Ujian Nasional dan Ilusi Pendidikan
Ujian Nasional dan Ilusi Pendidikan
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu polemik pendidikan yang secara berkala
timbul sebagai tantangan—pada saat tertentu menjadi masalah—pendidikan. Sejak
diimplementasikan pada tahun 2003, orientasi pendidikan mulai banyak mengalami
pergeseran. Pergeseran tersebut tidak hanya muncul, melainkan terus tumbuh dan
mengalami disorientasi yang semakin menjadi-jadi tiap tahunnya.
Walaupun dalam implementasinya, UN selalu memunculkan dampak dilematis bagi
pendidikan. Namun, nyatanya problema UN selalu dianggap sebagai hal yang biasa
sebagai proses pematangan kualitas output pendidikan. UN dianggapnya sebagai
representasi dari parameter atas prestasi hasil belajar siswa.
Suatu sistem yang selalu kontroversial tiap tahun ini, terus dikampanyekan dan
dianggap sebagai pendewasaan pendidikan Indonesia. Branding strategy ala perusahaan
terus dilakukan. Iklan-iklan UN—yang di pasarkan semacam produk komersil—
frekuensinya bertambah di berbagai media massa.
Dampak dari branding tersebut rupanya membuat masyarakat terbawa pada buaian
pengalaman internal. Pengalaman internal adalah usaha untuk meyakinkan masyarakat
terhadap suatu kebijakan melalui media massa. Melalui roh pengalaman internal inilah
masyarakat beranggapan bahwa UN sebagai suatu produk yang sempurna sebagai
parameter kualitas belajar siswa.
Untuk menghadapi UN, beragam upaya dilakukan oleh kepala sekolah, guru dan
orangtua siswa guna dapat menjamin kelulusan siswa. Tokoh-tokoh agama, motivator,
dan lembaga bimbingan belajar (Bimbel) menjadi “lahan basah” saat menjelang UN.
Motivasi eksternal siswa terus digodok oleh tokoh-tokoh spiritual spesialis UN, hal
tersebut dianggap dapat memperkokoh mentalitas siswa dalam menghadapi UN.
Tak jarang ketika menjelang UN siswa harus mampu mengorbankan tenaga, pikiran dan
kondisi fisiknya agar dapat lulus dalam UN. Asumsi pengorbanan waktu istirahat demi
mencapai predikat lulus dalam UN, menjadi keyakinan tersendiri bagi siswa. Seperti
siswa SMPN 1 Pringgabaya yang mendapat pemeriksan Hemoglobin di sekolah (Suara
NTB, 6 April 2015). Hal tersebut dilakukan guna menjaga kesehatan peserta didik
menjelang UN, karena sebelumnya peserta didik selalu diterpa pengayaan, try out, les
dan aktivitas ekstra kulikuler.
Ketika menghadapi ancaman UN, siswa dituntut untuk mempelajari dan menghafal
tentang apa yang akan diujikan. Kemudian, guru akan membantu melatih peserta didik
untuk menjawab soal dengan cara mengadakan bimbingan tes di sekolah. Selanjutnya,
orang tua mendorong anak untuk dapat lulus tes. Dengan siklus seperti ini, maka kita
dapat berasumsi bahwa pelaksanaan UN selalu menitikberatkan pada hasil tes sehingga
memperhambat proses pembelajaran sekaligus mematikan metode pembelajaran.
Akibatnya, siswa ahli dalam menjawab tes namun tidak memiliki kecakapan hidup, dan
guru menjadi tidak kreatif sehingga semakin malas berinovatif dalam mengembangkan
proses pembelajaran.
Meskipun berbagai elemen masyarakat pemerhati pendidikan kerap kali menyuarakan
penolakan terhadap UN, namun UN tetap berlangsung. Bagi rezimnya, UN tetap
dianggap sebagai alat pemetaan kualitas dan penentu kelulusan yang jitu. Kalaupun ada
ditemukan suatu permasalahan dalam implementasi UN, Aktor-aktor pendidikanlah
yang selalu “dituduhkan” sebagai biang dari kecurangan massal yang terstruktur dan
sistematis.
Perjalanan UN bertahan lama, hingga 12 tahun implementasinya, UN selalu diberikan
apresiasi positif untuk dijalankan. Berulang kali, aktor-aktor sebagai pelaksana UN
dijadikan sasaran empuk masalah bagi rezim UN. Tak jarang, aktor-aktor pendidikan
dihadapkan pada aparatur negara bersenjata untuk mengatasi masalah yang
“dituduhkan” sebagai titik akar problema UN. Strategi pengawasan ketat ala militer
diterapkan beberapa hari selama berlangsungnya UN. Hingga, UN selalu dianggap masa
yang paling “menyeramkan” di akhir sekolah.
Kini, pandangan menakutkan terhadap UN seolah-olah ingin dihilangkan. Keputusan
pemerintah yang berupaya untuk menjadikan UN bukan sebagai penentu kelulusan.
Upaya tersebut dilakukan untuk merubah persepsi masyarakat yang selama ini dianggap
keliru dalam memandang UN.
UN yang sebelumnya menjadi momok menakutkan penentu kelulusan dan masa depan
siswa ingin diubahnya menjadi sesuatu proses yang menyenangkan. Proses pendidikan
diaharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan potensi
maksimalnya masing-masing.
Meskipun UN kini tidak sebagai penentu kelulusan, praktik skenario UN nyatanya tetap
menggambarkan proses yang menakutkan. Distribusi naskah UN tetap dikawal ketat
polisi (Suara NTB, 9 April 2015). Implementasi UN sebagai sesuatu yang “mengerikan”
tetap dipraktikan pada periode tahun ini.
Sebuah Ilusi
Sebuah disorientasi fatal yang menghantui pendidikan selama tahun-tahun sebelumnya,
tidak secara sengaja merubah konsepsi dari implementasi pendidikan. Orientasi
pendidikan kita, kini hanya sebatas ilusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan Ilusi sebagai sesuatu yang hanya angan-angan atau bersifat khayalan.
Bisa dikatakan bahwa pendidikan kita masih terperangkap pada sangkar ilusi
pendidikan. Ilusi pendidikan membawa manusia pada tahapan berfikir hafalan dan
tekstualitas. Dengan dijalankannya ilusi pendidikan maka pendidikan tidak mengajarkan
kecakapan hidup. Pendidikan hanya mampu diterjemahkan sebagai pabrik penghasil
angka yang mewakili konsep dan kemampuan individu.
Ilusi pendidikan memberi dampak kreatifitas yang tidak sejalan dengan nilai
masyarakat. Seperti kreatifitas dalam bentuk makanan yang mengandung borak dan
formalin, Industri film dan teknologi yang baru saja dirilis di negara maju, keesokan
harinya sudah ada di negara kita dalam versi bajakan. Begitu pula dengan kreatifnya
mafia hukum, koruptor dan para pemalsu dalam merekayasa fakta menjadi sebuah
drama. Dalam proses UN, kreatifitas oknum pembajak kunci jawaban juga marak
beraksi. Hal-hal tersebut tak lepas dari pengaruh ilusi pendidikan.
Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudaayaan (Mendikbud) telah merubah konsepsi
UN yang sebelumnya sebagai penentu kelulusan kini tidak menjadi penentu kelulusan,
namun Ilusi pendidikan yang menyeramkan, sukar dilenyapkan. Suatu dorongan
pemerintah untuk melakukan segala hal sebagai upaya melenyapkan Ilusi pendidikan
yang menakutkan ini, rupanya tidak bisa dibasmi dalam proses yang singkat.
Untuk merubah persepsi masyarakat terhadap konsep UN membutuhkan suatu proses
panjang. Kita patut akui bahwa mentalitas Ilusi UN menyentuh berbagai lini kehidupan
sosial. Maka, ilusi pendidikan yang terlanjur tercipa atau direkacipta oleh rekayasawan
UN perlu diretas dengan pendekatan sosial yang konsisten dan berkala.
Ditulis Oleh:
I Nyoman Indhi Wiradika
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu polemik pendidikan yang secara berkala
timbul sebagai tantangan—pada saat tertentu menjadi masalah—pendidikan. Sejak
diimplementasikan pada tahun 2003, orientasi pendidikan mulai banyak mengalami
pergeseran. Pergeseran tersebut tidak hanya muncul, melainkan terus tumbuh dan
mengalami disorientasi yang semakin menjadi-jadi tiap tahunnya.
Walaupun dalam implementasinya, UN selalu memunculkan dampak dilematis bagi
pendidikan. Namun, nyatanya problema UN selalu dianggap sebagai hal yang biasa
sebagai proses pematangan kualitas output pendidikan. UN dianggapnya sebagai
representasi dari parameter atas prestasi hasil belajar siswa.
Suatu sistem yang selalu kontroversial tiap tahun ini, terus dikampanyekan dan
dianggap sebagai pendewasaan pendidikan Indonesia. Branding strategy ala perusahaan
terus dilakukan. Iklan-iklan UN—yang di pasarkan semacam produk komersil—
frekuensinya bertambah di berbagai media massa.
Dampak dari branding tersebut rupanya membuat masyarakat terbawa pada buaian
pengalaman internal. Pengalaman internal adalah usaha untuk meyakinkan masyarakat
terhadap suatu kebijakan melalui media massa. Melalui roh pengalaman internal inilah
masyarakat beranggapan bahwa UN sebagai suatu produk yang sempurna sebagai
parameter kualitas belajar siswa.
Untuk menghadapi UN, beragam upaya dilakukan oleh kepala sekolah, guru dan
orangtua siswa guna dapat menjamin kelulusan siswa. Tokoh-tokoh agama, motivator,
dan lembaga bimbingan belajar (Bimbel) menjadi “lahan basah” saat menjelang UN.
Motivasi eksternal siswa terus digodok oleh tokoh-tokoh spiritual spesialis UN, hal
tersebut dianggap dapat memperkokoh mentalitas siswa dalam menghadapi UN.
Tak jarang ketika menjelang UN siswa harus mampu mengorbankan tenaga, pikiran dan
kondisi fisiknya agar dapat lulus dalam UN. Asumsi pengorbanan waktu istirahat demi
mencapai predikat lulus dalam UN, menjadi keyakinan tersendiri bagi siswa. Seperti
siswa SMPN 1 Pringgabaya yang mendapat pemeriksan Hemoglobin di sekolah (Suara
NTB, 6 April 2015). Hal tersebut dilakukan guna menjaga kesehatan peserta didik
menjelang UN, karena sebelumnya peserta didik selalu diterpa pengayaan, try out, les
dan aktivitas ekstra kulikuler.
Ketika menghadapi ancaman UN, siswa dituntut untuk mempelajari dan menghafal
tentang apa yang akan diujikan. Kemudian, guru akan membantu melatih peserta didik
untuk menjawab soal dengan cara mengadakan bimbingan tes di sekolah. Selanjutnya,
orang tua mendorong anak untuk dapat lulus tes. Dengan siklus seperti ini, maka kita
dapat berasumsi bahwa pelaksanaan UN selalu menitikberatkan pada hasil tes sehingga
memperhambat proses pembelajaran sekaligus mematikan metode pembelajaran.
Akibatnya, siswa ahli dalam menjawab tes namun tidak memiliki kecakapan hidup, dan
guru menjadi tidak kreatif sehingga semakin malas berinovatif dalam mengembangkan
proses pembelajaran.
Meskipun berbagai elemen masyarakat pemerhati pendidikan kerap kali menyuarakan
penolakan terhadap UN, namun UN tetap berlangsung. Bagi rezimnya, UN tetap
dianggap sebagai alat pemetaan kualitas dan penentu kelulusan yang jitu. Kalaupun ada
ditemukan suatu permasalahan dalam implementasi UN, Aktor-aktor pendidikanlah
yang selalu “dituduhkan” sebagai biang dari kecurangan massal yang terstruktur dan
sistematis.
Perjalanan UN bertahan lama, hingga 12 tahun implementasinya, UN selalu diberikan
apresiasi positif untuk dijalankan. Berulang kali, aktor-aktor sebagai pelaksana UN
dijadikan sasaran empuk masalah bagi rezim UN. Tak jarang, aktor-aktor pendidikan
dihadapkan pada aparatur negara bersenjata untuk mengatasi masalah yang
“dituduhkan” sebagai titik akar problema UN. Strategi pengawasan ketat ala militer
diterapkan beberapa hari selama berlangsungnya UN. Hingga, UN selalu dianggap masa
yang paling “menyeramkan” di akhir sekolah.
Kini, pandangan menakutkan terhadap UN seolah-olah ingin dihilangkan. Keputusan
pemerintah yang berupaya untuk menjadikan UN bukan sebagai penentu kelulusan.
Upaya tersebut dilakukan untuk merubah persepsi masyarakat yang selama ini dianggap
keliru dalam memandang UN.
UN yang sebelumnya menjadi momok menakutkan penentu kelulusan dan masa depan
siswa ingin diubahnya menjadi sesuatu proses yang menyenangkan. Proses pendidikan
diaharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan potensi
maksimalnya masing-masing.
Meskipun UN kini tidak sebagai penentu kelulusan, praktik skenario UN nyatanya tetap
menggambarkan proses yang menakutkan. Distribusi naskah UN tetap dikawal ketat
polisi (Suara NTB, 9 April 2015). Implementasi UN sebagai sesuatu yang “mengerikan”
tetap dipraktikan pada periode tahun ini.
Sebuah Ilusi
Sebuah disorientasi fatal yang menghantui pendidikan selama tahun-tahun sebelumnya,
tidak secara sengaja merubah konsepsi dari implementasi pendidikan. Orientasi
pendidikan kita, kini hanya sebatas ilusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan Ilusi sebagai sesuatu yang hanya angan-angan atau bersifat khayalan.
Bisa dikatakan bahwa pendidikan kita masih terperangkap pada sangkar ilusi
pendidikan. Ilusi pendidikan membawa manusia pada tahapan berfikir hafalan dan
tekstualitas. Dengan dijalankannya ilusi pendidikan maka pendidikan tidak mengajarkan
kecakapan hidup. Pendidikan hanya mampu diterjemahkan sebagai pabrik penghasil
angka yang mewakili konsep dan kemampuan individu.
Ilusi pendidikan memberi dampak kreatifitas yang tidak sejalan dengan nilai
masyarakat. Seperti kreatifitas dalam bentuk makanan yang mengandung borak dan
formalin, Industri film dan teknologi yang baru saja dirilis di negara maju, keesokan
harinya sudah ada di negara kita dalam versi bajakan. Begitu pula dengan kreatifnya
mafia hukum, koruptor dan para pemalsu dalam merekayasa fakta menjadi sebuah
drama. Dalam proses UN, kreatifitas oknum pembajak kunci jawaban juga marak
beraksi. Hal-hal tersebut tak lepas dari pengaruh ilusi pendidikan.
Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudaayaan (Mendikbud) telah merubah konsepsi
UN yang sebelumnya sebagai penentu kelulusan kini tidak menjadi penentu kelulusan,
namun Ilusi pendidikan yang menyeramkan, sukar dilenyapkan. Suatu dorongan
pemerintah untuk melakukan segala hal sebagai upaya melenyapkan Ilusi pendidikan
yang menakutkan ini, rupanya tidak bisa dibasmi dalam proses yang singkat.
Untuk merubah persepsi masyarakat terhadap konsep UN membutuhkan suatu proses
panjang. Kita patut akui bahwa mentalitas Ilusi UN menyentuh berbagai lini kehidupan
sosial. Maka, ilusi pendidikan yang terlanjur tercipa atau direkacipta oleh rekayasawan
UN perlu diretas dengan pendekatan sosial yang konsisten dan berkala.
Ditulis Oleh:
I Nyoman Indhi Wiradika