Hukum Acara Administrasi Negara Peradila

HUKUM ACARA PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA
MAKALAH
Ditujukan Sebagai Salah Satu Tugas Tertruktur Matakuliah PHI
Dosen Pengampu : Dadang Mahdar, S. H., M. H.

Oleh :
Noviani Sari
Nuri Handayani
Nurodin

1143050122
1143050123
1143050124

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR


Segala puji hanya milik Allah SWT., berkat rahmat dan karunia-Nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Rasulullah SAW., kepada keluarganya, sahabatnya sampai
kepada kita selaku umatnya. Amiin.
Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar
kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
(Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 UUD
1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan

oleh

sebuah Mahkamah

Agung dan badan-badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan
yang terakhir dibentuk yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5
tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang”
undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang
menjamin

kedudukan

warga

masyarakat

dalam

hukum dan

menjamin


terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di
bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian
lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan HAM.
Bandung, Februari 2015
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian..................................................................................................3
B. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara.................................................5
C. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara...........................5
D. Istilah-Istilah Hukum Administrasi Negara...............................................6

E. Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara.......................................7
BAB III PEMBAHASAN
A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara...............................................9
B. Keputusan Tata Usaha Negara...................................................................10

C. Praktik Gugatan Tata Usaha Negara..........................................................13
D. Jenis-Jenis Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara.........18
E. Pembuktian................................................................................................19
F. Putusan......................................................................................................22
G. Upaya Hukum............................................................................................24
H. Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara........................................26
BAB IV PENUTUP..............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................31
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar
kekuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
(Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 UUD
1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lingkungan peradilan
yang terakhir dibentuk yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang
No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran
“Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah untuk mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib
yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur
di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian
lahirnya PTUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM).

Sebagai

negara

yang

demokratis,

Indonesia

memiliki

sistem

ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dari ketiga lembaga tersebut, eksekutif memiliki porsi, peran dan wewenang
yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh
karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and
balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi
pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986,
yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah
disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun1986.

Berangkat dari hal inilah kami membuat sebuah makalah dengan judul
“Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara ”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara peradilan administrasi negara?
2. Bagaimana proses penyelesaian perkara dalam hukum acara peradilan
administrasi negara?

BAB II
LANDASAN TEORI

Keberadaan Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disebut Hukum Tata
Usaha Negara) didasari oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang
meliputi1:

1 Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,

Gramata Publishing, 2011, hal. 1.

1. Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang rumusannya sebagai berikut: “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung

dan Badan Peradilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.


A. Pengertian2
Sebelum membahas mengenai pengertian dari Peradilan Tata Usaha
Negara, ada baiknya disinggung terlebih dahulu mengenai pengertian Tata
Usaha Negara. Pasal 1 Ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 merumuskan bahwa
Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan bak di pusat maupun di
daerah. Indroharto menyimpulkan bahwa Tata Usaha Negara dapat diartikan
sebagai berikut:3 Tata Usaha Negara adalah sama dengan Administrasi
Negara. Oleh karena itu, UndangUndang ini menurut Pasal 144 juga dapat
disebut “Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara”.
Dengan demikian, Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi
Negara adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
2 _______, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata
Publishing, 2011, hal. 8.
3 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 27.

penyelenggaraan urusan pemerintah (negara). Berkaitan dengan definisi
Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak merumuskan
definisinya. Namun bukan berarti tidak terdapat kejelasan mengenai definisi
dari Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, karena definisi/Peradilan Tata
Usaha Negara itu sendiri dapat disimpulkan dari Penjelasan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap
melanggar hak orang/badan hukum perdata.
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa
yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata
sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).

B. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara
Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan daam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang rumusannya sebagai berikut: “ Peradilan Tata usaha
Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.”

Lebih lanjut, dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga ditegaskan
bahwa: “Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.”
Demikian juga dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ditegaskan,
bahwa “Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.”
C. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas tersendiri.
Ciri khas tersebut tampak dari asas-asas yang melandasinya, yaitu4:
1.

Asas Praduga Rechmatig (vernoeden van rechtmatigheid = presumption
iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini gugatan menunda pelaksanaan KTUN yang digugat.

2.

Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.

3.

Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan
untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat
Tata Usaha Negara sedangkan penggugat adalah orang perseorangan atau
badan hukum perdata.

4.

Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian,

4 Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hlm. 133.

putusan pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para
pihak yang bersengketa.
D. Istilah-Istilah Hukum Administrasi Negara5
1. HAN (Hukum Administrasi Negara) atau Staat Administratief recht.
2. Hukum Administrasi (Administratief recht) di Belanda.
3. Hukum Tata Pemerintahan (Bestuur Recht) di UU No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Hukum Tata Usaha Pemerintahan
5. Hukum Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
6. Administrative Law (di Inggris).
7. Verwaltungs Recht (di Jerman).
8. Droit Administratief (di Prancis).

E. Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara
1. Subjek
Yang menjadi subjek dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah
a. Penggugat
5 Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2014, hal. 135.

Yang disebut penggugat sesuai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang
berkedudukan sebagai subjek hukum saja yang dapat mengajukan
gugatan.
b. Tergugat
Ketentuan mengenai Tergugat terumus dalam Pasal 1Angka 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Tergugat adalah Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

2. Objek
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa objek sengketa Tata
Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan
yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam
lingkungan peradilan lain (Pengadilan Agama). Kompetensi absolut
Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 yang menentukan
bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1
angka 4 adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termask sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.

Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal
54 Undang-Undang No. 5 Tahun1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi6:
a. Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukn
secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.

6 Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 19-26.

b. Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak yang menjadi
tergugat lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan salah satu badan/pejabat Tata Usaha Negara yang
menjadi tergugat tersebut.
c. Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di
tempat tergugat. Apabila tempat tergugat berada di luardaerah hukum
pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kediaman penggugat
untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
d. Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha negara
tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Gugatan dapat
diajukan di PTUN tempat penggugat berdomisili.
e. PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan di
kuar negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.
B. Keputusan Tata Usaha Negara
1.

Pengertian7
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu selalu
merupakan akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu pengertian tentang apa itu Keputusan Tata Usaha Negara
sangatlah penting untuk dipahami karena dengan memberikan pengertian
yang lain akan memberikan pengertian yang salah tentang apa yang
dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara.
Menurut Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubaha Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Keputusan Tata Usaha

7 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hal. 17.

Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
2.

Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara
a. Penetapan Tertulis
Unsur ini menentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 harus merupakan
penetapan tertulis. Penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa
“Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi bukan kepada
bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Keputusan tata Usaha Negara itu memang diharuskan
tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah formalnya seperti
surat keputusan pengangkatan dan sebagainya”.
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Unsur ini menentukan bahwa “penetapan tertulis” itu harus
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut
Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan
urusan pemerintahan.
c. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Adalah perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang
bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain. Dengan kata lain,
tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang menimbulkan akibat hukum
mengenai peraturan pemerintahan terhadap seseorang atau badan
hukum perdata.
d. Bersifat Konkret
Artinya, objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara
itu tidak abstrak tetapi terwujud, tertentu atau dapat ditentukan,
umpamanya keputusan mengenai pembongkaran rumah si A, izin
usaha si B, pemberhentian si A sebagai PNS dll.
e. Bersifat Individual
Artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan umum,
tetaoi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju, dan
f. Bersifat Final
Artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum.
g. Menimbulkan Akibat Hukum
Maksudnya adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara,
karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara
tersebut adalah8 berupa :
1) Mengutakan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang
telah ada (declaratoir), misalnya surat keterangan PPAT yang
isinya menyebutkan antara A dan B memang telah terjadi jual beli
tanah.
2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang
baru (constitutief), misalnya keputusan jaksa Agung tentang
pengangkatan calon PNS atau surat izin impor ekspor suatu
Perseroan Terbatas dari Kemenperidag.

8 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi
dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 118-119.

C. Praktik Gugatan Tata Usaha Negara
1. Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua
pengadilan agama yang berwenag, yang memuat tuntutan hak yang
didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar
pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Berkenaan dengan gugatan, Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa
gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk
mendapatkan putusan.
Bentuk permohonan dalam Hukum Acara PTUN dapat dijumpai
dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang rumusannya sebagai berikut9:
a. Ayat (1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma;
b. Ayat (2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan
gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari Kepala
Desa atau Lurah di tempat kediaman Pemohon;
c. Ayat (3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon
itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.
Selanjutnya lebih dipertegas dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU
9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negar

No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5
tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang rumusannya
sebagai berikut10
a. Ayat (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus
diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa
diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa
diperiksa;
b. Ayat (2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir;
c. Ayat (3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan
penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma di tingkat pertama,
juga berlaku di tingkat banding dan kasasi.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa permohonan untuk beracara
dengan cuma-cuma pada Pengadilan Tata Usaha Negara haruslah diajukan
pada waktu Penggugat mengajukannya dengan disertai surat keterangan
tidak mampu yang menunjukkan bahwa penggugat benar-benar tidak
mampu membayar biaya perkara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
adanya kewajiban membayar uang muka biaya perkara sebelum gugatan
dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum suatu gugatan diajukan ke PTUN, ada beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan oleh Penggugat. Hal dimaksud meliputi11
a. Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dapat diajukan hanya dalam tempo 90 hari. Pasal 55
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
11 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 43-44.

kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menentukan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
b. Syarat-Syarat Gugatan
Gugatan yag hendak diajukan hendaknya memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut12:
1) Syarat Formal
Syarat formal suatu gugatanTata Usaha Negara ditentukan dalam
Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu meliputi:
a) Identitas Para Pihak yang meliputi nama, kewarganegaraan,
domisili dan pekerjaan Penggugat atau kuasanya sertanama
jabatan dan tempat kedudukan Tergugat.
b) Tenggang waktu pengajuan gugatan. Hal ini perlu dicantumkan
karena berkaitan dengan masa kadaluarsa pengajuan gugatan.
c) Tanggal pengajuan gugatan. Penentuan masa kadaluarsa
pengajuan suatu gugatan dapat dilihat dari tanggal diajukannya
gugatan

sehingga

tanggal

pengajuan

gugatan

wajib

dicantumkan.
d) Tanda tangan Penggugat atau Kuasanya. Untuk keabsahan suatu
gugatan perlu dibubuhi tanda tangan sah dari Penggugat atau
kuasanya.
2) Syarat Materiil
12 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 44-46.

Syarat materiil suatu gugatan Tata Usaha Negara adalah :
a) Objek Gugatan, objek gugatan harus disebutkan secara jelas di
dalam suatu gugatan. Misalnya Surat Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 05/Kpts.Mendiknas/II/2005, tertanggal
2 Mei 2005
b) Posita Gugatan (Dasar-Dasar Gugatan). Berisikan dalil-dalil
Penggugat untuk mengajukan gugatan secara ringkas, sederhana
dan jelas. Posita gugatan berisi fakta hukum, kualifikasi
perbuatan Tergugat dan uraian kerugian Penggugat.
c) Petitum. Merupakan kesimpulan dari suatu gugatan, berisikan
hal-hal yang dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh
hakim.
c. Alasan-alasan Mengajukan Gugatan
Yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan Tata Usaha
Negara meliputi13:
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam

penjelasan Pasal tersebut dirumuskan

bahwa yang

dimaksudkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalah asas-asas
yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi Dan Nepotisme, yakni meliputi asas kepastian hukum, terti=b
penyelenggara

negara,

kepentingan

umum,

keterbukaan,

proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.
2. Mekanisme Pengajuan Gugatan

13 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 50-51

Setelah gugatan dirumuskan, Penggugat mendaftarkan gugatannya ke
pengadilan yang berwenang memeriksa perkaranya, pendaftaran gugatan
dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Daftar langsung di Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah Penggugat
membayar uang muka biaya perkara, panitera Pengadilan memberinya
nomor register. Tanggal diterimanya gugatan dianggap sebagai tanggal
diajukannya gugatan kepada Pengadilan.
b. Melalui PTUN tempat kediaman penggugat, dalam haltempat
kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat
kedudukan penggugat, maka gugatan dapat disampaikan melalui
PTUN di tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN
yang berwenang memeriksa perkara itu di tempat kedudukan tergugat.
c. Melalui surat tercatat sesuai Keputusan Badan Litbang Mahkamah
Agung, maka gugatan dapat disampaikan melalui Pos dengan surat
tercatat kepada PTUN.
3. Pengaruh Keadaan Terhadap Gugatan
Setelah gugatan itu disampaikan ke pengadilan, dalam praktik
seringkali terjadi hal-hal di luar yang direncanakan semula. Keadaan
dimaksud meliputi:
a. Perubahan Gugatan
Berkaitan

dengan

perubahan

gugatan,

hakim

PTUN

dapat

mengijinkan penggugat untuk mengubah gugatannya dengan catatan
perubahan dimaksud tidak menyimpang dari kejadian materiil yang
menjadi dasar suatu gugatan dengan memperhatikan kepentingan
kedua belah pihak. Dibolehkannya perubahan gugatan berdasarkan
Pasal 75 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan telah diatur di dalam Pasal 76 ayat (1) UU No.b5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun, dalam praktiknya banyak penggugat yang terlanjur sakit hati
sehingga enggan menacabut gugatannya.
c. Perdamaian
Dalam SEMA Nomor 2 Tahun1991 ditegaskan bahwa dalam perkara
tata usaha negara dimungkinkan adanya perdamaian antara penggugat
dan tergugat namun hanya dapat dilakukan di luar persidangan.
Apabila perdamaian telah disepakati maka perkara di pengadilan
dicabut dan dicoret dari daftar perkara di Pengadilan.
D. Jenis-Jenis Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara
1. Dismissal Process
Dismissal process adalah penelitian terhadap hal-hal yang bersifat formala
adminiatratif yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan seperti identitas
para pihak, alamat para pihak

dan alamat pengadilan yang dituju.

Dismissal Process tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan
PTUN dalam pemeriksaan perkara. Dalam Dissmissal Process tersebut
ketua pengadilan berwenang memanggil kedua belah pihak untuk
mendengarkan ketetapan Dissmissal Process.
2. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Jika penggugat merasa tidak puas terhadap hasil penetapan Dismissal
precess maka sesuai Pasal 62 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa penggugat dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat
belas hari setelah diucapkan, setelah itu pengadilan akan memeriksa dan
memutus perlawanan dengan acara singkat sesuai ketentuan Pasal di atas.

3. Pemeriksaan Persiapan
Acara pemerikasaan persiapan dalam hukum Acara Tata Usaha Negara
diatur dalam Pasal 63 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata bahwa
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang
kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Hakim:
a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Tujuan diadakannya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat
meletakkan sengketanya dalam peta, baik mengenai obyeknya serta
fakta-faktanya maupun mengenai problema hukum yang harus dijawab
nanti.
E. Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk membuktikan apa yang terjadi
dalam suatu peristiwa atau hubungan hukum. Dalam memproleh kepastian
bahwa suatu peristiwa atau hubungan hukum benar-benar telah terjadi,

Majelis Hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan agar dapat
menerapkan hukum yang tepat. Dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan harus
mampu dibuktikan oleh penggugat sehingga gugatannya dapat dikabulkan
oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkaranya. Pembuktian yang berlaku
dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pembuktian Bebas yang Terbatas.
Dikatakan bebas terbatas karena alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam
membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100.
Adapun alat-alat bukti dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
dicantumkan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang meliputi14 :
1. Surat atau Tulisan, menurut Pasal 101 bahwa alat bukti yang dipergunakan
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha meliputi :
a. Akta Otentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat yang berwenang untuk itu dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang
tercantum.
b. Akta di Bawah Tangan, merupakan surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum di dalamnya. Dikatakan “di bawah tangan”
karena tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang
melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang berkepentingan dengan
tujuan untuk dijadikan alat bukti.
c. Surat-surat lainnya yang bukan Akta, merupakan surat-surat lain yang
dapat dijadikan sebagai pendukung bukti-bukti yang diajukan.
Kekuatan bukti surat bukan akta diserahkan kepada kebijaksanaan
Majelis Hakim, apakah menganggapnya mempunyai kekuatan bukti
14 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 86-87

sempurna atau menganggapnya sebagai permulaan bukti tertulis bila
surat bukan akta diajukan ke muka sidang pengadilan.

2. Keterangan Ahli
Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran suatu hal yang tidak
mungkin diketahui oleh hakim berdasarkan ilmu yang dimilikinya, hakim
dapat memerintahkan kepada seorang ahli dalam bidangnya agar
memberikan

keterangan/pendapatnya

tentang

peristiwa

yang

diperkarakan., baik atas permintaan salah satu pihak maupun karena
jabatannya. Sebelum memberikan keterangan/pendapatnya lebih dahulu
dia harus mengucapkan sumpah promisor, sehingga keterangan yang
diberikannya itu adalah keterangan di bawah sumpah sah menurut
Undang-Undang.
3. Keterangan Saksi
Dalam pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih dari satu
saksi karena keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat
dipercaya atau unus testis nullus testis artinya satu saksi dianggap bukan
saksi. Agar peristiwa terbukti dengan sempurna menurut hukum,
keterangan seorang saksi harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya
surat, pengakuan, sumpah.
4. Pengakuan Para Pihak
Pengakuan yang diucapkan di persidangan dapat berupa pengakuan
lisan dapat pula pengakuan tertulis yang dibacakan di persidangan.
Pengakuan sifatnya membenarkan seluruh atau salah satu hak atau
hubungan hukum yang dikemukakan oleh penggugat. Pasal 105 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negaramenjelaskan, bahwa pengakuan para pihak tidak dapat ditarik

kembali kecualin berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
Hakim.
5. Pengetahuan Hakim
Menurut Pasal 1O6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pengetahuan Hakim adalah hal
yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satu daripadanya
adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh hakim tersebut, atau
hakim lain yang ditunjuknya seperti hasil pemeriksaan setempat guna
melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.
F.

Putusan
Setelah pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim mengumpulkan
semua hasil pemeriksaan untuk disaring mana yang penting dan mana yang
tidak penting. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis Hakim berusaha
menemukan peristiwanya kemudian menentukan apakah terjadi pelanggaran
atau tidak, lalu menentukan peraturan hukum atau menemukan hukum yang
akhirnya Hakim tersebut akan segera menjatuhkan putusannya.
Dalam putusan itu Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan
penggugat dan semua alasan yang telah dikemukakan oleh pihak-pihak. Ini
berarti hakim harus memberikan putusan secara nyata untuk setiap bagian
tuntutan penggugat. Putusan dalam Kamus Hukum diartikan sebagai vonis,
yaitu Putusan Pengadilan sebagai akhir dari suatu pengadilan.
1. Jenis-jenis Putusan
a. Putusan Sela atau Putusan Antara (Interlocutoir Vonis) merupakan
putusan yang mendahului dikeluarkannya putusan akhir. Putusan sela
ini berguna dalam hal memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan ini
meliputi :
1) Putusan Provisi, yaitu putusan yang diambil segera mendahului
putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan

yang mendesak untuk itu. Misalnya putusan untuk menunda
pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan atau
untuk mengijinkan Penggugat berperkara secara Prodeo.
2) Putusan Insidentil, yatu putusan sela yang diambil secara insidentil
karena adanya alasan-alasan tertentu. Misalnya karena kematian
Kuasa Penggugat atau Tergugat.
b. Putusan Akhir, merupakan putusan yang mengakhiri suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini
terdiri dari :
1) Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir), artinya
putusan yang menghuum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi, meliputi memberi, membuat dan tidak berbuat.
2) Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitusif), artinya
putusan yang meniadakan atau menciptakan hukum.
3) Putusan declaratoir, artinya putusan yang bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah.
2. Amar Putusan PTUN
Menurut Pasal 97 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan bahwa Amar Putusan
PTUN dapat berupa15:
a. Gugatan ditolak, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh
Penggugat dapat ditolak oleh Majelis Hakim karena Penggugat tidak
dapat membuktikan dalil-dalilnya.
b. Gugatan dikabulkan, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh
Penggugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim jika Penggugat dapat
membuktikan dalil-dalilnya secara sah dan meyakinkan.
c. Gugatan tidak diterima, jika :
15 Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok,
Gramata Publishing, 2011, hal. 98-99

1) Gugatan tidak memenuhi syarat yang ditentukan,
2) Gugatan tidak berdasar hukum,
3) Gugatan diinyatakan kabur,
4) Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum,
5) Objek gugatan tidak jelas,
6) Subjek gugatan tidak lengkap.
d. Gugatan gugur, jika :
1) Para pihak atau kuasanya tidak hadir pada persidangan yang telah
ditentukan dan telah dipanggil secara patut,
2) Gugatan yang diajukan telah daluarsa.
3. Materi Muatan Putusan PTUN
Materi suatu Putusan PTUN harus memuat :
a. Ketuhaan Yang Maha Esa. Kepala putusan ini mempunyai kekuatan
eksekutorial karena kalau tidak dicantumakn maka tidak dapat
dilaksanakan bahkan lebih jauh diancam dengan Pembatalan.
b. Identitas para pihak yang mencakup nama, jabatan, kewarganegaraan,
tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.
Pabila salahsatu di antara itu tidak terpenuhi maka putusan Hakim
menjadi batal.
c. Ringkasan gugatan penggugat danjawaban tergugat yang harus dimuat
secara jelas.
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan
yang dimaksud adalah pertimbangan tetang duduknya perkara dan
pertimbangan tentang hukumnya.
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan harus bersifat yuridis.
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

G. Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada seseorang atau Badan Hukum untuk dalam hal tertentu melawan
putusan hakim.
1. Upaya Hukum Biasa
Adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding dan kasasi.
Pada

asasnya

upaya

hukum

ini

menangguhkan

eksekusi.

Pengecualiannya adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan
ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu maka meskipun diajukan
upaya hukum biasa namun eksekusi akan berjalan terus.
Adapun bentuk-bentuk upaya hukum biasa yang dikenal dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dimaksud meliputi :
a. Perlawanan Terhadap Dismissal Process
Pasal 162 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa terhadap putusan
Dismissal yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dapat diajuan
perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah diucapkan.
b. Banding
Sering juga disebut “ulangan pemeriksaan” yang (tingkat) kedua
oleh

sebuah

pemeriksaan,

pegadilan
baik

yang

atasan

yang

mengenai

mengulangi

seluruh

fakta-faktanya

maupun

penerapan hukum atau Undang-Undang. Prosedur pemeriksaan
banding dalam PTUN siatur dalam ketentuan Pasal 122 UndangUndang No. 5/1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
c. Kasasi
Istilah Kasasi berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga
apabila suatu permohonan Kasasi terhadap putusan pengadilan
bawahan itu diterima oleh Mahkamah Agung, maka hal itu berarti,
putusan

tersebut

dibatalkan

karena

dianggap

mengandung

kesalahan dalam penerapan hukumnya. Ketentuan Kasasi dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 131
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam pemeriksaan di tingkat Kasasi tersebut ditentukan bahwa
permohonan Kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding dan hanya
dapat diajukan satu kali.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan bahwa terhadap Putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
H. Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Eksekusi merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 115 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.

5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa
hanya putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap yang
dilaksanakan.
1. Bentuk-Bentuk Eksekusi PTUN
Bentuk-bentuk eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
berupa:
a. Pelaksanaan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara sesuai Pasal 97 Ayat (9) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
b. Ganti Rugi
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara dapat disertai pembebanan ganti rugi. Ganti rugi
merupakan pembayaran sejumlah uang kepada orang/Badan Hukum
Perdata atas beban Tata Usaha Negara karena adanya kerugian material
yang diderita penggugat ( PP No. 43 Tahun 1991).
Dalam

Prosesnya,

Salinan

Putusan

yang

berisi

pembebanan

pembayaran ganti rugi dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat
dalam waktu tiga hari setelah Putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
c. Kompensasi
Merupakan pembayaran sejumlah uang kepada seseorang atas beban
Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara di bidang kepegawaian tidak dapat dilaksanakan oleh Badan
Tata Usaha Negara. Kompensasi diatur dalam Pasal 117bUndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.

d. Rehabilitasi
merupakan pemulihan hak-hak Penggugat di bidang kepegawaian
dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai
Pegawai Negeri seperti semula sebelum diterbitkannya Keputusan Tata
Usaha Negara. Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 121
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.

BAB IV
PENUTUP
Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha
Negara merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara atau prosedur

penyelesaian sengketa tata usaha negara di PTUN, serta mengatur hak dan
kewajiban pihak pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat). Sengketa yang
timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang
bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum
Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam
UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal
132. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan
karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan
lainnya.
Penyelesaian sengketa tun ada dua jalur yaitu jalur administrasi dan jalur
peradilan. Jalur administrasi berdasarkan Pasal 48 ayat (1) : dalam hal suatu badan
atau pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peratu utk
menyelesaikan scr administratif sengketa tun tertentu, maka sengketa TUN terebut
harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia.
Upaya administrasi

ada

dua, pertama Keberatan yaitu penyelesaian

sengketa TUN oleh badan atau pejabat yang membuat KTUN itu sendiri.
Misalnya keberatan wajib pajak atas penetapan besarnya pajak UU-6/1983 Pasal
25, kedua Banding adminsitrasi, yakni jika penyelesaian sengketa TUN oleh
atasan atau instansi lain. Misalnya tentang penyelesaian PHK oleh P4D, P4P, dll.
Kemudian jika tidak puas, banding ke PT TUN (Pasal 51 (3)). Apabila masih tidak
puas, kasasi ke MA.
Penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan berdasarkan Pasal 48 (2) :
Peradilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang
bersangkutan

telah

digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyati Dwi Putri, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gramata
Publishing, Depok, 2011.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Muslimin Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan
Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.
Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2014.

Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK REALITY SHOW MASIHKAH KAU MENCINTAIKU TERHADAP PENDAPAT MASYARAKAT TENTANG SIKAP TERBUKA PADA PASANGAN (Studi Pada Pemirsa Acara Televisi reality show Kelurahan Tukang kayu RT/RW 02/05, Kecamatan Banyuwangi, Kota Banyuwangi)

0 67 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENGEMBANGAN PROGRAM ACARA CHATZONE(Studi Terhadap Manajemen Program Acara di Stasiun Televisi Lokal Agropolitan Televisi Kota Batu)

0 39 2

MANAJEMEN SIARAN PADA VOICE OF AMERICA (VOA) INDONESIA (Studi Tentang Pengolahan dan Penyebaran Program Acara Radio dan Televisi Oleh VOA Indonesia)

3 48 23

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merk Yang Ditangani Oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Jawa Barat

1 23 1

Analisis Rasio Keuangan Dengan Menggunakan Leverage Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) TBK

2 11 1

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17