran terhadap hasil industri, yaitu berubahnya jumlah pencemaran yang ditimbulkan per unit hasil industri.

Halaman 5

Pengelolaan limbah berbahaya telah menjadi perhatian Pemerintah Amerika Serikat semenjak penemuan tempat pengurugan limbah yang tidak memenuhi syarat di Love Canal, New York. Pada waktu itu juga ditemukan sejumlah besar tempat-tempat yang terkontaminasi oleh limbah berbahaya di seluruh dunia. The US Office of Technology and Assessment memprakirakan bahwa biaya pemulihan semua tempat yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 500 milyard. Biaya implementasi sebuah program pengontrolan dan penyediaan sarana sebetulnya akan lebih kecil dibandingkan dengan upaya pemulihan lahan yang tidak dikelola secara baik.

Bahan pencemar berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh industri adalah seperti logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak, pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya. Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik telah dinilai melebihi nilai batas ambang yang aman. Sampai tahun 1994, pelepasan bahan berbahaya ini di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat masing-masing menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China.

Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang, dari tahun 1970 sampai 1990 limbah penduduk dan industri telah menurunkan kualitas air sungai di bagian hilir seperti Cisadane, Ciliwung, Kali Surabaya, Kali Berantas dan Citarum. Di pulau Jawa khususnya, 70 % industri berlokasi di kawasan-kawasan perkotaan dan sekitarnya. Kegiatan industri juga sangat berpotensi menghasilkan limbah berbahaya, yang diprakirakan akan meningkat kurang dari 200.000 ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1 juta ton pada tahun 2010.

Bila industri yang terlibat dalam komoditi proses terus meningkat di masa datang, akan menambah beban bagi sumber daya alam, termasuk bertambahnya biaya dan resiko akibat pencemaran lingkungan. Menurut analisa Bank Dunia (1994), di Indonesia akan terjadi pergeseran komposisi industri secara sektoral, yaitu industri proses akan tumbuh lebih lambat dibanding industri perakitan. Dalam hal ini, industri proses dinilai lebih intensif terhadap pencemaran. Dilaporkan pula oleh Bank Dunia bahwa intensitas pencemaran dari limbah berbahaya ternyata cenderung meningkat sejak tahun 1970, yang ditandai dengan meningkatnya cemaran-cemaran toksik dan logam-logam bioakumulatif. Bila strategi pengembangan industri tidak berubah seperti periode tersebut, kontribusi pulau Jawa terhadap cemaran-cemaran toksik akan cenderung stabil, yaitu sekitar 2/3 dari total cemaran di Indonesia. Lebih dari 75 % diantaranya merupakan cemaran-cemaran logam yang bioakumulatif, dan 85 % diantaranya akan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Secara keseluruhan, kontribusi industri terhadap pencemaran akan menurun, yaitu dari 70 % pada saat ini menjadi 60 % pada tahun 2020, namun beban cemarannya secara absolut akan meningkat sekitar 10 kali.

Mengacu pada pengalaman negara industri seperti Amerika Serikat, peranan sektor industri akan berkontribusi besar dalam produksi limbah berbahaya. Namun kontribusi sektor-sektor lain juga perlu pula mendapat perhatian terutama dari : − Kegiatan medikal dan laboratorium, yang berpotensi menghasilkan limbah toksik

dan infectious − Kegiatan pertanian dan agro-wisata, yang berpotensi menghasilkan limbah biosida. Tingkat pencemaran pestisida dan pengaruhnya terhadap kesehatan di Indonesia sulit untuk diprakirakan. Selama periode 1984-89, Departemen Kesehatan melaporkan sebanyak 1614 kasus keracunan, diantaranya terdapat 161 kasus (10%) yang menyebabkan kematian. Menurut WHO telah terjadi 3 juta kasus keracunan pestisida

Halaman 6 Halaman 6

Pengalaman negara industri dengan masalah limbah B3 nya hendaknya memberikan masukan bagi pengambil keputusan atau fihak-fihak terkait di Indonesia untuk tidak menyebabkan kasus-kasus yang terjadi di negara industri tersebut terulang lagi di negara Indonesia. Dalam diktat ini, contoh- contoh tentang masalah limbah B3 dan pengelolaannya diambil dari pengalaman negara industri, khususnya Amerika Serikat guna memberikan gambaran kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini pada khususnya, atau fihak-fihak lain pada umumnya akan pentingnya pengelolaan limbah B3 terutama bagi negara Indonesia yang diharapkan akan menjadi negara industri dalam masa mendatang. Berikut ini akan diberikan illustrasi berbagai kasus yang menyangkut bahan atau limbah B3 dari negara industri, yang secara kenyataan telah lebih maju dari Indonesia baik dari segi keberadaan industrinya, keberadaan peraturan perundang-undangannya ataupun kesiapan masyarakatnya.

2K ASUS P ENYAKIT "K UCING M ENARI " DI M INAMATA

Pada tahun 1932, Chisso Chemical Corporation membuka pabrik pupuk kimia di Minamata (terletak di pulau Kyushu, Jepang Selatan). Penduduk di sekitarnya adalah nelayan atau petani. Chisso mempekerjakan penduduk setempat (sekitar 1/3 tenaga pekerjanya), sehingga tidak menimbulkan masalah sosial pada awal pendiriannya.

Kasus Minamata ini terkenal di dunia bila membicarakan masalah industri, limbah dan kesehatan masyarakat, yang terungkap setelah sekitar 600 ton merkuri, yang digunakan sebagai katalis dalam prosesnya, dibuang secara bertahap sekitar 45 tahun. Merkuri didapat di alam, merupakan logam warna putih-perak, termasuk logam berat, dan berada fasa cair pada suhu biasa, dan biasanya digunakan sebagai katalis. Pada tahun 1714 Gabriel Fahrenheit menggunakan merkuri ini untuk termometer. Mikroorganisme dalam air mengkonversi logam ini menjadi methylmercure, dengan prakiraan 70 - 100 tahun akan persistan di alam. Merkuri alamiah dapat dievakuasi oleh tubuh manusia secepatnya melalui urin, sedang mercuri organik bersifat biokumulasi, yang dapat menyerang syaraf dan otak.

Sinyal pertama kasus ini datang pada tahun 1950, yaitu sejumlah ikan mati tanpa diketahui sebabnya. Tahun 1952 timbul penyakit aneh pada kucing yang kadangkala berakhir dengan kematian. Antara tahun 1953 - 1956 gejala yang dikenal sebagai "kucing menari" ditemui pula pada manusia. Beberapa diantaranya meninggal dunia. Tetapi Chisso paada awalnya belum dicurigai sebagai penyebab, hanya diketahui bahwa korban mengalami keracunan akibat memakan ikan yang berasal dari laut sekitar pabrik itu. Chisso kemudian mengeluarkan daftar bahan yang digunakan dalam pabriknya, tetapi tidak tercantum merkuri dalam daftar tersebut, walaupun diketahui bahwa merkuri digunakan sebagai katalis proses dari pabrik tersebut. Penelitian penyebab penyakit tersebut secara intensif dilakukan oleh pemerintah. Asosiasi industri kimia Jepang juga membantu Chisso dalam melacak masalah ini dengan melakukan penelitian-penelitian, tetapi tidak mendapatkan hasil memuaskan.

Pencemaran mercuri tetap berlanjut. Kasus penyakit ini juga terus berlanjut, dan terutama menyerang anak-anak. Tahun 1956 masyarakat sekitarnya mengadakan aksi menentang keberadaan Chisso. Chisso memberikan santunan pada korban dan yang meninggal, tanpa mengetahui penyebab masalah ini. Kasus ini lama kelamaan terungkap, karena korban umumnya mengandung merkuri yang berlebihan pada

Halaman 7 Halaman 7

3K ASUS L OVE C ANAL (A MERIKA S ERIKAT )

Dengan dibangunnya pembangkit listrik tenaga air di Niagara Falls pada tahun 1890, maka industri menjadi berkembang pesat di daerah tersebut. William T. Love pada tahun 1892 merencanakan membuat sebuah kanal yang akan dapat menghubungkan bagian hulu dan hilir sungai Niagara, sepanjang sekitar 7 mil. Direncanakan bahwa di sekitar kanal tersebut akan dibangun kawasan industri dan pemukiman untuk memanfaatkan tenaga listrik yang ada. Pembangunan dimulai tahun 1893. Namun pembangunan kanal tersebut tidak dilanjutkan, dan menyisakan dua bagian yang tidak terhubungkan, masing-masing sepanjang seperempat mil.

Niagara Falls menjadi pusat industri, khususnya industri kimia. Produk kimia yang dihasilkan antara lain adalah natrium hidroksida, yang merupakan produk elektrolisa natrium khlorida. Elektrolisa ini juga menghasilkan produk samping (by-product) yang tidak diinginkan yaitu khlor, yang terproduksi dalam jumlah besar. Pengembangan penelitian menghasilkan alternatif pemanfaatan produk samping ini menjadi bahan organik berkhlor seperti plastik, pestisida dan hasil industri antara lainnya. Pada saat itu fihak pemerintah dan industri belum mengetahui akibat samping dari produk ini. Belum seorangpun yang menyadari bahwa keuntungan dari pestisida seperti DDT, endrin atau dari bahan organik berklor lainnya seperti pelarut berkhlor akan mendatangkan masalah bagi lingkungan di kemudian hari.

Pada tahun 1930-an, Hooker Chemical and Plastic Corporation yang memproduksi bahan kimia di daerah tersebut mulai mengurug limbahnya pada bagian utara Love Canal yang belum terselesaikan. Sampai tahun 1947 dapat dikatakan daerah tersebut menjadi lahan pengurugan beragam jenis limbah terutama dari industri, termasuk pula abu sisa pembakaran dari kota. Bahkan Angkatan Darat Amerika Serikat juga mengurug sejumlah besar residu senjata biologis walaupun secara resmi fihak Pentagon menolak tuduhan tersebut. Tahun 1952 kanal tersebut ditutup oleh Hooker Chemical. Tahun 1953 fihak kotamadya meminta Hooker Chemical untuk menjual sebagian lahan kanal tersebut untuk pembangunan sekolah baru. Fihak Hooker menjual sebagian kanal tersebut ke pengelola kota hanya seharga US $ 1.

Sekolah kemudian dibangun berdampingan dengan daerah yang sebelumnya adalah pengurug limbah industri. Sebagian dari lahan tersebut dijadikan taman bermain. Sering dijumpai anak-anak bergembira menemukan residu fosfor yang dapat menimbulkan bunga api bila dilemparkan ke permukaan yang berbatu. Pada tahun 1958 tiga anak- anak mengalami luka bakar akibat terpapar dengan residu yang muncul ke permukaan. Seorang keluarga di dekat Love Canal melahirkan anak dengan cacat fisik dan mental, tetapi hal ini dianggap alamiah. Pada suatu pagi di tahun 1974, satu keluarga mendapatkan kolam renang mereka menjadi lebih tinggi sekitar 60 cm. Ketika kolam ini dibongkar, maka galiannya langsung terisi air tanah berwarna kuning, biru dan ungu, dengan sifat yang sangat tajam, yang dapat menghanguskan akar pohon sekitarnya. Tahun 1959 sebuah keluarga lain mendapat masalah di lantai bawahnya (basement) dengan adanya lumpur hitam yang masuk ke dalamnya. Segala upaya dicoba untuk

Halaman 8 Halaman 8

Delapan bulan setelah kejadian kolam renang di atas, dilakukan pengambilan sampel udara di beberapa basement rumah di daerah tersebut. Hasilnya adalah bahwa udara di daerah tersebut mengandung bahan-bahan toksik yang berada di atas ambang threshold-limit value (TLV). Survai kesehatan juga dimulai dan dijumpai bahwa keguguran spontan ternyata 250 kali lebih tinggi dibandingkan kondisi normal. Sampel darah yang diambil juga menunjukkan indikasi adanya kerusakan hati yang meningkat. Kelahiran cacat fisik dan mental juga sering dijumpai. Disamping itu, senyawa-senyawa toksik berhalogen terdeteksi pada sistem penyaluran air buangan kota. Analisa lebih lanjut menemukan bahwa cemaran kimia dalam konsentrasi tinggi telah mencemari air tanah, termasuk diantaranya 11 jenis cemaran penyebab kanker seperti benzene, chloform dan trichloroethylene. Hooker Chemical akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa sekitar 22.000 ton limbah kimia, diantaranya 200 ton trichlorophenol, telah diurug di lahan-urug tersebut.

Mulai tahun 1976, sejumlah limbah kimia mulai muncul di halaman beberapa rumah. Keluhan mereka pada fihak pemerintah kota tidak ditanggapi, agaknya mereka tidak ingin mengganggu kegiatan Hooker yang telah mempekerjakan sekitar 3000 penduduk setempat, dan yang sedang merencanakan membangun pusat kegiatan senilai US $ 17 juta. Akhirnya pada tahun 1977 fihak pemerintah kota mengakui adanya masalah ini, namun tetap tidak ingin menentukan yang bertanggungjawab. Mereka menganggap bahwa masalah ini bukanlah suatu krisis yang besar. Pendapat ini tetap berlangsung sampai pemerintah negara bagian mulai ikut campur.

Pemerintah negara bagian memerintahkan komisi kesehatan melakukan penelitian, dan memerintahkan memagari sekeliling lahan serta memberikan ventilasi pada basement yang tercemar. Berdasarkan pertemuan dengan penduduk setempat, maka diputuskan penutupan sekolah dan pengungsian anak-anak dan wanita yang sedang hamil yang tinggal berdekatan dengan kanal. Namun dibutuhkan dana untuk melaksanakan kegiatan ini. Dengan bantuan USEPA, 237 keluarga akhirnya diungsikan. Sebagian besar dari anggota keluarga ini secara rutin mengalami gangguan fisik seperti iritasi, sakit kepala, cepat lelah, susah tidur dan diantaranya juga cacat mental. Peraturan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah negara bagian adalah menghentikan sama sekali pelindian yang tidak terkendali, mencegah kemungkinan pelindian di masa datang dan menutup kanal. Suatu recana perbaikan dan penyembuhan (remedial) mulai dirancang, diantaranya pembuatan drainase untuk mengalirkan lindi dan memompanya ke suatu tangki pengumpul untuk kemudian diolah sebelum dialirkan kembali pada sistem penyaluran air buangan kota. Kanal tersebut juga ditutup setebal 2,5 meter tanah kedap untuk menghindari masuknya air dari luar.

Kegiatan remediasi tersebut dianggap terlalu lambat oleh penduduk sekitarnya, walaupun pemerintah negara bagian mengajukan tuntutan denda pada Hooker Chemical sebesar US$ 635 juta. Mereka menginginkan kompensasi yang lebih dari itu. Studi pada tahun 1980 mengemukakan adanya bukti kerusakan khromosom pada penduduk, sehingga Pemerintahan Carter pada saat itu memerintahkan evakuasi sekitar 700 keluarga lagi, tetapi pemerintah negara bagian menolak sampai adanya kejelasan kompensasi bagi penduduk. Dari sudut teknik, Hooker mengemukakan bahwa teknologi yang mereka gunakan adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang tetap digunakan oleh Pemerintahan Carter. Namun akhirnya dicapai kesepakatan di pengadilan antara 1345 penduduk dengan Occidental Petroleum, induk perusahaan Hooker Chemical.

Halaman 9

Kasus Love Canal menyebabkan adanya perbaikan dan pengetatan peraturan- peraturan yang berlaku di Amerika Serikat dalam menangani limbah B3, karena ternyata bukan hanya lahan ini saja yang secara peraturan sebetulnya telah sesuai dengan yang berlaku. Kegiatan remediasi lahan yang terkontaminasi akhirnya menjadi salah satu program yang digalakkan di Amerika Serikat bagi lahan yang tercemar.

4K ASUS K ABUT D IOXIN DI S EVESO (I TALIA )

Salah satu kasus limbah berbahaya yang terkenal adalah peristiwa kabut dioxin di Seveso (Italia). Dioxin adalah nama umum untuk grup polychlorinated dibenzodioxins (PCDD). Atom chlor pada senyawa PCDD menghasilkan sampai 75 isomer dengan toksisitas yang sangat bervariasi. Isomer yang sangat aktif dan mempunyai potensi toksisitas tinggi adalah yang mempunyai 4 sampai 6 atom chlor, terutama dalam posisi lateral (2,3,7,8) seperti 2,3,7,8-Tetrachlorodibenzo-p-dioxin (2,3,7,8-TCDD) dengan toksisitas akut. Efek 2,3,7,8-TCDD ini terhadap spesies binatang ternyata berbeda, namun semuanya sebagai penimbul agen kanker (carcinogen). Agaknya dioxin ini menimbulkan tumor yang berbeda untuk organ yang berbeda, dan para peneliti baru sampai pada tahap awal dalam memahami efek toksisitas dioksin ini pada manusia.

Seveso terletak di Italia Utara. Akhir 1960-an, industri farmasi Swiss, Hoffman-La Roche memilih Seveso sebagai lokasi pabriknya di Italia. Pabrik tersebut dibangun dan dioperasikan oleh Industrie Chemiche Meda Societe Aromia (ICMESA), didirikan di kota kecil Meda (dekat Seveso), guna memproduksi 2,4,5- trichlorophenol untuk disinfektan, kosmetik dan herbisida. Pabrik ini menghasilkan asap yang berbau, tetapi penduduknya rupanyanya sudah terbiasa. Kecelakaan terjadi pada tanggal 10 Juli 1976, ketika reaktor akan dipanaskan dan terjadi retak pada katup pengamannya. Pada temperatur yang sesuai, reaksi kimiawi yang terjadi menghasilkan 2,3,7,8-TCDD. Sekitar 1 Kg dioxin terbuang ke udara membentuk kabut melewati ribuan hektar sekitar bencana. Penduduk di sekitarnya dievakuasi. Daerah sekitarnya dibagi menjadi 2 area bahaya. Area A penduduknya dievakuasi, dan dilarang menggunakan barang-barangnya. Ibu- ibu yang hamil dianjurkan untuk menggugurkan kandungannya, dan prianya dihawatirkan mengalami kerusakan pada fungsi genetiknya. Daun-daun pohon di sekitarnya menjadi rontok, binatang- binatang seperti terpanggang. Anak-anak dengan langsung menunjukkan gejala chloracne pada mukanya dan bagian lain di tubuhnya.

Pembersihan daerah terkontaminasi merupakan usaha besar-besaran yang dilakukan, terutama pada pabrik itu sendiri yang tercemar berat. Pemerintah Italia akhirnya memutuskan penggunaan teknik insinerasi dan landfilling bagi komponen-komponen pabrik tersebut. Landfilling dalam tanah dilakukan dalam 2 lubang dengan proteksi kuat, yaitu dilapis bentonit dan lembaran polyethylene. Pohon-pohon terkontaminasi ditebang. Tanah terkontaminasi dikupas sedalam rata-rata 5 cm. Daerah tersebut kemudian dijadikan taman. Pekerjaan ini membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.

Kasus tersebut ternyata tidak berhenti di sana, dengan timbulnya suatu kasus yang cukup meggegerkan daratan Eropa Barat pada tahun 1981, yaitu kasus transportasi dioxin antar negara. Ternyata penanggung jawab upaya pembersihan daerah Seveso tersebut mengirimkan 41 drum limbahnya untuk ditimbun di luar Italia. Drum tersebut diangkut oleh dua perusahaan swasta ke tempat yang tidak dispesifikasi secara jelas. Drum tersebut berlabel 'bahan hidrokarbon aromatis', dan tidak ditulis sebagai 'Dioxin', sedang asalnya ditulis dari Meda, bukan dari Seveso (tempat yang dikenal untuk kasus ini). Pengiriman ini bersifat rahasia, namun akhirnya beritanya tersebar di daratan Eropa dan menjadi pemberitaan hangat selama 9 bulan. Informasi yang didapat menyatakan bahwa drum tersebut akan diangkut ke Inggeris untuk diinsinerasi, ke Jerman Timur

Halaman 10 Halaman 10

Berangkat dari pengalaman tersebut, masyarakat Eropa sadar akan pentingnya peraturan yang ketat tentang pengelolaan limbah berbahaya. Masyarakat Ekonomi Eropa mencanangkan program kontrol bagaimana menangani dan mentransportasi limbah kimiawi yang berbahaya diantara anggotanya.

5K ASUS K EPONE DI H OPEWELL (A MERIKA S ERIKAT )

Hopewell (Virginia - USA) memprolamirkan dirinya sebagai chemical capital of the south, dan disanalah dimulainya bencana kimiawi di USA. Pada tahun 1973 Allied Chemical mensubkontrakkan pembuatan pestisida pada Life Sciences Product (LSP) yang dikenal dengan nama kepone. Beberapa saat kemudian, dijumpai masalah kesehatan diantara karyawannya. Penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa LSP melanggar aturan-aturan kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku. Disamping itu, baik Allied maupun LSP secara illegal membuang kepone ke sungai James yang bermuara di Chesapeake Bay.

Kepone dikembangkan oleh Allied sekitar tahun 1950-an. Produksinya dikontrakkan pada Hooker Chemical antara 1950 - 1960. Namun karena pasaran meningkat, Allied juga memproduksi sendiri. Produksi tahunan meningkat dari 36.000 pound pada tahun 1965 menjadi 400.000 pound pada tahun 1972. Allied memproduksi kepone di Hopewell. Tahun 1973 pembuatan kepone disubkontrakkan pada LSP sementara Allied tetap menangani polimer.

Maret 1974, 2 minggu setelah produksi penuh, secara periodik limbah dari LSP masuk ke sistem penyaluran air buangan dan pengolahan limbah kota. Dalam 2 bulan, limbah ini membunuh bakteri di sistem digester pengolah limbah. Lumpur dari pengolah limbah yang belum terolah secara baik langsung dibuang secara illegal ke lahan-urug.

Dinas kesehatan setempat kemudian menginvestigasi industri kepone tersebut setelah salah seorang pekerja dinyatakan keracunan kepone. Darah yang diambil dari pekerja tersebut menunjukkan kandungan kepone antara 2 - 72 ppm, sedangkan konsentrasi tertinggi yang pernah diamati adalah 5 ppm. Kemudian 31 pekerja yang dirawat di Rumah Sakit, sedang pabrik kepone pada tahun 1975 ditutup.

Yang dijumpai pada pabrik kepone tersebut ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya. Debu kepone menutup lantai sampai beberapa inch dan memenuhi udara dalam pabrik. Sebetulnya buruh di sana sudah mengeluh terhadap kondisi ini tetapi manajemen LSP tidak memperhatikan hal ini. Pencemaran udara juga telah meluas ke sekitar pabrik itu. Agustus 1975 LSP didenda US$ 16500. Tindakan berikutnya melibatkan US EPA (US Environmental Protection Agency); ternyata LSP telah mengeluarkan efluen kepone sebesar 500 - 600 ppb, sedangkan standar yang berlaku adalah 100 ppb. EPA kemudian melakukan sampling air minum, udara, tanaman dan limbah kota Hopewell serta sungai. Lumpur dari pengolah limbah mengandung kepone 200 - 600 ppm. Ikan di dekat sungai James mengandung kepone 0,1 - 20 ppm, sedang sungai James sendiri mengandung kepone 0,1 - 4 ppb. Di beberapa tempat, ternyata 40 % dari total partikulat adalah kepone. Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa pabrik

Halaman 11 Halaman 11

6 K ASUS L AHAN S TRINGFELLOW DI K ALIFORNIA (USA)

Lahan Stringfellow di Glen Avon (Kalifornia-USA) telah digunakan untuk menimbun limbah cair B3 dari tahun 1956 sampai 1972. Selama itu sekitar 30 juta galon (113.550

M 3 ) limbah cair B3 telah ditimbun. Studi geologi sebelumnya menyimpulkan bahwa lahan tersebut berada di atas bedrock yang kedap, dan dengan membuat penghalang

beton di hilirnya, maka diprakirakan tidak akan terjadi pencemaran air tanah. Ternyata evaluasi berikutnya menyatakan bahwa lahan itu sebetulnya tidak cocok untuk limbah cair B3 dan terjadilah pencemaran air tanah. Lahan ini juga berlokasi di atas akuifer Chino Basin yang merupakan sumber air minum bagi sekitar 500.000 penduduk. Interpretasi hasil analisis air tanah pada tahun 1972 ternyata juga salah, dengan menganggap bahwa pencemaran air tanah yang terjadi berasal dari limpasan air permukaan bukan dari lahan tersebut. Hasil interpretasi yang salah juga dilakukan oleh sebuah konsultan lain pada tahun 1977.

Prakiraan biaya untuk menyingkirkan dan mengolah seluruh cairan dan tanah yang terkontaminasi pada tahun 1977 sekitar 3,4 juta US$. Estimasi biaya pada tahun 1974 meningkat 4 kali lipat dengan cara tersebut. Akhirnya Pemerintah memilih cara yang lebih murah, yaitu : − Meyingkirkan cairan terkontaminasi ke lahan yang lain, − Menetralisir tanah terkontaminasi dengan abu semen kiln, − Menempatkan lapisan clay untuk mengisolasi, − Membangun sumur-sumur pemantauan.

Sekitar 800.000 gallon (3028 m 3 ) air tercemar dialirkan ke area di hilirnya, dan 4 juta gallon (15140 m 3 ) air tercemar dialirkan ke lahan-urug West Covina, namun ternyata

lahan ini juga bocor dan akhirnya ditutup. Lahan-urug lain, Casmalia Resources, juga menerima sekitar 70.000 gal/hari (265 m 3 ) dari Stringfellow, tetapi dianggap belum

dimonitor secara benar. Sekitar 15 juta US $ telah dihabiskan untuk program tersebut, dan masih dibutuhkan sekitar 65 juta US $ untuk mentuntaskan permasalahan, dengan program pengolahan in-situ terhadap air tanah yang tercemar.

Referensi Utama:

o Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia – UNDP: Agenda 21 Indonesia, Maret 1997 o LaGrega, M.D. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book Co, 1994 o Wentz, C.A. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989

Halaman 12

BAGIAN II PERATURAN DALAM PENGELOLAAN B3 1U MUM

Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU-23/1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 (21) UU-32/2009 mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain.

Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam Bagian ini.

Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan. Bahan POPs ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bagian 5 Diktat ini.

Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur masalah bahan berbahaya, yaitu : − Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan

atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida − Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya − Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industri − Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan penggunaan pestisida EDB − Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan pestisida

Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang

Halaman 13

Ketentuan-ketentuan pokok tenaga atom. Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain: − Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap

radiasi − Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi − Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif

2P ENGELOLAAN B3 DALAM PP 74/2001

PP74/2001 tentang pengelolaan berbahaya dan beracun terdiri dari 15 bab yang dibagi lagi menjadi 43 pasal. Kelima belas bab tersebut adalah : − Bab I (pasal 1 sampai 4) : Ketentuan Umum, − Bab II (pasal 5)

: Klasifikasi B3,

− Bab III (pasal 6 sampai 20) : Tata Laksana dan Pengelolaan B3, − Bab IV (pasal 21)

: Komisi B3,

− Bab V (pasal 22 dan 23) : Keselamatan dan Kesehatan Kerja, − Bab VI (pasal 24 sampai 27) : Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat, − Bab VII (pasal 28 sampai 31) : Pengawasan dan Pelaporan, − Bab VIII (pasal 32 sampai 34): Peningkatan Kesadaran Masyarakat, − Bab IX (pasal 35 dan 36) : Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat, − Bab X (pasal 37)

: Pembiayaan,

− Bab XI (pasal 38)

: Sanksi Administrasi,

− Bab XII (pasal 39)

: Ganti Kerugian,

− Bab XIII (pasal 40)

: Ketentuan Pidana,

− Bab XIV (pasal 41 dan 42) : Ketentuan Peralihan, − Bab XV (pasal 43)

: Ketentuan Penutup.

Menurut PP 74/2001: ‘bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya’ (pasal 1 angka 1). Sedangkan sasaran pengelolaan B3 adalah 'untuk mencegah dan atau mengurangi resiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya’ (pasal 2).

Pengertian pengelolaan B3 adalah 'kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3’ (pasal 1 angka 2). Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, pasal-pasal berikutnya mengatur masalah kewajiban dan perizinan bagi mereka yang akan memproduksi (menghasilkan), mengimpor, mengeksport, mendistribusikan, menyimpan, menggunakan dan membuang bahan tersebut bilamana tidak dapat digunakan kembali. Disamping aspek yang terkait dengan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap fihak yang terkait, maka aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat diatur dalam PP tersebut.

Tidak semua pengelolaan bahan yang berbahaya diatur oleh PP tersebut, antara lain karena telah diatur dalam PP lain, atau telah diatur oleh instansi lain berdasarkan konvesi internasional seperti bahan radioaktif. Bahan berbahaya yang tidak termasuk yang diatur adalah (pasal 3):

Halaman 14 Halaman 14

Untuk menentukan apakah sebuah bahan termasuk dalam kelompok B3, maka PP tersebut mengklasifikasikan B3 dalam 8 kelompok, yaitu (pasal 5): o Mudak meledak (explosisive) o Pengoksidasi (oxidizing) o Menyala:

o sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) o sangat mudah menyala (highly flammable) o mudah menyala (flammable)

o Beracun: o amat sangat beracun (extremely toxic) o sangat beracun (highly toxic) o beracun (moderately toxic)

o Bebahaya (harmful) o Korosif (coorosive) o Bersifat iritasi (irritant) o Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment) o Toksik yang bersifat kronis:

o karsinogenik (carcinogenic) o teratogenik (teratogenic) o mutagenik (metagenic)

Penjelasan lebih lanjut tentang kriteria kapan sebuah bahan dikelompokkan sebagai B3 akan dijelaskan dalam Butir 3.

Untuk mempermudah menentukan B3 yang diatur dalam PP ini, maka berdasarkan penggunaannya di lapangan, B3 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (pasal 5): o B3 yang dapat atau boleh dipergunakan di Indonesia (Lampiran I PP 74/2001) o B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia (Lampiran II Tabel 1, PP 74/2001) o B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II Tabel 2, PP 74/2001) Dengan demikian, bilamana sebuah bahan sudah terdapat dalam lampiran tersebut, maka bahan tersebut termasuk B3, dan penggunaannya di Indonesia disesuaikan dengan kelompok tabel yang berlaku, apakah diperbolehkan dipergunakan, atau terbatas penggunaannya, atau sama sekali dilarang dipergunakan.

Lampiran I PP 74/2001 mencantumkan 209 buah bahan kimia yang tergolong B3 yang dapat digunakan di Indonesia, 74 diantaranya dibatasi penggunaannya sampai tahun 2040, semuanya organik-berhalogen. Lampiran II - Tabel 1 mencantumkan 10 bahan B3 yang dilarang pengunaannya, dan Lampiran II - Tabel 2 mencantumkan 45 bahan B3 yang dibatasi pengunaannya di Indonesia. Setiap bahan kimia dalam daftar tersebut, disertai keterangan: o No. Reg. Chemical Abstract Sevice yang bersifat universal o Nama bahan kimia o Sinonim/nama dagang o Rumus molekul Berikut ini adalah beberapa contoh bahan kimia B3, yang terdapat dalam daftar Lampiran I dan Lampiran II PP 74/2001 tersebut (Tabel 1 sampai Tabel 3).

Halaman 15

Setiap produsen yang menghasilkan B3 baru yang termasuk diatur dalam PP ini, maka sebelum dipergunakan secara luas produsen tersebut harus mendaftarkan terlebih dahulu kepada yang berwenang, dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup (pasal 6). Sedang bahan berbahaya lain yang tidak diatur dalam PP ini, maka registrasinya harus diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab, misalnya Badan Tenaga Atom Nasional untuk bahan radioaktif. Demikian juga halnya unutk B3 yang diimport dari luar negeri, maka bahan tersebut terlebih dahulu harus didaftarkan oleh importirnya untuk diregistrasi sebelum secara rutin diimport. Bahan tersebut kemudian akan mendapat nomor registrasi sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dengan mudah dilakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan. Bila bahan yang akan dimpor adalah termasuk dalam daftar B3 yang terbatas dipergunakan, maka fihak otorita negara yang akan memasukkan bahan tersebut ke Indonesia terlebih dahulu harus menyampaikan notifikasi kepada fihak yang bertanggung jawab di Indonesia (pasal 8).

Tabel 2.1: Contoh B3 (dapat digunakan) dalam Lampiran I PP 74/2001

No No Reg Chemical

Rumus Abstract Service

Nama Bahan Kimia

Sinonim/Nama Dagang

Molekul 7 7664-41-7

NH 3 14 64-19-7

Amoniak

Ammonia

CH 3 COOH 16 7664-38-2

Asam Asetat

Acetic acid; Aci-jel

Phosphoric acid; Orthophosphoric acid H 3 PO 4 17 7647-01-0

Asam Posfat

Asam Klorida

Hydrochloric acid; Hydrogen chloride; HCl

Anhidrous hydrochloric acid

23 74-90-8

Asam Sianida

Hydrogen cyanide; Hydrocyanic acid; HCN

Blausaure; Prussic acid

24 7664-93-9

H 2 SO 4 31 71-43-2

Asam Sulfat

Sulfuric Acid; Oil of Vitriol

Benzene; Benzol; Cyclo hexatriene C 6 H 6 52 108-95-2

Benzena

Fenol

Phenol; Carbolic acid; Phenic acid; Phenilic C 6 H 5 OH acid; Phenyl hydroxide; Hidroxybenzene; Oxybenzene

54 50-00-0

Formalin (larutan)

Formadehyde solution; Formalin; Formol; CH 2 O

Morbicid; Veracur

58 7783-06-4

Hidrogen Sulfida

Hydrogen sulphide; Sulfurated hydrogen; H 2 S

Hydrosulfuric acid

CO 2 78 7440-44-0

76 124-38-9

Karbon dioxide

Carbonic acid gas

C 79 630-08-0

Karbon hitam

Amorphous

CO 80 7782-50-5

Karbonmonoksida

Carbon monoxide

Cl 2 81 67-66-3

Klor

Chlorine

CHCl 3 85 7487-97

Kloform

Chloroform; Trichlorometthane

Merkuri klorida

Mercuric chloride; Mercury bichloride; HgCl 2 Corrosive sublimate; Mercury perchloride; Corrosive mercury chloride

CH 4 98 1310-73-2

87 74-82-8

Methane

Natrium Hidroksida

Sodium hydroxide; Caustic soda; Soda lye; NaOH

Sodium hydrate

105 7727-37-9

10102-44-0

Nitrogen Dioksida

Nitrogen dioxide

O 3 112

10028-15-6

Ozon

Ozone; Triatomic oxygen

Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 C 6 HCl 5 O 114

87-86-5

Pentaklorofenol

AgNO 3 122

7761-88-8

Perak nitrat

ZnCl 2 127

7646-85-7

Seng Klorida

Zinc chloride; Butter zinc

Pb 209

7439-92-1

Timbal (timah hitam)

Lead

- *) Muncul juga pada Lampiran II – Tabel 2 (no. 11)

CH 2 BrCl

Bromochloroethane

Tabel 2.2: B3 yang dilarang dalam Lampiran II – Tabel 1 PP 74/2001

No No Reg Chemical

Rumus Abstract Service

Nama Bahan Kimia

Sinonim/Nama Dagang

Molekul 1 309-00-2

C 12 H 8 Cl 6 2 57-74-9

CD68; Velsicol 1068; Toxichlor; Niran; C 10 H 6 Cl 8

Halaman 16

Octachlor; Orthochlor; Synclor; Belt; Corodane

3 50-29-3

DDT

Dichlorodiphenyltrichloroethane; D-58; C 14 H 9 Cl 5 Chlorophenothane; Clofenotane; Dicophane; p,p-DDT; Agritan; Gesapon; Gesarex; Gesarol; Guesapon; Necide

4 60-57-1

Dieldrin

Compound 497; ENT 16225; HEOD; C 12 H 8 Cl 6 OH

Insecticide No.497; Octalox

5 72-20-8

Endrin

Compound 268; ENT 17251; Mendrin; C 12 H 8 Cl 6 OH

Nendrin; Hexadrin

E3314; Velsicol 104; Drinox; Heptamul C 10 H 5 Cl 7 7 2385-85-5

6 76-44-8

Heptachlor

Mirex

C6-1283; ENT 25719; Dechlorane; C 10 Cl 12

Hexachloropentadienedimer

8 8001-35-2

Toxaphene

Hercules 3956: Polycholorcamphene; C 10 H 10 Cl 8 Chlorinatedcamphene; Campeclor; Altox; Geniphene; Motox; Penphene; Phenacide; Phenatox; Strobane-T; Toxakil

Polychlorobenzene; Anticarie; Bunt-cure; C 6 Cl 6 Bunt-no-more; Julins carbon chloride 10 1336-36-3

9 118-74-1

Hexachlorobenzene

PCBs

Polychlorinated Biphenyls; Chlorobiphenyls; C 12 X Arocloc; Clophen; Fenclor; Kenachlor;

X=H or Cl Phenochlor; Pyralene; Santotherm

Tabel 2.3: Contoh B3 (dibatasi) dalam Lampiran II – Tabel 2 PP 74/2001

No No Reg Chemical

Rumus Abstract Service

Nama Bahan Kimia

Sinonim/Nama Dagang

Molekul 1 93-76-5

2,4,5-T

Esterone 245; Trioxone; Weedone

C 8 H 5 Cl 3 O 3 2

2425-98-3

CDM; Ciba-8514; Schering 36,268: Spanon; C 10 H 13 ClN 2 Fundal; Gulecton; Chlorophenamidine 4 510-15-6

Chlordimeform (CDM)

Chlorobenzilate

Compound 338; G23922; Acarabene; Akar; C 16 H 14 Cl 2 O 3 Folbex; Ethyl 4,4-dichlorobenzilate; Ethyl 4,4-hydroxy-2,2bis(4-chlorophenil)acetate

6 106-93-4

Ethylene Dibromida

EDB; Dowfume WW85; 1,2-dibromoethane; C 12 H 4 Br 2

Ethylenebromide; Sym-dibromoethane 9 58-89-9

Senayawa merkuri,

termasuk: - Anorganik merkuri - Alkyl merkuri - Alkyloxyalkyl merkuri - Aryl merkuri

Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 C 6 HCl 5 O 21 7439-97-6

11 87-86-5

Pentaklorofenol*

Liquid silver; Hydragyrum; Quicksilver Hg 26 75-69-4

Mercury/Air raksa

CFC-11

CCl 3 Fluorotrichloromethane; Freo 11; Frigen 11; Areton 11

Trichloromonofluoromethane;